LAPORAN LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PROGRAM PENDI DI KAN PROFE PROFE SI APOTEKE APOTEKE R PER I ODE 104
PENDAHULUAN 1.1. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
1.1.1
Definisi
Sindrom Nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran glomerulus dengan batasan batasa n klinis sebagai berikut: - Proteinuria, yaitu jumlah protein dalam urin >3-3,5 gram/24 jam atau dengan hasil uji dipstick menunjukkan nilai +3. - Hipoalbuminemia, yaitu serum albumin < 25 g/L - Hiperlipidemia - Lipiduria Oedema (Hull et al., 2013 dan Liu et al., 2015).
1.1.2
Epidemiologi
Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas Sindrom Nefrotik pada anak masih tinggi yaitu melebihi 50% sedangkan angka mortalitas mencapai 23%. Berdasarkan survey yang dilakukan CDC dari tahun 2005 hingga 2011, sindrom nefrotik termasuk dalam 10 penyakit penyebab mortalitas tertinggi di dunia.Angka kejadian di Indonesia pada Sindrom Nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002). Di USA jumlah penderita dewasa nefrotik sindrom yaitu 20 kasus per 1 juta (Cohen, 2016).
1.1.3
Etiologi
Sindrom nefrotik disebabkan oleh berbagai kondisi yang dapat diklasifikasikan menjadi penyebab primer dan sekunder. a. Penyebab Primer
Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) SNKM merupakan penyebab sindrom nefrotik pada 70-90% anak dan 10-15% dewasa.SNKM merupakan penyakit ginjal primer yang berkaitan dengan penyakit Hodgkin, ale rgi, atau ata u karena penggunaan NSAID. Pada biopsi renal, SNKM tidak menunjukkan adanya lesi glomerulus yang jelas, akan tetapi secara
konsisten
menunjukkan
adanya
penipisan
yang
menyebabkan
melemahnya membran celah pori epitel podosit.
Glomerulosklerosis Focal Segmental (GSFS) GSFS merupakan kelainan pada glomerulus, ditandai dengan sklerosis pada glomerulus segmental yang melibatkan beberapa glomeruli tetapi tidak
LAPORAN LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PROGRAM PENDI DI KAN PROFE PROFE SI APOTEKE APOTEKE R PER I ODE 104
Glomerulonephritis Membranosa (MGN) Glomerulonephritis membranosa atau nefropati membranosa (MN) terjadi pada 30% sindrom nefrotik dewasa. nefropati membranosa merupakan kelainan glomerulus dimana terdapat penimbunan imunoglobulin G dan komplemennya
pada
podosit
di
lapisan
subepitelial
dinding
kapiler
glomerulus. Penyebab nefropati membranosa primer masih tidak jelas (idiopatik), tetapi pada nefropati membranosa sekunder terjadi karena penyakit autoimun (Systemic Lupus Eritematosus, Autoimmune Thyroiditis), infeksi (Hepatitis B dan C), obat-obatan, dan keganasan (kanker paru, kanker kolon).
(a)
(b)
(c)
Gambar 1.1 Perbedaan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (a), Glomerulosklerosis Fokal Segmental (b), dan Nefropati Membranosa (c) (Liu et al., 2015)
b. Penyebab Sekunder
1.1.4
Diabetic mellitus
Systemic Lupus Eritematosus
Hipertensi Maligna (Liu et al., 2015).
Patogenesis
Kelainan utama dalam sindrom nefrotik adalah pengembangan proteinuria masif. Penyebab proteinuria pada sindrom nefrotik adalah kerusakan fungsi atau struktur membran filtrasi glomerulus. membran filtrasi glomerulus terdiri dari sel endotel fenestra di bagian dalam, membran basalis, dan sel epitel khusus dibagian luar yang dikenal dengan podosit. Podosit memiliki tonjolan-tonjolan menyerupai kaki (foot processes), diantara tonjolan tersebut
LAPORAN LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PROGRAM PENDI DI KAN PROFE PROFE SI APOTEKE APOTEKE R PER I ODE 104
Glomerulonephritis Membranosa (MGN) Glomerulonephritis membranosa atau nefropati membranosa (MN) terjadi pada 30% sindrom nefrotik dewasa. nefropati membranosa merupakan kelainan glomerulus dimana terdapat penimbunan imunoglobulin G dan komplemennya
pada
podosit
di
lapisan
subepitelial
dinding
kapiler
glomerulus. Penyebab nefropati membranosa primer masih tidak jelas (idiopatik), tetapi pada nefropati membranosa sekunder terjadi karena penyakit autoimun (Systemic Lupus Eritematosus, Autoimmune Thyroiditis), infeksi (Hepatitis B dan C), obat-obatan, dan keganasan (kanker paru, kanker kolon).
(a)
(b)
(c)
Gambar 1.1 Perbedaan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (a), Glomerulosklerosis Fokal Segmental (b), dan Nefropati Membranosa (c) (Liu et al., 2015)
b. Penyebab Sekunder
1.1.4
Diabetic mellitus
Systemic Lupus Eritematosus
Hipertensi Maligna (Liu et al., 2015).
