LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI SISTEM ENDOKRIN, REPORODUKSI, DAN SIRKULASI (DEF4274T)
SEMESTER GENAP
DISUSUN OLEH KELOMPOK A1 Abdul Hafidz
(NIM. 145070500111011)
Ade Putri Delina
(NIM. 145070507111006)
Adibah Nur Maisaroh
(NIM. 145070501111003)
Adisti Mega Putrianah
(NIM. 145070501111023)
Adistya Alfatikha Rahma
(NIM. 145070500111001)
Agung Febrian Ramadani
(NIM. 145070507111007)
Amanda Legyana
(NIM. 145070501111017)
Anthony
(NIM. 145070500111019)
Augustine Lutvianti P.
(NIM. 145070507111001)
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA TA 2016/2017
SHOCK 1. DEFINISI
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa pompa jantung jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan (Zimmerman et al., 1997). Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah jantung
yang
memadai
untuk
mempertahankan
perfusi
jaringan. Shock
kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui men getahui adanya tanda-tanda t anda-tanda shock dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung (Zimmerman et al., 1997). Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah jantung. 2. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit syok kardiogenik adalah (Atkinson (Atkinson et al., 1981): 1. Gangguan kontraktilitas miokardium. 2. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti paru dan/atau hipoperfusi iskemik. 3. Infark miokard akut (AMI), 4. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary, ruptur septum,
atau
infark
ventrikel
kanan,
dapat
mempresipitasi
(menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan infarkinfark yang lebih kecil. 5. Valvular stenosis.
6. Myocarditis (inflamasi miokardium, peradangan otot jantung). 7. Cardiomyopathy (myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak diketahui penyebabnya). 8. Acute mitral regurgitation. 9. Valvular heart disease. 10. Hypertrophic obstructive cardiomyopathy. 3. EPIDEMIOLOGI
Syok kardiogenik telah dialami oleh 5-10% dari pasien den gan infark miokard. Insiden yang tepat sulit diukur karena tidak adanya diagnosis yang pasti pada pasien. Beberapa uji menunjukkan bahwa syok kardiogenik dapat memperparah ST-elevasi infark miokard (STEMI) sekitar 5-8% dan 2,5% dari infark miokard non-ST-elevasi (non-STEMI) (Fox, et al, 2007). Dalam studi Worcester, analisis dari masyarakat luas diperoleh data tingkat kejadian sebesar 7,5%. Dan sebuah review dari sampel 2003-2010 menggunakan database Nationwide Inpatient Sample (NIS) mengungkapkan kejadian 7,9% pada pasien dengan STEMI. Pasien dengan non-STEMI sebanyak 3% mengalami syok kardiogenik. Beberapa percobaan multisenter di Eropa melaporkan tingkat prevalensi sekitar 7%. Di Asia atau kepulauan pasifik memiliki insiden yang lebih tinggi yaitu 11,4%. Dari database NIS juga ditunjukkan bahwa kejadian syok kardiogenik pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada wanita sekitar 8,5% dan 7,6% pada laki-laki. Usia rata-rata untuk syok kardiogenik adalah 65-66 tahun. Pada anak-anak, syok kardiogenik muncul sebagai konsekuensi dari miokarditis fulminant atau penyakit jantung bawaan (Kolte, et al, 2014). Pada penelitian lain dengan 1.160 pasien dengan syok kardiogenik sebesar 74,5% pasien memiliki kegagalan pada ventrikel kiri yang lebi dominan, 8,3% memiliki regusgitasi mitral akut, 4,6% memiliki rupture septum ventrikel, 3,4% telah
diisolasi kejutan ventrikel kanan, 1,7% memiliki rupture jantung dan 8% memiliki kejutan hasil dari penyebab lain (Panja, et al, 2010). 4. PATOFISIOLOGI
