IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PRAKTEK (Implementasi Kebijakan Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang)
Dr. Drs. Suparno, M.Si
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PRAKTEK Penulis : Dr. Drs. Suparno, M.Si Layout : Hafit. S vi + 168 Hlmn © 2017, Dwiputra Pustaka Jaya Diterbitkan dan dicetak oleh: Dwiputra Pustaka Jaya Star Safira-Nizar Mansion E4 No.14 Sidoarjo - 61265 Telp: 085-58414756 e-mail:
[email protected] Hak cipta dilindungi Undang-undang
Sanksi Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta: Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah).
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH SWT, karena dengan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan buku yang kami beri judul Implementasi Kebijakan Publik Dalam Praktek (Implementasi Kebijakan Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang). Buku ini merupakan ringkasan dari disertasi kami, dengan judul asli Implementasi Kebijakan Ketahanan Pangan (Studi Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang) yang kami susun pada tahun 2013. Buku ini berisi perkembangan teori-teori mengenai kebijakan public berikut dengan implementasinya baik dari pengertian sampai dengan model implementasi kebijakan publik. Selanjutnya buku ini juga memuat (1) Deskripsi dan analisa implementasi kebijakan ketersediaan beras dalam rangka peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. (2) Deskripsi dan analisis model implementasi kebijakan ketersediaan beras yang cukup aman, bermutu dan terjangkau masyarakatdi Kabupaten Rembang. (3) Kajian faktor penghambat dan pendukung keberhasilan kebijakan publik terkait dengan peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang. Berikutnya kami kemukakan inovasi model implementasi kebijakan publik, kemudian analisis inovasi kebijakan public serta rumusan model implementasi
iii
kebijakan publik. Pada pembahasan terakhir kami gambarkan Eksisting Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan berdasarkan PP 68 Tahun 2002 dan selanjutnya kami tutup dengan rekomendasi Pada kesempatan ini kami sangat berterima kasih kepada segenap civitas academica Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang dan semua pihak yang telah membantu terwujudnya buku ini. Kami menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan sehingga memerlukan perbaikan-perbaikan, oleh karena itu kami sangat terbuka terhadap kritikan dan masukan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya kami berharap sumbangan pemikiran kami melalui buku ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Semarang, November 2017 Penulis,
Suparno
iv
DAFTAR ISI PENGANTAR DAFTAR ISI
iii v
BAB I
1
BAB II
BAB III
BAB IV
TEORI KEBIJAKAN PUBLIK ……………………………
A Perkembangan Teori Administrasi Publik … 1 B Teori Kebijakan Publik …………………………….. 7 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK ……………… 15 A Pengertian Implementasi Kebijakan Publik.. B Model Implementasi Kebijakan Publik ……… C Kebijakan Ketahanan Pangan Sebuah Kajian Empiris ………………………………………….. ANALISIS MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK ……………..……………..……………..…………… A Analisis Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan ……………… B Analisis Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Yang Cukup Aman, Bermutu dan Terjangkau Masyarakat ……… C Kajian Faktor Penghambat dan Pendukung Keberhasilan Kebijakan Publik ………………… INOVASI MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK ………………………………………………………… A Inovasi Kebijakan Publik ……………………………
v
15 22 35 59
59
78 87 135 135
B C BAB V
Analisis Inovasi Kebijakan Publik ……………… 135 Rumusan Model Implementasi Kebijakan Publik …………………………….………………………… 135 P E N U T U P ………………………………………………… 147 A Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan berdasarkan PP 68 Tahun 2002 (Eksisting Model) ………………… B Rekomendasi ……………………………………………
vi
147 154
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
BAB I TEORI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Perkembangan Teori Administrasi Publik Perkembangan ilmu adminsistrasi negara pada sekitar tahun 1926, sebagaimana ditulis Leonard D White, berkembang kecurigaan bahwa, pengamat pada lembaga politik America tidak pernah memproduksi analisis yang sistematis dari sistem adminitrasi kecuali dari ahli hukum. Leonard D White menulis : “Until the last few years, even the text books have obstinately closed their eyes to the enormous terrain, studded with governmental problems of first magnitude and fascinating interest. But certainly no one pretends that administration can still be put aside as a practical detail which clerks could arrange after doctor agreed upon principles. The fact is the last two decades have produced a voluminous literature dealing with the business side of government.” Dalam pernyataan tersebut menunjukkan bahwa White merasa administrasi negara dengan politik sesuatu yang harus berjalan seiring. Administrasi negara hanya bisa berjalan apabila dikawinkan dengan ilmu pemerintahan/ ilmu politik.ilmu administrasi negara adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu politik. Bidang kajian ilmu administrasi negara ternyata sekarang sudah mencakup hal-hal penting dalam kehidupan masyarakat ini.Ilmu administrasi negara secara sensitive harus 1
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
mampu menanggapi issue-issue pokok dalam masayarakat dan maupun memformulasikan ke dalam suatu rumusan kebijaksanaan, serta cakap melaksanakan kebijakan tersebut ke dalam realisasi kerja sehari-hari.Ilmu administrasi negara tidak lagi seperti jamannya Woodrow Wilson dan Leonald D. White yang ramai mempersoalkan antara politik dan administrasi, yang pada akhirnya meletakkan administrasi berada di luar kajian politik. Kata-kata Woodrow Wilson yang terkenal menyatakan : “Administration lies outside the proper sphere of politic. Administration questions are not political question, although politic sets the tasks for administration, it should not be suffered to manipulate its offices” Beberapa pemikir administrasi negara pada awal perkembangannya, senantiasa memperdebatkan antara politik dan administrasi ini. Pemikir lain setelah Woodrow Wilson antara lain Leonal D White dengan bukunya yang terkenal Introduction to Study of Public Administration dapat dikatakan sebagai pembuka ke arah pengkajian disiplin baru dikalangan ilmu-ilmu sosial, yang kemudian dikenal dengan ilmu administrasi negara dan selanjutnya ilmu ini seringkali disebut pula dengan sebutan birokrasi pemerintah. Buku tersebut cocok untuk zamannya, sekarang buku itu dianggap sebagai tonggak monumental dari awal perkembangan ilmu ini. Sama halnya dengan Woodrow Wilson dalam buku tersebut White mencoba mengawinkan ilmu pemerintahan (politik) dengan ilmu administrasi. George Frederickson (1980)mengatakan tentang buku White itu sebagai berikut: “White’s book was for his time, an advanced and sophisticated attempt to mary the science of government and science administration” 2
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Kalau Wilson berpendapat bahwa administrasi merupakan suatu bidang usaha (a field of business) dan harus dipisahkan dari politik, maka White kemudian menjawabnya dengan berargumen bahwa ilmu administrasi negara hanya dapat dijalankan secara efektif jika dikawinkan dengan teori pemerintahan atau politik. Gejolak untuk mengembangkan dan mengkritisi perkembangan ilmu administrasi nampaknya sudah mulai dirasakan pada dasa warsa 80 an. Akhir tahun 1960 an dan awal tahun 1970an Dwight Waldo (1971) menggegerkan masyarakat sarjana administrasi negara dengan isyaratnya yang terkenal bahwa administrasi negara hidup di jaman yang penuh kekacauan. Gejolak itu sebenarnya sudah dirasakan di kala diadakan suatu konferensi oleh masyarakat administrasi Negara dengan disponsori oleh American Academy of Political and Social Science tahun1967. Tulisan di atas mencerminkan bahwa para pemikir sangat leluasa untuk mengembangkan disiplin ilmu, terutama ilmu administrasi negara ini. Miftah Thoha mengatakan perkembanganilmu administrasi negaraberjalan cukup pesat. Paradigma old publicadministration sudah berkembang cukup pesat. Jaman Leonard D White yang masih memperdebatkan antara ilmu administrasi negaradengan ilmu politik, sekarang telah dikenalkan model pengembangan baru yang disebut oleh Miftah Thoha (2008) sebagai administrasi negara kontemporer. Oreintase terakhir pada New Public Service telah dikembangkan secara customize. Praktek administrasi negara tidak bisa digeneralisasikan, namun praktek administrasi negaramemiliki ciri khas pada masing-masing negara. Konsep new public service selalu mengedepankan warga negara sebagai the main customers. 3
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Concept new public service menuntut pemerintah untuk melayani warga negaranya secara akuntabel dan adil. Sementara itu Leonard D White pada waktu itu masih mempermasalahkan tentang penyelenggaraan Negara dilihat dari aspek administrative. Pelayanan atau intervensi negara baru pada hal-hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya yang dimiliki masyarakat maupun negara secara efektif dan efisien. Suatu jarak yang cukup jauh dalam hal perkembangan ilmu administrasi negaraantara tahun 1926 dan tahun 2010 ini.Pengenalan ilmu administrasi negarasaat ini lebih pada menanggapi keluhan-keluhan warga negara yang merasa tidak pusa terhadap pelayanan yang diberikan oleh negara. Pada chapter I Leonard D White menyatakan bahwa “Public administration is then, the execution of public business, the goal of administrative activity the most expedition, economical and complete achievement of public program.This obviously is not the sole objective of yhe state as an organized unit; protection of private lirights, etc….”Pendapat ini membuktikan bahwa administrasi negara juga bergerak pada ranah yang bersifat public economic. Oleh karena itu selain aspek politik, publik administration juga mencakup aspek ekonomi. Berdasarkan locus dan focus suatu disiplin ilmu, Henry membagi paradigma administrasi negara menjadi lima, yaitu : - Paradigma Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926) - Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937) - Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik (19501970) - Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970) - Paradigma Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970an) 4
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Pada tahun 1970an, George Frederickson memunculkan model Administrasi Negara Baru (New Public Administration). Paradigma ini merupakan kritik terhadap paradigma administrasi negara lama yang cenderung mengutamakan pentingnya nilai ekonomi seperti efisiensi dan efektifitas sebagai tolok ukur kinerja administrasi negara. Menurut paradigma Administrasi Negara Baru, administrasi negara selain bertujuan meraih efisiensi dan efektifitas pencapaian tujuan juga mempunyai komitmen untuk mewujudkan manajemen publik yang responsif dan berkeadilan (social equity). Di era tahun 1980 – 1990an muncul paradigma baru dengan berbagai macam sebutan seperti ’managerialism’, ’new public management’, ’reinventing government’, dan sebagainya. Paradigma administrasi negara yang lahir pada era tahun 1990an pada hakekatnya berisi kritikan terhadap administrasi model lama yang sentralistis dan birokratis. Ide dasar dari paradigma semacam NPM dan Reinventing Government adalah bagaimana mengadopsi model manajemen di dunia bisnis untuk mereformasi birokrasi agar siap menghadapi tantangan global. Sedangkan tahun 2003, muncul paradigma New Public Service (NPS) yang dikemukakan oleh Dernhart dan Derhart. Paradigma ini mengkritisi pokok-pokok pemikiran paradigma administrasi negara pro-pasar. Ide pokok paradigma NPS adalah mewujudkan administrasi negara yang menghargai citizenship, demokrasi dan hak asasi manusia. Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan paradigma dalam teori administrasi negara, buku ini membatasi pada empat paradigma yaitu Paradigma Administrasi Negara Tradisional atau disebut juga sebagai paradigma Administrasi Negara Lama (Old Public Administration), Paradigma New Public 5
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Administration, Paradigma New Public Management, dan Paradigma Governance /New Public Service. (Henry, dalam Sri Yuliany, 2012) Dukungan teori administrasi publik bagi wacana publik berfungsi sebagai alat untuk menyederhanakan gejala dan fenomena publik. Di beberapa kejadian wacana publik menjadi arena perdebatan di antara berbagai aliran pemikiran, khususnya di antara penganut administrasi publik murni. Fungsi administrasi publik yang terbentuk dari fakta menyebabkan praktik administrasi harus berdasarkan pada teori sehingga tercipta hubungan simbiosis mutualisme. Beberapa fungsi administrasi publik antara lain : 1) Pedoman untuk bertindak; (2) Pedoman untuk mengumpulkan fakta; (3) Pedoman untuk memperoleh pengetahun baru; (4) Pedoman untuk menjelaskan sifat-sifat administrasi (Zauhar & Indradi, 1993). Di samping berfungsi sebagai pedoman bagi tindakan yang harus dilakukan pada birokrat yang mewakili pemerintah bagi perannya untuk mengadvokasi masyarakat sebagai salah satu pilar publik. Mufitz (1984) dalam Rahayu (2010:52) mengatakan bahwa administrasi publik menjadi sangat penting dalam kehidupan bernegara karena : 1. Teori administasi publik menyatakan sesuatu makna yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata. 2. Teori administasi publik dapat menyajikan suatu persfektif yang baru pada situasi tertentu. 3. Teori administasi publik merangsang lahirnya cara-cara baru dalam hal-hal yang berbeda. 4. Teori administasi publik telah ada dan merupakan dasar dalam mengembang teori administrasi lainnya. 5. Teori administrasi publik membantu penggunaanya untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapinya. 6
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Kelima aspek pentingya administrasi publik merupakan poin utama, sehingga ranah administrasi publik dijadikan sebagai rujukan utama dalam mengkaji fenomena-fenomena publik. Konsep new public management dan new public service sebagai tahapan perkembangan terakhir dari ilmu administrasi negaramemberikan dasar bagi penyelenggaraan negara. Management publik yang baik selalu mengedepankan kepentingan dan kepuasan masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Manajemen penyelengaraan negara diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipertanggungjawabkan (accountable), transparan (transperence) dan mengakomadasikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat (repsonsive). New Public service sebagai perkembangan terakhir dari ilmu administrasi negarabelum sepenuhnya dilaksanakan sebagaimana konsep seharusnya. Fenomena yang berlangsung di Indonesia berkaitan dengan pelayanan publik belum termasuk kategori new public service. Upaya pemerintah dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas terus diupayakan. B. Teori Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Ahli kebijakan Anderson (1979) dalam Islamy (1998), merumuskan bahwa kebijakan itu adalah : A purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with problem or matter of concern (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan dan dilaksanakan oleh seorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Islamy mengutip pendapat Frederick (1963) dalam Abdul Wahab (1997) yang mendefinisikan "Kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang 7
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
diusulkan seseorang, kelompok atau peme-rintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan kesulitan-kesulitan dan kemungkinan-kemungkinan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu." Menurut Edi Suharto (2005) kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Kenneth Prewitt yang dikutip Charles O. Jones, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik oleh yang membuatnya maupun oleh mereka yang mentaatinya (a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide it). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan definisi kebijakan sebagai pedoman untuk bertindak.Pedoman ini bisa amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat.Kebijakan dalam maknanya yang seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu program, mengenai aktivitasaktivitas tertentu atau suatu rencana. Richard Rose (1969) sebagai seorang pakar ilmu politik menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri. Kebijakan menurutnya dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Derbyshire dalam Wibawa (1994) memberikan batasan bahwa kebijakan publik sebagai sekumpulan rencana kegiatan terhadap kondisi-kondisi sosial dan ekonomi.Sedangkan 8
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Hofferbert dalam Wibawa, (1994) membatasi kebijakan publik sebagai hasil-hasil keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku tertentu untuk tujuan publik. Mengacu pada Dunn (1981), menyatakan bahwa kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut: (i) bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai; (ii) proposal tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih; (iii) kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah; (iv) program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan (v) keluaran (output), yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu; (vi) teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan diikuti oleh Y; (vii) proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relative panjang. Menurut Chandler dan Plano (1988:107) dalam Kamus Administrasi Publik, kebijakan publik (public policy) adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Shafriz dan Russel (1997:47) mendifinisikan kebijakan publik sangat praktis, yaitu whateever a government dicides to do or not to do atau apa-apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan Paterson (2003 :1030) berpendapat bahwa kebijakan publik secara umum sebagai aksi pemerintah dalam menghadapi masalah, dengan mengarahkan perhatian terhadap siapa dapat apa, kapan dan bagaimana. Keban (2008:61) mengemukakan bahwa pada umumnya kebijakan dapat dibedakan atas : 1) Bentuk 9
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
regulatory yaitu mengatur orang.; 2) Bentuk redistributive yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada, atau mengembil kekayaan dari orang yang kaya lalu memberikannya kembali pada orang yang miskin; 3) Bentuk distributive, yaitu melakukan distribusi yang sama atau memberikan akses yang sama terhadap sumberdaya tertentu; 4) Bentuk constituent, yaitu ditujukan untuk melindungi negara. Dunn (2004) dalam Keban (2008:67) menyatakan bahwa dalam rangka pemecahan masalah ada beberapa tahap penting, antara lain agenda kebijakan (agenda setting), formulasi kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan (policy adoption), implementasi kebijakan (policy implementation) dan penilaian kebijakan (policy assessment). Mustopadidjaja (2002) menyatakan bahwa perumusan kebijakan publik merupakan core business para pejabat Eselon I dan II. Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik merupakan siklus kegiatan dan memerlukan analisis kebijakan secara terus menerus. Dunn (2000) menyatakan bahwa analisis kebijakan agar berorientasi pada masalah. Policy Agenda atau Agenda Setting menurut Anderson dalam LAN (2011) adalah awal dari Policy Process yang terdiri dari Agenda Setting, Formulation, Adoption, Implementation dan Evaluation Menurut Dunn (2000), suatu sistem kebijakan dimana di dalamnya mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu Kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Mustopadidjaja (2002) menambahkan elemen Kelompok Sasaran Kebijakan. Menurut Mustopadidjaja (2002), tujuh langkah dalam formulasi kebijakan publik adalah sebagai berikut: 1) Penemuan Persoalan/Masalah; 2) Penentuan Tujuan; 3) Perumusan 10
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Alternatif; 4) Penyusunan Model; 5) Penetapan Kriteria; 6) Penilaian Alternatif; 7) Perumusan Rekomendasi Berdasarkan definisi - definisi di atas, dapatlah disimpulkan pengertian kebijakan publik adalah suatu pedoman untuk melaksanakan kegiatan yang dipilih oleh seseorang atau kelompok orang dan dapat dilaksanakan serta berpengaruh terhadap sejumlah besar orang dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Untuk membantu analisis kebijakan publik, digunakan alat (tools) AgendaSetting dan System Thinking. a. Agenda Setting Menurut Anderson dalam LAN (2011), Agenda Setting atau Agenda Formulation adalah tahap awal dari Policy Agenda.Policy Agenda berawal dari private problem kemudian berkembang lebih lanjut menjadi public problem. Selanjutnya Public Problem ini dikonversikan ke issue masalah kebijakan, sehingga mengalir menjadi Systemic Agenda dan terakhir ke institutional agenda. b. System Thinking Maní (2000) dalam Trilestari (2010) menjelaskan ada 6 (enam) alasan mengapa metoda system thinking diperlukan, yaitu: 1) Meningkatnya kompleksitas dan perubahan dalam kehidupan. 2) Tumbuh dan meningkatnya kesalingbergantungan dari dunia ini 3) Adanya pemikiran dalam manajemen teori dan praktek. 4) Terus meningkatnya kesadaran global, meskipun pengambilan keputusan masih bersifat lokal. 5) Meningkatnya penghargaan terhadap pembelajaran sebagai suatu kunci kemampuan organisasi. 11
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
6) Permasalahan yang muncul tak dapat diselesaikan dengan cara berfikir yang menciptakan masalah tersebut. O’Connor (1997) dalam Trilestari (2010) menjelaskan tentang manfaat pedekatan system thinking, yaitu : 1) Mendapatkan pengaruh dengan melihat pola yang menggerakkan peristiwa. 2) Berfikir lebih stratejik dan efektif dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. 3) Mengurangi upaya penyelesaian masalah dengan cara coba-coba. 4) Berfikir dan berkomunikasi dengan jelas untuk melihat lebih jauh ke depan. 5) Membantu untuk melangkah lebih jauh, dan tidak sekedar menyalahkan orang lain atau diri sendiri. 6) Membantu mengelola diri kita serta orang lain sehingga lebih efektif. 2.
