MAKALAH BIOTEKNOLOGI FARMASI Biomaker untuk Penyakit Kanker Kolon
Nama Andika Putri Nuswantara Eli Nur Aisyah Auliana Yuni Khusniati Putri Umniyyah Nita Sari Harumi Ananda Liza Indi Hidayah Cinta Gantina Reni Hernawati
NPM 260110140040 260110140041 260110140042 260110140043 260110140044 260110140045 260110140046 260110140047 260110140048
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2017
Biomarker Kanker Kolon Kanker kolon atau kanker usus besar merupakan penyakit dimana sel-sel pada mukosa kolon (usus besar) mengalami abnormalitas dan membelah diri secara tidak terkontrol
membentuk suatu massa tumor. Jenis kanker ini juga sering disebut kanker kolorektal karena dapat menyerang pada bagian kolon dan rektal pada usus besar. Sel-sel kanker juga dapat menginvasi dan melakukan metastase pada jaringan atau organ lain dalam tubuh (Tatuhey, 2012). Penyebab timbulnya penyakit kanker kolon berkaitan dengan faktor lingkungan dan faktor genetik, serta dikaitkan juga dengan faktor predisposisi diet rendah serat, konsumsi alkohol, dan kenaikan berat badan tubuh. Faktor lingkungan seperti terpapar bahan kimia, bahan radioaktif dan virus merupakan beberapa contoh pemicu tumbuhnya sel kanker kolon. Penyakit ini lebih umum diderita oleh orang dengan usia 40 tahun atau lebih. Hal ini terjadi karena adanya mutasi pada tingkat DNA yang terdapat di sel penyusun mukosa atau dinding kolon yang terus mengalami akumulasi seiring dengan bertambahnya usia. Disamping itu, faktor sistem imun yang semakin menurun dapat meningkatkan resiko terkena penyakit ini, ditandai dengan penurunan konfigurasi limfosit dalam melawan infeksi, penurunan produksi imunoglobulin dan penurunan kemampuan mengenali benda asing yang masuk kedalam tubuh (Gordon, 2007).
Gambar 1 Kolon (Usus Besar) Manusia yang Mengalami Kanker Penanda kanker atau cancer marker merupakan suatu substansi yang digunakan untuk mendeteksi perubahan akibat adanya kanker yang menyerang bagian jaringan tertentu dalam tubuh. Penelitian mengenai penanda kanker banyak diteliti dan dikembangkan untuk mendapatkan suatu marker yang ideal sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai perkembangan kanker baik dalam tingkat ekstraseluler, seluler, maupun molekuler (Bremnes, 2003). Penjelasan mengenai marker untuk penyakit kanker kolon yaitu sebagai berikut:
1. Chromosome 18q loss of heterozygosity (18qLOH) Tabel 1 Biomarker Kanker Kolon
Sejumlah penelitian meneliti faktor prognostik pasien kanker kolon pada stadium II dan III. Chromosome 18q loss of heterozygosity (18qLOH) mengkode protein SMAD 4 yang spesifik CRC (Colorectal cancer). Sebuah meta-analisis dari data 27 penelitian dan 2189 pasien menegaskan bahwa kelangsungan hidup yang buruk pada Colorectal cancer (CRC) berhubungan dengan Chromosome 18q loss of heterozygosity (18qLOH) (Popat, 2005). Hasil penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan tim dibuktikan bahwa pada pasien dengan tahap Colorectal cancer (CRC) pada stadium II, Ⅲ dan MSS-H (> 33%), tingkat LOH dari empat kromosom termasuk 18 berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Pasien dengan MSS dan LOH-L atau fenotipe MSI-H (watanabe,2012). Berdasarkan data yang ada, Chromosome 18q loss of heterozygosity (18qLOH) tidak bisa menjadi satu-satunya dasar terapi. Pasien dengan Prognosis yang baik (dengan MSI-H dan w / o 18qLOH) selalu dimonitoring dan pasien dengan prognosis buruk (dengan MSI-L
atau MSS dan 18qLOH)
dimasukan dalam kelompok kemoterapi (FOLFOX saja atau
FOLFOX dan bevacizumab). Penelitian mengenai analisis biomarker pada pasien kanker kolon tidak dapat digunakan satu biomarker saja.
