1
LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN KARSINOMA ADENOID KISTIK NASOFARING T3N1M0
Oleh : Rokhaeni
Pembimbing : dr. Imam Prabowo, Sp. THT-KL
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 ILMU KESEHATAN THT-KL FK UNS RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2015
[Type text]
i
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan neoplasma ganas regio kepala
leher yang berasal dari kelenjar saliva. Neoplasma jenis ini pertama kali diungkapkan oleh Theodor Billroth pada tahun 1856 sebagai neoplasma jinak dan dikenal dengan nama silindroma. Hingga akhirnya pada tahun 1930, Spies mengubah namanya menjadi karsinoma adenoid kistik ( Bradley, 2004). Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan tumor kepala leher yang jarang ditemui. Kejadiannya hanya kurang dari 1% dari seluruh kasus keganasan kepala dan leher. Sedangkan, nasofaring merupakan lokasi yang jarang terjadi pada tumor ini dan jumlahnya kurang dari 4% dari seluruh karsinoma adenoid kistik kepala leher. Sebagian besar kasus ACC terjadi pada dekade kelima dan keenam kehidupan, perempuan lebih banyak daripada laki-laki (1,3:1) (Mendenhall et al ., ., 2004; Kokemueller et al ., ., 2004; da Cruz Perez et al ., ., 2006; Jaso dan Malhotra, 2011; Khademi et al., 2011; Pushpanjaliet Pushpanjali et al ., ., 2014). Etiologi dari karsinoma adenoid kistik (ACC) masih belum diketahui secara pasti. Hanya sedikit data yang menyajikan faktor risiko ras, geografis, paparan serta faktor risiko lainnya yang spesifik terkait perkembangan penyakit ini (Dillon et al ., ., 2015). Karsinoma adenoid kistik (ACC) dikenal dengan temuan klinis yang lama dan kecenderungan lamanya onset metastasis jauh ACC juga memiliki karakteristik kecenderungan penyebaran perineural yang tinggi, invasi limfatik yang jarang, rekurensi lokal multipel dan metastasis jauh yang berlangsung lama.Pada kebanyakan kasus, pertumbuhan tumor tidak disadari sampai akhirnya menginvasi saraf dan struktur lokal.Sehingga, saat ditemukan penyakit ini muncul sebagai penyakit yang invasive (Bradley, 2004; Lloyd et al ., ., 2011; Jaso dan Malhotra, 2011 ). RohenRokhaeni, 2015 2
Karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif secara lokal, sehingga cenderung mengalami rekurensi. Dalam sebuah tinjauan kasus karsinoma adenoid kistik nasofaring, 74,3% pasien ditemukan dalam stadium lanjut pada saat pemeriksaan awal. Metastase jauh sering terjadi pada 39% pasien dan lokasi metastase jauh yang paling sering adalah paru dan tulang (Wiseman et al ., ., 2002; Jaso dan Malhotra, 2011; Kannan et al ., ., 2015). Oleh karena jarangnya insidensi karsinoma adenoid kistik ini pada nasofaring, membuat penegakan diagnosis, dan pilihan terapi sulit dilakukan.
B. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui etiologi, patogenesis dan gejala klinis karsinoma adenoid kistik nasofaring, sehingga penegakan dan penatalaksanaan karsinoma adenoid adenoid kistik lebih tepat. C. Manfaat
Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui etiologi, faktor risiko dan patogenesis dari karsinoma adenoid kistik nasofaring. Manfaat klinis untuk mengetahui penegakan diagnostik dan penatalaksanaan pada kasus karsinoma adenoid kistik nasofaring.
RohenRokhaeni, 2015 3
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kelenjar Saliva
Sistem kelenjar saliva manusia dapat dibagi menjadi dua kelompok eksokrin yang berbeda. Glandula/kelenjar saliva mayor termasuk glandula parotis, glandula submandibularis, dan glandula sublingualis. s ublingualis. Selain Sela in itu, pada mukosa traktus aerodigestivus tersusun atas ratusan kelenjar kecil, yaitu kelenjar saliva minor. Fungsi utama kelenjar saliva adalah untuk mensekresi saliva, yang berperan dalam lubrikasi, digesti, imunitas dan seluruh pemeliharaan homeostasis dalam tubuh manusia (Holsinger dan Bui, 2007). 2007). Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva terbesar, terletak bilateral di depan telinga antara ramus mandibularis dan processus mastoideus dengan bagian yang meluas ke muka di bawah lengkung zigomatik. Kelenjar submandbularis merupakan kelenjar saliva terbesar kedua yang terletak pada dasar mulut di bawah korpus mandibula. Salurannya bermuara melalui lubang yang terdapat di samping frenulum lingualis. Kelenjar sublingualis adalah kelenjar saliva mayor terkecil dan terletak paling dalam, pada dasar mulut antara mandibula dan otot genioglossus. Masing-masing kelenjar sublingualis sebelah kanan dan kiri bersatu untuk membentuk massa kelenjar di sekitar frenulum lingualis.Sedangkan, kelenjar saliva minor terdiri dari kelenjar lingualis, bukalis, labialis, palatina, dan glossopalatina. Kelenjar-kelenjar ini berada di bawah mukosa dari bibir, lidah, pipi, pipi, serta palatum.
[Type text]
Gambar 2.1Struktur anatomi kelenjar saliva(Netter, 2014) 1. Histologi Kelenjar Saliva
Kelenjar saliva merupakan kelenjar merokrin yang bentuknya berupa tubuloasiner atau tubuloaveoler. tubuloaveoler. Bagian dari kelenjar saliva yang menghasilkan sekret disebut asinus. Berikut adalah sel-sel yang menyusun asini kelenjar saliva (Junqueria dan Carneiro, 2003).
Asini serous Asini serous tersusun dari sel-sel berbentuk piramid yang mengelilingi lumen kecil dan berinti bulat. Di basal sel terdapat sitoplasma basofilik dan di apeks terdapat butir-butir pro-enzim eosinofilik, yang akan disekresikan ke lumen asini menjadi enzim. Hasil sekresi aini serous berisi enzim ptialin dan bersifat jernih dan encer seperti air (Junqueria dan Carneiro, 2003).
Asini mukous Asini mukous tersusun dari sel-sel berbentuk kuboid sampai kolumner yang mengelilingi lumen kecil dan memiliki inti pipih atau oval yang terletak di basal. Sitoplasma asini mukous yang berada di basal sel bersifat basofilik sedangkan daerah inti dan apeks berisi musin yang bewarna pucat. Hasil sekresi asini mukous berupa musin yang sangat kental (Junqueria dan Carneiro, Ca rneiro, 2003). RohenRokhaeni, 2015 5
Asini campuran Asini campuran mempunyai struktur asini serous serta mukous. Bagian serous yang menempel pada bagian mukous tampak sebagai bangunan berbentuk bulan sabit (Junqueria dan Carneiro, 2003). Pada kelenjar saliva juga ditemukan struktur laindi antara sel epitel dan lamina basalis, yaitu mioepitel (sel basket). Mioepitel terdapat di antara membran basalis dan sel asinus. Sel ini berbentuk gepeng, berinti gepeng, memiliki sitoplasma panjang yang mencapai sel-sel sekretoris, dan memiliki miofibril yang kontraktil di dalam sitoplama sehingga membantu memeras sel sekretoris mengeluarkan hasil sekresi (Junqueria dan Carneiro, 2003). Hasil sekresi kelenjar saliva akan dialirkan ke duktus interkalatus yang tersusun dari sel-sel berbentuk kuboid dan mengelilingi lumen yang sangat kecil. Beberapa duktus interkalatus akan bergabung dan melanjut sebagai duktus striatus atau duktus intralobularis yang tersusun dari sel-sel kuboid tinggi dan mempunyai garis-garis di basal dan tegak lurus dengan membrana basalis yang berfungsi sebagai transport ion (Junqueria dan Carneiro, 2003). Duktus striatus dari masing – masing masing lobulus akan bermuara pada saluran yang lebih besar yang disebut duktus ekskretorius atau duktus interlobularis.
Gambar 2.2. Histologi fungsional kelenjar saliva (Holsinger dan Bui, 2007)
RohenRokhaeni, 2015 6
2. Neurovaskularisasi kelenjar saliva
Vaskularisasi glandula parotis berasal dari cabang arteri carotis eksterna. Baik glandula submandibularis dan sublingualis mendapat vaskularisasi dari arteri submentalis dan arteri sublingualis, cabang arteri lingualis, cabang arteri fasialis (Holsinger dan Bui, 2007). Glandula parotis mendapat persarafan parasimpatis dari nukleus salivatorius
inferius
melalui
nervus
glossopharyngeus.
Glandula
sublingualis dan submandibularis mendapat inervasi parasimpatis dari korda timphani nervus fasialis. Sedangkan, rangsang simpatis terhadap kelenjar saliva mayor tersebut diinervasi oleh plexus karoticus eksternus dari ganglion servikalis superior melalui nervus thoracicus. Kelenjar saliva minor mendapatkan inervasi parasimpatis postganglion dari nervus lingualis cabang nervus trigeminus (Holsinger dan Bui, 2007).