Perumusan Kebijakan Publik Perumusan kebijakan publik merupakan sebuah proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor dan institusi. Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politik tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual. (Budi Winarno, 2005) Dengan demikian proses perumusan kebijakan publik merupakan proses intelektual yang memerlukan berbagai kajian ilmiah sebelum kebijakan tersebut dirumuskan. 12
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Perumusan kebijakan memerlukan berbagai tahap sampai pada penetapan kebijakan. Proses kebijakan publik yang dikemukakan William N. Dunn (1980) melalui 2 tahap. Tahap pertama adalah tahap penyusunan agenda (agenda setting). Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama. Dalam perumusan agenda setting legislator negara dan co-sponsornya menyiapkan rancangan undangundang mengirimkan ke legislatif untuk dipelajari dan disetujui. Atau rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih. Apabila tidak dipilih sebagai agenda setting maka pembahasan rancangan kebijakan tersebut dihentikan. Tahap Penyusunan Agenda Kebijakan mencakup tiga tahap yang perlu dilaksanakan. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut: a. Membangun persepsi di kalangan stakeholdersbahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Hal ini penting karena bisa jadi suatu gejala yang oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap sebagai masalah, tetapi oleh kelompok masyarakat yang lainnya atau bahkan oleh para elite politik bukan dianggap sebagai suatu masalah. b. Membuat batasan masalah. Tidak semua masalah harus masuk dalam penyusunan agenda kebijakan dan memiliki tingkat urgensi yang tinggi, sehingga perlu dilakukan pembatasan terhadap masalah-masalah tersebut. c. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisaasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisasi kelompok-kelompok yang ada dalam 13
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya. (Dunn, 2003) Tahap kedua adalah tahap Formulasi Kebijakan. Pada tahap ini para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan dan tindakan legislatif. Pada tahap ini pula permasalahan dan isu yang berkembang dikaji untuk dicarikan penecahannya. Pengkajian dilakukan bersama antara pengambil keputusan di tingkat negara yaitu eksekutif dan legislatif. Pada tahap ini dirumuskan atau diusulkan berbagai macam alternatif kebijakan. Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.Dari berbagai alternatif tersebut selanjutnya di pilih satu alternatif dengan kriteria yang mendatangkan manfaat sebesar-besarnya dengan resiko sekecil-kecilnya yang selanjutnya kebijakan tersebut ditetapkan dengan pengesahan dari pejabat berwenang.
14
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
BAB II IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik Implementasi adalah bagian dari proses kebijakan publik, disamping tahapan sebelumnya agenda setting, formulation, adoption dan tahapan sesudahnya assesement. Adapun yang dimaksud dengan implementasi kebijakan adalah “kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab-akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan“ (Charles O Jones, 1991) . Jadi dalam kaitannya dengan suatu kebijakan publik , disini adanya upaya membentuk linkage (kaitan) antara tindakan program dengan tujuan/sasaran program yang hendak dicapai. Sedangkan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier mendefinisikan implementasi adalah sebagai berikut : “Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undangan, namun dapat berbentuk perintah perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasi“ (Solichin Wahab, 1991) Dunn (1981), menyatakan bahwa kebijakan publik meliputi beberapa hal, misalnya: (i) bidang kegiatan sebagai 15
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai; (ii) proposal tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih; (iii) kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah; (iv) program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan (v) keluaran (output), yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu; (vi) teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan diikuti oleh Y; (vii) proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relative panjang. Abdul Wahab (1997) menjelaskan fungsi implementasi kebijakan adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran diwujudkan sebagai outcomes (hasil akhir dilakukan pemerintah).Oleh sebab itu mencakup penciptaan policy delivery system penyelenggaraan kebijaksanaan negara yang biasanya terdiri atas cara-cara atau sarana-sarana tertentu yang dirancang / didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki. Pada mulanya studi implementasi cenderung mengambil fokus lebih sempit, yaitu pada karakteristik birokrasi pelaksana (Grindle, 1980). Studi implementasi dalam perspektif ini misalnya yang dilakukan oleh Edward III (1980) yang mengidentfikasi adanya 4 (empat) faktor determinan utama yang akan mempengaruhi proses dan hasil implementasi kebijakan yaitu: (1) komunikasi (communication), (2) struktur birokrasi (bureaucratic structure), (3) sumberdaya (resources), dan (4) disposisi (disposition) (Edward III, 1980). Keberhasilan implementasi, akan dipengaruhi sifat atau jenis kepentingan yang hendak dicapai oleh kebijakan itu 16
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
sendiri. Jenis kebijakan tertentu, akanmemiliki dampak tertentu terhadap akitivitas proses implementasi (Grindle, 1980). Misalnya, kebijakan pelistrikan dan air bersih, pada umumnya tidak banyak menimbulkan konflik sehingga kepatuhan dari kelompok sasaran relatif mudah diperoleh. Sebaliknya, kebijakan yang bersifat redistributif, akan cenderung mudah mengundang munculnya konflik kepentingan, sehingga akan relatif sulit diimplementasikan (Ripley, 1985). Ripley (1985) menegaskan bahwa karakteristik struktur, norma dan pola-pola hubungan dalam lembaga, memiliki, pengaruh terhadap tingkat kinerja lembaga dalam implementasi kebijakan. la merinci sejumlah karakter lembaga pelaksana yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu: (1) kompetensi dan besarnya staf, (2) tingkat kendali hirarkhi pengambilan keputusan, (3) dukungan politik terhadap lembaga pelaksana, (4) tingkat keterbukan komunikasi dalam implementasi, dan (5) keterkaitan formal dan informal lembaga pelaksanan dengan pembuat kebijakan dan penegak hukum (Ripley, 1985). Kegagalan implementasi terjadi apabila implementor tidak memahami tujuan dan standar kebijakan, atau implementor memiliki kepentingan yang berbeda dengan tujuan dan standar kebijakan. Sebaliknya, keluasan penerimaan terhadap tujuan dan standar kebijakan, akan memberikan potensi lebih besar bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Mazmanian (1983) memformulasikan 3 (tiga) variabel independen implementasi kebijakan, yaitu: (1) mudah tidaknya masalah dikendalikan, (2) kemampuan kebijakan menstrukturkan implementasi, (3) variabel non-kebijakan yang mempengaruhi implementasi. Tingkat besarnya kelompok sasaran kebijakan, juga akan mempengaruhi keberhasilan implementasi. Kebijakan dengan kelompok sasaran yang 17
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
jumlahnya relatif terbatas dan dapat diidentifikasikan dengan jelas, akan relatif mudah untuk dimobilisir guna mendukung impelementasi kebijakan. Sebaliknya, kebijakan dengan kelompok sasaran yang besar dan sulit diidentifikasikan, akan cenderung sulit dimobilisir. Demikian pula, keberhasilan implementasi akan ditentukan oleh tingkat perubahan yang hendak dicapai. Kebijakan yang memiliki sasaran mencapai perubahan yang relatif besar (luas), akan cenderung sulit dacapai dibanding kebijakan yang memiliki sasaran perubahan perilaku yang relatif terbatas. Dari sisi sifat masalah yang hendak dicapai (tractability problem), tujuan kebijakan akan relatif mudah dicapai apabila tersedia teori yang handal untuk mendukungnya, apabila keragaman perilaku dari berbagai pihak yang terlibat relatif terbatas, kelompok sasaran relatif terbatas dan mudah diidentifikasikan, serta perubahan perilaku yang hendak dicapai relatif terbatas atau moderat. Menurut Brian W. Hogwood dan Levis A. Gunn dalam Abdul Wahab (1999) membagi pengertian kegagalan kebijaksanaan dalam dua kategori, yaitu : (i) tidak terimplementasikan; dan (ii) implementasi yang tidak berhasil. Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijaksanaan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin pihak yang terkait di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama, mereka telah bekerja tidak efisien, bekerja setengan hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan. Kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya sehingga betapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka cari jalan keluarnya.Dampaknya implementasi eksekutif sukar dipenuhi.Sementara itu, implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijaksanaan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat 18
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam dan sebagainya). Kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijaksanaan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh faktor-faktor : pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijaksanaannya sendiri memang jelek (bad policy) atau kebijaksanannya itu bernasib jelek (bad luck). Van Meter dan Van Horn (1975) memformulasikan adanya 6 (enam) variabel yang mempengaruhi hasil implementasi kebijakan, yaitu: (1) standar dan tujuan kebijakan, (2) sumberdaya, (3) komunikasi dan penggunaan paksaan, (4) disposisi implementor, (5) karakter lembaga pelaksana, dan (6) kondisi sosial, ekonomi dan politik. Tujuan/sasaran dan standar kebijakan, merupakan faktor krusial dalam proses impelementasi. Pada kasus tertentu, tujuan dan standar kebijakan mungkin terumuskan dengan jelas dan spesifik, serta relatif mudah diukur. Tetapi pada kasus lain, tujuan dan standar kebijakan ini tidak terumuskan dengan jelas dan spesifik, serta relatif sulit diukur. Tingkat kejelasan tujuan dan standar kebijakan, dapat mementukan corak respon implementor terhadap kebijakan (Van Meter dan Van Horn, 1975). Ketidakmenentuan tujuan dan standar kebijakan, dapat membuat kesulitan bagi implementor untuk memahami dan sekaligus memunculkan keragaman disposisi berbagai aktor yang terlibat dalam proses implementasi yang akhirnya kurang mendukung kelancaran dan keberhasilan implementasi kebijakan. Adapun kaitannya dengan penjelasan studi implementasi kebijakan publik tak lain adalah menunjuk pada penelitian implementasi sendiri diarahkan kepada usaha mencari jawab untuk mengetahui berbagai faktor yang 19
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Hal ini seperti dikatakan Amir Santoso sebagai berikut : ”Bahwa analisis mengenai pelaksanaan kebijaksanaan (policy implementation) mencoba mempelajari sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan publik mengenai pemahaman faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijaksaan itu ” (Santoso,1988:8) Model implementasi kebijakan publik pada dasarnya merupakan abstraksi yang bersifat penyederhanaan dari fenomena implementasi kebijakan publik di dunia nyata. Berdasarkan hasil kritikan terhadap teori implementasi kebijakan publik yang dilakukan oleh Raj Paudel (2009) dalam Nepalese Journal of Public Policy and Governance, mengatakan bahwa “ In general, Implementation research is supposed to have evolved through three generation. The first generation of research ranged from the early 1970s to the 1980s; the second generation from the 1980s to the 1990s; and the third generation research from 1990 and onward (Matland, 1995 in Raj Paudel, 2009). Menurut Raj Paudel (2009) Riset ImplementasiGenerasi Pertama (First Generation Implementation) menurut Raj Paudel (2009) memfokuskan pada bagaimana keputusan otoritatif tunggal dilaksanakan, baik pada lokasi tunggal maupun pada banyak lokasi (multiple sites). Ahli implementasi kebijakan yang masuk pada generasi ini adalah Pressman and Wildavsky.Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, mereka menemukan bahwa permasalahan implementasi kebijakan adalah ketidak pastian hubungan antara kebijakan dengan implementasi program dan lingkup parameternya yang luas.Generasi pertama ini memiliki upaya yang lebih sistematis untuk memahami faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan publik.Penelitian generasi pertama ditandai oleh pioneering yang sebagian 20
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
besar atheoretical, studi kasus spesifik, dan non-kumulatif seperti yang dari Pressman dan Wildavsky. Riset Implementasi Generasi Kedua,studi implementasi generasi kedua memfokuskan pada diskripsi dan analisis hubungan antara kebijakan dan praktek. Penelitian-penelitian yang dihasilkan sejumlah pelajaran penting bagi kebijakan, praktek dan analisis. Misalnya, kebijakan tidak selalu dapat mandat apa yang penting bagi hasil di tingkat lokal; insentif individu dan keyakinan adalah pusat untuk respon lokal, pelaksanaan yang efektif membutuhkan keseimbangan strategis tekanan dan dukungan; kebijakan diarahkan perubahan pada akhirnya adalah masalah dari unit terkecil (McLaughlin , 1987, p176). Implementasi generasi kedua ini merekomendasikan variabel implementasi lintas waktu dan lintas kebijakan serta lintas pemerintahan.Menurut Raj Paudel sampai saat ini tidak ada teori implementasi umum (general) yang muncul. Namun, karena pelaksanaan penelitian berkembang, dua kelompok pemikiran dikembangkan untuk mempelajari dan menggambarkan pelaksanaan: top-down dan bottom-up. Impelementasi Generasi Ketiga menguji teori implementasi pada tataran basis dan studi kasus yang lebih komparatif, desain penelitian statistical yang dapat meningkatkan jumlah observasi. Pada generasi ini Studi Implmenetasi kebijakan lebih mengembangkan sebuah desain ekplisit model teoritikal, definisi operasional dari konsep dan penetapan indikator yang tepat dari implementasi variabel yang diduga. Di dalam implementasi generasi ketiga terdapat pengintegrasian antara policymaker makro dengan mikro. Berdasarkan pengelompokan tersebut dalam penelitian ini peneliti lebih cenderung menggunakan penelitian implementasi generasi kedua.Studi implementasi generasi 21
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
kedua ini lebih relevan dengan fokus penelitan tentang implementasi ketahanan pangan khususnya tentang ketersediaan beras.Implementasi kebijakan ketersediaan beras merefleksikan penelitian dengan variable lintas waktu, lintas sektor dan lintas pemerintahan. Selain itu implementasi kebijakan ketersediaan beras juga memadukan antara top down dan bottom up. B. Model Implementasi Kebijakan Publik Model implementasi kebijakan publik pada dasarnya merupakan abstraksi yang bersifat penyederhanaan dari fenomena implementasi kebijakan publik di dunia nyata. Berikut akan disajikan beberapa model implementasi kebijakan publik dari para pakar kebijakan yang antara lain dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Nugroho sebagai berikut : ”Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel : (1) Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, (2) Karakteristik dari agen pelaksana/implementasi, (3). Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan (4) Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor ” (Nugroho, 2003: 167) Beberapa pakar menyusun berbagai model kebijakan publik berdasar pada kajian-kajian terhadap implementasi kebijakan publik. Beberapa model tersebut diuraikan sebagai berikut: 1) Model ImplementasiKebijakan Publik Grindle Model implementasi kebijakan menurut Grindle dalam bukunya Samodra Wibawa dkk (1994) untuk mengukur efektivitas suatu kebijakan dalam memecahkan 22
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
suatu masalah sangat terkait dengan kualitas substansi atau kualitas isi dari kebijakan dan kontek implementasi kebijakan tersebut, karena tujuan suatu kebijakan diimplementasikan pada hakekatnya untuk mendapatkan suatu perubahan atau peningkataan baik secara kualitas maupun kuantitas suatu masalah yang menjadi obyek kebijakan. Grindle menyatakan bahwa keberhasilan mengimplementasikan suatu kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikelompokkan ke dalam dua kelompok fenomena. Dua kelompok fenomena tersebut adalah isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan atau (context of policy) Model kebijakan yang diusulkan oleh Grindle yang menghubungkan antara fenomena isi kebijakan dan kontek kebijakan untuk mempengaruhi keberhasilan implementasi digambarkan dalam diagaram berikut:
23
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram : 2. 1 Implementasi Kebijakan Berdasarkan Isi dan Konteks Implementasinya
Melaksanakan Kegiatan Dipengaruhi :
Tujuan Kebijakan
a. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Isi Kebijakan : Kepentingan yang dipengaruhi Tipe manfaat Derajat perubahan yang diharapkan Letak pengambilan keputusan Pelaksanaan Program sumberdaya yang dilibatkan
b. 1.
Kontek Implementasi Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga & penguasa 3. Kepatuhan & daya tanggap
Tujuan Yang Ingin Dicapai
Hasil Kebijakan: 1. Dampak pada masyarakat,indivi du dan kelompok 2. Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat.