2. Marker 5q allele atau Adenomatous Polyposis Coli (APC) Gen Adenomatous PolyposisColi (APC) adalah gen utama dalam kromosom 5q21 yang terdiri dari 16 ekson yang menjadi sasaran empuk mutagenesis (Sudoyo,2010). Produk yang dihasilkan oleh gen APC adalah protein APC yang memiliki fungsi dalam mengatur diferensiasi, adhesi, polaritas, migrasi, perkembangan, apoptosis, segregasi kromosom dan juga meliputi regulasi β-catenin dalam jalur persinyalan Wingless/Wnt (Pino dan Daniel,2010; Sudoyo,2010). Protein APC terlibat dalam degradasi β-catenin, β-catenin berikatan dengan protein pengikat DNA TCF-4 yang berfungsi sebagai aktivator transkripsi (McDermottet al.,2002). Mutasi gen APC menyebabkan peningkatan tingkat β-catenin dan mengaktifkan faktor transkripsi TCF/LEFsehingga terjadi peningkatan ekspresi cyclin D dan c-myc, MMP-7, CD44, gastrin, COX-2 dan PPARδ (Sudoyo,2010; McDermottet al.,2002), yang selanjutnya di translokasikan ke nukleus sehinnga menyebabkan proses transkripsi beberapa gen yang terlibat pada pertumbuhan tumor(Pino dan Daniel,2010). Hilangnya fungsi dari APC maka mutasi gen pada APC terjadi diantaranya, 5% dysplastic ACF, 30%–70% adenoma dan 72% kanker kolorektal sporalis (Pino dan Daniel, 2010). Terjadinya mutasi pada β-catenin (CTNNB1) juga mengidentifikasi adanya 50% tumor kolon dengan APC yang utuh, merefleksikan bahwa jalur Wnt itu penting (jalur regulasi sitoskeletal).
3. Loss of Function p53 (17p13) p53 manusia adalah 393-amino acid nuclear protein, yaitu berperan secara biokimia sebagai faktor transkripsi. Molekul p53 terdiri dari 3 mayor domain yaitu: N-terminal transaktivaton domain, DNA binding domain (yang terletak dalam bagian tengah molekul), dan C-oligomerization domain (Hollstein et al, 1991). Beberapa fungsi biologis p53 adalah menginduksi penahanan pertumbuhan atau mengaktivasi 14-3-3 (untuk penahanan pada posisi G2), menginduksi apoptosis, dan pada sisi lain menjadi perantara Bax, KILLER/DR5 dan gen yang terlibat dalam menghasilkan oksigen
reaktif. Mutasi p53 ditemukan pada kanker yang terkumpul pada specific DNA binding domain yang mengakibatkan menghilangkan transaktivasi dan p53 specific DNA binding (Hollstein et al, 1991). Gen supresor bekerja sebagai regulator negatif bagi berlangsungnya proliferasi dan siklus sel. Sebagai regulator negatif dari proses proliferasi sel, kehilangan satu alel akibat mutasi diharapkan tidak berpengaruh pada fungsi alel kedua (alel normal/wild type), sehingga mutasi ini merupakan lost of function mutation dan bersifat resesif. Produk gen supresor baru menjadi inaktif, apabila kedua alel mengalami mutasi. Tetapi umumnya yang sering terjadi adalah mutasi pada satu alel yang diikuti dengan hilangnya alel wild type hingga menjadi homozigot (lost of heterozygosity). Mutasi resesif pada gen supresor pada beberapa kasus tidak menimbulkan fenotip pertumbuhan abnormal pada keadaan heterozigot, tetapi mutasi ini dapat diwariskan melalui sel-sel germinal (germline cells) Gambar 2 Peran p53 pada proses siklus sel
Mutasi p53 dapat menyebabkan 3 efek fenotip yaitu : (1) Lost of function. Menyebabkan gangguan kemampuan p53 untuk memblok pembelahan sel atau membatalkan perubahan fenotip (2) Gain of function. Gen p53 mutan menginduksi fenotip tumorigenic. (3) Transdominan mutation. Alel p53 mutan masuk ke dalam sel yang mengandung p53 wild type sehingga menyebabkan terganggunya fungsi inhibitor dari p53.
4. Carbohydrate Antigen (CA) 19-9 Antigen Carcinoembryonic (CEA) merupakan marker pada pasien dengan kanker kolorektal. CEA adalah glikoprotein dengan berat molekul yang tinggi dan termasuk imunoglobulin. CEA berfungsi sebagai molekul intraseluler yang menstimulasi agregasi pada sel karsinoma kolorektal manusia. CEA akan meningkat sekitar 60% sampai 85% pada pasien dengan kanker kolorektal.