Syok kardiogenik dapat terjadi akibat dari adanya gangguan cardiac output (CO), gangguan pada tahanan perifer (SVR), atau kedu anya. Penarikan kardiak output setara dengan detak jantung (HR) yang dihasilkan dan stroke volume (SV). Stroke Volume dapat dipengaruhi oleh kontraktilitas dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pada bayi dan anak-anak, kardiak output dipengaruhi oleh detak jantung dan kondisi otot ventrikular yang masih lemah sehingga kemampuan untuk berkontraksi lemah. Gangguan pada strike volume dipengaruhi oleh: CO = HR x SV. Terdapat empat penentu utama yang mengatur fungsi ventrikular, yaitu kontraktilitas, detak jatung, preload, dan afterload. Hubungan antara preload dengan fungsi ventrikular yaitu semakin tinggi preload, semakin tinggi cardiac outputnya. Ketika kontraktiitas miosit meningkat, fungsi ventrikel semakin memburuk. Ketika kondisinya sangat memburuk dapat menyebabkan syok kardiogenik. Pada jantung yang normal, yang menentukan kontraktilitas jantung adalah influx kalsium. Ketika kerja miokardium menurun, keseimbangan kalsium akan terganggu, sehingga mempengaruhi tekanan sistol dan diastole (Smith, 2013). Pada patologi miokard, syok kardiogenik ditandai dengan disfungsi sistolik dan diastolic untuk mengatasi hipoperfusi organ. Gangguan aliran darah di arteri coroner epicardial menyebabkan zona miokardium kehilangan kemampuan untuk berkontraksi. Jika area miokard mengalami cedera iskemik, fungsi pompa LV menjadi berkurang dan terjadi hipotensi sistemik. Pasien yang mengalami syok kardiogenik dari infark miokard akut memiliki bukti nekrosis miokard yang progresif dengan ekstensi infark. Penurunan tekanan perfusi coroner dan curah jantung serta peningkatan kebutuhan oksigen berperan dalam kejadian syok kardiogenik. Pasien yang menderita syok kardiogenik sering memiliki penyakit arteri coroner multivessel dengan cadangan aliran darah yang terbatas. Iskemia dari zona infark merupakan kontributor penting dalam kejadian syok. Fungsi diastolic yang terganggu, karena iskemia dapat merusak
pengisian dari miokard sehingga akan meningkatkan tekanan LV dan dapat menyebabkan edema paru dan hipoksemia (Reynolds, 2008). Pada patologi seluler, kondisi hipoperusi jaringan dengan konsekuensi hipoksia seluler menyebabkan glikolisis anaerobic, akumulasi asam laktat dan asidosis intraseluler. Jugam pompa transpotasi membrane miosil gagal yang menurunkan potensial transmembran dan menyebabkan akumulasi intraseluler natrium dan kalsium sehingga terjadi pembengkakan miosit. Jika terjadi iskemia yang parah dan berkepanjangan menyebabkan cedera seluler miokard menjadi irreversible dan menyebabkan myonekrosis yang meliputi pembengkakan mitokondria, akumulasi protein terdenaturasi dan kromatin dan pemecahan lisosom. Kejadian ini menyebabkan fraktur mitokondria dan membrane plasma. Selain itu apoptosis dapat terjadi didaerah peri-infark dan menyebabkan hilangnya miosit. Aktivasi kaskade inflamasi stres oksidatif, dan peregangan dari miosit menghasilkan mediator yang mengalahkan inhibitor apoptosis, sehingga mengaktifkan apoptosis tersebut (Reynolds, 2008). 5. TERAPI FARMAKOLOGI
Dukungan farmakologi (inotropik dan vasopresor) harus digunakan dengan dosis sekecil mungkin yang memberi efek terapeutik. Semakin tinggi dosis vasopresor, makan semakin kecil angka keselamatannya. Hal ini disebabkan pada ken yataan bahwa keadaan penyakit yang mendasarinya sudah sedemikian berat serta efek toksik obat itu sendiri. Pemberian inotropik merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun sayangnya dengan pemberian inotropik, konsumsi ATP miokardium juga meningkat, sehingga perbaikan hemodinamik yang membaik dalam sesaat harus dibayar dengan peningkatan kebutuhan oksigen jantung dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah mengalami kegagalan ditambah lagi ketersediaan kebutuhan sudah terbatas. Namun demikian inotropik dan vasopresor saat ini tetap dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi koroner dan sistemik sambil menunggu pemasangan IABP ( Intra-aortic balloon pump) atau sampai syok berhasil ditangani. Data yang membandingkan efektifitas penggunaan beberapa agen vasopresor masih sedikit. Dopamine, norepinefrin dan epinefrin merupakan vaskonstriktor yang dapat