Program aksi dan Proyek Individu yang didesain dan dibiayai Program yang dijalankan sesuai yang direncanakan Mengukur Keberhasilan Program
Sumber : Evaluasi Kebijakan Publik ( Samudra Wibawa dkk )
24
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Dari gambar tersebut dapat didiskripsikan bahwa penerapan atau implementasi kebijakan adalah upaya yang harus dilakukan agar tujuan kebijakan dapat dicapai secara maksimal dan efisien. Agar tujuan yang direncanakan dapat tercapai, tujuan tersebut dijabarkan ke dalam program aksi dan berbagai kegiatan. Agar pencapaian program jelas dan terukur maka perlu disusun indikator keberhasilan program atau proyek.Kebijakan dikatakan berhasil apabila tujuan yang diharapkan dapat tercapai dan mendatangkan hasil sesuai yang diharapkan. Hal itu terjadi karena pelaksanaan program sesuai dengan yang direncanakan. Agar program menghasilkan apa yang diharapkan sangat tergantung pada dua hal yaitu isi kebijakan atau content of policy dan kontek implementasi (implementation context). Menurut Grindle (1980), keberhasilan implementasi sangat tergantung pada isi kebijakan yaitu seberapa besar kepentingan yang dipengaruhi, semakin besar kepentingan yang dipengaruhi, semakin sulit dalam implementasinya. Demikian juga keberhasilan implementasi sangat tergantung pada tipe manfaat yang ingin dihasilkan oleh kebijakan tersebut. Semakin tangible manfaat yang dihasilkan semakin mudah dalam implementasinya. Derajat perubahan juga mempengaruhi keberhasilan dalam implementasi. Apabila derajad perubahan yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut besar dan luas, maka implementasinya lebih sulit. Demikian juga sebaliknya jika derajad perubahan yang kecil atau sedikit maka kebijakan tersebut mudah dilaksanakan. Keberhasilan implementasi menurut Grindle (1980), juga dipengaruhi oleh tempat pengambilan keputusan, pelaksana program dan sumberdaya yang dilibatkan. Apabila tempat pengambilan keputusan jauh dari kelompok sasaran, maka akan sulit diimplementasikan. Pelaksana program merupakan 25
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
pelaku kunci yang memiliki peran strategis dalam implementasi kebijakan. Sebaik apapun kebijakan yang telah disusun, tetapi pelaksana tidak memiliki kemampuan, atau pelaksana salah menginterpretasikan kebijakan tersebut, maka kebijakan tersebut akan gagal diimplementasikan. Peran yang tidak dapat ditinggalkan yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya yang dilibatkan dalam implementasi kebijakan adalah sumberdaya manusia, dana, peralatan, barang-barang dan metode. Kunci sumberdaya yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam implementasi kebijakan adalah sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia yang terlibat dalam implementasi kebijakan harus memahami dan melaksanakan apa yang terdapat dalam kebijakan tersebut. Agar sumberdaya manusia yang terlibat dalam kebijakan mampu melaksanakan kebijakan dengan baik perlu diberdayakan.Pemberdayaan sumberdaya manusia khususnya aparatur dilakukan melalui strategi yang tepat.Hal ini dimaksudkan agar sumberdaya yang terlibat dalam implementasi meningkat pengetahuannya. Setelah aparatur yang terlibat dalam implementasi kebijakan memahami, selanjutnya mereka akan bersikap dan selanjutnya akan berperilaku atau bertindak berdasarkan apa yang dipahami. Strategi pemberdayaan aparatur pelaksana kebijakan menurut Pranaka (1996) adalah: “Suatu strategi untuk memperbaiki sumber daya manusia dengan pemberian tanggungjawab dan kewenangan terhadap mereka yang nantinya diharapkan dapat memungkinkan mereka mencapai kinerja yang lebih tinggi di era yang selalu berubah” (Pranaka, 1996:121). Pendapat di atas menunjukkan bahwa agar aparatur dapat memiliki kinerja yang baik dalam pelaksanaan kebijakan harus diberi tanggung jawab dan wewenang. Setiap aparatur 26
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
dalam implementasi kebijakan diberikan wewenang dan tanggungjawab, walaupun besarnya tanggung jawab dan wewenang tidak sama. Dengan tanggung jawab dan wewenang yang mereka miliki mereka akan bekerja dengan sungguhsungguh dan mereka memiliki tujuan yang akan dicapai. Khusus berkaitan dengan hal ini Yudoyono (2001) mengatakan: “Dari sisi aparatur pemerintah, perbaikan kualitas harus dimulai dengan menggunakan suatu sistem yang benarbenar menjamin diperolehnya sumber daya yang memang mempunyai kualitas dasar yang baik, pembinaan melalui penempatan/penugasan yang mendidik dan pengembangan melalui program pendidikan dan pelatihan yang memungkinkan tersedianya tenaga-tenaga siap pakai (Yudoyono, 2001:71). Pendapat di atas memperkuat bahwa pemberdayaan aparatur menjadi satu aspek yang sangat strategis di dalam implementasi kebijakan.Dengan mengetahui sistem yang digunakan aparatur pelaksana menjadi lebih peka terhadap permasalahan yang dihadapi.Oleh karena itu mereka menjadi dapat bersikap lebih waspada dalam melaksanakan tugasnya agar masalah tersebut dapat diatasi.Kemampuan untuk lebih waspada tersebut menyebabkan aparat tersebut menjadi tanggap dan dalam menyelesaikan tugas untuk mengatasi permasalahan menjadi lebih cekatan dan trampil. Menurut Fologba (2009 : 1) pemberdayaan sumberdaya manusia memiliki fungsi yang strategis. Dia mengatakan: “Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (Empowering of Human resources atau Empowering Resources) merupakan suatu aspek manajemen yang sangat penting, kunci dan strategis, karena dimana Sumber Daya Manusia harus mampu berperan untuk menterjemahkan daya terhadap sumber-sumber lainnya pada suatu tatanan manajemen 27
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
yang menjadi tujuan Organisasi. Bila manusia tidak dapat memfungsikan daya untuk kemajuan organisasi, maka dapat dipastikan manajemen organisasi akan tidak efisien,tidak efektif dan tidak ekanomis.” (Fologba, 2009, 1) Secara implisit aparatur atau pegwai dalam menangani permasalahan dalam implementasi kebijakan, mereka lebih bisa menterjemahkan tugas pokok dan fungsinya. Kondisi ini memberikan kontribusi yang sangar bagus bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Selain isi kebijakan (content of policy), setting lingkungan strategis juga memiliki pengaruh yang besar. Setting lingkungan strategis ini disebut sebagai context of implementation atau konteks implementasi. Konteks implementasi Islamy (2001) meliputi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik lembaga & penguasa; kepatuhan dan daya tanggap. Kekuasaan yang sedang berkuasa pada saat kebijakan diimplementaskan memiliki peran yang besar dalam implementasinya. Selain itu aktor yang berperan dalam kebijakan dan kekuasaan serta kepentingan yang dimiliki oleh aktor tersebut dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Semakin banyak aktor yang terlibat dan semakin sulit implementasinya. Karakteristik pemerintahan atau lembaga juga merupakan unsur penting dalam implementasi kebijakan. Strukur organisasi dan tata kerja lembaga tempat kebijakan tersebut diimplementasikan turut berperan dalam pelaksanaan kebijakan. Selain itu karakteristik hubungan antar atasan dan bawahan, iklim kerja dan budaya organisasi sangat mempengaruhi implementasi kebijakan. Kondisi masyarakat yang menyangkut tingkat kepatuhan dan daya tanggap juga turut berpengaruh terhadap keber28
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
hasilan implementasi kebijakan. Responsibilitas masyarakat adalah seberapa besar masyarakat menanggapi kebijakan yang diluncurkan atau yang dibuat oleh pemerintah. Semakin responsif masyarakat, semakin tinggi tingkat keberhasilannya. 2) Model ImplementasiKebijakan Publik Van Meter Van Horn Beberapa model yang dikembangkan oleh para pakar kebijakan public khususnya pakar implementasi menggambarkan kajian implementasi lintas sector dan lintas pemerintahan. Berikut akan disajikan beberapa model implementasi kebijakan publik dari para pakar kebijakan yang antara lain dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Nugroho sebagai berikut : ”Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel : (1) Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, (2) Karakteristik dari agen pelaksana / implementasi, (3). Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan (4) Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor ” (Nugroho, 2003: 167) Van Meter dan Van Horn (1975) memformulasikan adanya 6 (enam) variabel yang mempengaruhi hasil implementasi kebijakan, yaitu: (1) standar dan tujuan kebijakan, (2) sumberdaya, (3) komunikasi dan penggunaan paksaan, (4) disposisi implementor, (5) karakter lembaga pelaksana, dan (6) kondisi sosial, ekonomi dan politik. Tujuan/sasaran dan standar kebijakan, merupakan faktor krusial dalam proses implementasi. Pada kasus tertentu, tujuan dan standar kebijakan mungkin terumuskan dengan jelas dan spesifik, serta relatif mudah diukur. Tetapi pada kasus lain, tujuan dan standar kebijakan ini tidak terumuskan dengan jelas dan spesifik, serta 29
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
relatif sulit diukur. Tingkat kejelasan tujuan dan standar kebijakan, dapat mementukan corak respon implementor terhadap kebijakan (Van Meter dan Van Horn, 1975). Ketidak menentuan tujuan dan standar kebijakan, dapat membuat kesulitan bagi implementor untuk memahami dan sekaligus memunculkan keragaman disposisi berbagai aktor yang terlibat dalam proses implementasi yang akhirnya kurang mendukung kelancaran dan keberhasilan implementasi kebijakan. Adapun untuk memperjelas model tersebut Van Meter dan Van Horn menggambarkan modelnya sebagai berikut : Diagram :2.2 Implementasi Kebijakan
Standar dan Tujuan
Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganis asi
Kecendrungan (disposition) dari Pelaksana / Implementor
KEBIJAKAN PUBLIK Karakteristik dari agen pelaksana / implementori
Sumber Daya
Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Sumber: Van Meter dan Van Horn (1975)
30
KINERJA KEBIJAKAN PUBLIK
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
3) Model Implementasi Kebijakan Publik Mazmanian dan Sabatier Mazmanian dan Sabatier memiliki model implementasi yang diberi nama model kerangka analisis implementasi. Melalui Model Kerangka Analisis Implementasi (A Framework for Implementation Analysis) tersebut mereka mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel : ”Pertama,variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki, Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumberdana,keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar, Ketiga, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana ”. (Nugroho, 2003: 169) Adapun gambar model implementasi kebijakan publik yang dikembangkan oleh Mazmanian dan Sabatier adalah sebagai berikut :
31
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram : 2.3 Model Implementasi Kebijakan Publik Variabel Independen Mudah tidaknya masalah dikendalikan 1. Dukungan teori danteknologi 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Tingkat perubahan perilaku yangdikehendaki
Variabel Intervening Variabel di luar Kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi 1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi 2. Dukungan public 3. Sikap dan risorsis dari konstituen 4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi 5. Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana
Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan 2. Dipergunakan teori kausal 3. Ketepatan alokasi sumberdaya 4. Keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana 5. Aturan pelaksana dari lembaga pelaksana 6. Rekrutan pejabat pelaksana 7. Keterbukaan kepada pihak luar
Tahapan Dalam Proses Implementasi
Output Kebijakan dari lembaga pelaksana
Kepatuhan Target untuk mematuhi Output kebijakan
Hasil nyata output kebijakan
Sumber : Mazmanian dan Sabatier, 2003
32
Diterima nya Hasil tersebut
Revisi UndangUndang
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
4) Model ImplementasiKebijakan Publik George C. Edward III Sedangkan George C. Edward III mengemukakan model implementasi kebijakan sebagai berikut : Diagram : 2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Implementasi Kebijakan Publik KOMUNIKASI SUMBERDAYA
IMPLEMENTASI DISPOSISI STRUKTUR ORGANISASI
Sumber : George C. Edward III (dalam Agustinus 2006)
Berikut penjelasan model yang dikembangkan oleh George C. Edward III dimana ada 4 (empat) variabel yaitu komunikasi, struktur organisasi, sumber daya dan disposisi yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik seperti diterjemahkan oleh Leo Agustinus “ (Agustinus:2006) sebagai berikut : 1. Variabel komunikasi. Variabel komunikasi sangat menentukan efektivitas implementasi kebijakan kebijakan publik. Efektivitas implementasi kebijakan sangat tergantung dari adanya pemahaman para pembuat keputusan mengenai apa yang harus dikerjakan dan hal ini ditentukan oleh adanya komunikasi yang baik. Oleh karena itu setiap 33
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
keputusan dan peraturan kebijakan harus ditransmisikan secara tepat akurat kepada pembuat kebijakan dan para implementor. Ada tiga indikator dari variabel komunikasi , yaitu (1) transmisi yang baik, (2) kejelasan komunikasi dan (3) konsistensi pemerintah dalam pelaksanaan komunikasi 2. Variabel sumber daya. Variabel sumber daya sangat mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan publik. Kekurangan atau ketidak lengkapan sumber daya baik personal, kewenangan, keuangan dan peralatan akan menyulitkan dalam implementasi kebijakan publik. Indikator dari sumberdaya mencakup beberapa elemen, yaitu (1) Staff yang mencukupi dan berkompentensi, (2) Informasi cara pelaksanaan data kepatuhan, (3) Wewenang formal, dan (4) Fasilitas. 3. Variabel disposisi. Variabel disposisi (sikap) berkaitan dengan kepatuhan para implementor untuk mampu melaksanakan kebijakan publik. Tanpa adanya kemampuan pelaksana kebijakan, maka implementasi kebijakan publik akan tidak efektip. Ada beberapa indikator dari disposisi yaitu (1) Pengangkatan birokrat dan (2) Insentif. 4. Variabel struktur organisasi.Variabel struktur organisasi yang menyangkut didalamnya mengenai kerjasama, koordinasi, dan prosedur atau tata kerja sangat menentukan efektivitas implementasi kebijakan publik. Oleh karena itu kondisi struktur organisasi birokrasi harus kondusif terhadap pelaksanaan kebijakan publik yang ditetapkan secara politis dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. Ada beberapa indikator struktur organisasi, yaitu (1) Standar OperatingProcedures (SOPs) dan (2) Fragmentasi.
34
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
C. Kebijakan Ketahanan Pangan Sebuah Kajian Empiris, 1. Ketahanan Pangan (Food Securiy) Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia oleh karena itu penyediaan,pengolahan, keamanan, ketersediaan dan keberlanjutan merupakan hal yang sangat diperlukan untuk eksistensi manusia itu sendiri. Perkembangan bioteknologi untuk menghasilkan sumber-sumber pangan baik yang tradisional maupun melalui rekayasa genetika telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Masyarakat juga diharapkan kehati-hatiannya terutama dalam mengkonsumsi bahan pangan, karena telah terjadi pelbagai kasus baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja yang dapat mencemarkan baik sumber maupun pengolahan bahan pangan. Ketahanan pangan yang merupakan terjemahan dari food security dan merupakan lawan kata dari food insecurity mencakup banyak aspek dan luas sehingga setiap orang mencoba menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan ketersediaan data. Braun dkk, (1992) mengungkapkan bahwa pemakaian istilah ketahanan pangan dapat menimbulkan perdebatan dan banyak isu yang membingungkan karena aspek ketahanan pangan adalah luas dan banyak, tetapi merupakan salah satu konsep yang sangat penting bagi banyak orang di seluruh dunia. Selanjutnya diungkapkan bahwa konsep ketahanan pangan berubah dari satu periode waktu ke periode waktu lainnya sesuai dengan situasi pangan dan kebutuhan pangan pada masa tersebut. Pada tahun 1970-anketahanan pangan lebih banyak memberikan perhatian pada ketersediaan pangan tingkat global dan nasional daripada tingkat rumah tangga. Sementara pada tahun 1980-an ketahanan pangan 35
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
beralih ke akses panganpadatingkat rumah tangga dan individu. Indonesia, sebagai salah satu negara yang menyatakan komitmen untuk melaksanakan deklarasi Roma menerima konsep ketahanan pangan tersebut yang dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996.Namun konsep ketahanan pangan di Indonesia telah memasukkan aspek keamanan, mutu dan keragaman sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata serta terjangkau. Dari kegiatan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga pada tahun 1996 juga menghasilkan rumusan konsep ketahanan pangan rumah tangga yang didefinisikan sebagai berikut: ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif. Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional (daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu (Soehardjo, 1996). Sementara itu Simatupang (1999) menyatakan bahwa ketahanan pangan tingkat global, nasional, regional, komunitas lokal, rumah tangga dan individu merupakan suatu rangkaian sistem hierarkis. Dalam hal ini ketahanan pangan rumah tangga tidak cukup menjamin ketahanan pangan individu. Kaitan antara ketahanan pangan individu dan rumah tangga ditentukan oleh alokasi dan pengolahan pangan dalam rumah tangga, status kesehatan anggota rumah tangga, kondisi kesehatan dan kebersihan lingkungan setempat. 36
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Selain itu faktor tingkat pendidikan suami-istri, budaya dan infrastruktur setempat juga sangat menentukan ketahanan pangan individu/rumah tangga. Lebih jauh Simatupang (1999) mengungkapkan bahwa ketahanan pangan tingkat komunitas lokal merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup menjamin ketahanan pangan untuk seluruh rumah tangga.Selanjutnya ketahanan pangan tingkat regional merupakan syarat keharusan bagi ketahanan pangan tingkat komunitas lokal tetapi tidak cukup menjamin ketahanan pangan komunitas lokal. Pada akhirnya ketahanan pangan tingkat nasional tidak cukup menjamin terwujudnya ketahanan pangan bagi semua orang, setiap saat sehingga dapat mencukupi kebutuhan pangan agar dapat hidup sehat dan produktif. Sawit dan Ariani (1997) mengemukakan bahwa penentu utama ketahanan pangan di tingkat nasional, regional dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Menurut FAO (1996) salah satu kunci terpenting dalam mendukung ketahanan pangan adalah tersedianya dana yang cukup (negara dan rumah tangga) untuk memperoleh pangan. Indikator ketahanan pangan juga dapat dilihat dari pangsa pengeluaran pangan. Hukum Working 1943 yang dikutip oleh Pakpahan dkk. (1993) menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan mempunyai hubungan negatif dengan pengeluaran rumah tangga, sedangkan ketahanan pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah 37
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
ketahanan pangannya.Pengukuran seperti ini juga digunakan oleh Rachman dan Suhartim (1996) dalam mengkaji ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah di Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami masalah pangan dan kemiskinan secara menyeluruh dan terpadu adalah dengan menggunakan kerangka kerja sustainable livelihood approach yang dikembangkan oleh DFID (Departement For International Develompment)dan konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen. Kerangka kerja ini menggambarkan manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman. Menurut pendekatan Sustainaibie Livelihood (Twigg, 1998), ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu: (i) humane capital, yakni modal yang dimiliki berupa keterampilan, pengetahuan, tenaga kerja, dan kesehatan; (ii) social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki masyarakat seperti jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan, pertukaran hak yang mendorong untuk berkoperasi dan juga mengurangi biaya-biaya transaksi serta menjadi dasar dari sistem jaringan pengaman sosial yang informal; (iii) natural capital adalah persediaan sumber daya alam seperti tanah, hutan, air, kualitas udara, perlidungan terhadap erosi, keanekaragaman hayati, dan lainnya; (iv) physical capital, adalah infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana komunikasi, sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi, dsbnya; dan (v) financial capital, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh 38
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler. Hubungan individu atau unit sosial yang lebih tinggi terhadap pangan dalam studi ini didasarkan pada konsep entitlement atau hak terhadap pangan.Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia adalah hak asasi. Dalam konsep entitlement sebagaimana dirumuskan oleh Amartya Sen (dalam Witoro, 2003) terdapat beberapa cara manusia dalam mengakses pangan yaitu: (i) direct entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan; (ii) hubungan di dalam kegiatan proses produksi pangan; (iii) exchange entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan tukar menukar jasa atau keahlian; (iv) trade entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan jual beli komoditi yang diproduksi sendiri; dan (v) social entitlement, yakni hak dan akses terhadap pangan yang diperoleh melalui pertukaran sosial di antara anggota komunitas sosial. Sedangkan berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU Rl No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: (i) kecukupan ketersediaan pangan (availability); (ii) stabilitas ketersediaan pangan dari musim ke musim (stability); (iii) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta (assesibility); (iv) kualitas/keamanan pangan (safety). Sistem pangan individu, keluarga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau unit sosial yang lebih besar dalam menghadapi perubahan. Penyebab 39
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
kerentanan adalah (1) shock yaitu perubahan mendadak dan tidak terduga (karena alam, ekonomi, konflik, dan lainnya). (2) Trendadalah perubahan yang masih dapat diamati seperti pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan politik). (3) Seasonally atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti, seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan iklim. Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan sistem penyesuaian diri dalam merespon perubahan tersebut (shocks, trends, dan seasonally). Renspons itu bersifat jangka pendek yang disebut coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut adaptive mechanism, Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akanmenjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu maupun unit sosial yang lebih tinggi. Situasi dan kondisi individu, keluarga, masyarakat maupun unit sosial yang lebih tinggi terkait dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dari luar. Sistem pangan sangat dipengaruhi oleh struktur (institusi dan tingkatannya) dan proses (kebijakan) di dalam sistem tersebut. Pendekatan SM menekankan pemahaman akan keterkaitan antara persoalan mikro dan makro. Paradigma baru pembangunan ketahanan pangan lebih menekankan pada pemantapan ketahanan pangan 40
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
rumah tangga yang didukung dengan daya beli dan keberdayaan masyarakat. Tabel : 2. 1 Perubahan Paradigma Penetapan Ketahanan Pangan Pendekatan
Paradigma Lama
Paradigma baru
Pendekatan pengembangan
Pemantapan ketahanan pangan pada tatanan makro/agregat
Pemantapan ketahanan pangan rumah tangga
Pendekatan manajemen pembangunan Pendekatan utama pembangunan
Pola sentralistik
Pola desentralistis
Dominasi pemerintah
Dominasi peran masyarakat
Fokus pengembangan komoditas pangan
Bertumpu pada beras
Pengembangan komoditas pangan secara keseluruhan
Upaya mewujudkan keterjangkauan rumah tangga atas pangan
Pengadaan pangan murah
Peningkatan daya beli
Sumber: Dewan Katahanan Pangan, 2001