B. Karsinoma Adenoid Kistik Nasofaring (NACC)
Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan neoplasma ganas regio kepala leher yang berasal dari kelenjar saliva. Neoplasma jenis ini pertama kali diungkapkan oleh Theodor Billroth pada tahun 1856 sebagai neoplasma jinak dan dikenal dengan nama silindroma. Hingga akhirnya pada tahun 1930, Spies mengubah namanya menjadi karsinoma adenoid kis tik (Bradley, 2004). 1. Epidemiologi
Sekitar 10-15% dari tumor glandula saliva merupakan karsinoma adenoid kistik. Karsinoma adenoid kistik (ACC) paling sering terjadi di kelenjar saliva minor dan kelenjar sumandibularis dan yang lebih jarang, di kelenjar parotis dan sublingualis (Johnson dan Rosen, 2014). Lokasi lain yang lebih jarang ditemukan yaitu pada traktus aerodigestivus, kelenjar lakrimalis, dan kelenjar adneksa kulit. Sebagian besar kasus ACC terjadi pada decade keempat dan keenam keenam kehidupan, kehidupan, perempuan perempuan lebih banyak terjangkit daripada laki-laki (1,3:1) (Mendenhall et al ., ., 2004; Khademi et al., 2011; Pushpanjaliet Pushpanjali et al ., ., 2014).
RohenRokhaeni, 2015 7
Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan tumor kepala leher yang jarang ditemui.Kejadiannya hanya kurang dari 1% dari seluruh kasus keganasan kepala dan. Meskipun demikian, ACC merupakan tumor ganas glandula saliva minor yang paling sering terjadi, dan palatum merupakan lokasi yang paling banyak ditemukan. Lokasi lain yang lebih jarang ditemukan antara lain vulva, cervix, glandula Cowper, esophagus, canalis acusticus eksternus, auris media, dan nasofaring. Nasofaring merupakan lokasi yang jarang terjadi pada tumor ini dan jumlahnya kurang dari 4% dari seluruh karsinoma adenoid kistik kepala leher. Yang lebih jarang lagi, ACC juga kadang ditemukan sebagai tumor intraosseus primer di mandibula dan maxilla leher (da Cruz Perez et al ., ., 2006; Doddet Dodd et al ., ., 2006; Kokemueller et al ., ., 2004; Spiro et al , 1979; Dodd et al ., ., 2006; Jaso dan Malhotra, 2011; Pushpanjali et al., 2014).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi dari karsinoma adenoid kistik (ACC) masih belum diketahui secara pasti. Oleh karena jarangnya insidensi tumor ini, hanya sedikit data yang menyajikan faktor risiko ras, geografis, paparan serta faktor risiko lainnya yang spesifik terkait perkembangan penyakit ini (Dillon et al ., ., 2015). Tidak ada bukti dan identifikasi kuat terkait faktor risiko genetik dan lingkungan yang berhubungan dengan ACC. Kerusakan genome DNA yang terjadi pada penyakit ACC sama halnya seperti pada studi penyakit kanker lainnya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa abnormalitas kromosom dan delesi genetik terjadi pada pasien ACC. Beberapa bukti mengarah pada hubungan antara mutasi kromosom 6 dan 12 dan delesi materi genetik kromosom 19. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa gen supresi tumor p53 mengalami inaktivasi akibat perkembangan dan keagresifan dari neoplasma ini (Ellis dan Auclair, 2008; DeLong dan Burkhart, 2013).
RohenRokhaeni, 2015 8
Faktor risiko yang diduga berkaitan dengan penyakit tumor kelenjar saliva, pada umumnya, meliputi kebiasaan merokok, predisposisi genetik, infeksi virus, paparan di pabrik karet, pekerjaan sebagai tukang pipa ledeng, beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan kayu, paparan asbes, dan paparan komponen nikel. Satu-satunya faktor risiko yang telah diyakini adalah radiasi ion. Orang yang pernah selamat dari bom atom dan pasien kanker yang diterapi dengan radiasi, akan mengalami tumor kelenjar saliva dengan risiko yang lebih tinggi (Rousseau dan Badoual, 2011). 3. Patogenesis
Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan tumor ganas derajat tinggi. Tumor ini paling banyak berasal dari glandula saliva minor. Biasanya tumor ini memiliki kapsul dan aktif menginfiltrasi jaringan normal di sekitarnya (DeLong ( DeLong dan Burkhart, 2013). Investigasi tentang pathogenesis ACC terhambat karena kurangnya deretan sel yang divalidasi. Meskipun demikian, penelitian tentang jaringan tumor dan, saat ini, xenograf primer tela h memberikan pandangan yang menarik. Analisis RNA tumor dengan microarray menunjukkan bahwa ekspresi gen ACC berkaitan dengan diferensiasi mioepitel yang panjang dengan kadar transkripsi faktor Sox4 yang tinggi. Yang kemudian secara normal mengatur perkembangan embrionik dan juga merupakan kandidat oncogene manusia (Liu et al., 2015; Dillon Dillonet et al ., ., 2015). 2015 ). Overekspresi gen lain mencakup casein kinase 1-epsilon and frizzled-7 , yang berimplikasi dalam jalur sinyal Wnt/b-catenin Wnt/b-catenin dan dalam tumorigenesis.
Temuan
lain
adalah
bahwa
tumor
ACC
sering
memproduksi reseptor tirosin kinase c-KIT dalam kadar tinggi dan juga ekspresi berlebihan reseptor faktor pertumbuhan lainnya, termasuk firoblast growth factor receptor 1 (FGFR1), epidermal growth factor receptor (EGFR), dan/atau dan/atau human epidermal receptor-2 (HER-2)( Liu Liu et al.,2012; al., 2012; Dillonet Dillonet al ., ., 2015).
RohenRokhaeni, 2015 9
Tumor ACC menunjukkan adanya mutasi gen somatik.Tumor ACC mengakibatkan adanya penambahan atau pengurangan kromosom regio spesifik, termasuk delesi kromosom 1p35-36. Delesi lain yang sering terjadi, yaitu pada 6q24, 12q, dan 14q. Namun, perubahan yang paling menarik, adalah tranlokasi antara kromosom g1 dan 9p. Persson et al merupakan yang pertama kalimelaporkan penyusunan ulang gen terhadap faktor transkripsi MYB dan faktor nucleus I/B (NFIB). Translokasi ini tampaknya spesifik untuk ACC, ditemukan hingga 86% dalam kasus tumor ini, dan mungkin bermanfaat dalam membedakan tumor ini dengan berbagai bentuk karsinoma lainnya. Perubahan NFIB juga dapat menjadi hal yang signifikan karena mutasi gen ini ditemukan dalam beberapa kasus ACC.Studi terkini semakin menguatkan peran MYB dalam pathogenesis ACC, dan mereka telah mengonfirmasi bahwa MYB dapat menjadi target yang bagus untuk terapi di masa mendatang (Liu et al., al., 2012; Ho et al ., ., 2013). 4. Klasifikasi
Karsinoma adenoid kistik merupakan tumor dengan gambaran mikroskopik yang heterogen, dan terbagi menjadi 3 subtipe tumor berbeda berdasarkan pola pertumbuhannya. Ada tiga subtype adenoid kistik karsinoma
yang
dideskripsikan
oleh
Perzin
et
al (1978), yang
mencerminkan berbagai derajat perkembangan diferensiasi sel dan agresivitasnya, yaitu tipe cribiformis (50%), tipe tubular (30%), dan tipe solid (10%) (Kannan et al ., ., 2015). Subtipe cribiformis merupakan yang paling sering terjadi. Ter susun atas sekumpulan sel basaloid mengelilingi rongga cystlike cystlike (pseudokista) dengan ukuran yang bervariasi, membentuk gambaran “ Swiss cheese”. cheese”. Pseudokista tersebut mengandung glikosaminoklikan basofilik dan/atau eosinofilik, dan lamina basalis yang terkadang acid-Schiff-positive (Ellis dan Auclair, 2008). Subtipe tubular, merupakan subtipe tersering kedua dan paling berdiferensiasi, menunjukkan pola sitologi yang serupa dengan sel tumor RohenRokhaeni, 2015 10
tersusun menggerombol dikelilingi oleh sejumlah sel eosinofilik, dan stroma hialine. Terkadang, komponen stroma meningkat, menekan bentuk sel tumor menjadi lebih tipis, membentuk “trabekula”. Subtipe “trabekula”. Subtipe solid lebih sedikit berdiferensiasi sehingga merupakan subtipe paling ganas dan agresif. Subtipe ini mengandung sel basal yang saling beragregasi tanpa adanya bentuk kista atau tubular. Sel tumor tampak lebih besar dan pleomorfisme nuclear lebih tegas (Ellis dan Auclair, 2008).