CEA memiliki spesifisitas untuk kanker kolorektal
sebanyak 90%, namun sensitivitasnya hanya 40% sampai 75%. Sehingga marker ini tidak dapat digunakan untuk tujuan diagnostik. Penanda tambahan untuk memantau kanker kolorektal adalah carbohydrate Antigen (CA 19-9). CA 19-9 merupakan yang menginduksi adhesi sel kanker menjadi sel endotel. CA 19-9 meningkat sekitar 35% sampai 40% pasien dengan kanker kolorektal stadium lanjut. Pada pasienKekurangan antigen Lewis (sekitar 5% dari populasi),CA 19-9 tidak diekspresikan karena kekurangan enzim fukosiltransferase, yang dibutuhkan untuk menghasilkan CA 19-9 danAntigen Lewis. CA 19-9 pada pasien diabetes mellitus tidak teridentifikasi secara spesifik, sehingga pada pasien kanker kolorektal dengan diabetes mellituss memiliki nilai CA 19-9 yang tidak signifikan. CA19-9 merupakan antigen kanker yang kadar serumnya meningkat terdeteksi juga dalam kasus kanker kolorektal. Ini adalah penanda tumor yang diamati pada peningkatan konsentrasi serum dengan kanker usus besar metastatik. Cancer embryonic antigen (CEA) dan carbohydrate antigen (CA19-9) merupakan penanda tumor yang terkenal yang digunakan dalam diagnosis kanker kolorektal. Cancer embryonic antigen (CEA) and carbohydrate antigen (CA19-9)
juga digunakan dalam
stadium praoperasi dan follow up pasien pasca operasi, terutama pasien yang diobati dengan kemoterapi. Munculnya tingkat penanda yang meningkat dalam serum ini pada sebagian besar kasus merupakan tanda kekambuhan atau lesi metastatik di sekitar lingkungan tumor dan juga tumor jarak jauh. Penanda tumor CA 19-9 bisa digunakan untuk memantau proses penyakit pada orang dengan kanker kolorektal tanpa peningkatan kadar CEA. Peningkatan tingkat preoperatif CA 19-9 menunjukkan tingkat survival sebanyak 5 tahun lebih sedikit dibandingkan dengan pasien dengan tingkat peningkatan CEA pra operasi. Hasil pengukuran CA 19-9 dapat menjadi bias bila pasien memiliki riwayat diabetes mellitus dan kebiasaan merokok. Pada pasien kanker kolon yang merokok akan mengalami penurunan jumlah CA 19-9, sedangkan pada pasien kanker kolon dengan penyakit penyerta diabetes melitus akan mengalami
peningkatan kadar. CA 19-9 dikategorikan meningkat bila lebih dari 37 Ku/l dan kadar CEA dikategorikan meningkat bila melebihi 5 mg/L. Serum CEA dan CA 19-9 dapat dideteksi dengan metode ECLIA atau carbohydrate electrochemiluminescence immunoassay (Stiksma, 2014) dan ELISA dengan kadar normaln 0-37 U/ml (Forones, 1999). 5. M2-piruvat kinase (M2-PK) M2-piruvat kinase (M2-PK) adalah isoenzim piruvat kinase, yang merupakan enzim penting dalam glikolisis dimana ia mengkatalisis konversi fosfoenolpiruvat menjadi piruvat. Isoenzim ini umumnya merupakan bentuk tetramerik yang sangat aktif (Mazurek, 2011). Namun pada jaringan tumor, pada paparan oncoprotein, M2-PK diubah menjadi bentuk dimerik yang kurang aktif, sebuah perubahan yang diperlukan untuk metabolisme tumor. M2PK tidak spesifik untuk tumor apapun dan telah dilaporkan ditemukan pada berbagai jenis kanker termasuk kanker ginjal, esofagus, lambung, pankreas, kolorektal, paru-paru, ovarium dan payudara. M2-PK telah ditemukan dalam darah dan tinja. Dalam berbagai jenis kanker dan dengan demikian telah digunakan dalam skrining kanker atau deteksi dan tindak lanjut untuk mendeteksi kekambuhan(Tonus, et al., 2012). Tes fekal piruvat kinase isoenzim tipe M2 (faecal M2-PK) mengenali enzim kunci yang mengendalikan metabolisme sel dengan tingkat proliferasi tinggi, seperti sel tumor, dan dengan demikian M2-PK dapat mendeteksi perubahan spesifik pada sel usus, seperti polip dan kanker kolon, selain itu dapat juga mendeteksi pasien yang berisiko tinggi terhadap penyakit radang usus kronis akut atau kronis (yaitu kolitis ulserativa, penyakit Crohn) (Tonus, et al., 2012). Berbeda dengan semua isoenzim piruvat kinase lainnya (tipe L, M1 dan R) yang terdiri dari empat subunit, isoenzim piruvat kinase M2 dapat terjadi dalam bentuk tetramerik yang sangat aktif dan juga dalam bentuk dimer dengan aktivitas rendah. Bentuk dimerik hampir tidak aktif dan lebih menyukai penyaluran glukosa ke dalam proses sintetis, seperti asam nukleat, asam amino dan sintesis asam lemak. Bentuk tetramerik sangat aktif dan nikmatnya konversi regenerasi energi PEP menjadi piruvat dan laktat (efek Warburg). Pada sel tumor, M2-PK terutama ditemukan dalam bentuk dimer dan karena itu disebut "Tumor M2-PK". Dimerisasi M2-PK disebabkan oleh interaksi dengan oncoprotein yang berbeda, termasuk pp60v-src-kinase, faktor pertumbuhan fibroblas onkogenik1 dan virus papiloma manusia (Tonus, et al., 2012; Mazurek, 2011).