Patogenesis
Kelainan utama dalam sindrom nefrotik adalah pengembangan proteinuria masif. Penyebab proteinuria pada sindrom nefrotik adalah kerusakan fungsi atau struktur membran filtrasi glomerulus. membran filtrasi glomerulus terdiri dari sel endotel fenestra di bagian dalam, membran basalis, dan sel epitel khusus dibagian luar yang dikenal dengan podosit. Podosit memiliki tonjolan-tonjolan menyerupai kaki (foot processes), diantara tonjolan tersebut
LAPORAN LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PROGRAM PENDI DI KAN PROFE PROFE SI APOTEKE APOTEKE R PER I ODE 104
terdapat celah diafragma (slit diaphragm), yang berperan penting dalam pemeliharaan fungsi filtrasi glomerulus. Terdapat dua mekanisme yang berperan dalam patogenesis sindrom nefrotik, yakni pertama secara imunologi sel T memproduksi circulating factorberupa vascular permeability factor (VPF) yang merupakan asam amino identik denganvascular endhotelial growth factor (VEGF). Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga terjadi kebocoran protein. Mekanisme kedua adalah adanya defek primer pada barrier filtrasi glomerulus yang mengakibatkan celah diafragma melebar. Molekul-molekul terlarut yang dapat melewati barrier glomerulus ditentukan oleh besarnya molekul, molekul > 10 kDa akan tertahan sehingga tidak dapat melewati barrier tersebut (size selectivity barrier). Apabila ada gangguan pada mekanisme ini maka protein yang memiliki ukuran molekul besar dapat lolos sehingga terjadi proteinuria. Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah adanya daya elektrostatik dari muatan negatif permukaan epitel foot processes yang dibentuk oleh sialoprotein kapiler, heparan sulfat membran basalis glomerulus, dan podokaliksin (charge selectivity barrier). Hilangnya muatan negatif dari membran dasar glomerular menyebabkan molekul-molekul bermuatan negatif (protein) bisa lolos menembus dinding membran dan mengakibatkan terjadinya proteinuria(Smoyer and Gbadegesin, 2008 dan Rachmadi, 2010).
Gambar 1.2 Kelainan pada membran dasar glomerularakibat hilangnya muatan negative (Smoyer and Gbadegesin, 2008)
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
Gambar 1.3 Kelainan pada Membran Dasar Glomerular akibat Autoimmune Disease (Smoyer and Gbadegesin, 2008)
1.1.5
Klasifikasi Terdapat berbagai jenis klasifikasi sindroma nefrotik yang digunakan untuk
menentukan prognosis. Klasifikasi yang lebih sering digunakan yaitu respons terhadap pengobatan steroid dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik yaitu sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS). Selain sensitif steroid dan resisten steroid, terdapat satu jenis klasifikasi sindrom nefrotik lagi yaitu dependen steroid. Sindrom nefrotik akan dikatakan resisten steroid apabila tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu, sedangkan dikatakan sensitif steroid apabila remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu. Dependen steroid apabila terjadi relaps dua kali berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan. Remisi yaitu apabila proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut- turut dalam 1 minggu, sedangkan relaps yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu Ditinjau berdasarkan kemungkinan terjadinya relaps maka sindrom nefrotik dikelompokkan menjadi relaps jarang dan relaps sering. Relaps jarang apabila relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan, sedangkan relaps sering (frequent relaps) yaitu apabila relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun (Trihono et al., 2012).
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
1.1.6
Manifestasi Klinis
a)
Proteinuria
Proteinuria dimediasi oleh deposit sel-sel imun pada glomerulus. Antigen dan antibodi yang terdeposit kemudian akan merusak membran parenkim glomerular. Migrasi sel mediator inflamasi seperti neutrofil, makrofag, platelet dapat mengubah permeabilitas membran, aliran darah, serta fungsi dari glomeruli. Terjadinya penyempitan pembuluh darah dan oklusi akan berakibat pada destruksi glomeruli. Perubahan permeabilitas membran glomeruli ini akan menyebabkan protein dan bahan yang ada pada darah lolos dari proses filtrasi, sehingga terjadilah proteiuria (Lau, 2011). b)
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia terjadi akibat peningkatan permeabilitas membran sehingga albumin akan banyak lolos bersama urin, serta akibat meningkatnya laju katabolisme dari albumin yang difiltrasi oleh sel tubulus proksimal ginjal. Hepar akan berusaha melakukan kompensasi dengan mensintesis albumin untuk menggantikan protein yang hilang, namun hepar tidak mampu mengembalikan albumin ke angka normal akibat adanya malnutrisi (Lau, 2011). c)
Edema
Terdapat dua teori yang menyebabkan terjadinya edema pada pasien sindrom nefrotik, yaitu teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan edema terjadi akibat penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia. Turunnya tekanan onkotik menyebabkan perpindahan cairan intravaskuler ke kompartemen inteststitial sehingga terjadilah reduksi volume plasma. Penurunan volume plasma akan merangsang sistem saraf simpatis dengan mengaktifkan renal angiostensin aldosteron system (RAAS), dimana bentuk kompensasinya berupa retensi natrium dan air. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hipoalbuminemia tidak akan menyebabkan edema hingga serum albumin mencapai ≤2 g/dl. Gradien tekanan onkotik antar kapiler tidak setinggi yang disebutkan diatas karena peningkatan aliran limfatik akan menurunkan tekanan
interstitial dengan cara membuang protein dan air dari
insterstitial. Disamping itu terjadinya retensi air dimediasi oleh tingginya reabsorpsi natrium pada distal, hal ini mungkin disebakan oleh resistensi tubular akibat atrial natriuretic peptide. Hal ini mendukung teori overfill pada beberapa pasien (Lau, 2011). d)
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada sindroma nefrotik merupakan akibat dari menurunnya tekanan onkotik plasma yang kemudian akan menstimulasi hepar untuk menyeimbangkan tekanan onkotik
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
dengan cara mensintesis lipid dan lipoprotein. Sintesis lipid oleh hepar tidak spesifik sehingga semua jenis lipid akan naik termasuk VLDL, LDL dan TG (Lau, 2011). e)
Thromboemboli
Pasien dengan sindroma nefrotik akan mengalami hiperkoagulasi akibat menurunnya konsentrasi antitrombin yang berfungsi sebagai antikoagulan yang lolos bersama urin. Tingginya lipid dalam darah juga menjadi resiko terjadinya agregrasi platelat sehingga menyebabkan arterial dan vena trombosis atau yang disebut tromboemboli (Lau, 2011).
1.1.7
Tata Laksana Terapi Sindroma Nefrotik
Pengobatan Dengan Kortikosteroid Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
a. Terapi Insial Terapi inisial sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid dapat dilihat pada Gambar 1.4 yaitu diberikan prednison 60 mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Trihono et al., 2012).
Gambar 1.4 Terapi Inisial Sindroma Nefrotik
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
b. Terapi Sindroma Nefrotik Resisten Steroid Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis. 1) Siklofosfamid (CPA) Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 1.5.