Ketersediaan pangan mengisyaratkan adanya rata-rata pasokan pangan yang cukup tersedia setiap saat. Stabilitas distribusi pangan didefinisikan sebagai kemampuan meminimalkan kesenjangan ketersediaan pangan terhadap permintaan konsumsi pangan, khususnya pada tahun atau musim sulit.Aspek ketersediaan mencakup tingkat nasional, wilayah dan rumah tangga.Ketersediaan diharapkan sampai tingkat rumah tangga minimal 2200 kkal/kap/hari dan protein 57 gram/kap/hah. Aspek ketersediaan dapat 41
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
dipenuhi tidak hanya dari potensi domestik saja tetapi juga dari perdagangan antar daerah maupun impor dalam perdagangan luar negeri. Namun demikian akan sangat berbahaya jika suatu wilayah hanya menggantungkan aspek ketersediaan dari impor. Hal ini dikarenakan perdagangan pangan merupakan residual atas terpenuhinya kebutuhan domestiknya, sehingga berimplikasi pada pasar pangan yang cenderung bersifat thin market. Pentingnya ketahanan pangan seperti yang ditunjukkan oleh Timmer (1996; dalam Amang dan Sawit, 2001) yang menyimpulkan dari studinya untuk kasus Indonesia, Jepang, dan Inggris bahwa tidak satupun negara yang dapat mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan. Untuk Indonesia, perekonomian beras terbukti secara signifikan merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960-an. Selain itu, pentingnya ketahanan pangan antara lain karena adanya fakta bahwa ketersediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat wilayah (regional), rumah tangga dan individu. Hal ini ditunjukkan antara lain dari studi yang dilakukan oleh Saliem (2001). Terkait dengan fakta tersebut, maka masalah bagaimana mengelola ketersediaan pangan yang cukup tersebut agar dapat diakses oleh rumah tangga/individu di masing-masing wilayah merupakan isu menarik untuk ditelaah. Pengelolaan pangan terkait dengan masalah bagaimana mengelola cadangan pangan. Dalam hal ini, manajemen cadangan pangan merupakan salah satu aspek yang belum banyak dikaji secara baik. Ketersediaan pangan tingkat nasional dan regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau individu. Hal ini karena di samping 42
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
ketersediaan pangan, ketahanan pangan rumah tangga/ individu sangat ditentukan pula oleh akses mereka untuk mendapat pangan tersebut. Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan pada Pasal 47 menyebutkan bahwa cadangan pangan nasional terdiri dari cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan nyata pangan masyarakat dan ketersediaan, serta mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan. Cadangan pangan pemerintah adalah cadangan pangan yang dikelola atau dikuasai pemerintah. 'Keadaan darurat' adalah terjadinya peristiwa bencana alam, paceklik yang hebat, dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan (Perum Bulog, 2004). Yang dimaksud pemerintah disini adalah pemerintah pusat karena baru pemerintah pusatlah yang menguasai cadangan pangan secara signifikan. Yang dimaksud pedagang disini adalah semua pihak yang melakukan aktifitas pemasaran dan distribusi bahan pangan termasuk usaha penggilingan. Sementara itu yang dimaksud dengan cadangan pangan rumah tangga adalah cadangan pangan yang dikuasai rumah tangga baik secara individual maupun secara kolektif dalam bentuk misalnya lumbung pangan. Cadangan pangan yang dikuasai oleh pemerintah maupun rumah tangga masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Cadangan pangan yang dikuasai pemerintah berfungsi untuk: (1) Melakukan operasi pasar murni (OPM) dalam rangka stabilisasi harga, (2) Memenuhi kebutuhan pangan akibat bencana alam atau kerusuhan sosial, (3) Memenuhi jatah beras golongan berpendapatan tetap 43
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
dalam hal ini TNI/PoIri, dan (4) Memenuhi penyaluran pangan secara khusus seperti program-Raskin. Cadangan pangan yang dikuasai pedagang umumnya berfungsi untuk: (1) mengantisipasi terjadinya lonjakan permintaan, dan (2) mengantisipasi terjadinya keterlambatan pasokan pangan. Sementara itu, cadangan pangan yang dikuasai oleh rumah tangga baik secara individu maupun secara kolektif berfungsi untuk: (1) mengantisipasi terjadinya kekurangan bahan pangan pada musim paceklik, dan (2) mengantisipasi ancaman gagal panen akibat bencana alam seperti serangan hama dan penyakit, anomali iklim, dan banjir. Perlu disebutkan bahwa aktifitas ekonomi pangan di Indonesia secara prinsip dijalankan berdasarkan mekanisme pasar bebas. Dalam Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, khususnya yang dinyatakan pada pasal 45, 46, 47, dan 48 pada prinsipnya menjelaskan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan merupakan tanggungjawab pemerintah bersama masyarakat, dimana pemerinlah menyelenggarakan, membina dan atau mengkordinasikan segala upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan, antara lain melalui penyelenggaraan cadangan pangan nasional, yang terdiri atas cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Hal ini dipertegas oleh Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (pasal 5 ayat 1 dan 2) yang menyatakan bahwa cadangan pangan nasional terdiri atas cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Adapun cadangan pangan pemerintah terdiri atas cadangan pangan pemerintah desa, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi, dan cadangan pangan pemerintah pusat. 44
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa cadangan pangan masyarakat diatur dalam Kepmendagri dan Otda No. 6 Tahun 2001 tentang Lumbung Pangan Masyarakat Desa/Kelurahan. LPMD/K adalah lembaga milik masyarakat desa/kelurahan yang bergerak di bidang penyimpanan, pendistribusian, pengolahan bahan pangan yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat. Pemberdayaan Lumbung Pangan adalah suatu proses dimana lumbung pangan didorong untuk semakin mandiri dalam mengembangkan usahanya sehingga lumbung pangan dapat tumbuh dan berkembang menjadi lembaga penggerak ekonomi masyarakat di perdesaan, yang mampu meningkatkan kesejahteraan serta mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan masyarakat, terdapat sejumlah kebijakan dan atau peraturan tambahan yang mendukung pelaksanaan UU No 7/1996 tentang Pangan dan PP No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan, yang ditindaklanjuti dengan : (i) Inpres Nomor 13 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan; (ii) SKB. Menko Ekuin dan Menko Kesra Nomor KEP46/M.EKON/08/2005 dan Nomor 34/KEP/MENKO/KESRA/ VIII 2005 tentang Pedoman Umum Koordinasi Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah. Peraturan Memperindag Nomor 22 Tahun 2005 tentang Penggunaan Cadangan Beras Pemerintah untuk pengendalian harga; (iii) Surat Menteri Pertanian kepada Gubernur dan Bupati/Walikota selndonesia Nomor 64/PP.310/M/3/2006 tanggal 13 Maret 2006 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan. Meskipun sudah diatur dalam PP No 68/2002, cadangan pangan pemerintah desa sebagai bagian dari cadangan pangan pemerintah sampai dengan saat ini belum diatur secara tersendiri dalam sebuah peraturan pemerin45
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
tah, padahal tentang cadangan pangan masyarakat sudah diatur sejak tahun 2001 melalui Kepmendagri No. 6/2001 tentang Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD). Cadangan pangan pemerintah desa seharusnya ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan nyata pangan masyarakat dan ketersediaan, serta mengatasi terjadinya kekurangan dan keadaan darurat. Dengan berjalannya mekanisme economic heavy, maka program pemberdayaan dalam jangka panjang tidak terjerat dalam ketergantungan terhadap pihak pemerintah. Sebab jika sebuah program pemerdayaan terjerat ketergantungan pada pemerintah, maka program tersebut akan mati atau tidak berjalan ketika intervensi pemerintah dihentikan. Dengan kata lain, social heavy pada konteks ini tidak menjadi tujuan akahir, namun lebih menjadi instrumen untuk memberi "nafas" bagi keberlanjutan social heavy. 2. Ketersediaan Pangan Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Berdasarkan pengertian tersebut, untuk mewujudkan ketahanan pangan dapatdijabarkansebagai berikut: (a). Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia;
46
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
(b). Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama; (c) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air: (d) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Sistem ketersediaan (food availability): yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.. Menurut Patrick Webb (2003) ketersediaan pangan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu produksi, pasokan pangan dari luar (impor), cadangan pangan dan bantuan pangan. Produksi pangan dipengaruhi oleh luas panen, produktifitas padi dan diversifikasi pangan.Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, jumlah penduduk sangat berpengaruh pada jumlah ketersediaan pangan. Mekanisme ketersediaan pangan secara skematis terlihat pada diagram alir sebagai berikut:
47
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram : 2.5 Mekanisme Ketersediaan Pangan Produksi Ketersediaan Pangan Per kapita Luas Penen Produktifitas Diversifikasi produk Sarana dan prasarana Pemasaran
Pasokan Pangan dari luar (impor) Bantuan Pangan Sarana dan prasarana Pemasaran
Cadangan Pangan
Iklim, Hama, Bencana Alam, dll Jumlah Penduduk
Gambar 6. Sub Sistem Ketersediaan Ketahanan Pangan Sumber : Patrick Webb and Beatrice Rogers. 2003 (dimodifikasi)
Diagram di atas terlihat bahwa iklim di suatu tempat juga mempengaruhi ketersediaan pangan khususnya beras. Pada satu daerah yang iklimnya tropis dengan dua musim pada saat kemarau atau musim kering ketersediaan air untuk tanaman terutama irigasi sangat kurang sehingga areal pertanian tidak dapat dpergunakan untuk memproduksi beras. Di Indonesia khususnya beberapa wilayah di Jawa Tengah, terdapat wilayah dengan musim kemarau lebih panjang dibandingkan dengan musim penghujan. Wilayah tersebut antara lain Kabupaten Rembang, Pati, Blora dan Grobogan. Pada wilayah tersebut areal persawahan hanya dapat ditanami paling banyak 2 kali dalam satu tahun yaitu 48
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
sekali padi dan sekali palawija. Kondisi iklim seperti ini sangat berpengaruh terhadap produksi beras dan pada gilirannya juga berpengaruh terhadap penyediaan beras dari lokal kabupaten. Selain itu juga dari diagram di atas terlihat bahwa untuk meningkatkan dan mempertahankan ketersediaan pangan khususnya beras juga dilihat dari aspek produksi. Untuk meningkatkan produksi beras ditempuh berbagai upaya antara lain: a. Peningkatan komoditas pangan agar tercapai lonjakan produksi pangan yang dapat dihasilkan dalam negeri, sekaligus untuk menjaga tingkat efisiensi pada sistem produksi. Peningkatan komoditas terutama beras harus dapat mencapai surplus beras. Peningkatan produksi beras dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Upaya tersebut antara lain dengan pengefektifan lumbung pangan, pengurangan konsumsi beras dengan diversifikasi pangan. b. Pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama yang ”tertidur” dan tidak produktif khusus bagi mereka yang akan memanfaatkan sumberdaya lahan terbengkalai tersebut. Lahan tidur merupakan lahan yang kurang atau tidak produktif. Peningkatan produksi beras dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang kurang produktif. Pengolahan lahan yang baik dilakukan melalui mekanisasi pertanian dengan traktor untuk membalik dan meratakan tanah agar siap ditanami. Pengolahan lahan yang baik untuk mengurai unsur hara di dalam tanah sehingga memberikan supprot makanan bagi tanaman padi. Pemanfaatan lahan dalam konteks ketersediaan beras harus semaksimal mungkin untuk tanaman padi, dan bukan tanaman yang lain. 49
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
c. Perluasan areal tanaman pangan, terutama ke Luar Jawa, untuk mendukung penyediaan lahan berkelanjutan seluas 15 juta hektar untuk produksi pangan strategis. Perluasan areal tanam adalah untuk meningkatkan produksi padi dengan cara membuka areal baru atau mengalih fungsikan lahan pertanian sawah dari yang ditanami tanaman bukan padi ditanami dengan tanaman padi. Perluasan areal tanaman padi juga dilakukan dengan cara membuka areal baru yaitu dengan cara membuka hutan untuk dijadikan lahan sawah. d. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan, meliputi usaha-usaha berbasis pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan dan peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan kerusakan serta rehabilitasi lahan-lahan usaha pertanian dan kehutanan secara luas. e. Peningkatan efisiensi penanganan pasca panen dan pengolahan melalui perakitan dan pengembangan teknologi pasca panen dan pengolahan tepat guna spesifik lokasi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk, peningkatan kesadaran dan kemampuan petani/ nelayan untuk memanfaatkan teknologi pasca panen dan pengolahan yang tepat untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk, mendorong pemanfaatan teknologi dan peralatan tersebut melalui penyediaan insentif bagi pelaku usaha, khususnya skala kecil. Peningkatan efisiensi pasca panen dilakukan mulai dari perontokan sampai dengan penyelepan dan pengepakan beras. Toleransi kehilangan beras pasca panen adalah 10% dari total produksi. f. Pelestarian sumberdaya air dan pegelolaan daerah aliran sungai melalui penegakan peraturan untuk menjamin 50
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam secara ramah lingkungan, rehabilitasi daerah aliran sungai dan lahan kritis, konservasi air dalam rangka pemanfaatan daerah curah hujan dan aliran permukaan, pengembangan infrastruktur pengairan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan air, serta penyebarluasan penerapan teknologi ramah lingkungan pada usaha-usaha yang memanfaatkan sumberdaya air dan daerah aliran sungai. g. Perbaikan jaringan irigasi dan drainase dengan fokus pada rehabilitasi 700 ribu hektar saluran irigasi terutama di daerah lumbung pangan sekaligus melalui pemanfaatan dana stimulus fiscal serta upaya lain untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi global. Perbaikan jaringan irigasi merupakan pendukung utama untuk meningkatkan produksi padi. Pembangunan irigasi baru untuk meningkatkan pola tanam dari sekali menanam padi dalam satu tahun menjadi minimal dua kali tanam padi selama satu tahun. Pembangunan saluran irigasi juga diikuti dengan pembangunan embung dan dam agar suplay air baku menjadi lancar. Berkaitan sumber daya air untuk pertanian Manning (2008) dalam British Food Journal Vol. 110 No.8 tahun 2008 mengatakan: ”One of the key drivers of water security is the current and continued ability of water resources in terms of quality and quantity to meet the often-conflicting needs of domestic supply, crop and livestock production and amenity uses. This includes the requirement to irrigate food production areas in order to improve food yields and feed the growing global human population and mitigate the impact of any environmental change. (Manning 2010) 51
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Pendapat Manning (2008) di atas menunjukkan bahwa untuk meningkatkan ketersediaan dan produksi pangan air baku memiliki peran sangat penting. Ketersediaan sumber air baik secara kualitas maupun kuantitas akan sangat berpengaruh pada peningkatan hasil pertanian. Hal ini sejalan dengan Cribb (2013) dalam Proquest Agriculture Journal April 2013, menyebutkan : ”The first task in solving the growing crisis global food insecurity is to invent how we produce food. We need entire agriculture founded on ecosystem thinking, which produce more food while using far less soil, water, energy, and othe inputs and is resilient to climate shocks.” Cribb (2013) Pendapat Cribb (2013) di atas menunjukkan bahwa permasalahan ketahanan pangan akan dapat diselesaikan dengan meningkatkan produksi makanan khususnya beras. Untuk meningkatkan produksi beras mereka membutuhkan penemuan-penemuan di bidang pertanian secara menyeluruh. Menurut Cribb akan sangat baik apabila produksi meningkat namun efisien dalam penggunaan tanah, air, energi dan input lainnya. 3. Kerangka Pikir Teori yang dikemukakan Grindle terdiri dari dua kelompok fenomena yaitu isi kebijakan dan konteks kebijakan. Kelompok fenomena isi kebijakan Grindle mengemukakan 6 fenomena yang mempengaruhi implementasi. Keenam fenomena tersebut adalah : Kepentingan yang dipengaruhi, Tipe manfaat, Derajat perubahan yang diharapkan, Letak pengambilan keputusan, Pelaksanaan Program dan sumberdaya yang dilibatkan. Dari enam fenomena dalam kelompok fenomena isi kebijakan tersebut yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 fenomena yaitu tipe 52
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
manfaat, derajad perubahan yang diharapkan, pelaksanaan program dan sumberdaya yang dilibatkan. Dalam penelitian implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang empat fenomena tersebut yang diprediksi berpengaruh cukup besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Dua fenomena lainnya yaitu kepentingan yang dipengaruhi dan letak pengambilan keputusan menurut peneliti kurang relevan dan tidak memberikan kontribusi terhadap implementasi kebijakan ketersediaan beras. Kelompok fenomena yang kedua dari Grindle adalah konteks kebijakan. Kelompok fenomena konteks kebijakan terdiri dari tiga fenomena yaitu Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa serta Kepatuhan dan daya tanggap. Dari ketiga fenomena tersebut hanya fenomena kepatuhan dan daya tanggap yang digunakan dalam penelitian ini. Namun demikian, dalam konteks implementasi kebijakan ketersediaan, beras menurut peneliti ada beberapa fenomena lain di luar tiga fenomena Grindle dalam kelompok konteks kebijakan. Adapun fenomena lain tersebut adalah : kondisi lahan pertanian, dukungan infrastruktur, dukungan stakeholder dan kondisi alam (iklim dan cuaca) yang berpengaruh besar terhadap implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Teori yang dikemukakan Van Meter dan Van Horn mengemukakan ada 6 (enam) fenomena yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan.yaitu (1) standard dan tujuan kebijakan, (2) sumberdaya, (3) Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, (4) Karakteristik dari agen pelaksana/implementori, (5) Kondisi ekonomi, sosial dan 53
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
politik; (6) Kecenderungan (disposition) dari Pelaksana/ Implementor. Teori yang dikemukakan oleh George Edward III keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh empat fenomena yaitu (1) komunikasi, (2) struktur organisasi, (3) sumberdaya dan (4) disposisi.Dalam penelitian ini peneliti menggunakan fenomena komunikasi dan struktur organisasi untuk melengkapi sekelompok fenomena yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Sedangkan fenomena sumber daya sudah menggunakan teori Grindle dan disposisi menggunakan teori dari Van Metter Van Horn. Penggambaran proses penetapan kebijakan ketersediaan beras mancakup beberapa hal yaitu perumusan isu ketersediaan beras, perumusan arah ketersediaan beras dan perumusan program dan kegiatan ketersediaan beras. Selain itu juga digambarkan hasil yang telah dicapai dalam rangka ketersediaan pangan di Kabupaten Rembang yang berisi antara lain berupa neraca ketersediaan pangan yang menggambarkan sisi Suplly dan Demand ketersediaan beras di Kabupaten Rembang, surplus atau defisit dalam rangka ketersediaan beras dan strategi mengatasi defisit atau mempertahankan surplus beras. Penggambaran kebijakan keterediaan pangan juga dilihat dari pengelolaan atau manajemen ketahanan pangan yang diawali dari perencanaan sampai dengan evaluasi kebijakan ketahanan pangan. Penggambaran tersebut dengan cara menganalisis apakah pelaksaaan kebijakan ketersediaan beras sesuai dengan ketentuan dalam PP 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Secara operasional pelaksanaan PP 68 telah diterjemahkan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010 – 2014 yang disusun oleh Dewan Ketahanan 54
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Pangan Nasional. Kebijakan dan rencana aksi telah disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan Nasional dan menjadi pedoman bagi pemerintah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kebijakan dan rencana aksi tersebut. Berdasarkan analisis terhadap implementasi kebijakan ketersediaan beras selanjutnya diidentifikasi aspek-aspek penghambat dan pendukung keberhasilan penyediaan beras bagi penduduk secara aman dan berkelanjutan. Identifikasi terhadap aspek-aspek tersebut dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari isi kebijakan (content of policy) yang merupakan teori dari Grindle (1987), sikap dan kemampuan pelaksana yang merupakan teori dari van Metter dan van Horn (1985) dan struktur organisasi/birokrasi yang dikemukakan oleh George Edward III (1980). Sedangkan faktor eksternal yang terdiri dari latar belakang kebijakan atau Context of Policy (Grindle, 1987), dan Komunikasi merupakan konsep yang disusun oleh Goerge Edward III (1980). Baik faktor internal maupun eksternal lebih menekankan pada aspek proses pelaksanaan kebijakan beras. Analisis aspek penghambat internal menggunakan frame dari Grindle memfokuskan pada content of policy yang meliputi tipe manfaat kebijakan yang dirasakan oleh kelompok sasaran; perubahan yang diinginkan melalui kebijakan ini; pelaksanaan program dan sumberdaya yang dilibatkan dalam implementasi kebijakan tersebut. Analasis faktor eksternal pada aspek context of policy difocuskan pada kepatuhan dan daya tanggap dari masyarakat; kondisi lahan pertanian; ketersediaan infrastruktur; dukungan stakeholders; kondisi iklim dan cuaca. Analisis faktor internal selain menggunakan frame dari grindle juga digunakan frame dari Van Metter dan van Horn (1985). Fokus yang diamati dalam identifikasi aspek adalah sikap dan 55
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
kemampuan pelaksana yang dilihat dari unsur-unsur kemampuan aparat; ketersediaan saprotan; dan pemberantasan hama. Sedangkan analisis faktor internal dari George Edward III difokuskan pada struktur organisasi yaitu pada standard operating procedures (SOPs), fragmentasi, kerjasama dan koordinasi. Analisis faktor eksternal dari George Edward III yaitu aspek komunikasi difokuskan pada transmisi yang baik, kejelasan komunikasi dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan komunikasi. Hasil dari deskripsi implementasi kebijakan ketersediaan beras eksisting dan identifikasi aspek-aspek pendukung dan penghambat digunakan untuk merumuskan model kebijakan baru yang lebih efisien dan efektif dalam menyediakan beras bagi penduduk. Model tersebut berupaya meningkatkan ketersediaan beras yang cukup, aman, bermutu dan terjangkau. Kerangka Implementasi Kebijakan Ketahanan Pangan digambarkan dalam diagram sebagai berikut :
56
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram : 2.6 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN (Studi Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang) UU 7/ 1996 tentang Pangan PP 68 tahun 2002 ttg ketahanan pangan Perda No 1 tahun 2010 ttg RPJPD Kab Rembang Perda No, 10 tahun 2010 ttg RPJMD Kab. Rembang 2010 - 2015 Perbub no. 16 tahun 2010 ttg RKPD tahun 2011
Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan
Kebijakan Ketersediaan Beras Kondisi Saat ini
Analisis Ketersediaan Beras Kondisi Saat ini
Deskripsi Implementasi, Aspek Penghambat dan Pendukung Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Isi Kebijakan (Content Of Policy) Grindle, 1987 (Internal). Sikap Dan Kemampuan Pelaksana (Van Metter Van Horn, 1985) (Internal) Struktur Organisasi (George Edward III, 1980) (Internal)
Analisis Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras
Latar Belakang Kebijakan (Context Of Policy) Grindle, 1987. (Eksternal)
Komunikasi (George Edward III, 1980) Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras, melalui : Strategi Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Yang cukup, Aman, Bermutu Dan Terjangkau Oleh Masyarakat.