Gambar 2.3.1) Pola pertumbuhan pertumbuhan cribiformis menunjukkan menunjukkan beberapa pseudokista
prominen dikelilingi sel sel basal dengan dengan nuclei hiperkromatik hiperkromatik (HE, pembesaran pembesaran 200x); 2) 2) tampilan resolusi tinggi menggambarkan menggambarkan karakteristik membrane basalis eosinofilik dalam pseudokista (HE, pembesaran 400x) (Jaso dan Malhotra, 2011)
Tumor derajat I hanya terdiri atas pola cribiformis atau tubular, tumor derajat II terdiri atas pola pertumbuhan cribiformis atau tubular dengan 30% komponen solid, dan tumor derajat III tersusun lebih dari 30% komponen solid. Adanya komponen solid telah menjadi predictor konsisten atas prognosis yang buruk pada beberapa kasus dalam hal metastasis jauh dan angka survival jangka panjang. Namun, penentuan stadium menggunakan the American Joint Committee on Cancer lebih mampu memprediksikan prognosis dan metastasis jauh. (Jaso dan Malhotra, 2011; Johnson dan Ronsen, 2014; Pushpanjali et al ., ., 2014)
RohenRokhaeni, 2015 11
5. Gejala dan Tanda
Karsinoma adenoid kistik (ACC) dikenal dengan temuan klinis yang lama dan kecenderungan lamanya onset metastasis jauh. Selain itu, referensi lain menyebutkan ACC memiliki karakteristik kecenderungan penyebaran perineural yang tinggi, invasi limfatik yang jarang, rekurensi lokal multipel dan metastasis jauh yang berlangsung lama (Lloyd et al ., ., 2011; Bradley, 2004 ) Gejala karsinoma adenoid kistik nasofaring yang paling sering ditemukan yaitu, epistaksis, gejala obstruksi hidung yang progresif, gangguan fungsi tuba Eustachius, dan gejala yang berkaitan dengan invasi ke basis kranium yaitu diplopia, nyeri pada wajah, gangguan pergerakan mata, serta yang jarang terjadi, Sindrom Horner. Interval antara onset penyakit dan onset gejala awal yang muncul diestimasikan terjadi dalam waktu 2 hingga 5 tahun (Pushpanjali et al., 2014; al., 2014; Kannan et al ., ., 2015). Pertumbuhan tumor yang lambat tetapi progresif merupakan ciri khas dari adenoid kistik karsinoma nasofaring. Pertumbuhan tumor yang lambat dan indolen ini biasanya bersifat asimtomatik. Pada kebanyakan kasus, pertumbuhan tumor tidak disadari sampai akhirnya menginvasi saraf dan struktur lokal. Sehingga, saat ditemukan penyakit ini muncul sebagai penyakit yang invasive (Bradley, 2004; Jaso dan Malhotra, 2011; Johnson dan Rosen, 2014). Karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif secara lokal, sehingga cenderung mengalami rekurensi. Dalam sebuah tinjauan kasus karsinoma adenoid kistik nasofaring, 74,3% pasien ditemukan dalam stadium lanjut pada saat pemeriksaan awal. Metastase pada limfonodi jarang terjadi (15%). Adanya metastase jauh sering terjadi pada 39% pasien. Lokasi metastase jauh yang paling pali ng sering adalah paru dan tulang, sedangkan yang jarang ditemukan yaitu metastase pada hepar dan otak. Faktor risiko terjadinya metastasis jauh, antara lain pola histology solid, ukuran tumor lebih dari 3 cm, dan keterlibatan limfonodi regional (Jaso
RohenRokhaeni, 2015 12
dan Malhotra, 2011; Johnson dan Rosen, 2014; Dillon et al ., ., 2015; Kannan et al ., ., 2015 ). 6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Endoskopi Pemeriksaan
nasoendoskopi
akan
memberikan
informasi
tentang keterlibatan mukosa dan perluasan tumor serta membantu saat biopsi. Namun pemeriksaan endoskopi tidak dapat menentukan peluasan
tumor
ke
arah
dalam
dan
keterlibatan
dasar
tengkorak.Pemeriksaan endoskopi dapat dilakukan dengan anestesi lokal baik dengan endoskop kaku atau serat optik (flexible) (Wei dan Chua, 2012). b. Biopsi Jaringan Pada umumnya, biopsi jarum halus( fine needle aspiration) aspiration) saja tidak cukup untuk menentukan diagnosis yang pasti. Biasanya diperlukan bagian dari tumor primer yang diambil secara operatif sehingga ahli hematopatologi mendapatkan jaringan yang cukup untuk menegakkan diagnosis, dapat melalui biopsi eksisional maupun incisional. Ahli hematopatologi akan memeriksa sampel jaringan di bawah mikroskop, dan perubahan sel dinilai untuk identifikasi histologi tumor yang spesifik (Dillon et al ., ., 2015). Histologi dari adenoid kistik karsinoma khas, dikenal sebagai classic sweet cheese appearance, appearance, dengan sel bulat kecil uniform mengelilingi sel silindris di sentral dan lamina yang mengandung mukoid dan matriks hialin. Pemeriksaan imunohistokimia juga diperlukan untuk menegaskan diagnosis ACC. Sel ACC akan tercat positif terhadap reseptor tirosin kinasi c-KIT c -KIT (CD117) (CD117) dan MYB, tanpa memperhatikan derajatnya (Dillon et al ., ., 2015)
RohenRokhaeni, 2015 13
Gambar 2.4.Fotomikrograf menunjukkan karsinoma adenoid kistik pada pengecatan
imunohistokimia terhadap protein MYB. Lokasi protein digambarkan digambarkan berwarna coklat. Sebagian besar sel tumor tampak tercat sedang hingga kuat, dengan lokalisasi nuklei (Dillon et al ., ., 2015).
c. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk membantu evaluasi lokasi dan perluasan tumor ke arah dalam dan dasar tengkorak serta metastasis regional. CT scan penting untuk mengevaluasi adanya erosi tulang oleh tumor, disamping juga dapat menilai perluasan tumor. Sedangkan, MRI lebih baik daripada CT scan dalam menampilkan jaringan lunak dan membedakan tumor primer dengan jaringan normal. MRI dapat memperlihatkan infiltrasi tumor ke otot-otot dan sinus cavernosus. Pemeriksaan ini juga penting dalam menentukan adanya perluasan ke parafaring dan pembesaran kelenjar getah bening. Namun, MRI mempunyai keterbatasan dalam menilai perluasan yang melibatkan tulang (Wei dan Chua, 2012). 7. Stadium Penyakit
Penentuan stadium karsinoma yang berada di nasofaring ditetapkan berdasarkan the American Joint Committee on Cancer menggunakan sistem TNM (tumor, nodus, metastase) (Deschler dan Day, 2008): Tumor TX : Tumor primer yang tidak dapat dinilai. T0
: Tidak ada tumor primer.
T1
: Tumor terbatas pada nasofaring. RohenRokhaeni, 2015 14
T2
: Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : Tumor meluas ke orofaring dan/atau cavum nasi, tanpa perluasan parafaringeal. T2b : Tumor Tumor meluas ke dalam spatium parafaringeal. T3
: Tumor melibatkan struktur tulang dan/atau sinus paranasales.
T4
: Tumor Tumor telah meluas ke intrakranial dan/atau melibatkan nervus kraniales, fossa infratemporal, hipofaring, orbitae, atau spatium mastikator.
Nodus N0
: Tidak ada metastasis limfonodi regional
N1
: Metastasis limfonodi unilateral, ukuran kurang dari atau sama dengna 6 cm, di atas fossa supraclavicularis
N2
: Metastasis limfonodi bilateral, ukuran kurang dari atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicularis
N3
: Metastasis limfonodi lebih dari 6 cm dan/atau di fossa supraclavicularis
N3a : Ukuran tumor lebih besar dari 6 cm. N3b : Tumor meluas ke fossa supraclavicularis. Metastasis MX : Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 : Tidak ada metastasis jauh M1 : Ada metastasis jauh Pengelompokan Stadium Stadium 0
Tis
N0
M0
Stadium I
T1
N0
M0
Stadium IIA
T2a
N0
M0
Stadium IIB
T1
N1
M0
T2
N1
M0
T2a
N1
M0
T2b
N0
M0
T2b
N1
M0 RohenRokhaeni, 2015 15
Stadium III
T1
N2
M0
T2a
N2
M0
T2b
N2
M0
T3
N0
M0
T3
N1
M0
T3
N2
M0
Stadium IVA T4
N0
M0
T4
N1
M0
T4
N2
M0
Stadium IVB Setiap T
N3
M0
Stadium IVC Setiap T
Setiap N
M1
8. Penatalaksanaan
Tatalaksana utama untuk karsinoma adenoid kistik adalah reseksi bedah radikal yang diikuti dengan radioterapi. Apabila tidak ditemukan keterlibatan limfonodi leher, sebagian besar pengamat merekomendasikan eksisi lokal saja tanpa diseksi leher terhadap pasien, dan radiasi profilaksis pada bagian leher dianggap tidak perlu. Sedangkan, karsinoma dan limfoma nasofaring memiliki struktur histologi yang kemosensitif dan radiosensitif,
sehingga
kombinasi
kemoradioterapi
dipertimbangkan
sebagai pilihan terapi yang cukup tepat untuk neoplasma ini (Khademi et al ., ., 2011; Kannan et al ., ., 2015). Pada kasus karsinoma adenoid kistik nasofaring (NACC), seringnya infiltrasi pada perineural dan perivaskular, membuat tatalaksana bedah ini cukup berisiko. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan bahwa tatalaksana terhadap neoplasma dengan perluasan kearah basis kranium memiliki angka morbiditas tinggi, karena seringnya sekuel dan komplikasi akibat lesi serabut saraf dan vaskuler. Sehingga, pada kebanyakan pasien, peran pembedahan hanya sebatas untuk memperoleh biopsi (Kannan et al ., ., 2015).