Gambar 1.5 skema pemberian CPA oral dan CPA puls Keterangan: • Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan •Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 Gambar 1.11. Skema pemberian terapi CPA oral dan CPA puls bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan). atau
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien. • Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari se lama pemberian siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
2) Siklosporin (CyA) Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrof gingiva, dan
juga bersifat
nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: 1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL 2. Kadar kreatinin darah berkala 3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif (Trihono et al., 2012). 3) Metilprednisolon puls Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil
8-12
minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam (Tabel 1) (Trihono et al., 2012). Tabel 1. Penggunaan metilprednisolon dosis tinggi (Trihono et al., 2012).
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
Skema tata laksana Sindroma Nefrotik dapat dilihat pada skema berikut ini
Gambar 1.6 Tata Laksana Sindroma nefrotik ((Trihono et al., 2012).
4) Terapi Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria
Angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGFβ1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti pasien dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada pasien dengan SNSS relaps sering, dependen
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI
saja
atau
dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah kaptopril, enalapril, lisinopril dan losartan (Trihono et al., 2012). Dosis penggunaan: 1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal 2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal Tata Laksana Komplikasi Sindrom Nefrotik a. Infeksi Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi
dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari (Trihono et al., 2012).
Sefoktaksim Dosis Umum pada Anak 1 Bulan sampai 12 Tahun > IV atau IM 50-180 mg / kg setiap hari diberikan dalam 4-6 dosis terbagi rata pada berat badan <50 kg. Dosis yang lebih tinggi harus digunakan untuk infeksi yang lebih parah atau serius. AAP merekomendasikan 75-100 mg / kg sehari diberikan dalam 3 atau 4 dosis terbagi rata untuk infeksi ringan sampai sedang dan 150-200 mg / kg setiap hari diberikan dalam 3 atau 4 dosis terbagi rata untuk infeksi berat. Anak-anak dengan berat> 50 kg harus menerima dosis dewasa yang biasa. Pasien dengan Clcr <20 mL / menit per 1,73 m2 harus menerima 50% dosis biasa yang diberikan pada interval waktu yang biasa. Pasien yang menjalani hemodialisis harus menerima 0,5-2 g sebagai dosis harian tunggal dengan dosis tambahan setelah setiap periode dialisis.
Seftriakson Dosis Pediatrik Umum
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
> Infeksi pada Neonatus ≤4 Minggu Usia IV atau IM: AAP merekomendasikan 50 mg / kg sekali sehari pada neonatus <1 minggu; 50 mg / kg sekali sehari pada usia 1-4 minggu dengan berat <2 kg; Dan 5075 mg / kg sekali sehari pada usia 1-4 minggu dengan berat> 2 kg. > Infeksi Sedang sampai Sedang pada Anak> 4 Minggu Usia IV atau IM: AAP merekomendasikan 50-75 mg / kg sehari diberikan dalam 1 atau 2 dosis terbagi. > Infeksi Parah pada Anak> 4 Weeks of Age IV atau IM: AAP merekomendasikan 80-100 mg / kg sehari diberikan dalam 1 atau 2 dosis terbagi. Produsen merekomendasikan 50-75 mg / kg setiap hari (maksimum 2 g setiap hari) diberikan dalam 2 dosis terbagi rata setiap 12 jam. (MCEVOY, 2011). Penyesuaian dosis biasanya tidak diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada orang dengan kelainan ginjal yang signifikan secara klinis dan disfungsi hati, tidak melebihi dosis 2 g setiap hari. Beberapa produsen dan dokter menyarankan untuk memantau konsentrasi serum pada pasien dengan gangguan ginjal berat (misalnya pasien dialisis) atau dengan gangguan hati dan kerusakan ginjal yang penting secara klinis.Jika ada bukti Akumulasi obat terjadi, sesuaikan dosis yang sesuai.Karena ceftriaxone dieliminasi oleh jalur empedu dan ginjal, penyesuaian dosis mungkin tidak diperlukan pada pasien dengan gangguan ginjal saja .
Beberapa produsen dan dokter menyarankan untuk memantau konsentrasi serum ceftriaxone secara berkala pada pasien dengan gangguan ginjal berat (misalnya, pasien dialisis) atau dengan gangguan ginjal dan hati; Sesuaikan dosis jika ada bukti akumulasi.
b. Trombosis Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigraf yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis
trombosis
telah ditegakkan dengan
pemeriksaan fisik dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pada pemberian heparin standar, monitoring pemeriksaan
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
laboratorium yang secara rutin dilakukan antara lain : trombosit, plasma prothrombin time, INR , activated partial thromboplastin time, thrombine time, Fibrinogen plasma, dan kadar DDimer. Dalam hal ini, tes APTT paling banyak dilakukan. APTT dipantau sekitar 6 jam setelah bolus suntikan heparin, dan terus dipantau sedikitnya setiap hari. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah saat ini tidak dianjurkan (Trihono et al., 2012). c. Hiperlipidemia Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein, sedangkan kolesterol HDL menurun tersebut
bersifat aterogenik dan
trombogenik,
kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
atau
normal. Zat-zat
sehingga meningkatkan morbiditas Pada SN sensitif steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin) (Trihono et al., 2012). d. Hipokalsemia Pada Sindroma Nefrotik dapat terjadi hipokalsemia karena: o
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia
o
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat
terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% intravena (Trihono et al., 2012). e.
Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat, dan disusul dengan albumin. Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid secara intravena (Trihono et al., 2012). f.
Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas
steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker), calcium channel blockers, atau antagonis β adrenergik (Trihono et al., 2012).
Efek Samping Steroid Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien. Efek samping tersebut meliputi peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko
infeksi,
retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap Cushing syndrome (moon face, buffalo hump,dll), pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali (Trihono et al., 2012).