Bentuk dimeris M2-PK dilepaskan dari tumor ke dalam darah dan dapat dihitung dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Sekitar 40 penelitian telah dipublikasikan mengenai konsentrasi M2-PK dalam darah sejak 1997. Ini menunjukkan peningkatan yang signifikan pada M2-PK dan korelasi dengan stadium untuk tumor berikut: melanoma, tiroid, payudara, paru-paru, ginjal, esofagus, lambung, pankreas, kolorektal, ovarium, kanker serviks dan ginjal (Lüftner, et al., 2000; Schneider, et al., 2000; Kaura, et al., 2004; Ugurel, et al., 2005; Ahmed, et al., 2007., Kumar, et al., 2007; Nisman, et al., 2010). Penentuan jangka panjang M2-PK di EDTA-plasma digunakan sebagai alat untuk studi lanjutan untuk memantau kegagalan, kambuh atau kesuksesan selama terapi. Pada kanker kolon dan adenoma M2-PK juga dilepaskan oleh kotoran pasien. ELISA sandwich dan tes cepat aliran lateral, keduanya didasarkan pada dua antibodi monoklonal yang secara khusus mengenali bentuk dimeris M2-PK, tersedia secara komersial untuk kuantifikasi M2PK di bangku Potensi tes M2-PK fekal untuk skrining kanker kolon telah dievaluasi setidaknya dalam 17 studi internasional independen yang berbeda (Huang, et al., 2014). Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mendapatkan gambaran umum dari studi yang ada saat ini dengan M2-PK fekal dan untuk menyajikan diskusi kritis mengenai efikasi uji M2-PK fekal untuk pemeriksaan kanker kolon. Ekspresi M2-PK yang meningkat berada di bawah kendali ras, dan faktor transkripsi SP1 dan HIF-1. Ras dan HIF-1 keduanya secara konsisten diubah pada tumor gastrointestinal. M2-PK dapat terjadi dalam bentuk tetramerik yang ditandai dengan afekitas yang tinggi terhadap substratnya PEP dan dalam bentuk dimer dengan tingkat PEP yang rendah. Tetramer: rasio dimer M2-PK menentukan proporsi karbon glukosa yang digunakan untuk produksi energi glikolitik (bentuk tetramerik) atau disalurkan ke proses sintetis (bentuk dimer)(Mazurek, 2011).
