LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA INHALASI
A. Pengertian
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh energi panas atau bahan kimia atau benda-benda fisik yang menghasilkan efek memanaskan atau mendinginkan. Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam. Luka bakar merupakan luka yang unik diantara bentuk-bentuk luka lainnya karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada tempatnya untuk jangka waktu yang lama. (Smeltzer, ( Smeltzer, 2001 : 1911). Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu. (Lazarus, 1994 dalam Potter & Perry, 2006;1853). Trauma inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki kolerasi dengan angka kematian. Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bilamana luka bakar mengenai daerah muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat gas, asap atau uap panas yang terhisap. Cedera inhalasi disebabkan oleh jenis bahan kimia terbakar (tracheobronchitis) dari saluran pernapasan. Bila cedera ini terjadi pada pasien dengan luka bakar kulit yang parah kematian sangat tinggi antara 48% sampai 86%. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan napas. Keracunan asap yang disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan materi yang diproduksi. Termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksik seperti hidrogen sianida, nitrogen oksida, hidrogen klorida, akreolin dan partikel – partikel tersuspensi. Efek akut dari bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan bronkokonstriksi pada saluran napas. Obstruksi jalan napas akan menjadi lebih l ebih hebat akibat adanya tracheal bronchitis dan edema B. Etiologi
Kebanyakan trauma inhalasi terjadi akibat kerusakan langsung pada permukaan epitel yang dapat menyebabkan konjungtivitis, rhinitis, faringitis,
laryngitis, trakeitis, bronchitis dan alveolitis. Absorbsi sistemik dari toksin juga terjadi. Susah untuk membedakan apakah insufisiensi pernafasan disebabkan oleh trauma langsung pada paru atau akibat pengaruh metabolik, hemodinamik dan komplikasi lanjut dari suatu infeksi permukaan luka bakar. Trauma inhalasi disebabkan oleh berbagai inhalan. Inhalan dibedakan atas 4 macam yaitu: 1. Gas iritan : bekerja dengan melapisi mukosa saluran nafas dan menyebabkan reaksi inflamasi. Amonia, klorin, kloramin lebih larut air sehingga dapat menyebabkan luka bakar pada saluran nafas atas dan menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan mulut. Gas iritan lain yaitu sulfur dioksida, nitrogen dioksida, yang kurang larut air sehingga menyebabkan trauma paru dan distress pernafasan. 2. Gas asfiksian : karbon dioksida, gas dari bahan bakar (metana, etena, propane, asetilana), gas-gas ini mengikat udara dan oksigen sehingga menyebabkan asfiksia. 3. Gas yang bersifat toksik sistemik : CO yang merupakan komponen terbesar dari asap, hidrogen sianida merupakan komponen asap yang berasal dari api, hidrogen sulfide. Gas-gas ini berhubungan dengan pengangkutan oksigen untuk produksi energi bagi sel. Sedangkan toksin sistemik seperti hidrokarbon halogen dan aromatik menyebabkan kerusakan lanjut dari hepar, ginjal, otak, paru-paru, dan organ lain. 4. Gas yang menyebabkan alergi, dimana jika asap terhirup, partikel dan aerosol menyebabkan bronkospasme dan edema yang menyerupai asma.