Indikasi Biopsi Ginjal Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini: 1. Pada presentasi awal a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar komplemen C3 serum yang rendah c. Hipertensi menetap d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia e. Sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial a. SN resisten steroid b. Sebelum memulai terapi siklosporin (Trihono et al., 2012) 2.1 Diare akut non dehidrasi
Klasifikasi diare
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
Tabel 2 klasifikasi Diare (DepKes RI, 2011) derajat Diare tanpa dehidrasi Diare dehidrasi Diare dehidrasi berat
Gejala/ dehidrasi
ringan / sedang bila
keadaan umum
terdapat
dua bila
terdapat
dua bila
terdapat
dua
tanda atau lebih
tanda atau lebih
tanda atau lebih
baik,sadar
gelisah, rewel
lesu,
lunglai.tidak
sadar Mata
tidak cekung
Keinginan
untuk
cekung
normal tidak ada rasa ingin minum terus,
minum
haus
ada rasa haus
Turgor
Kembali segera
kembali lambat
cekung malas minum
kembali
sangat
lambat
Manajemen terapi diare akut non dehidrasi (DepKes, 2011) 1. Memberi terapi cairan 2. Memberi terapi zinc Memberi zinc 10 hari berturut turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat diberikan dengan cara dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air matang atau ASI
Umur < 6 bulan dberi 10 mg per hari
Umur > 6 bulan diberi 20 mg
3. Memberi makanan untuk mencegah kurang gizi
Memberi makan seusai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat
Tambahkan 1-2 sendok teh minyak sayur setiap porsi makan
Memberi makanan kaya kalium seperti sari buah segar, pisang, air kelapa hijau
Memberi makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil (setiap 3-4 jam)
Setelah diare berhenti, memberi makanan yang sama dan makanan tambhan selama 2 minggu
4. Antibiotik hanya diberikan sesuai indikasi, misal : disentri, kolera, dll.
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
3.1 Infeksi saluran Kemih
Manajemen terapi yang dilakukaan untuk infeksi saluran kemih (ISK) atau Urinary Tract Infection (UTI) menurut European Association of Urology (2015) dibagi menjadi 2 yaitu untuk ISK berat dan ISK ringan
ISK RINGAN
ISK BERAT
Terapi parenteral :
Terapi oral
1. Hidrasi adekuat 2. Sepalosporin (generasi ketiga) 3. Amoksisilin/kavulanat jika terdapat bakteri cocus
Terapi parenteral single dose 1. Sepalosporin (golongan ketiga) 2. gentamisin
Terapi oral 5-7 hari terapi
Terapi oral 10-14 hari terapi
1. Amoksisillin 2. Sepalosporin 3. trimetropim
Profilaksis oral Nirofuranton
Cephalexin
trimetoprim
Gambar 3.1 Tata Laksana Infeksi Saluran Kemih (European Association of Urology, 2015)
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
Tabel 3 Regimen Antibiotik untuk infeksi Saluran Kemih (European Association of Urology, 2015)
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN LAPORAN KASUS
Inisial Pasien : An.N.
Berat Badan
Umur
Tinggi Badan : -
: 5 th
Ginjal :
: 9 Kg
Hepar : -
Keluhan utama : Bengkak kedua mata
Diagnosis :Sindrom Nefrotik Resisten Steroid, Diare akut tanpa dehidrasi, Infeksi Saluran Kemih
Alasan Masuk Rumah Sakit (MRS) : Pasien mengalami bengkak kedua mata
Riwayat penyakit : Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
Riwayat pengobatan : Siklofosfamid, Mycophenolat mofetil, lisinopril, valsartan, prednisone, vitamin
Status Pasien : JKN
Alergi : tidak ada Kepatuhan Merokok Alkohol
Obat Tradisional OTC Lain-lain
-
-
Catatan Perkembangan Pasien
No 1
Tanggal 24 Februari 2017
Keterangan K/U : sesak nafas , demam, bengkak kedua mata, diare pasien masuk rumah sakit (MRS) dikarenakan Pasien mengalami sesak nafas , bengkak kedua mata, dan demam. Pasien memiliki riwayat penyakit ginjal (sindrom nefrotik resisten steroid) dengan riwayat pengobatan yaitu Siklofosfamid, Mycophenolat mofetil, lisinopril, valsartan, prednisone, vitamin. Pasien dirawat di ruang rawat inap anak dengan diagnosa sindrom nefrotik resisten steroid, diare akut tanpa dehidrasi, dan infeksi saluran kemih. Terapi pengobatan yang diberikan kepada pasien yaitu O 2 Nasal,Albumin 25%, parasetamol, ceftriakson, prednisone, mycophenolat mofetil, valsartan, lisinopril, kalsium, spironolakton, zink, sukralfat.
2
25 Februari 2017
K/U : bengkak pada mata mulai berkurang,, demam, dan sesak mulai berkurang Terapi yang diberikan yaitu O 2 Nasal,Albumin 25%, parasetamol, ceftriakson, prednisone, mycophenolat mofetil, valsartan, lisinopril, kalsium, spironolakton, zink, sukralfat, furosemide
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROFE SI APOTEKE R PER I ODE 104
3
26 Februari 2017
K/U: sudah tidak mengalami sesak, bengkak semakin berkurang, sudah tidak mengalami diare Terapi yang diberikan yaitu Albumin 25%, parasetamol, ceftriakson, prednisone, mycophenolat mofetil, valsartan, lisinopril, kalsium, spironolakton, zink, sukralfat.
4
27 Februari 2017
K/U: keadaan membaik Terapi yang diberikan yaitu Albumin 25%, parasetamol, ceftriakson, prednisone, mycophenolat mofetil, valsartan, lisinopril, kalsium, spironolakton, zink, sukralfat.
5
28 Februari 2017
K/U: keadaan membaik Terapi yang diberikan yaitu Albumin 25%, parasetamol, ceftriakson, prednisone, mycophenolat mofetil, valsartan, lisinopril, kalsium, spironolakton, zink, sukralfat.
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
DOKUMEN FARMASI PASIEN
No. RM Nama / Umur BB/TB/LPT Alamat Riwayat Alergi
: 11xxxxxx Diagnosis : Sindrom Nefrotik Resisten : An. N / 5 th / L Steroid, Diare akut tanpa dehidrasi, Infeksi : 19 kg / Saluran Kemih : Pasuruan : tidak ada Alasan MRS : Sesak Napas dan bengkak pada kedua mata
Tgl. MRS / KRS : 24 Februari 2017/ Keterangan KRS :Pindah Ruangan/ Tgl : Nama Dokter : dr. A., Sp.A Nama Apoteker : K, Apt.