RohenRokhaeni, 2015 16
Modalitas terapi dengan radiasi menurut Vikram et al (1983) melaporkan adanya regresi/pengecilan massa tumor pada 965% pasien yang hanya mendapat radioterapi saja. Meskipun demikian, 93% kasus tersebut mengalami rekurensi penyakit dalam waktu 5 tahun. Radioterapi neutron dapat diterapikan pada pasien NACC, karena angka kontrol lokal yang tinggi untuk waktu yang cukup lama (100% pada 5 tahun). Data terbaru mengindikasikan angka kontrol lokal yang menjanjikan, mencapai 93% pada tahun kelima, dengan menggunakan conformal proton beam radiotherapy dosis radiotherapy dosis tinggi (Pommier et al ., ., 2006). Hasil terbaik dapat dicapai dengan kombinasi bedah radikal dan terapi radiasi. Pemberian radioterapi pasca operasi juga dianggap sebagai salah satu strategi untuk mengurangi relaps lokal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, angka control lokal 5 tahun pada pasien yang ditatalaksana bedah diikuti terapi radiasi mencapai 78%, dibandingkan pasien yang hanya mendapat terapi bedah saja 44%; sedangkan untuk angka kontrol lokal 10 tahun, secara berturut-turut, adalah 83% dan 25% (Simpson et al., 1984; Miglianicoet Miglianicoet al ., ., 1987). Balamucki et al (2012) meneliti 44 pasien ACC yang hanya mendapat terapi radiasi definitif saja, 36% di antaranya terbebas dari relaps lokal dalam waktu 10 tahun. Teknik radiasi modern yang cukup efektif melawan ACC, antara lain intensity-modulated radiation therapy, proton beam, dan neutron beam therapies. Kemoterapi masih memiliki peran terbatas pada kasus NACC dan penggunaannya masih didiskusikan. Angka respon tumor terhadap regimen kemoterapi tunggal dan multipel berkisar antara 0%-29%, dengan laporan 7 dari 10 pasien merespon terhadap cisplatin (Dillon et al ., ., 2015). Cisplatin merupakan agen terapi tunggal yang paling aktif. Penggunaan agen kemoterapi yang diberikan secara kombinasi dengan radioterapi, remisi dan keberhasilan telah dilaporkan dalam beberapa kasus. (Alcedo et al ., ., 2004; (Lagha et al ., ., 2012)..
RohenRokhaeni, 2015 17
o
Tatalaksana Tatalaksana Tumor Kelenjar Saliva (NCCN, 2013)
Follow up jika ada indikasi klinis
Benigna Atau Derajat rendah Tumor klinis jinak, atau karsinoma T1, T2
Reseksi bedah komplit Ca adenoid kistik; derajat sedang atau tinggi
Jika tumor meluas atau invasi perineural, pertimbangkan RT
anamnesis dan pemeriksaan fisik: - Tahun pertama, tiap 1-3 bln - Tahun kedua, tiap 2-6 bln - Tahun ketiga-kelima, tiap 4-8 bln - >5 thn, tiap 12 bln Pemeriksaan Radiologi dalam 6 bln setelah pengobatan Monitoring EBV untuk lokasi nasofaring
Pertimbangkan RT
Penyakit rekuren atau persisten
Benigna T3, T4a
Evaluasi bedah
Kel.parotis Lokasi kanker
Reseksi bedah tidak mungkin dilakukan/tidak direkomendasikan
T4b
Kel.saliva lainnya
RT definitive atau Kemo/Radioterapi
Tatalaksana sesuai lokasi kanker dan derajatnya
Penyakit rekuren atau persisten
Follow up
RohenRokhaeni, 2015 18
Follow up
Radioterapi
Pembedahan
Rekurensi lokoregional tanpa RT sebelumnya
Penyakit rekuren atau persisten
Rekurensi lokoregional atau tumor primer kedua dengan RT sebelumnya
Metastasis jauh
Dapat direseksi
Reseksi lengkap
Tak dapat direseksi
Radioterapi ajuvan atau, Pertimbangkan Kemo/RT
Radioterapi atau, Kemo/Radioterapi Pembedahan ± irradiasi ulang ± kemoterapi
Dapat direseksi
irradiasi ulang ± kemoterapi atau kemoterapi
Tak dapat direseksi Lebih utamakan percobaan klinis Lebih utamakan percobaan klinis
Efek merugikan: - Derajat sedang atau tinggi - Margin positif atau dekat - Invasi neural/perineural - Metastasis limfonodi - Invasi limfatik/vaskuler
Status performa (ECOG) 0-2 Status performa (ECOG) 3
Kemoterapi atau, Tatalaksana ekspektan (penyakit yg pertumbuhannya lambat) atau, Metastasektomi selektif Penanganan suportif
RohenRokhaeni, 2015 19
Follow up
Radioterapi
Pembedahan
Rekurensi lokoregional tanpa RT sebelumnya
Penyakit rekuren atau persisten
Rekurensi lokoregional atau tumor primer kedua dengan RT sebelumnya
Dapat direseksi
Reseksi lengkap
Tak dapat direseksi
Pembedahan ± irradiasi ulang ± kemoterapi
Dapat direseksi
irradiasi ulang ± kemoterapi atau kemoterapi
Tak dapat direseksi
Lebih utamakan percobaan klinis
Radioterapi ajuvan atau, Pertimbangkan Kemo/RT
Radioterapi atau, Kemo/Radioterapi
Lebih utamakan percobaan klinis
Metastasis jauh
Efek merugikan: - Derajat sedang atau tinggi - Margin positif atau dekat - Invasi neural/perineural - Metastasis limfonodi - Invasi limfatik/vaskuler
Status performa (ECOG) 0-2 Status performa (ECOG) 3
Kemoterapi atau, Tatalaksana ekspektan (penyakit yg pertumbuhannya lambat) atau, Metastasektomi selektif Penanganan suportif
RohenRokhaeni, 2015 19
9. Prognosis
Prognosis karsinoma adenoid kistik tergantung pada subtipe histologi, lokasi anatomis tumor, dan metastase. Perlu diketahui bahwa tumor dengan dominasi pola tubular memiliki prognosis paling baik, sedangkan dominasi pola solid memiliki prognosis yang buruk. Hal ini berkaitan dengan insidensi metastasis jauh dan infiltrasi perineural sehingga angka survival 15 tahun hanya berkisar 5% (Soprani et al ., ., 2007). Interval bebas penyakit ini dalam sebuah penelitian berkisar antara 8 hingga 150 bulan. Karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif secara lokal, sehingga cenderung mengalami rekurensi. Rekurensi lokal dan jauh dapat terjadi bersamaan (Oplatek et al ., ., 2010). Meskipun telah menjalani terapi lokal yang agresif, sebagian besar pasien (60%) akan mengalami rekurensi. Sekitar 50% rekurensi terbukti secara klinis akan terjadi dalam waktu 2 tahun setelah pembedahan dan radioterapi (Bradley,
9. Prognosis
Prognosis karsinoma adenoid kistik tergantung pada subtipe histologi, lokasi anatomis tumor, dan metastase. Perlu diketahui bahwa tumor dengan dominasi pola tubular memiliki prognosis paling baik, sedangkan dominasi pola solid memiliki prognosis yang buruk. Hal ini berkaitan dengan insidensi metastasis jauh dan infiltrasi perineural sehingga angka survival 15 tahun hanya berkisar 5% (Soprani et al ., ., 2007). Interval bebas penyakit ini dalam sebuah penelitian berkisar antara 8 hingga 150 bulan. Karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif secara lokal, sehingga cenderung mengalami rekurensi. Rekurensi lokal dan jauh dapat terjadi bersamaan (Oplatek et al ., ., 2010). Meskipun telah menjalani terapi lokal yang agresif, sebagian besar pasien (60%) akan mengalami rekurensi. Sekitar 50% rekurensi terbukti secara klinis akan terjadi dalam waktu 2 tahun setelah pembedahan dan radioterapi (Bradley, 2004).