digunakan untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan membantu memperbaiki tekanan perfusi pada hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan arteri rata-rata (MAP) yakni 60-65 mmHg (Reynolds, 2008). Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat d an volume intravaskular yang adekuat, inisiasi permberian obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai diberikan. Yang termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan levosimendan Dosis reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan hingga 20 mcg/kg/min. Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan dalam keadaan sepsis dapat ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. obat-obat inotropik antara lain: dobutamin dan fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-10 mcg/kg/min. Dalam keadaan hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok), Dobutamin dapat digunakan, namun dalam kond isi hipotensi berat dengan klinis syok yang nyata, pilihan yang terbaik adalah dopamin (TDS 70100 mmHg dengan klinis syok) dan norepinefrin (TD < 70 mmHg) (Alwi, 2009). Pemberian terapi antitrombotik yakni aspirin dan heparin harus diberikan sebagaimana yang telah direkomendasikan pada infark miokard. Clopidogrel dapat ditunda setelah tindakan angiografi emergensi sebab, bisa saja setelah dilakukan angiografi, pasien selanjutnya diputuskan akan segera menjalani bedah pintas jantung / CABG (coronary artery bypass grafting). Clopidogrel dianjurkan bagi semua pasien yang menjalani PCI (pada pasien infark miokard yang dalam keadaan syok ataupun tidak). Pemberian inotropik negatif dan vasodilator (termasuk nitrogliserin) harus dihindari. Oksigenasi arteri dan pH darah harus dipertahankan dalam batas normal untuk meminimalisasi iskemia. Pemberian insulin dapat meningkatkan angka keselamatan pada pasien kritis yang mengalami hiperglikemia. Pemberian ventilasi mekanik perlu dipertimbangkan baik melalui sungkup ataupun pipa endotrakeal. Hal ini bermanfaat untuk menurunkan preload dan afterload serta mengurangi kerja pernafasan (Ren, 2013).
6. TERAPI NON FARMAKOLOGI
a. Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok menurut Alexander R H, Proctor H J. Shock., (1993; 75 – 94) (Fitria, 2010) : A. Posisi Tubuh 1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum
posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. 2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
digerakkan
sampai
persiapan
transportasi
selesai,
kecuali
untuk
menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas. 3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau
penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia. 4.
Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.
5.
Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar.
6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali. B. Pertahankan Respirasi
1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
2. Tengadahkan kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas (Gudel/oropharingeal airway). 3. Berikan oksigen 6 liter/menit d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT. C. Pertahankan Sirkulasi
1. Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. 2. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP). Selain itu, perlu juga dilakukan Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu (Fitria, 2010): 1. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. 2. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obatobatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. 3. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %).Pemasangan dua jalur intra vena dengan kjarum besar dipasang untuk
membuat
akses
intra
vena
guna
pemberian
cairan.