Riwayat Penyakit : sindrom nefrotik resisten steroid
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Obat
Rute
O2 Nasal Albumin 25% Parasetamol (10mg/kgBB) Ceftriakson Prednison Mycophenolat mofetil valsartan lisinopril kalsium laktat spironolakton Zink Furosemid
Regimen Dosis
Tanggal Pemberian 24/2 25/2 26/2 -
27/2 -
28/2 -
Nasal IV IV
50 cc 4 x 200 mg
IV PO PO PO PO PO PO PO IV
2 x 600 mg 1 x 5 mg 2 x 500 mg 1 x 20 mg 1 x 2,5 mg 2 x 250 mg 1 x 25 mg 1 x 20 mg 1 x 10 mg
-
-
-
-
19
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
13
Sulkralfat
No
Data Klinik
1 2
IV
Data Normal 36-37 100-129
10 11
Suhu (°C) Nadi (x/menit) RR (x/menit) Tek. Darah (mmHg) SaO2% K/U Demam Sesak Bengkak mata Diare Muntah
No
Data Laboratorium
3 4 5 6 7 8 9
1
CBC WBC
22-44 120/80
Tanggal 24/2 38 140150 30-32 90/60
25/2 37,5 114
26/2 36,5 102
27/2 37 112
28/2 36,9 116
24 -
24 -
22 90/60
20 90/60
lemah + ++ +++
lemah + + ++
baik +
baik + +
baik +
+ -
+ -
-
-
-
Komentar
Tanggal 22/3 3500-
3 x 250 mg
24/2
26/2
27/2 7,38 x 10
Komentar Terjadi penurunan kreatinin pada
serum pasien
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
13
Sulkralfat
No
Data Klinik
1 2
IV
Data Normal 36-37 100-129
10 11
Suhu (°C) Nadi (x/menit) RR (x/menit) Tek. Darah (mmHg) SaO2% K/U Demam Sesak Bengkak mata Diare Muntah
No
Data Laboratorium
3 4 5 6 7 8 9
1
22-44 120/80
CBC WBC
Hb Hematokrit Trombosit
2
ESR /LED eritrosit PTT APTT Blood Chemistry
3 x 250 mg
Tanggal 24/2 38 140150 30-32 90/60
25/2 37,5 114
26/2 36,5 102
27/2 37 112
28/2 36,9 116
24 -
24 -
22 90/60
20 90/60
lemah + ++ +++
lemah + + ++
baik +
baik + +
baik +
+ -
+ -
-
-
-
Komentar
Tanggal 22/3
24/2
26/2
350010000/L 11 – 16,5% 35,0-50,0 % 150000390000/ L 0-30 mm/hr
27/2 7,38 x 10 8,70 25,90 634 x 103
9,4-11,3 24,6-30,6
Komentar Terjadi penurunan serum kreatinin pada pasien tersebut karena terjadi penurunan fungsi ginjal Terjadi penurunan albumin disebabkan lolosnya protein dalam urin karena penurunan fungsi ginjal terganggu (Pagana, 2015). Terjadi penurunan Hb dan Hct dikarenaan penyakit sindrom nefrotik yang
20
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
3
glukosa puasa Glkosa 2 PP Glukosa acak Ureum / BUN Creatinin Asam urat SGOT/ AST SGPT/ALT Albumin kolesterol total Trigliserida HDL LDL Electrolyte serum Natrium / Na Potassium / K Chlorida/ Cl Calcium / Ca phosphor / PO4
60-110 mg/dL < 130 mg/dl < 200 mg/dL 10-50 mg/ dL 0,7-1,5 mg/dL 2,4-5,7 mg/dL 11-41 10-41 3,5-5,0 g/dL <200 <150 >50 <100
135-145 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L 98-106 mmol/L 98-106 mmol/L 2.5-7.0
85 22,6 0,21 5,5 9 4 0,74
1,48
1,09
URINALISIS Pada urine pasien terdapat protein dan darah yang menandakan penurunan fungsi ginjal yaitu dalam hal filtrasi dan reabsorpsi sehingga protein dapat lolos bersama urine. Jumlah bakteri pada urin yang cukup besar dapat menjelaskan bahwa pasien mengalami infeksi saluran kemih.
7,1 4,5
diderita pasien yang menyebabkan pembentukan eritrosit (eritropoeisis) pada ginjal teganggu. Terjadi penurunan Ca dan Phospor pada pasien kemungkinan disebabkan sindrom nefrotik yang diderita oleh pasien.
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
3
glukosa puasa Glkosa 2 PP Glukosa acak Ureum / BUN Creatinin Asam urat SGOT/ AST SGPT/ALT Albumin kolesterol total Trigliserida HDL LDL Electrolyte serum Natrium / Na Potassium / K Chlorida/ Cl Calcium / Ca phosphor / PO4
4
60-110 mg/dL < 130 mg/dl < 200 mg/dL 10-50 mg/ dL 0,7-1,5 mg/dL 2,4-5,7 mg/dL 11-41 10-41 3,5-5,0 g/dL <200 <150 >50 <100
135-145 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L 98-106 mmol/L 98-106 mmol/L 2.5-7.0 mmol/L
85 22,6 0,21 5,5 9 4 0,74
1,001-1,030 5,0-8,0 0-5/lpb Neg Neg (0-trace) Neg Neg
1,48
1,09
URINALISIS Pada urine pasien terdapat protein dan darah yang menandakan penurunan fungsi ginjal yaitu dalam hal filtrasi dan reabsorpsi sehingga protein dapat lolos bersama urine. Jumlah bakteri pada urin yang cukup besar dapat menjelaskan bahwa pasien mengalami infeksi saluran kemih.