RohenRokhaeni, 2015 20
21
BAB III LAPORAN KASUS
Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia 44 tahun, dengan nomor rekam medis 013091xx, alamat Jalan Jayapura Sumbersari Rimbo, Ulu Tebo, Jambi yang datang ke Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 1 Agustus 2015. Pasien datang dengan kel uhan mimisan. Riwayat penyakit sekarang: pasien mengeluhkan mimisan yang terjadi 1 hari yang lalu. Mimisan hanya menetes, dan berhenti sendiri. Saat datang ke poliklinik THT-KL, mimisan sudah berhenti, riwayat mimisan dialami pasien sejak 3 bulan sebelumnya, sedikit dan bisa berhenti sendiri. Hidung tersumbat (+) sebelah kiri yang dirasakan makin memberat sejak 2 minggu yang lalu, penurunan penciuman (-), hidung keluar cairan yang bau (-). Telinga keluar cairan (-), t elinga gatal, telinga berdengung (+) sebelah kiri, nyeri telinga (-), penurunan pendengaran (+) pada telinga kiri. Keluhan pada tenggorokan (-). Pandangan dobel (-). Nyeri kepala (+) hilang-timbul, banjolan di leher (+). Nafsu makan dan minum dalam batas normal, nyeri menelan (-), rasa mengganjal di tenggorok (+). Penurunan berat badan (-). Riwayat penyakit dahulu : riwayat hipertensi disangkal, riwayat sakit gula disangkal,
riwayat alergi disangkal, riwayat kebiasaan merokok disangkal,
riwayat pekerjaan : penadah karet sejak 14 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik: Keadaan umum pasien kompos mentis, status gizi kesan cukup. Tanda vital: tekanan darah 100/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, respirasi rate 18 kali per menit, suhu 36,6 0C. Tinggi badan 158 cm, berat badan 41 kg. Pemeriksaan THT: Pemeriksaan auris dekstra – sinistra: sinistra: liang telinga lapang, serumen (-), discharge (-), membran timpani intak, reflek cahaya (+). Hidung: cavum nasi dekstra sinistra lapang, discharge (-), konka inferior eutrofi, deviasi septum (-). Pemeriksaan tenggorokan: uvula di tengah, tonsil T1-T1, dinding faring posterior tenang, aliran darah di dinding faring posterior (-).
[Type text]
Pada pemeriksaan kavum oris tampak massa berbenjol di palatum mole sinistra. Sedangkan, pada pemeriksaan leher tampak benjolan di region colli sinistra, ukuran diameter ±3x3x1 cm, teraba keras, terfiksir, warna lesi sama dengan jaringan sekitarnya, nyeri tekan (-). Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka pasien didiagnosia dengan
limfadenopati colli sinistra
e.c. suspek keganasan
nasofaring. Differensial diagnosa pasien ini karsinoma nasofaring. Pasien mendapatkan terapi sementara: asam folat 2x1 tab, vitamin Bcomplex 2x1 tab, dan asam tranexamat 3x1 tab. Pasien kemudian direncanakan untuk pemeriksaan penunjang laboratorium, MSCT Scan nasofaring, serta nasoendoskopi dan biopsi . Pemeriksaan Penunjang, hasil pemeriksaan laboratorium darah (1 Agustus 2015)
:
Hemoglobin: 12.9 mg/dl, hematokrit:40%, leukosit:11.0 ribu/ul,
trombosit: 306 ribu/ul, eritrosit: 4.60 juta/ul, PT: 12,7 detik, APTT:40,7
detik,
INR:0.980, GDS: 122 mg/dl, HbsAg non reactive. Tanggal 4 Agustus 2015 pasien menjalani pemeriksaan radiologi MSCT scan nasofaring tanpa kontras untuk melihat perluasan dan batas lesi terhadap jaringan sekitarnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan kesan Ca Nasofaring yang mengobliterasi torus tubarius dan fossa rosenmulleri kiri serta perluasan lesi ke parafaringeal space, musculus pterygoid, cavum nasi bilateral, sinus maxilaris bilateral, sinus ethmoidalis bilateral, dan cavum oris dengan osteodestruksi palatum durum, septum nasi bagian posterior dan pterygoid bagian medial; multipel limfadenopati coli bilateral dan submandibula kiri; deviasi septum nasi ke kiri derajat I. Pasien kemudian direncanakan untuk tindakan nasoendoskopi dan biopsi nasofaring. Tanggal 5 Agustus 2015, pasien dikonsulkan ke bagian Jantung untuk mengevaluasi adanya kontraindikasi tindakan pada pasien tersebut. Hasil konsultasi cor compensata, tidak ada tatalaksana khusus dan kontraindikasi tindakan, toleransi risiko ringan.
RohenRokhaeni, 2015 22
Gambar 3.1 Tampak massa berbenjol di palatum dalam pemeriksaan THT
Gambar 3.2 Pemeriksaan nasoendoskopi pasien tanggal 5 Agustus 2015
Kemudian dilakukan tindakan nasoendoskopi nasoendoskopi dan biopsi biopsi nasofaring. Dari pemeriksaan nasoskopi cavum nasi dextra & sinistra didapatkan mukosa hiperemis, sekret (+), konka inferior eutrofi, konka media eutrofi, meatus inferior lapang, meatus media lapang. Tampak massa pada kavum nasi sinistra. Pada pemeriksaan nasofaringoskopi dextra terdapat massa, sekret (+), ostium Tuba Eustachii terbuka, torus tubarius menonjol, fossa Rosen Mulleri dangkal, tampak massa di nasofaring, berbenjol. Sedangkan, pada nasofaringoskopi sinistra tampak massa, sekret (+), ostium Tuba Eustachii, torus tubarius, fossa Rosen Mulleri sulit dievaluasi. Sampel jaringan dari biopsi
nasofaring kemudian dikirim ke
laboratorium patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis. Hasil pemeriksaan mikroskopis tampak tumor berpola epitelial, padat dan kribriformis; struktur tubuluar; sel-sel dengan inti atipi, bersitoplasma. Diagnosis PA yaitu Adenoid cystic carcinoma (Silindroma). Pasien mendapatkan tatalaksana sementara, yaitu asam mefenamat 3x500 mg, Amoxicillin 3x500 mg, dan Asam tranexamat 3x500 mg.
RohenRokhaeni, 2015 23
Tanggal 12 Agustus 2015, pasien melakukan pemeriksaan radiologi foto rontgen thoraks PA dan USG abdomen untuk menentukan stadium karsinoma adenoid kistik nasofaring. Hasil pemeriksaan foto thoraks PA tak tampak gambaran pulmonal dan bone metastasis. Dari hasil USG abdomen tak tampak proses abdominal metastase; metast ase; tak tampak efusi ef usi pleura maupun ascites; tak tampak limfadenopati
paraaorta,
parailiaka,
dan
inguinal
kiri
kanan;
Hepar/GB/Lien/Pankreas/Kedua Ginjal/Bladder/Prostat tak tampak kelainan.
Gambar 3.3 Hasil USG abdomen dan Foto rontgen thorax PA
RohenRokhaeni, 2015 24
Gambar 3.4 Hasil pemeriksaan MSCT scan nasofaring
Tanggal 20 Agustus 2015, pasien kontrol kembali ke poliklinik THT-KL dengan diagnosis Karsinoma adenoid kistik nasofaring T3N1M0. Pasien dikonsultasikan ke bagian radioterapi, dan dijadwalkan menjalani radioterapi di RSUD Dr.Moewardi. Bagian radiologi intervensi merencanakan pasien untuk radioterapi pada tanggal 7 Desember 2015. Pasien disarankan untuk menjalani kemoterapi terlebih dahulu hingga tanggal 4 Desember 2015. Pasien kemudian direncanakan untuk menjalani operasi mengurangi massa (debulking), dan kemoterapi sambil menunggu jadwal radioterapi. Sebelum menjalani operasi, pasien terlebih dahulu menjalani pemeriksaan laboratorium darah dan dikonsulkan ke bagian jantung untuk toleransi tindakan Hasil pemeriksaan laboratorium darah pro operasi debulking (5 September 2015):
Hemoglobin:12.3
mg/d,
hematokrit:
37%,
leukosit:18.1ribu/ul, RohenRokhaeni, 2015 25
trombosit:319 ribu/ul, eritrosit:4.49juta/ul, GDS: 128 mg/dl,
SPOT:114 u/l,
SGPT:189 u/l, creatinin: 0,6 mg/dl, ureum:39 mg/dl, natrium: 136 mmol/L, kalium: 3.4 mmol/L, chlorida:105 mmol/L, albumin: 4.2 g/dl. Oleh karena didapatkan peningkatan pada hasil tes fungsi hepar (SGOT dan SGPT), dan lekosit,
pasien kemudian kemudian dikonsultasikan dan dan dirawat bersama
dengan bagian Penyakit Dalam, pasien dirawat dari penyakit dalam dan mendapatkan terapi curcuma 1x1 tab dan Ciprofloxacin 2x1 Hasil pemeriksaan laboratorium darah (28 September 2015): Hb: 11,5 g/dl, hematokrit: 37%, leukosit: 9,2 ribu/ul, trombosit: 385 ribu/ul, eritrosit: 4,42 juta/ul, GDS: 107 mg/dl, kreatinin: 0,8 mg/dl, ureum: 30g/dl, SGOT: 20 u/l, SGPT: 8 u/l, Anti Hbc total: negative, IgM HAV: nonreaktif, natrium: 137 mmol/L, kalium: 3,8 mmol/L, chlorida: 106 mmol/L. Tanggal 6 Oktober 2015 pasien kontrol ke poliklinik THT-KL dengan keluhan hidung tersumbat makin bertambah di hidung kanan dan kiri, telinga terasa penuh. Dari hasil pemeriksaan fisik THT didapatkan massa di palatum semakin membesar dan mudah berdarah. Sehingga, pasien kemudian menjalani pemeriksaan nasoendoskopi kembali. Kemudian pasien dipertimbangkan untuk menjalani operasi debulking . Tanggal 8 Oktober 2015 pasien direncanakan menjalani operasi debulking massa di cavum nasi.