C. Manifestasi Klinis
Oleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak ditangani sesegera mungkin, maka perlu diketahui tanda- tanda yang dapat mengarahkan kita untuk bertindak dan harus mencurigai bahwa seseorang telah mengalami trauma inhalasi antala lain: Luka bakar pada wajah Alis mata dan bulu hidung hangus Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam orofaring Sputum yg mengandung arang atau karbon Wheezing, sesak dan suara serak Adanya riwayat terkurun dalam kepungan api
Ledakan yng menyebakan trauma bakar pada kepala dan badan Tanda-tanda keracunan CO ( karboksihemoglobin > 10 % setelah berada dalam
lingkungan api) seperti kulit berwarna pink sampai merah, takikardi, takipnea, sakit kepala, mual, pusing, pandangan kabur, halusinasi, ataksia, kolaps sampai koma. D. Patofiologi
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas oleh panas dan zat kimia, atau akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil dari pembakaran tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara, partikel padat yang terurai di udara (melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol dari cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut bekerja sistemik. Partikel padat yang ukurannya lebih dari 10 mikrometer tertahan di hidung dan nasofaring. Partikel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang trakeobronkial, sedangkan partikel berukuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli.1,2 Gas yang larut air bereaksi secara kimia pada saluran nafas atas, sedangkan gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapun gas yang sangat kurang larut air masuk melewati barier kapiler dari alveolus dan menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemik. Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan kegagalan fungsi dari apparatus mukosilier dimana akan merangsang terjadinya suatu reaksi inflamasi akut yang melepaskan makrofag serta aktivitas netrofil pada daerah tersebut. Selanjutnya akan dibebaskan oksigen radikal, protease jaringan, sitokin, dan konstriktor otot polos (tromboksan A2, C3A, C5A). Kejadian ini menyebabkan peningkatan iskemia pada saluran nafas yang rusak, selanjutnya terjadi edema dari dinding saluran nafas dan kegagalan mikrosirkulasi yang akan meningkatkan resistensi dinding saluran nafas dan pembuluh darah paru. Komplians paru akan turun akibat terjadinya edema paru interstitial sehingga terjadi edema pada saluran nafas bagian bawah akibat sumbatan pada saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik, mukus dan sel-sel darah. E. Klasifikasi Trauma Inhalasi
Trauma inhalasi diklasifikasikan menjadi 3, antara lain : 1,2,3,4 1. Trauma pada saluran nafas bagian atas ( trauma supraglotis)
Trauma saluran nafas atas dapat menyebabkan ancaman hidup melalui obstruksi jalan nafas sesaat setelah trauma. Jika proses ini ditangani secara benar, edema saluran nafas dapat hilang tanpa sekuele beberapa hari. 2. Trauma pada saluran nafas bawah dan parenkim paru (trauma subglotis) Trauma ini dapat menyebabkan lebih banyak perubahan signifikan dalam fungsi paru dan mungkin akan susah ditangani. Trauma subglotis merupakan trauma kimia yang disebabkan akibat inhalasi hasil-hasil pembakaran yang bersifat toksik pada luka bakar. Asap memiliki kapasitas membawa panas yang rendah, sehingga jarang didapatkan trauma termal langsung pada jalan nafas bagian bawah dan parenkim paru, trauma ini terjadi bila seseorang terpapar uap yang sangat panas. 3. Toksisitas sistemik akibat inhalasi gas toksik seperti karbon monoksida (CO) dan sianida. Inhalasi dari gas toksik merupakan penyebab utama kematian cepat akibat api, meskipun biasanya trauma supraglotis, subglotis dan toksisitas sistemik terjadi bersamaan. Intoksikasi CO terjadi jika afinitas CO terhadap hemoglobin lebih besar dari afinitas oksigen terhadap hemoglobin, sehingga ikatan CO dan hemoglobin membentuk suatu karboksihemoglobin dan men yebabkan hipoksia.
F. Mekanisme Trauma Inhalasi Mekanisme trauma dibagi 2
:
1. Inhalasi Carbon Monoksida (CO) CO merupakan gas yang dapat merusak oksigenasi jaringan , dalam darah berikatan dengan Hb dan memisahkan Hb dengan O2 sehingga akan menghalangi penggunaan oksigen. 2. Trauma panas langsung mengenai saluran nafas Sering mengenai saluran nafas bagian atas jarang mengenai bagian bawah karena sebelum mencapai trachea secara reflek terjadi penutupan plica dan penghentian spasme laryng. Edema mukosa akan timbul pada saluran nafas bagian atas yang menyebabkan obstruksi lumen, 8 jam pasca cedera. Komplikasi trauma ini merupakan penyebab kematian terbanyak. Cedera Termis
Menimbulkan gangguan sirkulasi keseimbangan cairan & elektrolit , sehingga berakibat terjadi perubahan permeabilitas kapiler dan menyebabkan odema selanjutnya terjadi syok hipovolemi Kejadian ini akan menimbulkan : a. Paru Perubahan inflamatorik mukosa bagian nafas bawah, akan menimbulkan gangguan difusi oksigen Acquired Respiratory Distr ess Syndrome(ARDS), ini akan timbul hari ke – 4 dan 5 pasca cedera termis b. Hepar SGOT, SGPT meningkat c. Ginjal (gagal ginjal akut) d. Lambung Stres Ulcer e. Usus Illeus menyebabkan translokasi bakteri kemudian terjadi sepsis yang menyebabkan perforasi akhirnya terjadilah peritonitis Macam Fase
a ) Fase Sub-Akut Terjadi setelah shock teratasi, luka terbuka disini akan menimbulkan : Proses Inflamasi disertai eksudasi dan kebocoran protein. Infeksi yang menimbulkan sepsis. Proses penguapan cairan tubuh disertai panas (evaporasi heat loss).