7,1 4,5
Urinalysis Appearance
Spec. Gravity pH Leukosit Nitrit Protein/albumin Glukosa Keton
diderita pasien yang menyebabkan pembentukan eritrosit (eritropoeisis) pada ginjal teganggu. Terjadi penurunan Ca dan Phospor pada pasien kemungkinan disebabkan sindrom nefrotik yang diderita oleh pasien.
jernih kuning 1,020 6,0
+3
+3
21
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
Urobilinogen Blood/ RBC Sediment Eritrosit / RBC Leukosit Epitelial Silinder Kristal Bakteri
Neg Neg 0-2/lpb 0-5/lpb 0-2 /lpb Neg Neg < 9,3 x 103 /mL
+3
+3 19,1 9,3 26,0
959,9 x 10 3
341,9 x 103
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
Urobilinogen Blood/ RBC Sediment Eritrosit / RBC Leukosit Epitelial Silinder Kristal Bakteri
Neg Neg
+3
0-2/lpb 0-5/lpb 0-2 /lpb Neg Neg < 9,3 x 103 /mL
+3 19,1 9,3 26,0
959,9 x 10 3
341,9 x 103
22
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
ANALISA TERAPI
Tanggal Pemberian Obat 24-25 Februari
24-28 Februari
Obat
Rute
O2
Nasal
Albumin 25 %
IV
Regimen Dosis
50 cc
Indikasi pada pasien
Pemantauan Kefarmasian
terapi hipoksia
sesak nafas pasien
hipoalbumin
albumin plasma
Komentar dan Alasan karena pasien mengeluh sesak maka perlu diberikan terapi O2. Sesak dapat disebabkan karena edema paru pasien menderita hipoalbumin berat , Hipoalbuminemia terjadi akibat peningkatan permeabilitas membran sehingga albumin akan banyak lolos bersama urin, serta akibat meningkatnya laju katabolisme dari albumin yang difiltrasi oleh sel tubulus proksimal ginjal.Data albumin pasien yaitu 0.94 g /dL < 2,8 g/dL sehingga menurut aturan BPJS albumin dapat diberikan maksimal 3 kali seminggu parasetamol merupakan antipiretik yang dapat menurunkan demam yang
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
ANALISA TERAPI
Tanggal Pemberian Obat 24-25 Februari
Obat
Rute
Regimen Dosis
Indikasi pada pasien
Pemantauan Kefarmasian
terapi hipoksia
sesak nafas pasien
O2
Nasal
Albumin 25 %
IV
50 cc
hipoalbumin
albumin plasma
parasetamol (10 mg/KgBB)
IV
4 x 200 mg
demam
suhu pasien
2 x 600 mg
terapi infeksi saluran kemih pada pasien
tanda-tanda infeksi ( WBC, Suhu, RR, dan HR)
24-28 Februari
Ceftriakson
IV
Komentar dan Alasan karena pasien mengeluh sesak maka perlu diberikan terapi O2. Sesak dapat disebabkan karena edema paru pasien menderita hipoalbumin berat , Hipoalbuminemia terjadi akibat peningkatan permeabilitas membran sehingga albumin akan banyak lolos bersama urin, serta akibat meningkatnya laju katabolisme dari albumin yang difiltrasi oleh sel tubulus proksimal ginjal.Data albumin pasien yaitu 0.94 g /dL < 2,8 g/dL sehingga menurut aturan BPJS albumin dapat diberikan maksimal 3 kali seminggu parasetamol merupakan antipiretik yang dapat menurunkan demam yang dialami oleh pasien. Dosis dalam literature yaitu 4 x 10 mg/kgBB (BB pasien= 19 kg) maka dosis 4 x 200 mg sudah memasuki rentang. Dosis perlu diadjust hanya jika terdapat kerusakan hepar. Pasien mengalami infeksi saluran kemih sehingga diperlukan terapi antibiotik. Pemilihan antibiotik ini dikarenakan pada pasien dengan
23
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
Prednison
PO
1 x 5 mg
sindrom nefrotik
Mycophenolat mofetil
PO
2 x 500 mg
imunosupresan
valsartan
PO
1 x 20 mg
sindrom nefrotik, renoprotektor
gangguan ginjal, ceftriakson tidak perlu di adjust. dosis literature yaitu 50-75 mg/kgBB (BB pasien=19 kg) maka dosis 2 x 600 mg telah memasuki rentang terapi. kortikosteroid merupakan terapi inisial untuk sindrom nefrotik dosis serum kreatinin yang diberikan pada pasien sudah tepat dan adekuat. MMF digunakan utuk mengatasi serum kreatinin sindrom nefrotik dari pasien merupakan golongan ARB yang dapat mengurangi proteinuria pada pasien sindrom nefrotik. ARB dikombinasikan dengan ACE I akan serum kreatinin, lebih mengurangi proteinuria. Dengan urinalisis dosis kecil, maka valsartan dapat mengatasi proteinurian dan tidak memiliki intoleransi terhadap pasien normotensive (Jo et al., 2016) merupakan golongan ACE inhibitor yang dapat digunakan untuk mengurangi proteinuria pada pasien
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
Prednison
PO
1 x 5 mg
sindrom nefrotik
Mycophenolat mofetil
PO
2 x 500 mg
imunosupresan
valsartan
PO
1 x 20 mg
sindrom nefrotik, renoprotektor
lisinopril
PO
1 x 2,5 mg
sindrom nefrotik, renoprotektor
kalsium laktat
PO
2 x 250 mg
substitusi kalsium
gangguan ginjal, ceftriakson tidak perlu di adjust. dosis literature yaitu 50-75 mg/kgBB (BB pasien=19 kg) maka dosis 2 x 600 mg telah memasuki rentang terapi. kortikosteroid merupakan terapi inisial untuk sindrom nefrotik dosis serum kreatinin yang diberikan pada pasien sudah tepat dan adekuat. MMF digunakan utuk mengatasi serum kreatinin sindrom nefrotik dari pasien merupakan golongan ARB yang dapat mengurangi proteinuria pada pasien sindrom nefrotik. ARB dikombinasikan dengan ACE I akan serum kreatinin, lebih mengurangi proteinuria. Dengan urinalisis dosis kecil, maka valsartan dapat mengatasi proteinurian dan tidak memiliki intoleransi terhadap pasien normotensive (Jo et al., 2016) merupakan golongan ACE inhibitor yang dapat digunakan untuk mengurangi proteinuria pada pasien serum kreatinin, sindrom nefrotik dan sebagai urinalisis renoprotektor. Horita et al (2004) mengatakan bahwa kombinasi ACE Inhibitor dan ARB dosis rendah dapat menurunkan proteinuria. komplikasi sindrom nefrotik salah satunya yaitu hipokalsemia dan efek kadar kalsium samping prednisone yaitu menghambat pertumbuhan sehingga