Gambar 3.5 Massa di palatum berbenjol-benjol dan mudah berdarah
Hasil pemeriksaan laboratorium darah pre operasi (6 Oktober 2015): Hb: 11,7 g/dl, hematokrit: 34%, leukosit: 13,1 ribu/ul, trombosit: 343 ribu/ul, eritrosit:
RohenRokhaeni, 2015 26
3,85 juta/ul, Gol.darah Gol.darah B, PT : 12.4 detik, APTT: APTT: 29,9 detik, GDS: 107 mg/dl, mg/dl, kreatinin: 0,7 mg/dl, ureum: 17 g/dl, SGOT: 24 u/l, SGPT: 11 u/l. Tanggal 7 Oktober 2015 pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi untuk persiapan operasi debulking massa cavum nasi. Pasien dikonsultasikan ke bagian Kardiologi untuk menilai kontraindikasi tindakan operasi. Hasil konsultasi: cor compensata, tidak ada tatalaksana khusus dan kontraindikasi tindakan di bagian kardiologi, toleransi tindakan risiko ringan. Pasien juga dikonsultasikan ke bagian Anestesiologi dengan status ASA II dan general anestesi. Tanggal 8 Oktober 2015 pasien menjalani operasi debulking massa cavum nasi. Pasien tidur telentang dalam general anestesi. Kemudian dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada medan operasi. Dilakukan pemasangan pharyngeal pack. Dilakukan tampon ta mpon adrenalin di kavum nasi dextra dan sinistra sinistr a melalui intra nasal selama kurang lebih 5 menit, kemudian tampon dilepas, tampak massa di cavum nasi sinistra sempit, tampak massa berbenjol memenuhi kacum nasi, cavum nasi dextra sempit, tampak massa berbenjol, kemudian dilakukan evakuasi/pengangkatan massa sebanyak-banyaknya dari kavum nasi dan dikirim ke bagian patologi anatomi. Kemudian dilakukan pemasangan tampon kassa gulung, betadin dan antibiotik di kavum nasi dekstra et sinistra. Evaluasi perdarahan, perdarahan tak ada. Operasi selesai..
terhadap pasien Gambar 3.6 Operasi debulking terhadap Pasien mendapat instruksi paska operasi pengawasan keadaan umum, tanda vital dan tanda-tanda perdarahan paska operasi dan bila sadar penuh, pasien RohenRokhaeni, 2015 27
diperbolehkan makan-minum. Terapi paska operasi IVFD Ringer Laktat 20 tpm, Injeksi ciprofloxacin 200mg/12 jam, injeksi ketorolac 30 mg/8 jam, injeksi metilprednisolon 125 mg/12 jam, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam, dan injeksi asam tranexamat 500 mg/8 jam. Tanggal 9 Oktober 2015 dilakukan follow up pasien post operasi operasi, pasien masih mengeluh pusing tetapi tak ada darah mengalir di tenggorokan. Dilakukan penggantian penggantian kassa anterior. Tanggal 10 10 Oktober 2015, pasien pasien sudah tidak mengeluh pusing dan dilakukan aff tampon, masih terdapat tanda-tanda perdarahan, tampon dipasang lagi lagi dan terapi dilanjutkan. Tanggal 12 Oktober 2015, sudah tidak ada keluhan yang dirasakan pasien, tampon dilepas dan evaluasi tak ada tanda perdarahan. Pasien diperbolehkan pulang dan mendapatkan terapi pulang pulang yaitu Ciprofloxacin 2x500 mg dan Asam mefenamat 3x500 mg. Pasien diharapkan kontrol kembali ke Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi 1 minggu setelah pulang dari rawat inap. Pasien kontrol ke poli THT-KL tanggal 17 Oktober 2015 membawa hasil biopsi dengan no RS 1504390 dengan hasil adenoid cystic carcinoma. Pasien masih sedikit merasakan nyeri pada lokasi operasi, keluhan hidung tersumbat sudah berkurang, tidak ada keluhan mimisan. Pada pemeriksaan fisik hidung didapatkan cavum nasi dextra et sinistra lapang, discharge (-), stolsel (-). Pasien kemudian direncanakan untuk kemoterapi. Kemudian pasien
menjalani pemeriksaan audiometri
nada murni dan
timpanometri hari itu juga juga untuk menilai menilai fungsi pendengaran sebelum menjalani kemoterapi. Hasil pemeriksaan telinga menunjukkan adanya CHL (Conductive Hearing Loss) derajat sedang-berat (68,75 db) pada telinga kiri, sedangkan telinga kanan normal. Pasien mendapat terapi asam folat 2x1 tablet dan vitamin Bcomplex 2x1 tablet. Tanggal 6 November 2015 pasien kontrol ke poli THT, dan mondok bangsal untuk menjalani kemoterapi pertama dengan regimen Cisplatin 100mg (BSI: 1,33). 1,33). Setelah kemoterpi pasien tidak ada keluhan keluhan dan dipulangkan dan dan direncanakan kemoterapi kedua tanggal 28 November 2015.
RohenRokhaeni, 2015 28
29
BAB IV PEMBAHASAN
Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia44 tahun yang datang ke poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi dengan keluhan mimisan yang terjadi ±1 hari hari
yang lalu. Mimisan hanya menetes, dan berhenti sendiri. Riwayat
mimisan sejak 3 bulan sebelumnya . Saat datang ke poliklinik THT-KL, mimisan sudah berhenti. Keluhan mimisan itu disertai dengan hidung kiri tersumbat, telinga kiri berdenging, dan penurunan pendengaran pada telinga kiri. Pasien juga terkadang merasakan nyeri kepala hilang timbul, tetapi tidak ada keluhan pandangan dobel dan adanya benjolan di leher kiri. Riwayat pekerjan sebagai buruh penadah karet selama kurang lebih 14 tahun. Pasien saat ini berusia 44 tahu, hal ini sesuai teori di mana Sebagian besar kasus ACC terjadi pada decade keempat dan keenam kehidupan, kehidupan, perempuan lebih banyak terjangkit daripada laki-laki la ki-laki (1,3:1) (Mendenhall et al ., ., 2004; Khademi et al., 2011; Pushpanjaliet Pushpanjali et al ., ., 2014). Riwayat pekerjan sebagai buruh penadah karet selama kurang lebih 14 tahun, hal ini sesuai teori. Di mana faktor risiko yang diduga berkaitan dengan penyakit tumor kelenjar saliva, pada umumnya, meliputi kebiasaan merokok, predisposisi genetik, infeksi virus, paparan di pabrik karet, pekerjaan sebagai tukang pipa ledeng, beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan kayu, paparan asbes, dan paparan komponen nikel. Satu-satunya faktor ri siko yang telah diyakini adalah radiasi ion. (Rousseau dan Badoual, 2011). Secara klinis, gejala karsinoma adenoid kistik nasofaring yang paling sering ditemukan yaitu, epistaksis, gejala obstruksi hidung yang progresif, gangguan fungsi tuba Eustachius, dan gejala yang berkaitan dengan invasi ke basis kranium. Hal serupa juga terjadi pada pasien ini, yang datang dengan keluhan utama mimisan dan disertai gejala hidung buntu (gejala obstruksi hidung), serta adanya keluhan telinga berdenging dan penurunan pendengaran yang dikaitkan dengan gangguan fungsi tuba Eustachius. (Pushpanjali et al., 2014; al., 2014; Kannan et al ., ., 2015).