Ketahanan Pangan
57
(Internal -Eksternal)
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
58
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
BAB III ANALISIS MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Analisis Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan 1. Analisis Penetapan Kebijakan Ketersediaan Beras Proses implementasi kebijakan ketersediaan beras yang ada berdasarkan hasil survey adalah diawali dari penetapan kebijakan ketersediaan beras. Proses penetapan kebijakan diawali dari penyusunan permasalahan atau agenda setting. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan ketersediaan beras adalah meningkatkan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang sampai dengan tahun 2015. Surplus beras di Kabupaten Rembang sampai dengan tahun 2012 sebesar 57.541 ton. Kebijakan yang diambil untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah “terjaminnya ketersediaan pangan dan akses masyarakat terhadap pangan yang bermutu, bergizi, aman dan terjangkau“. Rumusan kebijakan tersebut dihasilkan melalui mekanisme sebagai berikut:
59
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3.1. Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan. Pemantapan ketersediaan dan cadangan pangan yang memenuhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas bagi masyarakat serta diversifikasi produk pangan (RPJMD 2010 – 2015) Meningkatkan Ketersediaan pangan dalam jumlah, mutu, keamanan maupun harga yang terjangkau. (Renstra BKP & P4K)
Melakukan koordinasi antar SKPD dan institusi terkait seperti Bulog (leading Sector Bappeda – BKP & P4K) (Jarang dilakukan)
PP 68 tahun 2002, Perpres 83/2006 Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2009 (SK Nomor 500/96/2009)(baru dibentuk tahun 2009)
Rumusan Program dan Kegiatan Sebagai Implementasi dari Kebijakan dalamRPJMD dan Renstra
Belum pernah melakukan rapat koordanisi sampai dengan akhir tahun 2012. Baru akan direncanakan tahun 2013 (alasan tidak disetujui anggarannya)
Seharusnya perumusan kebijakan di tingkat Kabupaten Rembang juga harus menunggu peran Dewan Ketahanan Pangan Daerah sebagai sebuah forum pengambil kebijakan tentang Ketahanan pangan. Secara normative Dewan Ketahanan Pangan yang sudah terbentuk seharusnya merumuskan kebijakan ketahanan pangan daerah namun sampai akhir tahun 2012 sejak dibentuk Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai oleh Bupati Rembang (ex-oficio) belum melakukan kegiatan apapun. 60
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Bupati kurang focus terhadap ketahanan pangan yang menurut beliau hasilnya tidak kasat mata sebagai sebuah monumen selama kepemrintahannya, sehingga Bupati tidak memprioritaskan ketahanan pangan sebagai salah satu program suksesnya. Kebijakan ketahanan pangan Kabupaten Rembang diputuskan tidak melalui Dewan Ketahanan Pangan, namun melalui mekanisme penyusunan RPJMD dan Renstra SKPD memanfaatkan momentum penyusunan RPJMD pada awal kepemerintah Bupati. Dari analisis tersebut di atas maka diusulkan proses perumusan kebijakan ketersediaan beras yang. pada diagram berikut: Diagram 3.2 Usulan Prosedur Penetapan Kebijakan Ketersediaan Beras Di Kabupaten Rembang
Implementasi PP 68 tahun 2002, Perpres 83/2006
Melakukan koordinasi antar SKPD dan institusi terkait seperti Bulog (leading Sector Bappeda – BKP & P4K)
Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2009 (SK Nomor 500/96/2009)
Menyelenggarakan Forum SKPD, Musrenbang
Pembahasan dan kesepaktan dengan DPRD
Penyusunan RPJMD, RPKD,
Menyelenggarakan Rakor 2 kali setahun
61
Pemantapan ketersediaan dan cadangan pangan yang memenuhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas bagi masyarakat serta diversifikasi produk pangan (RPJMD 2010 – 2015) Meningkatkan Ketersediaan pangan dalam jumlah, mutu, keamanan maupun harga yang terjangkau. (Renstra BKP & P4K)
Rumusan Program dan Kegiatan Sebagai Implementasi dari Kebijakan dalam RPJMD dan Renstra
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
2. Analisis Kondisi Ketersediaan Beras Berdasarkan hasil penelitian dengan para informan dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: Diagram 3.3 Mekanisme Peningkatan Ketersediaan Beras Saat ini
Upaya mencapai ketersediaan beras yang mencukupi (Upaya peningkatan produksi beras belum terkoordinasi antar pelaksana)
1. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan (masih banyak lahan sawah yang tidak ditanami padi) 2. Perluasan Areal Tanam (terhambat karena alih fungsi dan penanaman komoditas lain) 3. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan (belum mampu meningkatkan areal padi) 4. Peningkatan Efisiensi Penanganan Pasca Panen (tingkat kehilangan masih di atas 10%) 5. Pelestarian sumberdaya air dan Pengelolaan DAS (dilaksanakan tidak berkelanjutan) 6. Perbaikan Jaringan Irigasi dan Drainasse (belum mampu memperbaiki semua kerusakan)
Monitoring dan Evaluasi dengan SKPD terkait (Dinas Pertanian dan Kehutanan, DPU, BKP & P4K, BAPPEDA) (masih terbatas pada pengkajian atas data bukan observasi)
Surplus Beras
54.234,82 ton
Berdasarkan hasil penelitian upaya penyediaan beras dilakukan dengan mekanisme semakin meningkatkan peran pihak-pihak terkait termasuk Bulog untuk menyerap hasil panen masyarakat. Secara diagramatis diagambarkan sebagai berikut:
62
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3.4 Usulan MekanismePeningkatan Ketersediaan Beras
Upaya Mencapai Ketersediaan Beras yang Mencukupi (Peningkatan Produksi Beras)
1. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan 2. Perluasan Areal Tanam 3. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan 4. Peningkatan Efisiensi Penanganan Pasca Panen 5. Pelestarian sumberdaya air dan Pengelolaan DAS 6. Perbaikan Jaringan Irigasi dan Drainasse
Monitoring dan Evaluasi dengan SKPD terkait (Dinas Pertanian dan Kehutanan, DPU, BKP & P4K, BAPPEDA)
Surplus Beras 57.541 ton
1. Peran Instansi Pemerintah (SKPD terkait) 2. Optimalisasi Peran Bulog dalam membeli hasil panen petani 3. Peran pedagang beras dalam menyediakan beras di Rembang 4. Perilaku masyarakat dalam menyisakan nasi di piring makan dikurangi.
3. Analisis Manajemen Ketersediaan Beras Analisis manajemen untuk menjaga ketersediaan beras di Kabupaten Rembang meliputi gambaran dan kajian bagaimana pemerintah merencanakan, melaksanakan dan melakukan evaluasi terhadap kebijakan menjaga dan meningkatkan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Gambaran dan kajian terhadap manajemen ketersediaan beras diawali dengan perencanaan, 63
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi. a. Perencanaan Perencanaan pelaksanaan kebijakan meningkatkan dan menjaga ketersediaan beras agar cukup, aman dan terjangkau oleh masyarakat. perencanaan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang direncanakan dalam kurun waktu jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Perencanaan ketahanan pangan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Rembang Tahun 2005 – 2025, RPJMD Kabupaten Rembang tahun 2010 – 2015 dan RKPD tahun 2012, 2013 dan tahun 2014 (direncanakan setiap tahun). Selain itu di tingkat SKPD dalam hal ini Dinas Ketahanan Pangan dan P4K juga menyusun perencanaan ketahanan pangan dalam bentuk dokumen Rencana Strategis (Renstra) Badan Ketahanan Pangan dan P4K serta Rencana Kerja Tahunan (Renja) Badan Ketahanan Pangan dan P4K. Perencanaan dalam rangka implementasi kebijakan ketersediaan beras adalah sabagai berikut:
64
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram3.5. Mekanisme Perencanaan Program Peningkatan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang Saat Ini
Perencanaan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
Permasalahan berkaitan dengan peningkatan surplus beras mencapai 100.000 ton pertahun
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Pembahasan dengan DPRD
Rencana Strategis (Renstra) SKPD BKP dan P 4K Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) (hasil Musrenbang belum sepenuhnya diakomodasikan)
Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
RAPBD
APBD
1. Program Peningkatan Ketersediaan Pangan pada BKP & P4K, 2. Program Peningkatan Produksi Pertanian pada Dinas Pertaninian dan Kehutanan. 3. Program perbaikan irigasi pada DPU 4. Program Peningkatan Distribusi Beras pada Disperangkop UMKM.
Rencana Kerja SKPD (Renja SKPD) (hasil Musrenbang belum sepenuhnya diakomodasikan)
Diagram tersebut masih mengandung kelemahan dalam proses penyusunan perencanaan, kesepakatan dari hasil Rakor Ketahanan Pangan seharusnya juga menjadi dasar dalam penetapan kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara. Selain itu penetapan kebijakan dalam RKPD maupun RPJMD juga harus 65
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
mengakomodasikan aspirasi masyarakat yang diserap melalui Musrenbang dan masa reses DPRD. Dengan memperhatikan hal tersebut diharapkan perencanaan ketersediaan beras benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Secara detail dapat dilihat pada diagram berikut:
66
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3.6 Usulan Mekanisme Perencanaan Program Peningkatan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang
Perencanaan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
Permasalahan berkaitan dengan peningkatan surplus beras mencapai 100.000 ton pertahun
Kebutuhan dan Aspirasi Masyarakat berkaitan dengan ketersediaan beras
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Rencana Strategis (Renstra) SKPD BKP dan P 4K
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
Rencana Kerja SKPD (Renja SKPD)
Pembahasan dengan DPRD
Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
Hasil Kesepakatan Rakor Dewan Ketahanan Pangan Daerah
RAPBD
APBD
1. Program Peningkatan Ketersediaan Pangan pada BKP & P4K, 2. Program Peningkatan Produksi Pertanian pada Dinas Pertaninian dan Kehutanan. 3. Program perbaikan irigasi pada DPU 4. Program Peningkatan Distribusi Beras pada Disperangkop UMKM.