b ) Fase Lanjut Terjadi setelah penutupan luka sampai terjadi maturasi. Masalah yang timbul adalah jaringan parut, kontraktur dan deformitas akibat kerapuhan jaringan atau organ struktural.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pulse oximetry Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat palsu akibat ikatan CO terhadap hemoglobin sehingga kadar karboksihemoglobin seringkali diartikan sebagai oksihemaglon
Analisa Gas Darah Untuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan asam basa dan kadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran rumah tangga dan biasanya terjadi peningkatan kadar laktat plasma
Elektrolit Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari resusitasi cairan dalam jumlah besar
Darah lengkap Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sesaat setelah trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif akibat pemulihan volume intravaskular.
Anemia
berat
biasanya
terjadi
akibat
hipoksia
atau
ketidakseimbangan hemodinamik. Peningkatan sel darah putih untuk melihat adanya infeksi. 2. Foto Thoraks Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul sesudahnya termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS 3. Laringoskopi dan bronkoskopi fiberoptik Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Pada bronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga, eritema, sputum dengan arang, petekie, daerah pink sampai abu-abu karena nekrosis, ulserasi, sekresi, mukopurulen. Bronkoskopi serial berguna untuk menghilangkan debris dan sel-sel nekrotik pada kasus-kasus paru atau jika suction dan ventilasi te kanan positif tidak cukup memadai. H. Penatalaksanaan
Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting untuk penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat kematian. Pengobatan untuk trauma inhalasi adalah bersifat suportif. 1. Airway Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalasi maka sebelum dikirim ke pusat luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan nafas sebelum terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi 24-48 jam setelah kejadian, dimana jika terjadi edema maka yang diperlukan adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika intubasi oral tidak dapat dilakukan. 2,4,15,16,17
2. Breathing Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernapasan, susah bernapas, stridor, batuk, retraksi suara nafas bilateral atau tanda-tanda keracunan CO maka dibutuhkan oksigen 100% atau oksigen tekanan tinggi yang akan menurunkan waktu paruh dari CO dalam darah.1,2,3 3. Circulation Pengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui stabilitas hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi cairan intravena. Pada pasien dengan trauma inhalasi biasanya dalam 24 jam pertama digunakan cairan kristaloid 40-75% lebih banyak dibandingkan pasien yang hanya luka bakar saja. 1,3 4. Neurologik Pasien yang berespon/sadar membantu untuk mengetahui kemampuan mereka untuk melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali memerlukan analgetik poten.2 5. Luka bakar Periksa seluruh tubuh untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka bakar. Cuci NaCl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat toksik yang bermakna.2 6. Medikasi1,2
Kortikosteroid : digunakan untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema
Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien dengan kerusakan paru
Amyl dan Sodium Nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi harus berhati-hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO karena obat ini dapat menyebabkan methahemoglobinemia. Oksigen dan Sodium tiosulfat juga
dapat
sebagai
antidotum
sianida,
antidotum
yang lain
adalah
hidroksikobalamin dan EDTA. Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokonstriksi. Pada kasus-kasus berat bronkodilator digunakan secara intavena. I. Komplikasi
Trauma paru berat, edema, dan ketidakmampuan untuk oksigenasi atau
ventilasi yang adekuat dapat menyebabkan kematian Keracunan CO dan inhalasi dari hasil pembakaran yang lain secara bersamaan
dapat menyebabkan hipoksemia, trauma organ dan morbiditas.