24
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
Spironolakton
Zink
PO
PO
1 x 25 mg
edema
bengkak pada pasien, sesak
1 x 20 mg
untuk kekurangan zink akibat diare pasien
konsistensi dan jumlah diare pasien
di butuhkan terapi kalsium untuk mengatasi edema pasien pada mata. secara kompetitif menghambat aldosteron dalam tubulus distal, menghasilkan peningkatan ekskresi natrium dan air dan penurunan ekskresi kalium. menurut WHO, terapi untuk diare pada anak salah satunya yaitu dengan terapi Zink. Mekanisme pada zink yaitu memperbaiki permeabilitas usus, mempertahankan integritas barrier melalui fungsinya dalam regenerasi sel dan stabilitas membran sel, memproteksi kuman patogen (sekresi mukus dan adanya perlekatan yang kuat (tight junction) antara sel enterosit, mencegah masuknya bakteri dan patogen lain ) dan mengatur respon imun intestinal . pasien mendapatkan terapi prednisone jangka panjang yang dapat menyebabkan gangguan GIT sehingga
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
Spironolakton
Zink
Sulkralfat
PO
PO
PO
1 x 25 mg
edema
bengkak pada pasien, sesak
1 x 20 mg
untuk kekurangan zink akibat diare pasien
konsistensi dan jumlah diare pasien
3 x 250 mg
mengatasi mual muntah yang dapat diakibatkan dari efek samping potensial prednisone
mual muntah, nyeri perut pasien
di butuhkan terapi kalsium untuk mengatasi edema pasien pada mata. secara kompetitif menghambat aldosteron dalam tubulus distal, menghasilkan peningkatan ekskresi natrium dan air dan penurunan ekskresi kalium. menurut WHO, terapi untuk diare pada anak salah satunya yaitu dengan terapi Zink. Mekanisme pada zink yaitu memperbaiki permeabilitas usus, mempertahankan integritas barrier melalui fungsinya dalam regenerasi sel dan stabilitas membran sel, memproteksi kuman patogen (sekresi mukus dan adanya perlekatan yang kuat (tight junction) antara sel enterosit, mencegah masuknya bakteri dan patogen lain ) dan mengatur respon imun intestinal . pasien mendapatkan terapi prednisone jangka panjang yang dapat menyebabkan gangguan GIT sehingga dibutuhkan sulkralfat untuk menghindari gangguan GIT. Sulkralfat membentuk lapisan pelindung yang berfungsi sebagai penghalang terhadap asam, garam empedu, dan enzim ada dalam perut dan duodenum. Golongan H2 blocker untuk anak keamanan dan efektivitas dirasa kurang.
25
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
25 Februari
Furosemide
IV
1 x 10 mg
edema
bengkak dan sesak pasien
terapi diuretic digunakan untuk mengatasi edema paru-paru dan edema tampak (edema pada mata). Algoritma terapi diuretic pertama kali yaitu kombinasi furosemide dan spironolakton, melihat perkembangan pasien jika tidak ada penurunan BB atau oligouri 48 jam maka dosis furosemide dinaikkan
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKIT PROGRAM PENDI DI KAN PROFESI APOTEKER PERI ODE 104
25 Februari
Furosemide
IV
1 x 10 mg
edema
bengkak dan sesak pasien
terapi diuretic digunakan untuk mengatasi edema paru-paru dan edema tampak (edema pada mata). Algoritma terapi diuretic pertama kali yaitu kombinasi furosemide dan spironolakton, melihat perkembangan pasien jika tidak ada penurunan BB atau oligouri 48 jam maka dosis furosemide dinaikkan
26
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROF E SI APOTEK E R PERI ODE 104
ASUHAN KEFARMASIAN
1. Masalah aktual & potensial terkait obat
5. Pemilihan obat
2. Masalah obat jangka panjang
6. Penghentian obat
3. Pemantauan efek obat
7. Efek samping obat
4. Kepatuhan penderita
8. Interaksi Obat
Obat
Uraian Masalah
Tindakan
(usulan
kepada
klinisi, perawat, atau pasien) Prednison
penggunaan prednisone pada pasien 1. perlu dilakukan merupakan penggunaan jangka monitoring terhadap mual, panjang yang dapat mengakibatkan nyeri perut, dan moon efek samping yaitu moon face, face pasien
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROF E SI APOTEK E R PERI ODE 104
ASUHAN KEFARMASIAN
1. Masalah aktual & potensial terkait obat
5. Pemilihan obat
2. Masalah obat jangka panjang
6. Penghentian obat
3. Pemantauan efek obat
7. Efek samping obat
4. Kepatuhan penderita
8. Interaksi Obat
Obat
Uraian Masalah
Tindakan
(usulan
kepada
klinisi, perawat, atau pasien) Prednison
Spironolakton lisinopril
Sulkralfat
penggunaan prednisone pada pasien 1. perlu dilakukan merupakan penggunaan jangka monitoring terhadap mual, panjang yang dapat mengakibatkan nyeri perut, dan moon efek samping yaitu moon face, face pasien gangguan GIT, osteoporosis, dan 2. pemberian terapi kalsium terhambatnya pertumbuhan laktat untuk mengatasi ESO osteoporosis dan terhambat pertumbuhan dan kedua obat tersebut dapat 1. perlu dilakukan berinteraksi pada proses absorbs monitoring kadar kalium sehingga dapat menyebabkan pasien. hyperkalemia 2. Waktu pemberian yang berbeda, spironolakton diberikan pada malam hari dan lisinopril pada pagi hari merupakan polimer berisi aluminium pemberian jeda penggunaan dan tidak diabsorbsi sehingga mudah obat oral supaya tidak mengadsorbsi obat lain bersamaan dengan sulkralfat mengakibatkan potensi adanya (1-2 jam) interaksi obat-obat terutama obat oral yang digunakan
27
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROF E SI APOTEK E R PERI ODE 104
MONITORING
Parameter
Tujuan
Tanda-tanda infeksi (jumlah Mengetahui efektivitas penggunaan ceftriakson sebagai terapi leukosit,
suhu,
RR,
HR, infeksi saluran kemih pada pasien.