b. Pengorganisasian Pengorganisasian dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan dilakukan secara berjenjang dari tingkat pusat sampai dengan kabupaten/kota. Secara hierarchis pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras diawali dari tingkat pusat. Pemerintah Pusat menyusun Norma, Standar, 67
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Prosedur, Kriteria dan kebijakan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras untuk scope nasional. Kementerian yang menangani ketahanan pangan adalah Kementerian Pertanian. Kementrian Pertanian merupakan sekretaris eksekutif dari Dewan Ketahanan Pangan Nasional yang secara langsung menangani ketahanan pangan di tingkat nasional. Pada tingkat Provinsi ketahanan pangan ditangani oleh Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. Badan inilah yang menangani dan mengawasi pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras di tingkat provinsi. Di tingkat provinsi juga dibentuk Dewan Ketahanan Pangan tingkat Provinsi Jawa Tengah yang dipimpin oleh Gubernur Jawa Tengah. Upaya menjamin ketersediaan beras di tingkat provinsi BKPP berkoordinasi dengan Bulog untuk pemantauan stok beras provinsi. Upaya menjaga ketersediaan beras di tingkat provinsi BKPP melakukan kegiatan monitoring dan menyusun regulasi ketersediaan beras di tingkat provinsi. Di tingkat Kabupaten Rembang urusan kewenangan ketahanan pangan dilaksanakan oleh BKP dan P4K. Impelementasi kebijakan ketahanan pangan terutama ketersediaan beras berada pada tingkat kabupaten. Oleh karena itu tugas BKP dan P4K Kabupaten dalam menjaga ketersediaan pangan di tingkat Kabupaten Rembang. Secara definitive pelaksanaan kebijakan meningkatkan dan menjaga ketersediaan beras berada pada BKP dan P4K, namun badan ini tidak bisa bekerja sendirian, badan ini harus bekerja sama dengan SKPD lain dan juga institusi lain seperti bulog, asosiasi pedagang beras, Gapoktan dan kelompok tani. Pengorganisasian di tingkat Kabupaten sepenuhnya 68
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
berada di BKP dan P4K. Hubungan dengan institusi yang disebutkan di atas sebatas pada koordinasi. Forum koordinasi Ketahanan Pangan di tingkat Kabuten Rembang sebenarnya terletak pada Dewan Ketahanan Pangan Daerah (DKPD) Kabupaten Rembang. Aktivitas DKPD Kabupaten Rembang belum berfungsi optimal, karena berlu pernah mangadakan rapat koordinasi sejak dibentuk. Fungsi kordinasi akhirnya diperankan oleh BKPdan P4K. Pengorganisasian dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras terlihat pada diagram berikut: Diagram 3.7 Pengorganisasian Dalam Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Saat Ini Kepala BKP dan P4K
Kepala Bidang Ketahanan Pangan
Kepala Sub Bidang Ketersediaan dan distribusi pangan
Kepala Bidang Penyuluhan
Kepala Sub Bidang Kewaspadaan dan Kerawanan pangan
Kepala Sub Bidang Pengembangan dan penganekaragaman pangan
Organisasi dalam pelaksanaan kebijakan peningkatan ketersediaan beras di atas hanya mencerminkan pengorganisasian pada Badan Ketahanan Pangan dan P4K belum mencerminkan secara keseluruhan pengorganisasian implementasi kebijakan ketersediaan beras. Seharusnya pengorganisasian tersebut terlihat pada diagram berikut: 69
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3.8 Usulan Pengorganisasiaan Dalam Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dewan Ketahanan Pangan
Kepala BKP dan P4K
Kepala Bidang Ketahanan Pangan
Kepala Sub Bidang Ketersediaan dan Distribusi Pangan
Dinas Pertanian dan Kehutanan (Produksi)
Dinas Perindagkop UMKM (Distribusi dan Harga beras)
Kepala Sub Bidang Kewaspadaan dan Kerawanan Pangan
Kepala Bidang Penyuluhan
Kepala Sub Bidang Pengembangan dan Penganekaragaman Pangan
BULOG (Stock Beras)
Pedagang beras di Pasar
c. Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras Upaya pelaksanaan kebijakan menjaga ketersediaan beras di Kabupaten Rembang peran Dinas Pertanian dan Kehutanan dan BKP dan P4K sangat penting. Kedua SKPD tersebut merupakan SKPD kunci yang terus mengawal pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Dalam melaksanakan tugas menjaga tingkat produksi beras di Kabupaten Rembang, Dinas Pertanian 70
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
dan Kehutanan melakukan berbagai upaya antara lain dengan pengenalan sistem bercocok tanam padi yang efisien dan menghasilkan produksi yang maksimal yaitu sistem Jajar Legowo dan System Rice Intensification (SRI). Selain itu Dinas Pertanian dan Kehutanan juga melakukan upaya pengendalian hama terpadu dengan menggunakan obat-obatan ramah lingkungan namun memiliki tingkat efektivitas tinggi, sistem pemupukan yang semakin baik dengan tingkat ketersediaan pupuk yang terjangkau oleh petani. Penyediaan bibit padi unggul yang sesuai dengan kondisi lahan di Kabupaten Rembang juga terus diupayakan. Sementara itu Badan Ketahanan Pangan dan P4K melakukan tugas pemantauan dan evaluasi serta distribusi ketersediaan beras ke berbagai pelosok kecamatan di kabupaten Rembang. Badan Ketahanan Pangan dan P4K melakukan kegiatan tersebut dengan membuat pelaporan setiap bulan guna mengetahui tingkat ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Rembang dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan lebih difokuskan pada Tupoksi Bappeda yaitu menyusun perencanaan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras. Bappeda sesuai dengan fungsi perencanaan yang diembannya menyusun perencanaan pembangunan di bidang ketahanan pangan yang tertuan dalam RPJMD Kabupaten Rembang Tahun 2010 – 2015. RPJMD tersebut merupakan dokumen perencanaan jangka menengah. Agar apa yang direncanakan dalam RPJMD dapat direalisasikan Bappeda setiap tahunnya menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD tersebut 71
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
disahkan melalui Peraturan Bupati (Perbup) yang selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rembang. RKPD yang telah disahkan melalui Perbup dijabarkan ke dalam Kebijakan Umum APBD (KUA ) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang setelah disepakati bersama oleh Bupati dan DPRD digunakan sebagai dasar penyusunan RAPBD. Setelah RAPBD dibahas bersama dengan DPRD selanjutnya disahkan menjadi Peraturan Daerah tentang APBD. Pelaksanaan Kebijakan ketersediaan beras juga dilakukan dengan bekerjasama dengan kelompok tani.Peran Kelompok tani atau petani itu sendiri lebih pada upaya untuk meningkatkan produksi padi. BKP dan P4K sebagai institusi yang juga memiliki tugas untuk melakukan penyuluhan pertanian kepada petani berperan membina petani dengan memberikan penyuluhan kepada petani secara berkala dan bersifat rutin. Peran petani dan kelompok tani dalam menjaga ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras adalah mengupayakan agar para petani memiliki cadangan pangan keluarga yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tingkat kesadaran petani untuk selalu menjaga ketersediaan beras cukup tinggi. Mereka secara swadaya mengupayakan agar keluarga mereka cukup persediaan beras bagi kebutuhan keluarga selama kurun waktu tertentu. Upaya yang dilakukan tersebut hampir dilakukan setiap saat panen.Keluarga petani selalu mementingkan ketersediaan beras bagi keluarganya baru setelah sisa, sisanya tersebut yang dijual. 72
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Unsur pedagang memiliki peran penting dalam menjaga ketersediaan beras di satu wilayah.Pedagang inilah yang melakukan distribusi beras kepada masyarakat. Para pedagang dengan naluri dagang yang dimilikinya melakukan jual beli beras dan mendistribusikan kepada masyarakat. Pedagang juga menetapkan harga jual beras sesuai dengan prinsip ekonomi dengan mengambil margin keuntungan tertentu bagi mereka. Berdasarkan beberapa keterangan dari beberapa Informan disimpulkan bahwa penetapan harga beras sangat tergantung dari mekanisme pasar.Hal ini berarti bahwa harga jual beras sangat tergantung dari penawaran dan permintaan akan beras di masyarakat. Selain itu menurut para pedagang harga beras sangat ditentukan oleh harga di tingkat pengepul yang biasanya memiliki usaha ricemill. Apabila pada saat beras langka atau belum musim panen biasanya harga pada tingkat pengepul sudah tinggi. Hal ini berakibat harga beras sampai pada konsumen atau masyarakat menjadi tinggi juga. Berdasarkan informasi dari informan dapat diketahui bahwa distribusi beras sampai pada tingkat konsumen (masyarakat) melalui proses tata niaga yang cukup panjang. Harga beras mengalami kenaikan dari pedagang tingkat I sebesar Rp. 6.750,00 /kg, sampai pada konsumen (masyarakat) naik menjadi Rp. 8.700,00,- (kondisi pada bulan Januari 2013). Dengan demikian selisih harga beras sebesar Rp 1.950,00/kg dinikmati oleh pengepul dan pedagang. Implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten digambarkan sebagai berikut: 73
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3.9 Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang Saat Ini Kebijakan Ketersediaan Beras Di Rembang (RPJMD Dan Renstra BKP)
Ketersediaan Pangan (Beras)
Sosialisasi Upaya peningkatan ketersediaan Produktivitas Beras meningkat
BKP dan P4K – Pelaksanaan Tupoksi Distribusi Pangan (beras)
Pelaksanan peningkatan ketersediaan beras
Harga stabil dan terjangkau
Penyuluhan Pertanian Keamanan Pangan
Monitoring dan Evaluasi
Pedagang tidak menjual ke luar daerah
Stock Beras Meningkat
Ketersediaan beras masyarakat terjamin
Berdasarkan diagram di atas tampak dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras terlihat bahwa pelaksanaan ketersediaan beras hanya terpusat pada BKP dan P4K saja. Banyak aspek yang masih harus dilakukan agar tujuan pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras tercapai. Seharusnya pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras digambarkan pada diagram berikut ini: 74
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3.10 Usulan Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang Kebijakan Ketersediaan Beras Di Rembang (RPJMD Dan Renstra BKP)
BKP dan P4K , Dinas Pertanian dan Kehutanan, Disperidag KOP UMKKM dan DPU (Pelaksanaan Tupoksi)
Sosialisasi Upaya peningkatan ketersediaan beras
Mengendalikan tingkat Produksi dan konsumsi beras Ketersediaan Pangan (Beras)
Produktivitas Beras meningkat Penyuluhan Pertanian Monitoring dan Evaluasi (pembuatan Neraca Kebutuhan Beras, Produksi, harga)
Pengendalian tataniaga beras keluar dan masuk Rembang (Disperindag)
Harga stabil dan terjangkau
Ketersediaan beras masyarakat terjamin
75
Meningkatkan ketersediaan beras dalam masyarakat (lumbung pangan – tunda jual)
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
d. Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras Mekanisme pemantauan dan evaluasi ketersediaan beras dan harga beras di tingkat BKP dan P4K adalah dengan pembentukan tim yaitu staf Bidang Ketahanan Pangan pada Badan Ketahanan Pangan dan P4K yang bertugas memantau ketersediaan beras dan perkembangan harga beras di pasar. Para petugas tersebut melakukan survey ke pasar-pasar di wilayah Kabupaten Rembang dan hasilnya selanjutnya dilaporkan kepada Kepala BKP dan P4K. Hasil laporan tersebut selanjutnya dilakukan analisis tingkat ketersediaan dan perkembangan harganya. Mekanisme monitoring dan evaluasi ketersediaan beras dilakukan secara periodik atau sesuai kebutuhan. Periode monitoring dan evaluasi ketersediaan beras secara reguler dilakukan setiap bulan oleh petugas BKP. Monintoring juga dilakukan pada saat harga beras naik dengan drastis.
76
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3 .11 Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang Harga beras tinggi, pasokan beras terganggu
BKP dan P4K – Pelaksanaan Tupoksi
SK Pembentukan Tim Monev
Pelaporan Hasil Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras Reguler
Rekomendasi hasil monitoring dan evaluasi
Tindakan koreksi/ antisipasi hasil monev
Mekanisme monitoring dan evaluasi ketersediaan beras pada diagram di atas terlalu sederhana tanpa memperhatikan berbagai pelaku usaha lain atau stakeholder lain serta kurang memperhatikan Standard Operating Procedures (SOPs). Mekanisme seharusnya terlihat pada diagram berikut: .
77
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3.12 Usulan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang
BKP dan P4K – Pelaksanaan Tupoksi
Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras
Monitoring insidental pada waktu harga beras tinggi, (kenaikan harga lebih dari 10%) pasokan beras terganggu
Pedagang
Petani
Pelaporan Hasil Monitoring dan Evaluasi
Bulog
Standar Operating Procedures
Reguler
Dinas Pertanian Dan Kehutanan
Kepala BKP atau Ketahanan Pangan
Tindakan koreksi/ antisipasi hasil monev
B. Analisis Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Yang Cukup Aman, Bermutu dan Terjangkau Masyarakat Berdasarkan hasil penelitian ditemukan model implementasi kebijakan ketersediaan beras dalam rangka peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang. Gambaran implementasi kebijakan ketersediaan beras saat ini dari mulai perumusan kebijakan sampai dengan metode monitoring dan evaluasi terlihat bahwa implementasi kebijakan tersebut dikaji dari beberapa variabel, yaitu : isi kebijakan, konteks kebijakan, sikap dan kemampuan pelaksana, komunikasi dan struktur birokrasi. Isi Kebijakan, kondisi eksisting isi kebijakan terdiri dari beberapa variabel yaitu tipe manfaat, derajat perubahan yang diharapkan, pelaksanaan program dan sumberdaya yang dilibatkan. 78
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Dukungan implementasi kebijakan ketersediaan beras terlihat dari manfaat kebijakan ketersediaan beras yang cukup, aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat secara langsung dapat dinikmati oleh kelompok sasaran. Manfaat kebijakan ketersediaan beras dirasakan para petani dengan adanya program antara lain penerapan sapta usaha tani, penerapan pola tanam “Jajar Legowo”, pelaksanaan SLPTT, penerapan System Rice Intensification (SRI). Derajat perubahan yang dihasilkan dari kebijakan ketersediaan beras adalah perubahan pola tanam baru “walik dami” dan cara bercocok tanam dengan cara “Jajar Legowo”. Peningkatan Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang menjadi Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (BKP dan P4K) akan meningkatkan kinerja urusan ketahanan pangan. Bentuk SKPD Badan dimaksudkan agar Kepala SKPD BKP dan P4K mudah melakukan koordinasi dengan SKPD lain Keterlibatan masyarakat cukup baik, khususnya masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani maupun gapoktan terlibat secara aktif dalam program-program ketahanan pangan; Hambatan dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras antara lain disebabkan belum terwujudnya keterpaduan dan sinergitias antar SKPD maupun dengan stekoholder terkait dan masih muncul egosektor dan tumpang tindih dalam menjalankan tupoksinya. Belum terwujudnya keterpaduan program-program antar pemangku kepentingan yang satu dengan yang lain. Dukungan regulasi dan sarana prasarana masih terbatas. Sumberdaya yang dilibatkan dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah sumberdaya di tingkat birokrasi menjadi permasalahan tersendiri dalam implementasi kebijakan ketahanan pangan. Birokrasi merupakan pelaksana utama 79
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
yang harus mampu menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan apa yang diharapkan pemerintah melalui kebijakan yang disusun. Dari aspek pendanaan belum optimal karena dana untuk operasional BKP khususnya bidang ketahanan pangan hanya sebesar 250 juta dari APBD dan APBN sebesar 1 milyar. Sumberdaya yang dilibatkan antara lain SDM baik kelompok tani maupun PPL, Asosiasi Pedagang Beras, sarana dan prasarana (dukungan ketersediaan air melalui revitalisasi irigasi tersier maupun sekunder, pendanan baik APBN, Provinsi maupun Kabupaten. Konteks Kebijakan. konteks implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang terdiri dari beberapa aspek yaitu kepatuhan dan daya tanggap, dukungan stakeholders, dukungan infrastruktur, kondisi alam (iklim dan cuaca) dan kondisi lahan pertanian. Aspek-aspek tersebut melatarbelakangi implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan beras dipengaruhi oleh aspek-aspek tersebut. 1. Kepatuhan dan Daya Tanggap. Unsur penghambat dalam aspek kepatuhan dan daya tanggap adalah belum semua aparat memahami secara utuh kebijakan ketahanan pangan, aparat masih mempunyai anggapan bahwa kebijakan ketahanan pangan merupakan kebijakan pemerintah yang menyediakan kebutuhan pangan dalam arti sempit tidak sampai pada proses produksi atas komoditas pangan. Pemahamannya hanya bersifat distribusi atas bahan pangan, oleh karena itu perlu ada bintek tentang kebijakan ketahanan pangan dalam arti yang lebih luas kepada aparat maupun stakeholder. Keberhasilan implementasi kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang sangat tergantung dari kepatuhan atau komitmen dan daya tanggap atau 80
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
responsif seluruh stakeholder yang terlibat baik kelompok sasaran dalam hal ini petani maupun aparat selaku implementator kebijakan ketahanan pangan. Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa tingkat kepatuhan aparat maupun petani sebagi kelompok sasaran cukup baik, sehinggaakan mendukung implementasi kebijakan ketahanan pangan. 2. Ketersediaan Infrastruktur. Pelayanan irigasi masih belum menjangkau seluruh wilayah. Kondisi seperti ini sangat tidak mendukung peningkatan produktivitas pertanian di masa mendatang. Diperlukan pengembangan sarana prasarana irigasi sehingga mampu meningkatkan jangkauan areal persawahan yang dapat terairi. Diperlukan pula pengelolaan jaringan irigasi agar tetap dapat berfungsi secara optimal dalam meningkatkan produksi pertanian sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Sistem irigasi belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan, hal ini dikarenakan banyak kondisi saluran irigasi sekunder yang mengalami kerusakan belum ada tindak lanjut untuk diperbaiki. Selain itu pada wilayah tertentu belum dibangun saluran irigasi. Jadi dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kualitas dan kuantitas infrastruktur pertanian semakin menurun dan sangat terbatas jumlahnya, sehingga menghambat upaya mewujudkan keberhasilan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang. 3. Alam (Iklim dan Cuaca). Aspek iklim atau cuaca di Kabupaten Rembang merupakan penghambat terbesar bagi pelaksanaan kebijakan peningkatan ketersediaan beras. Secara umum berdasarkan hasil wawancara dapat dikemukakan bahwa iklim dan cuaca kurang mendukung karena hari hujan dalam setahun jumlahnya lebih kecil diban81
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
dingkan dengan hari kering. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, jumlah hari hujan pada tahun 2012 hanya sebesar 76 hari dalam satu tahun. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Rembang juga rendah. 4. Kondisi Lahan Pertanian. Penggunaan lahan wilayah Kabupaten Rembang secara umum dapat dikelompokkan menjadi lahan sawah seluas 29.172 Ha dan lahan kering seluas 72.236 Ha. Sebagian tanah sawah di Kabupaten Rembang ini merupakan sawah tadah hujan sebesar 17,84% dari keseluruhan tanah sawah. Hal ini disebabkan kondisi iklim di Kabupaten Rembang yang termasuk daerah dengan curah hujan rendah. Sedang untuk tanah kering sebagian besar merupakan tegalan yaitu sebesar 34,29% dari luas tanah kering di Kabupaten Rembang. Sedangkan penggunaan lahan untuk permukiman terkait dengan pertambahan penduduk yang berdampak pada penyediaan fasilitas pemukiman dan fasilitas pendukung lainnya. Sikap dan Kemampuan Pelaksana. Sikap dan Kemampuan Pelaksana dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras terdiri dari beberapa aspek yaitu kemampuan aparat, kemampuan aparat dalam menyediakan sarana produksi pertanian dan kemampuan aparat dalam pemberantasan hama. Kemampuan aparat dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang terlihat bahwabanyak aparatur yang tergabung dalam Dewan Ketahanan Pangan maupun instansi yang berkaitan langsung dengan ketersediaan beras, seperti BKP dan P4K, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum pada Bidang Pengairan dan SDA, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Bappeda. Staf di lingkungan instansi (SKPD) tersebut belum sepenuhnya memahami tentang kebijakan ketersediaan beras, sehingga meng82
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
hambat pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras. Kemampuan pemerintah untuk menyediakan saprodi pertanian kurang maksimal dalam memfasilitasi baik penyediaan maupun penetapan standar harga pupuk, obat-obatan pertanian dan bibit padi. Kemampuan pemerintah Kabupaten Rembang sebagai pelaksana dalam pemberantasan hama juga kurang optimal. Obat-obatan pemberantas hama tanaman padi yang tersedia saat ini belum mampu menanggulangi penyakit tanaman yang diakibatkan jamur “blas“. Komunikasi. Komunikasi antar aparatur pelaksana yang memiliki tugas pokok dan fungsi berkaitan langsung dengan ketersediaan beras dan komunikasi antar institusi berjalan formal dan terkendala pada prosedur birokrasi, sehingga respon terhadap masalah ketahanan pangan dan upaya untuk mensinergikan kegiatan dalam upaya meningkatkan ketersediaan beras menjadi terhambat. Struktur Organisasi/Birokrasi. Struktur birokrasi berpenegaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan ketahanan pangan. Pengaruh struktur birokarasi tersebut diihat dari empat aspek yaitu Standard Operating Procedures (SOPs), Fragmentasi, kerjasama dan koordinasi. Standard operating procedures dalam struktur birokrasi adalah Serangkaian instruksi tertulis yangdibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa dilakukan. SOPs sangat dibutuhkan dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras. Di kabupaten Rembang belum ada SOPs dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras. Belum adanya SOPs sebagai perwujudan dari struktur organisasi ketahanan pangan menjadi penghambat pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras di 83
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Kabupaten Rembang. Fragmentasi, fragmentasi adalah pengelompokan disertai dengan pembagian tugas yang seimbang diantara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras. Implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang terdapat hambatan yaitu kurangnya kesepahaman, koordinasi dan sinkronisasi dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan, mengakibatkan pelaksanaan kebijakan kurang maksimal. Ego sektoral masih ditemukan dan dinas terkait cenderung lebih fokus pada bidang tugas pokoknya, ketimbang ikut serius bersinergi dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan. Dengan fragmentasi yang lebih bersifat normatif dan masih kurangnya sinergi antar dinas terkait, menjadi salah satu aspek penghambat bagi pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang; Kerjasama. Kerjasama dalam implmentasi kebijakan ketersediaan beras adalah saling membantu dan bekerja bersama antara institusi terkait dengan implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang terdapat hambatan dalam kerjasama yaitu kerjasama yang dilaksanakan kurang ditindaklanjuti dan tidak diupayakan keberlanjutannya. Mata rantai kebijakan pengadaan beras melibatkan berbagai tingkatan dari petani, pengepul/penggiling, penyalur sampai pada pedagang besar yang ada dipasar maupun instansi, baik instansi pemerintah maupun pengusaha swasta. Efektivitas kerjasama dalam rangka penyediaan beras di Kabupaten Rembang masih perlu ditingkatkan lagi sehingga dapat mendukung kebijakan ketersediaan beras. Koordinasi. Koordinasi adalah kesatuan tindakan dalam rangka mencapai keberhasilan implementasi 84
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
kebijakan ketersediaan beras. Terdapat hambatan koordinasi dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras yaitu Koordinasi dilaksanakan lebih pada tahap perencanaan, sedangkan koordinasi pada tahap pelaksanaan serta tahap evaluasi masih kurang memadai. Kurangnya koordinasi menjadikan hambatan dalam pemecahan masalah apabila terjadi kendala atau hambatan dalam pelaksanaan ketahanan pangan. Berdasarkan uraian tersebut model eksisting implementasi kebijakan ketersediaan beras dalam rangka peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang dapat digambarkan sepertei diagram 4.13 sebagai berikut :
85
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 3.13 MODEL EKSISTING IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN (Model Eksisting Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang)
UU 7/ 1996 tentang Pangan PP 68 tahun 2002 ttg ketahanan pangan Perda No 1 tahun 2010 ttg RPJPD Kab Rembang Perda No, 10 tahun 2010 ttg RPJMD Kab. Rembang 2010 2015 Perbub no. 16 tahun 2010 ttg RKPD tahun 2011
Aspek Pendukung Dan Penghambat Implementasi Kebijakan Ketersedaian Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan
Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Ketahanan Pangan Sesuai PP 68 Tahun 2002. Proses Penetapan Kebijakan Ketahanan Pangan Pembentukan Dewan Pangan Daerah, Rapat Koordinasi Pangan Daerah Dan Perumusan Program Dan Kegiatan Ketersediaan Pangan Daerah (Beras)
Isi Kebijakan : 1. Tipe manfaat 2. Derajat perubahan yang diharapkan 3. Implementasi Program (kurang terstruktur) 4. Sumberdaya yang dilibatkan (terbatas)
Kontek Implementasi 1. Kepatuhan & daya tanggap (belum maksimal) 2. Dukungan Stakholder (terbatas) 3. Dukungan Infrastruktur (terbatas) 4. Dukungan Alam (Iklim dan cuaca)- (rendah) 5. Kondisi Lahan Pertanian (kurang optimal)
Kondisi Ketersediaan Beras saat ini Peningkatan Ketersediaan Beras, Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Perluasan Areal Tanaman Pangan, Pengembangan Konservasi Dan Rehabilitasi Lahan, Peningkatan Efisiensi Penanganan Pasca Panen, Pelestarian Sumberdaya Air Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Perbaikan Jaringan Irigasi Dan Drainase
Sikap dan Kemampuan Pelaksana: 1. Kemampuan Aparat (belum optimal) 2. Kemampuan menyediakan Saprodi Pertanian (cukup tersedia) 3. Kemampuan Pemberantasan hama (rendah)
Manajemen Ketersediaan Beras Pengorganisasian Perencanaan Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi
Komunikasi 1. Media Komunikasi 2. Kejelasan Informasi
Struktur Birokasi 1. Fragmentasi (Ego sektor) 2. Kerjasama (terbatas) 3. Koordinasi (lemah)
86
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
C. Kajian Faktor Penghambat dan Pendukung Keberhasilan Kebijakan Publik Aspek pendukung dan penghambat adalah unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Unsur pendukung dan penghambat tersebut digali berdasarkan kelompok fenomena yaitu fenomena isi kebijakan, konteks kebijakan, sikap dan kemampuan pelaksana, komunikasi dan Struktur Birokrasi/Organisasi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi terhadap informan diperoleh Aspek pendukung dan penghambat implementasi kebijakan ketersediaan pangan khususnya beras di Kabupaten Rembang. 1. Aspek Pendukung a. Isi Kebijakan (content of policy) Isi kebijakan ketahanan pangan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan tentang ketersediaan pangan adalah sebagai berikut: Pasal 2 1) Penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu. 2) Untuk mewujudkan penyediaan pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan : a) mengembangkan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal; b) mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; c) mengembangkan teknologi produksi pangan; 87
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
d) mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan; e) mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, perindustrian dan perdagangan, kesehatan, koperasi, permukiman dan prasarana wilayah, pemerintahan dalam negeri, keuangan, dan riset dan teknologi, sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing. Pasal 3 1) Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan, dan pemasukan pangan. 2) Sumber penyediaan pangan diutamakan berasal dari produksi pangan dalam negeri. 3) Cadangan pangan dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan pangan, kelebihan pangan, gejolak harga dan/atau keadaan darurat. 4) Pemasukan pangan dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan tidak mencukupi kebutuhan konsumsi dengan tetap memperhatikan kepentingan produksi dalam negeri. 5) Pelaksanaan pemasukan pangan wajib mengikuti ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
88
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Pasal 4 Dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan dilakukan distribusi pangan ke seluruh wilayah sampai tingkat rumah tangga. Untuk mewujudkan distribusi pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan : • mengembangkan sistem distribusi pangan yang menjangkau seluruh wilayah secara efisien; • mengelola sistem distribusi pangan yang dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan; • menjamin keamanan distribusi pangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, perhubungan, industri dan perdagangan, dan koperasi, sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing. Di Kabupaten Rembang kebijakan ketahanan pangan yang merupakan implementasi dari PP 68 tahun 2002 tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Arah Kebijakan yang tertuang dalam RPJMD Kabupaten Rembang tahun 2010 – 2015 adalah implementasi atas PP 68 tahun 2002. Arah kebijakan ketahanan pangan dalam RPJMD Kabupaten Rembang Tahun 2010 – 2015 adalah: 1) Pengembangan agrobisnis, melalui pengembangan dan penguatan keterkaitan subsistem antara hulu dan hilir guna meningkatkan nilai tambah produk pertanian yang berdaya saing sesuai dengan permintaan pasar.