[Type text]
Saat pemeriksaan lokal THT pada bagian telinga dan hidung didapatkan massa pada cavum nasi sinistra, berbenjol dan mudah berdarah. Pada pemeriksaan kavum oris tampak massa benjol- benjol di palatum mole sinistra, tetapi tonsil dan dinding posterior faring dalam batas normal. Sedangkan, pada pemeriksaan leher tampak benjolan di region colli sinistra, ukuran diameter ±3x3x1 cm, teraba keras, terfiksir, warna lesi sama dengan jaringan sekitarnya, nyeri tekan (-). Pasien dikonsulkan ke patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan Aspirasi Jarum Halus (AJH) dengan hasil pada pada colli sinistra : kista dan palatum : dijumpai ganas ganas (maligna), ke arah
Adeno Carcinoma Kelenjar Liur , lalu
dilakukan juga juga nasoendoskopi dan biopsi biopsi jaringan dari biopsi
massa tumor di nasofaring. Sampel
nasofaring kemudian dikirim ke laboratorium patologi
anatomi untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis. Hasil diagnosis dari bagian patologi anatomi didapatkan adenoid adenoid cystic carcinoma (Silindroma). Nasoendoskopi dan biopsi serta mengirim jaringan ke patologi anatomi dilakukan untuk menunjang penegakan diagnosis. Penegakan diagnosis pasti dari suatu tumor adalah dengan biopsi. Hal ini sesuai teori di mana pemeriksaan penunjang nasoendoskopi akan memberikan informasi tentang keterlibatan mukosa dan perluasan tumor serta membantu saat biopsi.Pemeriksaan endoskopi dapat dilakukan dengan anestesi lokal baik dengan endoskop kaku atau serat optik (flexible) (Wei dan Chua, 2012). Pada umumnya, biopsi jarum halus( fine halus( fine needle aspiration) aspiration) saja tidak cukup untuk menentukan diagnosis yang pasti. Biasanya diperlukan bagian dari tumor primer yang diambil secara operatif sehingga ahli hematopatologi mendapatkan jaringan yang cukup untuk menegakkan diagnosis, dapat melalui biopsi eksisional maupun incisional. Ahli hematopatologi akan memeriksa sampel jaringan di bawah mikroskop, dan perubahan sel dinilai untuk identifikasi histologi tumor yang spesifik (Dillon et al ., ., 2015). Untuk dapat menentukan peluasan tumor maka dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya, yaitu dengan MSCT Scan nasofaring. Pemeriksaan ini penting untuk mengevaluasi adanya erosi tulang oleh tumor, disamping juga dapat menilai perluasan tumor (Wei dan Chua, 2012). Dari hasil MSCT scan pasien dalam kasus ini, didapatkan adanya perluasan tumor ke parafaringeal space, musculus RohenRokhaeni, 2015 30
pterygoid, cavum nasi bilateral, sinus maxilaris bilateral, sinus ethmoidalis bilateral, dan cavum oris dengan osteodestruksi palatum durum. Karsinoma adenoid kistik (ACC), yang sebelumnya dikenal sebagai silindroma, merupakan neoplasma ganas regio kepala leher yang berasal dari kelenjar saliva. Karsinoma adenoid kistik merupakan tumor kepala leher yang jarang ditemui. Kejadiannya hanya han ya kurang dari 1% dari seluruh kasus keganasan kepala dan leher. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada decade usia keempat hingga keenam (Dutta et al., 2002; Kokemueller et et al ., ., 2004; Jaso dan Malhotra, 2011; Pushpanjali et al ., ., 2014 ). Nasofaring merupakan lokasi yang jarang terjadi pada tumor ini dan jumlahnya kurang dari 4% dari seluruh karsinoma kar sinoma adenoid kistik kepala leher . Di nasofaring, tumor ini lebih sering dianggap berasal dari epitel permukaan nasofaring dibandingkan berasal dari kelenjar saliva minor yang mendasarinya. Hal ini berkaitan dengan gambaran histologi dan pengecatan imunohistokimia (da Cruz Perez et al ., ., 2006; Bouhafa et al ., ., 2014). Diagnosis pasti dari karsinoma adenoid kistik terutama didasarkan pada gambaran histologi yang khas. Hal ini tidak hanya bermakna dalam menentukan diagnosis tumor, tetapi juga membantu dalam menentukan tatalaksana dan prognosisnya. Pemeriksaan radiologi, khususnya CT scan, juga penting dilakukan dila kukan untuk menentukan batas dan perluasan tumor, merencanakan area pembedahan serta mengamati rekurensi pada saat follow up paska operasi (Dutta et al ., ., 2002). Dari hasil pemeriksaan penunjang radiologi pada pasien ini, yaitu MSCT scan nasofaring, tampak lesi tumor yang yang telah meluas hingga ke parafaringeal space, sinus paranasal dan jaringan sekitar nasofaring. Sedangkan, dari pemeriksaan foto rontgen thoraks PA dan USG abdomen tidak ditemukan adanya tanda-tanda metastasis jauh. Sehingga, berdasarkan the American Joint Committee on Cancer dengan sistem TNM, stadium karsinoma adenoid kistik nasofaring pasien ini adalah T3N1M0. Prinsip dasar dalam tatalaksana terbaik yang ditetapkan untuk karsinoma adenoid kistik adalah reseksi bedah radikal yang diikuti dengan radioterapi (60007500 cgy) (Pushpanjali et al ., ., 2014). 2014). Namun, pada kasus dengan adenoid kistik RohenRokhaeni, 2015 31
nasofaring, infiltrasi perineural dan perivaskular ini berkaitan dengan struktur anatomi nasofaring yang sangat berisiko untuk dilakukan tindakan pembedahan. Hal ini disebabkan oleh dekatnya batas area pembedahan dengan struktur saraf dan pembuluh darah yang penting sehingga tidak dilakukan pembedahan (Bouhafa et al ., ., 2014). Pasien dalam kasus ini menjalani operasi debulking massa di cavum nasi. Tujuan operasi debulking terhadap pasien ini adalah untuk mengurangi ukuran massa di cavum nasi sebagai salah satu persiapan untuk kemoterapi dan radioterapi serta mengurangi keluhan hidung tersumbat. Pemberian radioterapi paska operasi mampu memberikan hasil terapi yang terbaik dan dianggap sebagai salah satu strategi efektif untuk mengurangi angka relaps lokal (Simpson et al., 1984; Miglianicoet Miglianicoet al ., ., 1987). Pada beberapa kasus ACC yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan, terapi radiasi intens merupakan pilihan yang baik dan terbukti mampu mereduksi massa tumor (Cao et al ., ., 2013; Bouhafa et al ., ., 2014). Sehingga, setelah menjalani reduksi massa tumor melalui operasi debulking , pasien dalam kasus ini direncanakan untuk
menjalani
terapi
selanjutnya,
yaitu
radioterapi.
Namun,
setelah
dikonsultasikan ke bagian radiologi intervensi, pasien mendapat jadwal terapi radiasi pada tanggal 7 Desember 2015. 2015. Akhirnya, untuk
menunggu jadwal
radioterapi pada 7 Desember 2015, pasien pun dipertimbangkan untuk mendapatkan kemoterapi menggunakan regimen tunggal, yaitu Cisplatin dengan dosis 100 mg/bsi. Kemoterapi sendiri masih memiliki peran terbatas pada kasus NACC dan penggunaannya masih didiskusikan. Angka respon tumor terhadap regimen kemoterapi tunggal dan multipel berkisar antara 0%-29%, dengan laporan 7 dari 10 pasien merespon terhadap cisplatin (Dillon et al ., ., 2015 (Alcedo et al ., ., 2004). Sehingga, pasien dalam kasus ini mendapatkan tatalaksana kombinasi kemoterapi dan radioterapi setelah menjalani operasi debulking massa di cavum nasi. Karsinoma dan limfoma pada nasofaring dikenal memiliki struktur histologi yang kemosensitif dan radiosensitif, sehingga kombinasi kemoradioterapi dipertimbangkan sebagai pilihan terapi yang cukup tepat untuk neoplasma ini (Khademi et al ., ., 2011). RohenRokhaeni, 2015 32
Spiro et al . (1979), menemukan beberapa faktor yang penting dalam menentukan prognosis penyakit ACC, antara lain: lokasi, ukuran dan perluasan terhadap jaringan sekitarnya. Blanck et al . (1967), melaporkan adanya peningkatan mortalitas pada pasien dengan sejumlah metastasis yang jauh (Pushpanjali et al ., ., 2014). Selain itu, perlu diketahui bahwa tumor dengan dominasi pola tubular memiliki prognosis paling baik, sedangkan dominasi pola solid memiliki prognosis yang buruk (Soprani et al ., ., 2007). Dari hasil MSCT scan pasien dalam kasus ini, didapatkan adanya perluasan tumor ke parafaringeal paraf aringeal space, musculus pterygoid, cavum nasi bilateral, sinus maxilaris bilateral, sinus ethmoidalis bilateral, dan cavum oris dengan osteodestruksi palatum durum. Namun, dari pemeriksaan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda-tanda metastasis jauh, baik ke paru maupun rongga abdomen. Sedangkan, pemeriksaan mikroskopis menunjukkan sel tumor berpola epithelial, padat dan kribriformis; struktur tubular; sel-sel dengan inti atipi, bersitoplasma. Beberapa hasil pemeriksaan penunjang tersebut menyokong prognosis baik pada pasien ini. Meskipun demikian, karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif secara lokal, sehingga cenderung mengalami rekurensi (Oplatek et al ., ., 2010). Meskipun telah menjalani terapi lokal yang agresif, sebagian besar pasien (60%) akan mengalami rekurensi. Sekitar 50% rekurensi terbukti secara klinis akan terjadi dalam waktu 2 tahun setelah pembedahan dan radioterapi (Bradley, 2004).
RohenRokhaeni, 2015 33
34
BAB IV KESIMPULAN
Karsinoma adenoid kistik (ACC), atau silindroma, merupakan neoplasma ganas regio kepala leher yang berasal dari kelenjar saliva. Karsinoma adenoid kistik merupakan tumor kepala leher yang jarang ditemui. Kejadiannya hanya kurang dari 1% dari seluruh kasus keganasan kepala dan leher. Nasofaring merupakan lokasi yang jarang terjadi pada tumor ini dan jumlahnya kurang dari 4% dari seluruh karsinoma adenoid kistik kepala leher. Diagnosis pasti dari karsinoma adenoid kistik terutama didasarkan pada gambaran histologi yang khas. Hal ini tidak hanya bermakna dalam menentukan diagnosis tumor, tetapi juga membantu dalam menentukan tatalaksana dan prognosisnya. Pemeriksaan radiologi juga penting dilakukan untuk menentukan batas dan perluasan tumor, serta untuk menentukan stadium penyakit. penyakit. Tatalaksana utama yang ditetapkan untuk karsinoma adenoid kistik adalah reseksi bedah radikal yang diikuti dengan radioterapi. Namun, pada kasus karsinoma adenoid kistik nasofaring (NACC), tatalaksana bedah ini cukup berisiko. Sehingga, penggunaan terapi radiasi saja dianjurkan pada kasus NACC, atau dapat dikombinasikan dengan kemoterapi.