Urinalisis Sesak napas (edema paru) Mengetahui efektivitas penggunaan spironolakton dan furosemid dan bengkak pada mata
sebagai terapi pasien
Mual, nyeri perut
Monitoring efek samping dari prednisone dan efektivitas dari sulkralfat
Kadar kalium
monitoring interaksi antara spironolakton dan lisinopril yaitu hyperkalemia
Kadar kalsium
Mengetahui efektivitas penggunaan kalsium sebagai terapi untuk efek samping dari penggunaan prednisone jangka panjang
suhu
mengetahui efektivitas dari parasetamol pasien
Frekuensi BAB dan
mengetahui efektivitas zink
konsistensi feses serum kreatinin
mengetahui efektivitas prednisone dan mycophenolat mofetil
28
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROF E SI APOTEK E R PERI ODE 104
KONSELING
Sasaran Ibu Pasien
Perawat
Dokter
Materi Konseling
Memberi penjelasan kepada ibu pasien tentang kondisi anak agar ibu pasien bisa menjaga pola makan dan asupan gizi untuk menjaga kondisi pasien
Memberikan informasi terkait obat-obat yang didapat selama MRS meliputi nama, tujuan penggunaan, cara pemakaian.
Menjelaskan efek samping yang mungkin terjadi. 1. Prednison untuk mengatasi sindrom nefrotik pasien. Diminum sehari sekali setelah makan. Efek samping mual dan muntah dan diatasi dengan sulkralfat 2. Mycophenolat mofetil untuk mengatasi sindrom nefrotik pasien diminu sehari dua kali setelah makan 3. Valsartan untuk mengatasi sindrom nefrotik pasien diminum sehari sekali pada malam hari 4. Lisinopril untuk mengatasi sindrom nefrotik pasien diminum sehari sekali pada pagi hari 5. Spironolakton untuk mengatasi bengkak pada mata pasien, diminum sehari sekali 6. Sulkralfat untuk mengatasi mual dan muntah pasien diminum sehari tiga kali 5cc setengah jam sebelum makan 7. Zink untuk mengatasi diare pasien diminum sehari sekali 1 tablet dilarutkan dengan air satu sendok.
Melakukan pemantauan terhadap perkembangan kondisi pasien tiap harinya.
Memberi penjelasan terkait hal yang perlu diperhatikan dalam administrasi obat. - Paparan terhadap cahaya matahari dapat menyebabkan diskolorasi, jangan gunakan apabila cairan berwarna kuning. Penyimpanan dalam suhu dingin dapat menyebabkan presipitasi, namun resolubilisasi pada temperatur ruangan dapat dilakukan sebelum furosemid digunakan dan tidak memengaruhi stabilitas obat (Trissel, 2009).
Melakukan pemantauan terhadap diberikan dan kondisi pasien.
29
perkembangan
terapi
yang
LAPORAN PKPA BI DANG RUMAH SAKI T PROGRAM PENDI DI KAN PROF E SI APOTEK E R PERI ODE 104
DAFTAR PUSTAKA
Cohen EP, Lemann J. The role of the laboratory in evaluation of kidney function. Clin Chem. 1991;37:785-796. Depkes RI. 2011. Lintas Diare (lima Langkah Tuntas Diare). Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Grabe,M., Bartoletti, R., Johansen, B.T.E., Cai,T., Köves, M.C.B., Naber,K.G., Pickard, R.S., Tenke P., Wagenlehner, F., Wullt, B. 2015. Guidelines on Urological Infections. European Association of Urology Horita, Y., Takodoro,M., Taura, K., Suyama, N., Taguchi,T., Miyazaki,M., Kohno,S., 2004. Low-Dose Combination Therapy with Temocapril and Losartan Reduces Proteinuria in Normotensive Patients with Immunoglobulin A Nephropathy. Hypertens Res Vol. 27, No. 12 Hull, Richard., Gallagher, Sean., and Goldsmith. 2013. Adult Nephrotic Syndrome. In: David Goldsmith (ed.) ABC Of Kidney. 2nd edition. USA: J ohn Wiley, 38-46. Jo, Y.I., Na, H.Y., Moon, J.Y., Han, S.W., Yang, D.H., Lee, S.H., Park, H.C., Choi, H.Y., Lim, S.D., Kie, J.H., Lee, Y.K., Shin, S.K., 2016. Effect of low-dose valsartan on proteinurian in normotensive immunoglobulin A nephropathy with minimal proteinuria: a randomized trial. Korean J intern Med: volume 31 (2) Lau, Alan H., 2011. Glomerulonephritis. In: Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L., Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara G., Posey, L M. Pharmacotherapy. A Pathophysiologic Approach, Ed. 9th, Chicago: Mc Graw Hill., pp. 837-838. Liu, D.Kathleen and Chertow, G.M. 2015. Disorders Of The Kidney and Urinary Tract. In: Dennis L. Kasper (ed.) Harrison’s Principles Of Internal Medicine. 19thedition. USA: Mc.Graw Hill, 1841-1845. Rachmadi, Dedi. 2010. Aspek Genetik Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. MKB Volume 42, No.1, hal. 37-44. Smoyer, W.E., and Gbadegesin, R. 2008. Nephrotic Syndrome. Columbus: p. 205-216. Trihono, Partini Pudjiastuti., Alatas, Husein., Tambunan, Taralan., Paradede, Sudung. 2012. Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit Kerja Koordinasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta: Badan P enerbit IDAI.
30