89
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
a) Peningkatan kuantitas dan kualitas serta menjamin kontinuitas produk pertanian dalam rangka pemenuhan pasar danketahanan pangan. b) Peningkatan sarana prasarana pertanian dan perdesaan. c) Optimalisasi pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan. d) Optimalisasi pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. e) Pengembangan agrobisnis berbasis keunggulan komparative dan competitive. f) Penguatan kemitraan jejaring pasar produk pertanian. 2) Pemantapan ketersediaan dan cadangan pangan yang memenuhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas bagi masyarakat serta diversifikasi produk pangan. a) Peningkatan ketersediaan pangan yang aman dan halal, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. b) Pemantapan keragaman (diversifikasi) baik produksi maupun konsumsi pangan yang berbasis sumber daya lokal. c) Terwujudnya kelembagaan pangan dalam mendukung ketersediaan dan cadangan pangan d) Peningkatan infrastruktur ketersediaan dan ketahanan pangan di daerah. (RPJMD Kabupaten Rembang 2010 – 2015) Arah kebijakan tersebut dilaksanakan selama periode perencanaan, yaitu setiap tahun yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD tahun berjalan merupakan gabungan dari Rencana Kerja (Renja) dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). RKPD 90
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
digunakan sebagai dasar penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang disepakati bersama antara Pemerintah daerah dengan DPRD. KUA dan PPAS tersebut digunakan sebagai dasar penyusunan RAPBD. Setelah RAPBD dibahas bersama dengan DPRD dan ditetapkan menjadi Perda, maka apa yang telah direnacanakan dilaksanakan dan didanai. Aspek pendukung keberhasilan pada isi kebijakan dilihat dari berbagai aspek yaitu aspek tipe manfaat, derajat perubahan yang diharapkan, pelaksanaan program, sumberdaya yang dilibatkan. Hasil survey dan analisis atas aspek pendukung isi kebijakan diuraikan sebagai berikut : 1) Tipe manfaat Menurut Grindle (1980), keberhasilan implementasi sangat tergantung pada isi kebijakan yaitu seberapa besar kepentingan yang dipengaruhi, semakin besar kepentingan yang dipengaruhi, semakin sulit dalam implementasinya. Oleh karena itu untuk melihat keberhasilan implementasi kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang khususnya kebijakan ketersediaan beras dapat dilihat dari tingkat manfaat kebijakan tersebut apakah memberikan jaminan dan kepastian akan tersedianya dan tercukupinya kebutuhan beras untuk masyarakat Kabupaten Rembang secara kontinyu dan berkelanjutan. Pendukung keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan berdasarkan kajian tipe manfaat kebijakan adalah: a) Masyarakat khususnya petani merasakan manfaat dari kebijakan pemerintah Kabupaten Rembang untuk meningkatkan ketersediaan beras. Manfaat yang dirasakan adalah petani dipacu untuk meningkatkan produksi beras, sehingga 91
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
apabila produksi beras berhasil dan meningkat, maka tingkat kesejahteraan petani juga akan meningkat. Salah satu program kebijakan yang dirasakan petani adalah program SLPTT(Sekolah Lapang Pengelolaan Pertanian Terpadu). Untuk memperoleh manfaat melalui suatu proses pembelajaran, karena selama ini pola tanam masih konvensional, berdasarkan implementasi kebijakan SLPTT tahun 2008 memberikan manfaat yang cukup baik bagi peningkatan produktivitas hasil panen padi dan manfaat lain adalah meningkatnya kapasitas petani dalam penerapan pola tanam yang lebih efektif dan produktif. Selama ini masyarakat Kabupaten Rembang sudah tercukupi kebutuhan beras, sehingga kebijakan ketersediaan beras memberikan manfaat langsung kepada masyarakat selaku user. Implementasi kebijakan ketahanan pangan khususnya dalam mewujudkan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang memberikan manfaat ganda, pertama manfaat diperoleh oleh petani melalui kelembagaan kelompok tani (Poktan) maupun gabungan kelompok tani (Gapoktan), manfaat yang diperoleh antara lain meningkatnya kapasitas Poktan maupun Gapoktan dalam pengelolaan usaha pertanian melalui program SLPTT dan SLPHT serta semakin meningkatnya kapasitas petani dalam mengelola kelembagaan baik Poktan maupun Gapoktan, kedua manfaat dapat dirasakan oleh masyarakat miskin dengan penghasilan yang rendah dapat menikmati dan membeli beras dengan harga terjangkau. 92
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
b) Memberikan manfaat bagi pemberdayaan petani dalam peningkatan produksi pangan. Kebijakan ketahanan pangan khususnya kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang melalui program SLPTT dan juga program sapta usaha tani memberikan manfaat terhadap petani khususnya menambah ketrampilan dalam pola bercocok tanam padi. Pelatihan dalam SLPTT memberikan pengetahuan kepada petani tentang bercocok tanam padi yang baik khususnya pola Jajar Legowo dengan pola 2 : 1 atau 4:1. Melalui cara tanam padi seperti ini tingkat produktivitas tanaman padi per hektar meningkat dari 5,5 ton per hektar mejadi 7,6 ton per hektar. c) Isi kebijakan secara langsung menyentuh kepentingan masyarakat terutama ketersediaan beras bagi rumah-tangga. Kebijakan yang diambil berkaitan dengan penyediaan beras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu, dirasakan menyentuh langsung pada rumah tangga atau keluarga secara langsung. Hal ini menunjukkan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah-tangga. Masyarakat dengan adanya kebijakan ketahanan pangan merasa diuntungkan karena harga beras selalu dikontrol pemerintah sehingga harga beras selalu dapat terjangkau oleh masyarakat atau semua lapisan masyarakat.
93
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Kebijakan ketersediaan beras memberikan manfaat antara lain petani menjadi termotivasi karena adanya dukungan pemerintah berupa program SLPTT dan SLPHT serta dalam bentuk bantuan antara lain LUEP, BLBU dan PUAB. Disamping itu petani merasa lebih diberdayakan dalam peningkatan produksi beras.Bagi masyarakat umum manfaat yang dirasakan adalah terjaminnya persediaan beras dengan harga yang stabil dan terjangkau. 2) Derajat perubahan yang diharapkan Menurut Grindle (1980), keberhasilan implementasi sangat tergantung pada isi kebijakan yaitu seberapa besar perubahan yang diharapkan dari kebijakan tersebut. Perubahan mendasarkan pada perubahan sikap dan perilaku yang mencakup area yang cukup luas memerlukan implementasi yang lebih sulit dibandingkan dengan perubahan mekanisme dan sistem yang mencakup area lebih sempit atau regional. Aspek pendukung dari variabel derajat perubahan yang diharapkan adalah: a) Masyarakat petani antusias dalam menanggapi usulan perubahan yang disarankan oleh Pemerintah Kabupaten Rembang berkaitan dengan cara bercocok tanam padi. Derajat perubahan yang diinginkan dari kebijakan peningkatan ketersediaan beras yang aman, halal dan terjangkau ini adalah masyarakat Kabupaten Rembang diharapkan dapat meningkatkan produksi beras di tingkat petani sebagai cadangan pangan daerah. Perubahan yang dilakukan tidak terlalu besar hanya merubah cara bercocok 94
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
tanam dan pola penanaman. Pada dasarnya masyarakat khususnya petani mau mengikuti apa yang disarankan pemerintah melalui PPL. Mereka cukup diberikan contoh (demplot) penanaman padi yang ideal dan apabila hasilnya lebih baik, tanpa diminta mereka mau merubah cara bercocok tanam padi yang selama ini dilakukan, yang perlu dirubah dalam rangka implementasi ketersediaan beras adalah pola tanam dan cara bercocok tanam padi. Tanggapan, respon dan antusiasme masyarakat, aspek derajat perubahan yang diharapkan dapat terpenuhi. Hal tersebut terlihat dari tanggapan atau respon masyarakat khususnya petani yang bersedia menerima pembaharuan dalam bidang pertanian, baik dalam hal pembibitan, pemupukan, pemberantasan hama sampai pada cara atau model bercocok tanam demi untuk memperoleh produktivitas yang lebih baik. Dalam hal pola konsumsi harian masyarakat sudah mulai mencoba makanan pokok selain beras/nasi, namun masih perlu sosialisasi secara terus menerusagar masyarakat mulai terbiasa dengan makanan pokok selain beras. 3) Pelaksanaan Program Program ketahanan pangan sudah dilaksanakan sejak lama, bahkan sebelum era reformasi. Pada jaman Orde Baru dengan mendapatkan penghargaan dari FAO terhadap keberhasilan swasembada beras, ketahanan pangan Indonesia sudah mantap. Pelaksanaan urusan ketahanan pangan di era reformasi diaksanakan intensif oleh pemerintah kabupaten / kota pada sejak tahun 2002. Kabupaten Rembang melaksanakan kebijakan ketahanan pangan khususnya ketersediaan 95
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
sejak tahun 2004. Kebijakan untuk meningkatkan produksi beras sudah mulai dilaksanakan. Pada periode tahun 2010 - 2013 pelaksanaan kebijakan peningkatan ketersediaan beras dilaksanakan melalui kebijakan ketersediaan beras secara aman, terjangkau dan kecukupan beras. Bahkan sesuai dengan target provinsi Jawa Tengah surplus beras 10 juta ton, pemerintah Kabupaten Rembang telah melaksanakan berbagai program antara lain program unggulan dari pemerintah pusat yaitu SLPTT, PUAP dan LUEP (sekarang sudah tidak dilaksanakan/dihentikan). Sampai dengan akhir tahun 2012 Kabupaten Rembang telah mengalami surplus beras. Aspek pendukung terhadap keberhasilan kebijakan ketersediaan beras dari unsur pelaksanaan adalah : a) Peningkatan dari Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang menjadi Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (BKP dan P4K) Berdasarkan Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang Perubahan Perda Nomor 12 tahun 2011 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kabupaten Rembang. Perubahan dari Kantor Ketahanan Pangan menjadi Badan Ketahanan Pangan dan P4K, kewenangan dalam mengendalikan dan mengkoordinasikan ketahanan pangan menjadi lebih baik. Mekanisme yang dilakukan antara lain memantau hasil panen serta stok beras baik yang ada di pasar, Bulog maupun pedagang besar di Kabupaten Rembang, melakukan pemetaan lahan-lahan potensi untuk dijadikan lahan pertanian produktif (sawah 96
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
lestari), penegakkan aturan terkait dengan pengalihan fungsi lahan dan kebijakan lainnya. Peningkatan SKPD Ketahanan Pangan dari Kantor menjadi Badan dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja urusan ketahanan pangan dan agarKepala SKPD BKP mudah melakukan koordinasi dengan SKPD lain , sehingga dapat mendukung pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan. b) Keterlibatan masyarakat cukup baik, khususnya masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani maupun gapoktan terlibat secara aktif dalam program-program ketahanan pangan Dalam pelaksanaan program terkait dengan kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang cukup efektif dan berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator bahwa pelaksanaan program tersebut sangat mendukung keberhasilan Pemerintah Kabupaten Rembang dalam mewujudkan kebijakan ketahanan pangan, adalah dukungan dari masyarakat khususnya petani sebagai kelompok sasaran program sangat baik/ responsif serta terlibat dalam setiap tahapan kegiatan. Petani atau kelompok tani memiliki tugas meningkatkan produksi beras sehingga tersedia beras yang cukup di Kabupaten Rembang. Aktivitas dan partisipasi petani dalam mengikuti setiap kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan produksi beras cukup baik. Hal ini menjadi aspek pendukung dalam upaya peningkatan produksi beras di Kabupaten Rembang. Dari berbagai aspek temuan lapangan menunjukkan bahwa dari aspek isi kebijakan ketersediaan beras 97
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
terdapat aspek pendukung yaitu tipe manfaat, derajat perubahan dan pelaksanaan program. Isi kebijakan ketersediaan beras dalam rangka memperkuat ketahanan pangan yang baik adalah yang mampu membuat masyarakat merasakan manfaatnya, membawa perubahan kearah yang lebih baik, kegiatan yang dilakukan merupakan tindak lanjut program dan kebijakan itu sendiri serta didukung oleh sumber daya yang memadai. Pengertian ketahanan pangan adalah Ketersediaan pangan mengandung prinsip penyediaan pangan merata, aman, bermutu dan terjangkau. Hal ini berarti salah satu prinsip yang ingin dicapai dengan kebijakan ketersediaan beras adalah supaya beras tersedia bagi masyarakat secara merata, aman, bermutu dan terjangkau. Berdasarkan hasil penelitian saat penelitian dilakukan beras tersedia secara memadai, merata ke seluruh pelosok Kabupaten Rembang dengan mutu beras yang baik. Ketersediaan beras aman untuk dikonsumsi dan aman untuk persediaan beberapa bulan mendatang sampai dengan musim panen berikutnya. Selain itu ketersediaan beras di Kabupaten Rembang terjangkau oleh masyarakat terutama dari aspek harga. Kebijakan pemerintah di bidang ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras salah satunya memperhatikan daya beli masyarakat terhadap komoditas beras. Kemampuan masyarakat untuk membeli beras salah satunya tergantung pada harga beras di pasar selain pendapatan masyarakat setiap bulannya. Tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat 98
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
terhadap beras. Pemanatauan terhadap harga beras oleh Pemerintah Kabupten Rembang adalah menjaga agar harga beras tetap dapat terjangkau oleh masyarakat terutama golongan menengah ke bawah. Apabila harga beras terjangkau oleh masyarakat kelas bawah, maka tingkat ketahanan pangan di Kabupaten Rembang termasuk kategori baik. Kebijakan pengendalian harga beras yang termasuk dalam kebijakan ketersediaan beras dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terutama golongan menengah ke bawah. b. Konteks Kebijakan(Context of Policy) Dari aspek Konteks Kebijakan (Context of Policy) dukungan pada implementasi kebijakan ketersediaan beras dapat dilihat dari adanya kepatuhan dan daya tanggap aparatur dan dukungan dari stakeholder 1) Kepatuhan dan Daya Tanggap Kepatuhan dan daya tanggap adalah kemauan dari kelompok sasaran dan para pelaksana untuk melaksanakan kegiatan yang disarankan oleh dalam kebijakan dalam rangka melaksanakan kebijakan. Daya tanggap pelaksana dan masyarakat adalah kemampuan dan kemauan pelaksana untuk memberikan bantuan atau menanggapi apabila ada keluhan dari masyarakat, sebaliknya masyarakat juga cepat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban mereka. Aspek yang mendukung keberhasilan dari unsur kepatuhan dan daya tanggap adalah :
99
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
a) Dukungan komitmen dan tanggungjawab instansi terkait dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras. Komitmen dan tanggung jawab instansi terkait dalam mendukung kebijakan ketahanan pangan terlihat sampai ke level PPL di lapangan. PPL memiliki kompetensi di bidangnya dan sangat berperan dalam mensosialisasikan program-program kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas petani. Selain itu tanggung jawab instansi terkait akan peningkatan ketersediaan beras juga cukup baik. b) Dukungan daya tanggap instansi terkait dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa daya tanggap pemerintah atau aparatur dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras cukup baik. Hal ini merupakan aspek pendukung dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras. Respon terhadap ketersediaan beras adalah apabila terjadi fluktuasi harga yang tinggi BKP dan P4K segera melakukan survey ke pasar. Aparat cukup merespon atas kebijakan ketahanan pangan, hal ini terbukti program pemerintah pusat dalam upaya mendorong ketahanan pangan seperti program SLPTT, PUAP dan program lainnya dapat berjalan sesuai dengan arah dan tujuan program, bahkan ada beberapa kelompok tani yang 100
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
menindaklanjuti demplot tersebut secara mandiri dan berkelanjutan. Bentuk daya tanggap aparat yang lain yaitu selalu memantau distribusi beras yang berasal dari potensi lokal maupun dari kabupaten lain yang masuk ke Kabupaten Rembang. c) Dukungan kepatuhandan respon petani terhadap upaya peningkatan produksi beras. Keberhasilan implementasi kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang sangat dipengaruhi oleh kepatuhan atau komitmen dan daya tanggap atau responsif seluruh stakeholder yang terlibat baik kelompok sasaran dalam hal ini petani maupun aparat selaku implementator kebijakan ketahanan pangan. Semakin tinggi komitmen dan responsif, maka akan semakin berhasil impelementasi kebijakan ketahanan pangan. Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa tingkat kepatuhan aparat maupun petani sebagai kelompok sasaran cukup baik, sehingga implementasi kebijakan ketahanan pangan dapat berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. Kepatuhan dan responsif petani tercermin dari minat yang cukup baik mengikuti setiap tahapan pelaksanaan program. Apabila implementasi kebijakan ketahanan pangan melalui kegiatan demplot dalam program SLPPT berhasil maka akan memberikan dampak tingkat kepatuhan dan responsive yang cukup luas kepada seluruh petani untuk 101
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
mengikuti jejak keberhasilan demplot tersebut. Jadi dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kepatuhan dan responsif sangat mendukung berhasil tidaknya implementasi kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang. Kepatuhan petani menjadi aspek pendukung dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras diKabupaten Rembang. Kesadaran mereka untuk mengikuti petunjuk dari PPL merupakan sumbangan bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras. d) Dukungan Stakeholders Dukungan stakholders adalah tingkat aktivitas dan partisipasi para pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam implementasi kebijakan. Dukungan stakeholders merupakan Aspek penting bagi implementasi kebijakan. Setiap stakeholders mesti memiliki peran yang berbeda, namun peran berbeda tersebut saling melengkapi dan saling bekerjasama sehingga pelaksanaan kebijakan dapa tercapai secara optimal. Aspek pendukung terhadap implementasi kebijakan ketersediaan beras dari unsur dukungan stakeholder adalah: 1. Adanya dukungan Pemerintah (SKPD), Kelompok Tani, Gapoktan dan Stakeholders. Peran stakeholders sangat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang, 102