[Type text]
35
DAFTAR PUSTAKA
Alcedo JC, Fabrega JM, Arosemena JR, Urrutia A. 2004. Imatinib mesylate as treatment for adenoid cystic carcinoma of the salivary glands: report of two successfully treated cases. Head cases. Head Neck.26:829-31. Neck.26:829-31. Balamucki CJ, Amdur RJ, Werning JW, et al . 2012. Adenoid cystic carcinoma of the head and neck .Am .Am J Otolaryngol.33:510 Otolaryngol. 33:510 – 518. 518. Bouhafa T, Elmazghi A, Masbah O, Hassoumi K. 2014. Cribriform adenocarcinoma salivary gland-type of the nasopharynx: case report and review of the literature. Open Journal of Pathology. Pathology . 4: 79-82. Bradley PJ. 2004. Adenoid cystic carcinoma of the head and neck: a review. CurrOpin Otolaryngol Head Neck Surg .12(2):127 .12(2):127 – 132. 132. Cao CN, Luo JW, Xu GZ, Gao L, Xu ZG, Tang PZ. 2013. Management of nasopharyngeal adenoid cystic carcinoma. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery.71: Surgery.71: e203-e209. Chandrasoma P, Taylor CR. 2001 . Neoplasia. Neoplasia. In: Concise Pathology 3 rd ed . Singapore: Lange Medical book, McGraw Hill. da Cruz Perez DE, de Abreu Alves F, Nobuko Nishimoto I, et al . 2006. Prognostic factors in head and neck adenoid cystic carcinoma.Oral carcinoma. Oral Oncol.42:139-46. Oncol.42:139-46. DeLong L, Burkhart NW. 2013. General and Oral Pathology for the Dental Hygienist 2nd edition. edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Deschler DG, Day T. 2008. Pocket Guide to TNM Staging of Head and Neck Cancer and Neck Dissection Classification. Classification. Alexandria: American Academy of Otolaryngology – Head Head and Neck Surgery Foundation, Inc. Dillon PM, Chakraborty S, Moskaluk CA, Joshi PJ, Thomas CY. 2015. Adenoid cystic carcinoma: a review of recent advances, molecular targets, and clinical trials. Head trials. Head Neck . Dodd RL, Slevin NJ.2006. Salivary gland adenoid cystic carcinoma: a review ofchemotherapy and molecular therapies. Oral Oncol .42(8):759 .42(8):759 – 769. 769. Dutta NN, Baruah R, Das L. 2002. Adenoid cystic carcinoma – clinical presentation and cytological diagnosis. Indian Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. Surgery . 54(1): 62-64.
[Type text]
Ellis GL, Auclair PL. 2008. 2008 . Tumors of the Salivary Glands. In: Atlas of Tumor th Pathology; 4 series, fascicle 9. Washington DC: American Registry of Pathology:225 – 259. 259. Ho AS, Kannan K, Roy DM, et al.2013.The al.2013.The mutational landscape of adenoid cystic carcinoma. Nat Nat Genet.45:791 Genet.45:791 – 798. 798. Holsinger FC, Bui DT. 2007. Anatomy, Function, and Evaluation of the Salivary Glands. Glands. In: Salivary Glands Disorders. Editor: Eugene N.Myers and Robert L.Ferris. Berlin: L.Ferris. Berlin: Springer. Jaso J, Malhotra R. 2011. Adenoid cystic carcinoma. Arch Arch Pathol Lab Med . 135: 511-515. Johnson JT, Rosen CA. 2014. Bailey’s Head and Neck Surgery— Otolaryngology, Otolaryngology, th 5 Edition. Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams&Wilkins. Junquiera LC, Carneiro J. 2003. Basic Histology, 10th edition. edition. Singapore: Lange Medical book, McGraw-Hill. Kannan RA, Nambiar V, Koushik K, Alva RC, Muniyappa U. 2015. Nasopharyngeal adenoid cystic carcinoma - case report and review of literature. JCROT JCROT . 1(1): 1-4. Khademi B, Bahranifard H, Kabiri SH, et al . 2011. Nasopharyngeal adenoid cystic carcinoma: report of five cases and treatment outcome. Middle outcome. Middle East J Cancer . 2(2): 81-85. Kokemueller H, Eckardt A, Brachvogel P, Hausamen JE. 2004. Adenoid cysticcarcinoma of the head and neck: a 20 years experience. Int J Oral MaxillofacSurg.33(1):25 MaxillofacSurg.33(1):25 – 31. 31. Lagha A, Chraiet N, Ayadi M, et al . 2012. Systemic therapy in the management of metastatic or advanced salivary gland cancers. Head Head & Neck Oncol . 4(19): 1-12. Liu J, Shao C, Tan ML, Mu D, Ferris RL, Ha PK.2012. The molecular biology of adenoid cystic carcinoma. Head Head Neck . 34(11): 1665 – 1677. 1677. Liu TR, Yang AK, Guo X, Li QL, Song M, He JH, et al . 2008. Adenoid cystic carcinoma of the nasopharynx: 27year experience. Laryngoscope.118(11):1981-8. Laryngoscope.118(11):1981-8.
RohenRokhaeni, 2015 36
Lloyd S, Yu JB, Wilson LD, Decker RH.2011. Determinants and patterns of survival in adenoid cystic carcinoma of the head and neck, including an analysis of adjuvant radiation therapy. Am therapy. Am J Clin Oncol.34(1):76-81. Oncol.34(1):76-81. Mendenhall WM, Morris CG, Amdur RJ, Werning JW, Hinerman RW, Villaret DB. 2004. Radiotherapy alone or combined with surgery for adenoid cystic carcinoma of the head and neck. Head neck. Head Neck.26:154 Neck.26:154‑‑162. Miglianico L, Eschwege F, Marandas P, Wibault P. 1987. Cervico-facial adenoid cystic carcinoma: cystic carcinoma: study of 102 cases. Influence of radiation therapy. Int J Radiat Oncol Biol Phys.13:673 Phys.13:673 – 678. 678. NCCN. 2013. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCNGuidelines) Head and Neck Cancer . NCCN Network inc. Netter FH. 2014. Atlas 2014. Atlas of Human Anatomy, Anatomy, Sixth Edition. Edition . Elsevier. Oplatek A, Ozer E, Agrawal A, Bapna S, Schuller DE. 2010. Patterns ofrecurrence and survival of head and neck adenoid cystic carcinoma afterdefinitive resection. Laryngoscope. resection. Laryngoscope.120(1):65 120(1):65 – 70. 70. Pommier P, Liebsch NJ, Deschler DG, et al . 2006.Proton beam radiation therapy for skull base adenoid cystic carcinoma. Arch Arch Otolaryngol Head Neck Surg.132:1242-1249 Surg.132:1242-1249 Pushpanjali M, Sujata DN, Subramanyam SB, Jyothsna M. 2014. Adenoid cystic carcinoma: An unusual presentation. J presentation. J Oral Maxillofac Pathol. 18(2): Pathol. 18(2): 286290. Rousseau A, Badoual C. 2011. Head and neck: Salivary gland tumors: an overview. Atlas overview. Atlas Genet Cytogenet Oncol Haematol.15(6):533-541. Haematol.15(6):533-541. Simpson JR, Thawley SE, Matsuba HM. 1984. Adenoid cystic salivary gland carcinoma: treatment with irradiation and surgery. Radiology. Radiology.151: 151: 509 – 512. Soprani F, Armaroli V, Venturini A, Emiliani E, Casolino D. 2007. A rare case of of adenoid cystic carcinomaof the nasopharynx manifesting as Horner’ssyndrome: discussion and review of the literature. literature . Acta Othorhinolaryngologica Italica. Italica . 27: 216-219. Spiro RH, Huvos AG, Strong EW.1979. Adenoid cystic carcinoma: Factors influencing survival. Am survival. Am J Surg . 138:579‑ 138:579 ‑83.
RohenRokhaeni, 2015 37
Vikram B, Strong EW, Shah JP, Spiro RH. 1983. Radiation therapy in adenoid cystic carcinoma. Int carcinoma. Int J Radiat Oncol Biol Phys.10:221-223. Phys.10:221-223. Wiseman SM, Popat SR, Rigual, NR, et al . 2002. Adenoid cystic carcinoma of theparanasal sinuses or nasal cavity: a 40-year review of 35 cases. Ear Nose Throat J.81(8):510 J.81(8):510 – 517. 517.
RohenRokhaeni, 2015 38