Maksudnya
memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %). Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai deng an protokol resusitasi jantung paru. Untuk menjaga asupan oksigen pada pasien tercukupi, dapat dilakukan beberapa hal berikut : a. Pemberian oksigen Terapi O2 merupakan salah satu terapi pernafasan dalam mempertahankan oksigenasi. Tujuan pemberian terapi O2 adalah (Saryono, 2010): 1. Mengatasi keadaan hipoksemia 2. Menurunkan kerja pernafasan 3. Menurunkan beban kerja otot Jantung (miokard) Indikasi pemberian terapi O2 adalah kerusakan
jaringan yang
diikuti gangguan metabolisme dan sebagai bentuk Hipoksemia, secara umum pada (Saryono, 2010): •
Kadar oksigen arteri (Pa 02) menurun
•
Kerja pernafasan meningkat ( laju nafas meningkat, nafas dalam, bemafas dengan otot tambahan)
•
Adanya peningkatan kerja otot jantung (miokard) Pada kegawatan napas trauma diberikan oksigen 6L/menit dengan
sungkup muka. Pada penderita kritis berikan 100% oksigen, meskipun secara umum terapi oksigen memberikan manfaat yang bermakna pada bentuk hipoksik hipoksemia dan anemi hipoksemia. Efek samping yang
sering dikhawatirkan adalah keracunan oksigen, tetapi hal tersebut terjadi setelah 24-48 jam terapi oksigen dengan fraksi inspirasi oksigen (Fi02)>60%. Oleh karena itu sedapat mungkin setelah masa kritis, terapi oksigen diturunkan bertahap sampai Fi02 < 60% dengan target untuk mendapatkan minimal saturasi oksigen (saO2) 90% (Saryono, 2010). Apabila tekanan oksigen arteri (pa02) tetap rendah (kurang dari 60 mmHg) meskipun telah diberikan oksigen 50% berarti terdapat shunt yang bermakna dari kolaps alveoli dan perlu dipertimbangkan pemberian inflasi paru dengan manuver reekspansi paru atau intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanik. Pada kasus PPOM maka Pa02 dipertahankan sekitar sedikit diatas 60 mmHg saja untuk menghindari hilangnya rangsang respirasi (Saryono, 2010).
b. Intubasi Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal adalah untuk membersihkan saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi terutama bagi pasien operasi (Saryono, 2010). Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal menurut Gisele tahun 2002 antara lain (Saryono, 2010) : •
Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
•
Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
•
Kebutuhan
untuk
mengontrol
dan
pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
mengeluarkan
sekret
•
Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
•
Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
•
Trakeostomi.
•
Pada pasien dengan fiksasi vocal cord.
7. KASUS SOAL TUTORIAL FSO VI “ SHOCK”
Semester genap 2015/2016 Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Kasus :
Ny. NN usia 23 tahun seorang atlet Taekwondo mengeluh lelah, lesu dan sesak napas selama beberapa hari yang lalu. Dia pingsan dan langsung di bawa ke rumah sakit AMANAH. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter diketahui bahwa Ny. NN menderita gangguan jantung dengan HR 132, BP 76/36, SaO2 88%, RR 30, Temp 36.3oC. GCS 456, jantung S1 dan S2 tidak teratur, terjadi holosytolic murmur, JVP 5 cm. Kurang : data terkait penykit, data penyakitnya. Tidak ada odema, terjadi Chest - bilateral crackles, abdominal normal.
Pertanyaan :
1. Apakah yang terjadi pada Ny. NN? Syok kardiogenik bisa disebabkan oleh iskemia ventrikular primer, masalah struktural, dan disritmia. Ny. NN mengalami gejala syok kardiogenik, karena ditandai dengan hipoksia – yang mengakibatkan lelah dan lesu - sampai sinkop akibat penurunan curah jantung dan hipoperfusi sistemik, serta terdapat murmur sistolik. Pasien syok kardiogenik dengan aritmia akan mengeluh lemah badan bahkan bisa sampai terjadi penurunan kesadaran karena berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat. Pasien dengan ruptur septum ventrikel akut mengalami ga gal jantung akut dan/atau syok kardiogenik, dengan temuan fisik berupa murmur holosistolik. Murmur holosistolik merupakan tanda kerusakan pada miokardium yang mungkin terjadi
setelah salah satu infark miokard besar (biasanya dinding anterior), atau mungkin kumulatif sebagai akibat dari beberapa infark miokard yang lebih kecil atau infark miokard pada pasien dengan disfungsi ventrikel yang sudah ada sebelumnya (Ren dan Linneman, 2013).