J. Diagnosa dan Asuhan Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d obstruksi tracheobronchiale, trauma inhalasi. 2. Gangguan ventilasi spontan b/d keletihan otot pernafasan 3. Gangguan pertukaran gas b/d ventilasi-perfusi, edema paru 4. Nyeri Akut b/d agen cedera zat kimia gas CO2 5. Resiko Infeksi No
1
Diagnosa Keperawatan
Bersihan
jalan
nafas
tidak efektif b/d obstruksi tracheobronchiale, trauma inhalasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi Keperawatan
NOC : Respiratory status : Ventilation Respiratory status : Airway patency Aspiration Control
NIC : Airway suction Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal Monitor status oksigen pasien Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
Kriteria Hasil : batuk Mendemonstrasikan efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) mengidentifikasikan Mampu dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas
Airway Management Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Lakukan suction pada mayo Berikan bronkodilator bila perlu Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2
2
Gangguan spontan
ventilasi b/d
keletihan
otot pernafasan
NOC : Respiratory status : Ventilation Respiratory status : Airway patency Aspiration Control Kriteria Hasil : batuk Mendemonstrasikan efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) mengidentifikasikan Mampu dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas
3
Gangguan pertukaran gas b/d
ventilasi-perfusi,
Airway Management Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Lakukan suction pada mayo Berikan bronkodilator bila perlu Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2
NOC : NIC : Status : Gas Respiratory exchange Airway Management Respiratory Status : ventilation
Vital Sign Status
edema paru
Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan batuk Mendemonstrasikan efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) tanda vital dalam Tanda rentang normal
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Lakukan suction pada mayo Berika bronkodilator bial perlu Barikan pelembab udara Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2
Respiratory Monitoring
4
Nyeri
Akut
b/d
agen
NOC : Pain Level,
Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal Monitor suara nafas, seperti dengkur Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot Catat lokasi trakea Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis) Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
NIC : Pain Management Lakukan pengkajian nyeri secara
cedera zat kimia gas CO2
Pain control, Comfort level Kriteria Hasil : Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Tanda vital dalam rentang normal
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor presipitasi nyeri Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi Ajarkan tentang teknik non farmakologi Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri Evaluasi keefektifan kontrol nyeri Tingkatkan istirahat Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration lokasi, karakteristik, Tentukan kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi Cek riwayat alergi Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu pilihan analgesik Tentukan tergantung tipe dan beratnya nyeri Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat efektivitas analgesik, Evaluasi tanda dan gejala (efek samping)
5
Resiko Infeksi
NOC : Immune Status Knowledge : Infection control Risk control Kriteria Hasil : Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi proses Mendeskripsikan penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya, kemampuan Menunjukkan untuk mencegah timbulnya infeksi Jumlah leukosit dalam batas normal Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC : Infection Control (Kontrol infeksi) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain Pertahankan teknik isolasi Batasi pengunjung bila perlu Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing Tingktkan intake nutrisi Berikan terapi antibiotik bila perlu Infection Protection (proteksi terhadap infeksi) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal Monitor hitung granulosit, WBC Monitor kerentanan terhadap infeksi Batasi pengunjung Saring pengunjung terhadap penyakit menular Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko Pertahankan teknik isolasi k/p
Berikan perawatan kuliat pada area epidema Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase Ispeksi kondisi luka / insisi bedah Dorong masukkan nutrisi yang cukup Dorong masukan cairan Dorong istirahat Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksI
Daftar Pustaka
Argenta, L.C., Inhalation Injury, Basic Science for Surgeon : A Review, Saunders, North Carolina, 2004 Craig Feied, Inhalation Injury, available at www.NCEMI.com, 2006 Guyton, AC., Pernafasan, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, EGC, 2000 Luhulima, J. W., Thorax, Anatomi Program Pendidikan Dokter, Jil id 4, Bagian Anatomi FKUH, Makassar, 2001 Snell, RS., Cavitas Thoracis, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Bagian 1, Edisi 3, EGC, 1997 Putz, R., Alat Pernafasan, Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 1, Edisi 21, EGC, 2006 Holleran, RS., Burn Trauma, Air and Surface Patient Transport Principles and Practice, Third edition, Mosby, Ohio, 2003 Lynge, DC., Traumatic Injury, Surgical Problems and Procedurs in Primary Care, McGraw Hill, Washington, 2001 Way, LW., Burn and Other Thermal Injuries, Current Surgical Diagnosis and Treatment, 11 th Edition, McGraw Hill, Boston, 2003 Robert H. Demling., Pulmonary Problems in The Burn Patient, available at www.burnsurgery.org, 2000 Awori N., Luka Bakar, Bedah Primer Trauma, EGC, Jakarta, 2000 Beasly R.Thorne H. Grabb & Smith’s Plastic Surgery Six Edition. Associate Professor of Plastic Surgery.NYU Medical Center. New York. 2007. 139-141