DAFTAR PUSTAKA Ahmed AS, et al. 2007. M2-PK As A Novel Marker In Ovarian Cancer. A Prospective Cohort Study. Eur J Gynaecol Oncol. 28: 83–88. Bremnes RM, Sundstorm S, Aasebo U, Kaasa S, Hatlevoll R, Aamdal S. 2003. The Value of Prognostic Factors in Small Cell Lung Cancer: Results from a Randomised Multicenter Study with Minimum 5 year Follow-up. Norweigian Lung Cancer Study Group 2003; 39: 303-13. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. USA: Lippincott Willi ams& Wilkins. Forones, NM and Tanaka. 1999. CEA and CA 19-9 as Prognostic Indexes in Colorectal Cancer. Hepatogastroenterology Vol. 46(26): 905-908. Gordon, P.H. 2007. Colorectal disorders. In: Gordon PH, Nivatvongs S. Principles and practice of surgery for the colon, rectum and anus. 3th Ed. NewYork: Informa Healthcare. Huang, Jin Xi, et al. 2014. Tumor M2-Pyruvate Kinase In Stool As A Biomarker For Diagnosis Of Colorectal Cancer: A Meta-Analysis. Journal of Cancer Research and Therapeutics.10 (7): 225-228. Hollstein, et al. 1991. p53 Mutation in Human Cancers. Science. 253: 49-53. Kaura B, et al. 2004. Evaluation Of The Pyruvate Kinase Isoenzyme Tumor (Tu M2-PK) As A Tumor Marker For Cervical Carcinoma. J Obstet Gynaecol Res. 30:193–196. Kumar Y, et al. 2007. Tumour M2-Pyruvate Kinase: A Gastrointestinal Cancer Marker. Eur J Gastroenterol Hepatol. 19: 265–276. Lech G, Slotwinski R, Krasnodebski IW. 2014. The role of tumor markers and biomarkers in colorectal cancer. Neoplasma; 61: 1-8 Lüftner D, et al. 2000. Tumor Type M2 Pyruvate Kinase Expression In Advanced Breast Cancer. Anticancer Res. 20:5077–5082. Mazurek S. 2011. Pyruvate Kinase Type M2: A Key Regulator Of The Metabolic Budget System In Tumor Cells. Int J Biochem Cell Biol.43:969–980.
McDermott, U., D. B. Longley & P. G. Johnston. 2002.Molecular and biochemical markers in colorectal cancer.European Society for Medical Oncology : 235-245. Nisman B, et al. 2010. Circulating Tumor M2 Pyruvate Kinase And Thymidine Kinase 1 Are Potential Predictors For Disease Recurrence In Renal Cell Carcinoma After Nephrectomy. Urology. 76: 513.e1–513.e6. Oxaliplatin, Leucovorin Calcium, and Fluorouracil With or Without Bevacizumab in Treating Patients Who Have Undergone Surgery for Stage II Colon Cancer. Available from: http://clinicaltrials.
gov/ct2/show/study/NCT00217737?Term=ecog
5202&rank=1
[diakses pada tanggal 29 April 2017] Pino, Maria S. Dan Daniel C. Chung. 2010.The Chromosomal Instability Pathway In Colon Cancer. Gastroenterology. Vol. 138 (6) : 1-25. Popat S, Houlston RS. 2005. A systematic review and meta-analysis of the relationship between chromosome 18q genotype, DCC status and colorectal cancer prognosis. Eur J Cancer; 41: 2060-2070 Schneider J, et al. 2000. Quantitative Detection Of Tumor M2-Pyruvate Kinase In Plasma Of Patients With Lung Cancer In Comparison To Other Lung Diseases. Cancer Detect Prev. 24:531–535. Stiksma,
J
et
al.
2014.
CA
19-9
As
a
Marker
in
Addition
to
CEA
to Monitor Colorectal Cancer. Clinical Colorectal Cancer, Vol. 13, No. 4, 239-244. Sudoyo, Aru W. 2010. Biomolecular Markers as Determinants of Patients Selection for Adjuvant Chemotherapy of Sporadic Colorectal Cancers. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. Vol.42 (1) : 45-50. Tatuhey W. S., Helfi Nikijuluw, dan Josepina Mainase. 2013. Karakteristik Kanker Kolorektal Di RSUD Dr. M Haulussy Ambon Periode Januari 2012 – Juni 2013. Molucca Medica Vol. 4 (2): 150-157 Tonus, Carolin, et al. 2012. Faecal Pyruvate Kinase Isoenzyme Type M2 For Colorectal Cancer Screening: A Meta-Analysis. World J Gastroenterol. 18(30): 4004–4011. Ugurel S, et al. 2005. Tumor Type M2 Pyruvate Kinase (Tum2-PK) As A Novel Plasma Tumor Marker In Melanoma. Int J Cancer. 117: 825–830.
Watanabe T, Kobunai T, Yamamoto Y, Matsuda K, Ishihara S, Nozawa K, Yamada H, Hayama T, Inoue E, Tamura J, Iinuma H, Akiyoshi T, Muto T. 2012.Chromosomal instability (CIN) phenotype, CIN high or CIN low, predicts survival for colorectal cancer. J Clin Oncol; 30: 2256-226.