2. Berdasarkan apakah Anda menjawab soal no. 1? Jelaskan! (data lab, klinik, dll) Data lab dan klinik bisa dijadikan indikator diagnosis Ny. NN mengalami syok kardiogenik. Data tersebut dapat memanifestasi tanda dan gejala salah satu sindrom kardiovaskular ini. Dari data lab dan klinik, diketahui bahwa Ny. NN mengalami takikardi (HR 132, normalnya 60-100 hpm), saturasi oksigen rendah (SaO2 88%, normalnya saturasi oksigen arteri 95-100%), hipotensi berat (BP 76/36, normalnya <120-125/75/80 mmHg), takipnea (RR 30, normalnya 16-20 kali/menit), dan aritmia jantung S1 dan S2 tidak teratur. Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan pompa jantung, yang dapat diakibatkan akibat preload, afterload, atau kontraktilitas miokardium. Indikatornya adalah tekanan arteri sistolik <80 mmHg. Curah jantung juga menurun pada disritmia. Gangguan preload dapat terjadi akibat pneumotoraks, efusi perikardium, hemoperikardium atau penumoperikardium. Gangguan afterload dapat terjadi akibat kelainan obstruktif congenital, emboli, peningkatan resistensi vaskular sistemik (misalnya pada pheochromocytoma). Peningkatan resistensi vaskular sistemik akan meningkatkan afterload yang lebih lanjut akan berakibat penurunan curah jantung. Gangguan kontraktilitas miokardium dapat diakibatkan infeksi virus, gangguan metabolik seperti asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia, penyakit kolagen, dan lain-lain (Goldberg dkk, 1991). Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir semua syok kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume sekuncup/stroke volume serta menurunnya indeks kardiak. Turunnya tekanan darah dapat dikompensasi oleh peningkatan resistensi perifer yang diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen seperti norepinefrin dan angiotensin II. Namun demikian gabungan dari rendahnya
curah jantung dan meningkatnya tahanan perifer dapat menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan (Reynolds dan Hochman, 2008).
3. Apakah faktor- faktor yang dapat memicu terjadinya kondisi Ny. NN? Dari berbagai penelitian dilaporkan adanya factor factor predisposisi timbulnya syok kardiogenik, yaitu (Bakta&Ketut, 1999): 1.
Umur yang relative lebih tua> 60 tahun: dengan bertambah umur produksi hormone, enzim dan daya imun biasanya juga menurun.
2.
Wanita yang memiliki penyakit jantung memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki penyakit jantung
3.
Riwayat gagal jantung atau serangan jantung
4.
Riwayat diabetes melitus
5.
Telah terjadi payah jantung sebelumnya.
6.
Adanya infark yang lama ataupun baru
7.
IMA yang meluas secara progresif
8.
Komplikasi IMA: septum sobek, disenergi ventrikel
9.
Gangguan irama jantung
10. Factor factor ekstramiokardial: obat obatan yang menyebabkan hipotensi atau hipovolemi. Pasien seorang atlet Taekwondo sehingga beraktifitas yang lebih dibanding orang lain, kondisi ini membuat pasien kecapean dan hipoksia, suplai oksigen berkurang dan saturasi oksigen juga berkurang. Jantung S1 dan S2 tidak teratur, terjadi holosytolic murmur, dan JVP 5 cm juga sebagai factor resiko syok kardiogenik.
4. Apakah manajemen terapi yang akan anda berikan untuk Ny.NN ? Jelaskan ! o
Oksigen, untuk mengatasi kondisi sesak nafas akibat peningkatan kebutuhan oksigen pasien.
o
Resusitasi cairan golongan kristaloid menggunakan RL (Ringer Laktat) untuk meningkatkan tekanan darah, lebih dipilih golongan kristaloid karena harganya
yang cenderung lebih murah dibandingkan dengan golong koloid dan juga laju penyebab kematiannya sama serta tidak banyak jaringan yang rusak. Jika terjadi banyak kerusakan jaringan dapat diberikan golongan koloid seperti Dextran dan Albumin. o
Dobutamin. Dobutamin bersifat inotropik kuat yang dapat mesntimulasi reseptor beta tanpa memengaruhi reseptor alfa sehingga mengurangi afterload. Stimulasi reseptor beta-1 menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium dan frekuensi denyut jantung. Stimulasi reseptor beta-2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula serta dilatasi bronkus sehingga terjadi penurunan SVR dan PVR serta bronkodilatasi. Dobutamin merupakan good first choice untuk mengatasi CO yang rendah karena meningkatkan CO tanpa meningkatkan kon sumsi O2 sehingga dapat membantu aliran darah miokardium. Dosis penggunaan Dobutamin melalui titrasi dimulai dengan 2-5 µg/kg/menit dengan dosis lazim 2-20 µg/kg/menit.
5. Apakah KIE yang harus diberikan untuk peningkatan kualitas hidup Ny. NN ? -
Perlu mengurangi aktivitas pasien sebagai atlet, karena kondisi jantungnya yang kurang adekuat.
-
Banyak istirahat dan tidak melakukan aktifitas berat terlebih dahulu.
-
Perlu olahraga pagi dengan menghirup O2 yang bersih.
-
Olahraga ringan seperti jalan kaki 30 menit.
-
Makan makanan yang rendah karbohidrat dan rendah lemak.
-
Kurangi makanan yg mengandung asam laktat.
6. Apakah monitoring yang perlu dilakukan untuk kondisi Ny. NN ? -
Monitoring tekanan darah Monitoring HR dan RR Monitoring murmur Monitoring JVP Monitoring ronki Monitoring keseimbangan hemodinamik pasien Monitoring S1 dan S2 seharusnya tidak ada Monitoring BGA (Blood Gas Analyze) Monitoring efek samping dobutamin CV : Denyut ektopik, takikardi, nyeri angina, palpitasi, vasokonstrisik, aritmia ventrikel (pada dosis tinggi), hipertensi. CNS : Sakit kepala, cemas. GI : Mual, muntah. GU : Menurunkan urin outflow. RESP : Sesak nafas. Lain-lain : Gan gren pada ekstremitas.
NSAID dan Resiko Penyakit Kardiovaksular
NSAID bekerja pada enzim COX-1 dan COX-2. Alasan pen ggunaan inhibitor COX-2 selektif adalah efek gastrointestinal negatif (GI) dari NSAID nonselektif. Selektivitas enzim COX-2 terbukti menunjukkan efek gastroprotektif. Namun, inhibisi COX-2 selektif dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular. Risiko prothrombotic ini diakibatkan oleh vasokonstriksi dan deposit platelet thromboxane A2, yang tetap tidak seimbang dan tidak dilawan saat aktivitas prostasiklin ditekan melalui penghambatan COX-2. Sedangkan penghambat COX-1 ireversibel telah terbukti bersifat kardioprotektif, yang terlihat pada aspirin dosis rendah. Rofecoxib, penghambat COX-2, telah dikaitkan dengan kematian koroner dan kardiovaskular, bahkan dalam dosis kecil. Hal itu disimpulkan dalam percobaan Vioxx Gastrointestinal Outcomes Research (VIGOR) bahwa ada kekhawatiran besar untuk meningkatkan risiko kardiovaskular dengan rofecoxib. Uji coba Polip Adenomatosa pada percobaan Vioxx (APPROVe) yang pada akhirnya menyebabkan penghentian rofecoxib dari pasar AS. karena ini menunjukkan peningkatan risiko MI akut pada dosis rendah dan tinggi. Diperkirakan peningkatan kejadian tromboemboli lima kali lipat pada pasien yang memakai rofecoxib 50 mg/hari dibandingkan dengan naproxen, dan peningkatan dua kali lipat pada pasien yang minum 25 mg/hari dibandingkan dengan plasebo. Tak lama setelah penarikan rofecoxib oleh FDA dari pasar, valdecoxib segera menyusul karena meningkatnya
risiko MI dan stroke. Celecoxib dapat menyebabkan peningkatan risiko kejadian trombotik kardiovaskular yang serius, MI, dan stroke. Celecoxib meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular pada dosis yang lebih tinggi dari 200 mg/hari. Beberapa NSAID lainnya meningkatkan risiko kardiovaskular termasuk NSAID semiselektif diclofenak dan meloxicam, dan NSAIDs nonselektif ibuprofen dan naproxen (Gambar 2). Beberapa studi meta-analisis dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa diklofenak telah menunjukkan risiko kardiovaskular tertinggi pada NSAID nonselektif. Selain itu, dalam penelitian kohort retrospektif yang dilakukan oleh Ray et al., bila dibandingkan dengan naproxen ≥1.000 mg/hari, diklofenak dikaitkan dengan peningkatan risiko MI, stroke, dan penyebab kematian dalam dosis <150 mg/hari. Dimungkinkan karena perbedaan tingkat selektifitas COX-2. Karena terbatasnya jumlah uji coba yang menilai meloxicam, risiko kardiovaskular yang terkait dengan penggunaannya tetap tidak diketahui. Evidance-base terhadap risiko kardiovaskular NSAID oleh Farkouh dan Greenberg menunjukkan bahwa ibuprofen dikaitkan dengan risiko kardiovaskular yang sebanding dengan celecoxib. Dalam beberapa uji klinis, naproxen tidak berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskular pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular bila dibandingkan den gan NSAID nonselektif dan inhibitor COX-2 lainnya. Naproxen ditentukan menjadi NSAID nonselektif pilihan untuk pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi (Perry, et al., 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Alwi I, Nasution SA. Syok Kardiogenik. Dalam Sudoyo AW., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed kelima jilid I . Interna Publishing. Jakarta; November 2009.
Atkinson, R. S., Hamblin J. J. dan Wright J E C. 1981. Shock . Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29. Fitria, C.N. 2010. Syok dan Penanganannya. GASTER, Vol 7 no 2 Agustus 2010 Fox, K.A., et al., Intervention in acute coronary syndromes: do patients undergo intervention on the basis of their risk characteristics , The Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE). Heart, 2007. 93(2): p. 177-82.
Kolte D, Khera S, Aronow WS, et al. Trends in incidence, man agement, and outcomes of cardiogenic shock complicating ST-elevation myocardial infarction in the United States. J Am Heart Assoc. 2014 Jan 13. 3 (1):e000590 Panja, M., Madhumati Panja, Saroj Mandal, Dilip Kumas, Kolkata. Cardiogenic Shock Management. Medicine Update. 2010. Vol 20 Perry, L. A., et al. 2014. Cardiovascular Risk Associated With NSAIDs and COX-2 Inhibitors. US Pharmacist A Jobson Publication. 39(3):35-38. https://www.uspharmacist.com/article/cardiovascular-risk-associated-withnsaids-and-cox2-inhibitors. Diakses 8 Juni 2017. Ren X, Lenneman A. Cardiogenic Shock . Medscape Reference. May 2013. Dikutip dari www.emedicine.medscape.com. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving outcomes. Circulation. 2008 Feb 5. 117(5):686-97 Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving outcomes. Circulation. Feb 5 2008;117(5):686-97.
Saryono.2010. Terapi Oksigen. Modul Skillab Jillid 1. Lab Keterampilan Medik PPD Unsoed.
Smith, Kristen A. Cardiogenic Shock. The Open Pediatric Medicine Journal. 2013, 7: 19-27. Zimmerman, J. L., Taylor R. W., Dellinger R. P. dan Farmer J. C. 1997. Diagnosis and Management of Shock . Dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of
Critical Care Medicine, 1997.