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
stakeholders yang terkait dalam implementasi kebijakan ketahanan pangan yang lain adalah instansi pemerintah. Ada beberapa unsur yang menjadi Aspek pendukung keberhasilan implementasi kebijakan ketahanan pengan, antara lain 1) terjalinnya kerjasama yang baik antara Badan Ketahananan Pangan dengan instansi terkait (Dinas PU Pengairan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pengairan, dan instansi terkait ) lainnya, 2) komitmen dan dukungan aparat tingkat kecamatan maupun desa sangat besar. Kebijakan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras mendapatkan dukungan melalui peran masing-masing baik SKPD, kelompok tani, pedagang beras dan penyedia saprotan. 2. Adanya dukungan dalam kegiatan pasca panen Pemilik rice mill juga memberikan dukungan bagi kebijakan peningkatan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang dalam bentuk pelayanan bagi petani maupun pedagang beras dengan melayani proses perontokan padi menjadi gabah (Dooz) serta menyediakan tempat untuk menyimpan gabah kering panen dan menyediakan tempat penjemuran dengan upah Rp. 2000 per zak. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Konteks kebijakan ketersediaan 103
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
beras yang baik apabila disertai dengan daya tanggap aparatur pelaksana, kondisi lahan pertanian yang memadai, adanya infrastruktur yang baik dan mencukupi serta adanya dukungan stakeholders dan dukungan kondisi iklim dan cuaca. 2) Sikap dan Kemampuan Pelaksana Dukungan dari aspek sikap dan kemampuan pelaksana dapat dilihat pada kemampuan aparat dalam penyediaan saprodi pertanian. 3) Kemampuan Penyediaan Saprodi Pertanian Sarana produksi pertanian (saprodi) adalah bahan-bahan yang dibutuhkan petani untuk merawat dan menjaga tanaman mereka agar menghasilkan hasil yang optimal. Sarana produksi pertanian yaitu pupuk, obat pemberantas hama dan benih. Ketersediaan saprodi dengan harga terjangkau ini sangat vital bagi petani agar tanaman mereka menghasilkan hasil yang maksimal. Sikap dan kemampuan pelaksana dalam berbagai aspek dalam ketersediaan beras terdapat aspek pendukung dan penghambat. Sikap dan kemampuan pelaksana akan mendukung kebijakan ketersediaan beras apabila disertai dengan adanya sikap aparatur yang baik, aparatur mampu menyediakan saprodi pertanian dan mampu melakukan pemberantasan hama dengan baik.
104
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
4) Komunikasi Dalam implementasi kebijakan ketahanan pangan, aspek komunikasi sangat penting, melalui komunikasi terjadi proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain. Perpindahan pengertian tersebut melibatkan lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan dalam percakapan, tetapi juga ekspresi wajah, intonasi, titik putus vokal dan sebagainya. Dan perpindahan yang efektif memerlukan tidak hanya transmisi data, tetapi bahwa seseorang mengirimkan berita dan menerimanya sangat tergantung pada ketrampilan – ketrampilan tertentu (membaca, menulis, mendengar, berbicara dan lain-lain) untuk membuat sukses pertukaran informasi. Sistem komunikasi organisasi mencerminkan berbagai macam individu dengan latar belakang pendidikan, kepercayaan, kebudayaan, keadaan jiwa, dan kebutuhan yang berbedabeda. Jika kebijakan-kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus dipahami melainkan juga petunjuk-petunjuk itu harus jelas. Jika petunjuk-petunjuk pelaksanaan itu tidak jelas, maka para pelaksana (implementor) akan mengalami kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan. Selain itu, mereka juga akan mempunyai keleluasaan untuk memaksakan pandangan-pandangan mereka sendiri pada implementasi kebijakan, 105
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
dari pada pandangan atasan atau pandanganpandangan yang seharusnya dijadikan acuan. Aspek lain dari komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi. Keputusan-keputusan yang saling bertentangan akan membingungkan dan menghalangi pelaksana untuk melaskanakan kebijakan-kebijakan tersebut secara efektif. Sementara itu, ada banyak hal yang mendorong terjadinya komunikasi yang tidak konsisten dan menimbulkan dampak-dampak buruk bagi impelementasi kebijakan. Dari uraian diatas jelas bahwa aspek komunikasi kebijakan tidak sekedar proses pertukaran informasi tetapi banyak aspek lain yang harus diperhatikan. Agar komunikasi kebijakan khususnya kebijakan peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang dapat efektif beberapa aspek yang harus diperhatikan yaitu aspek transmisi (media komunikasi), kejelasan informasi dan konsistensi pemerintah dalam melakukan komunikasi. Komunikasi yang terbangun antar pemerintah dengan petani dilakukan melalui berbagai media. Media tersebut antara lain tatap muka langsung yaitu sosialisasi kepada petani tentang sesuatu hal berkaitan dengan pertanian. Komunikasi merupakan aspek dominan dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras terutama dalam peningkatan produksi beras di tingkat petani. Kondisi ini disadari betul oleh PPL dan dari DKP dan P4K serta Dinas 106
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Pertanian dan Kehutanan. Mereka selalu membina komunikasi sebaik-baiknya dengan petani dalam meningkatkan produksi beras. 5) Transmisi (Media Komunikasi) Komunikasi dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui transmisi atau media komunikasi. Transmisi atau media komunikasi dapat memberikan kejelasan atau bukti sehingga informasi yang disampaikan lebih dipercaya akurasinya. Dalam menginformasikan kebijakan ketersediaan beras transmisi atau media komunikasi yang digunakan adalah melalui penyuluhan dengan didukung oleh media seperti poster, leaflet dan alat peraga lainnya. Pada saat menyampaikan penyuluhan PPL menggunakan poster, leaflet dan alat peraga untuk memperkenalkan sistem tanam dengan metode Jajar Legowo. Selain itu guna mendukung kebijakan ketersediaan beras, melalui demplot diperkenalkan pola tanam 1: 4 atau 1:2, yang dapat memberikan produktivitas hasil panen yang lebih baik. Media komunikasi merupakan salah satu aspek pendukung dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Media yang paling tepat bagi petani adalah Demonstrasi Plot atau Demplot metode tanam “Jajar Legowo” yang hasilnya dapat dilihat langsung oleh petani.
107
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
6) Kejelasan Informasi Kejelasan informasi dari setiap program terutama kebijakan ketahanan pangan sangat penting. Agar kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang dapat diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan maka petunjukpetunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga informasi kebijakan tersebut harus jelas. Kejelasan informasi kebijakan ketahanan pangan ini penting karena seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan melalui PPL kepada masyarakat khususnya kelompok tani dan stakeholders sering kurang jelas atau kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan informasi mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna yang sesungguhnya. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Sesuatu yang sering dihambat oleh instruksi-instruksi yang sangat spesifik menyangkut impelemntasi kebijakan. Edwards III dalam Budi Winarno (2007), mengidentifikasi enam aspek yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komuniasi kebijakan. Aspek-Aspek tersebut adalah : (1) kompleksitas kebijakan publik, (2) keinginan untuk tidak mengganggu kelompokkelompok masyarakat, (3) kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, (4) masalah108
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, (5) menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan (6) sifat pembentukan kebijakan pengadilan. Kejelasan informasi ini semakin meningkat karena stakeholders dan para petani, tidak hanya menunggu informasi/edaran/penyuluhan dari petugas tetapi ada kesadaran dan partisipasi dari petani yang ada di Kabupaten Rembang. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kejelasan informasi menjadi pendukung, karena informasi yang diberikan oleh instansi terkait maupun PPL menyangkut kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang tentang ketersediaan beras dapat dipahami dan ditindaklanjuti oleh masyarakat/petani. 7) Konsistensi Pemerintah Dalam Melakukan Komunikasi Aspek lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras untuk peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang, adalah konsistensi. Agar implementasi kebijakan ketahanan pangan dapat dilaksanakan secara efektif artinya tersedianya produksi bahan pangan yang memadai, maka perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka 109
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Disisi yang lain, perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten dapat mendorong para pelaksana kebijakan mengambil tindakan yang tidak konsisten dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan yang ditetapkan. Bila hal ini terjadi, maka akan berakibat pada ketidak efektifan implementasi kebijakan karena tindakan yang tidak konsisten besar kemungkinan fokus untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan. Dengan memperhatikan hubungan antara komunikasi dan implementasi kebijakan, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintahperintah pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan diteruskan kepada mareka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan dan baik. Komunikasi yang dilakukan selama ini di Kabupaten Rembang, berkaitan dengan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras baik yang dilakukan secara vertikal, lateral/ horisontal maupun diagonal cukup efektif. Hal ini dapat dilihat sesuai dengan fakta bahwa apa yang telah dikomunikasikan pada kenyataannya telah dipahami, diterima, dan dipraktekan oleh para petani. Bahkan proses umpan balik dari petani melalui ketua kelomok tani masing110
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
masing, juga dapat berlangsung dengan baik kepada petugas PPL, dan dicari solusi bersama sesuai dengan bobot permasalahan dan lingkup kewenangan masing-masing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap konsistensi pemerintah Kabupaten Rembang dalam memberikan informasi terkait dengan kebijakan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras sebagai bahan pokok konsumsi masyarakat, menjadi Aspek pendukung dalam efektifitas komunikasi kebijakan program ketahanan pangan di Kabupaten Rembang. 2. Aspek Penghambat Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras a. Isi Kebijakan (content of policy) 1) Pelaksanaan Program Isi kebijakan dalam aspek pelaksaanaan program yang menjadi Aspek penghambat adalah: a) Belum terwujudnya keterpaduan dan sinergitas antara stekoholder terkait, masih muncul egosektor dan tumpang tindih dalam menjalankan tupoksinya. Terdapat beberapa instansi yang terlibat secara langsung yaitu Bappeda, Kantor Ketahanan Pangan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas PU, Bapermasdes, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Asosiasi Pedagang Beras. Untuk menciptakan sinergitas antar stakeholder ketahanan pangan khususnya tentang ketersediaan beras dibutuhkan upaya keras karena masing-masing terfokus pada peran sendiri-sendiri dengan tugas pokok sendiri111
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
sendiri. Dalam rangka melaksanakan kebijakan ketersediaan beras koordinasi untuk menciptakan sinergi masih sulit dilakukan. Kegiatan rapat koordinasi ketahanan pangan khususnya juga membahas ketersediaan beras belum dapat dilaksanakan. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri bahkan beberap SKPD tidak mengetahui adanya kebijakan ketahanan pangan seperti apa. Aspek penghambat khususnya berupa sinergi dan keterpaduan dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras belum sepenuhnya tercipta. b) Belum terwujudnya keterpaduan programprogram antar pemangku kepentingan yang satu dengan yang lain. SKPD yang berkaitan langsung dengan ketahanan pangan sebenarnya harus memadukan program dan kegiatan mereka dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan. Kenyataannya setiap penyusunan program dan kegiatan setiap tahunnya belum ada keterpaduan program dan kegiatan tersebut. Masing-masing menyusun program dan kegiatan sendiri-sendiri yang berpedoman pada permasalahan masing-masing. Kondisi ini menyebabkan upaya-upaya untuk memfokuskan program dan kegiatan pada ketahanan pangan belum dapat terwujud. Koordinasi dan keterpaduan dalam penyusunan program dan kegiatan belum tercipta. Hal ini mejadi penghambat bagi pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang.
112
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
c) Tidak Adanya Regulasi Dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras selain telah disusun arah kebijakan dan program dalam RKPD maupun RPJMD, namun perlu juga ditindaklanjuti dengan regulasi berupa Perda atau Perbup yang mengatur dan menjamin ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Regulasi ini penting sifatnya untuk menimbulkan sifat kepatuhan dan ketegasan dalam pelaksanaannya. hambatan dalam pelaksanaan juga belum adanya regulasi yang mengatur pelaksanaan ketahanan pangan. Selama ini para pelaksana hanya berpedoman pada RPJM, Renstra, RKPD dan Renja SKPD. Pedoman tersebut belum menjamin adanya sinergi antar SKPD dan juga antar pemerintah dengan masyarakat dan pedagang. 2) Sumberdaya Yang Dilibatkan Sumberdaya yang menjadi penghambat dalam kebijakan ketahanan pangan antara lain adalah : a) Terbatasnya Sumber Daya Manusia Pembentukan Dewan Pangan Daerah melalui SK Bupati Nomor 500/96/2009 tentang Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang juga menggambarkan betapa besar keterlibatan SDM dalam ketahanan pangan. Dalam SK tersebut diuraikan peran masing-masing SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang selanjutnya digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang. Selain itu dalam Dewan Ketahanan Pangan juga melibatkan 113
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Ketua Tim Penggerak PKK, Ketua Assosiassi LUEP,Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kab. Rembang, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia serta Camat Se Kabupaten Rembang. Banyaknya SKPD yang terlibat dalam Dewan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Rembang ternyata bukan merupakan dukungan bagi implementasi kebijakan ketersediaan beras, karena kinerja berkaitan dengan kebijakan tersebut belum secara efektif dilakukan. Kurang optimalnya kinerja SKPD ini disebabkan karena tidak adanya koordinasi, kurangnya pemahaman secara utuh tentang kebijakan ketersediaan beras dan munculnya ego sektoral dalam menjalankan kebijakan ketahanan pangan yang lebih berpedoman pada tupoksi masing-masing SKPD. Dinas Pertanian dan Kehutanan sebagai instansi yang paling berkompeten dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras, telah berusaha mewujudkan kebijakan tersebut melalui peran Petugas Penyuluh Lapangan.Penyuluhan pertanian merupakan pendidikan bagi para petani guna mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani sehingga secara mandiri mereka dapat mengelola unit usaha taninya lebih baik dan menguntungkan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan, jumlah tenaga PPL di Kabupaten Rembang adalah 86 orang penyuluh PNS dan 91 orang penyuluh Tenaga Harian Lepas - Tenaga Bantu (THL-TB), dengan kualifikasi pendidikan D3 114
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
dan S1 yang berlatar belakang pertanian. Dari jumlah tersebut tersebar ke seluruh kecamatan dan tiap kecamatan ditempatkan rata-rata 6 orang PPL PNS dan 6 orang PPL THL-TB. Dari data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, jumlah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebanyak 225 dan jumlah Kelompok Tani (Poktan) sebanyak 1047. Dengan melihat banyaknya Gapoktan dan Poktan maka keberadaan PPL sebanyak 177 orang dirasakan masih kurang memadai apalagi bila dilihat dari kondisi geografis dan luas wilayah Kabupaten Rembang. BKP dan P4K sebagai badan yang mengurusi masalah ketahanan pangan yang seharusnya merupakan pelaksana utama yang mampu menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan apa yang diharapkan pemerintah melalui kebijakan yang disusun, ternyata kondisi tersebut tidak dapat terlaksana secara optimal karena keterbatasan sumber daya manusia. BKP dan P4K masih kekurangan SDM terutama pada Bidang Ketersediaan Pangan, sehingga tidak dapat menangani seluruh permasalahan pangan di Kabupaten Rembang. b) Terbatasnya Pendanaan Aspek pendanaan juga menjadi aspek penghambat, karena dana untuk operasional BKP khususnya bidang ketahanan pangan hanya sebesar 250 juta dari APBD dan APBN sebesar 1 milyar. Kecilnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah Kabupaten Rembang dalam implement115
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
tasi kebijakan Ketahanan Pangan, dikarenakan ketahanan pangan dianggap bukan merupakan permasalahan prioritas bagi Kabupaten Rembang. b. Konteks Kebijakan(Context of Policy) Hambatan dari aspek konteks kebijakan (context of policy) dapat dilihat dari ketersediaan infrastruktur pendukung pertanian yang masih kurang memadai. 1) Ketersediaan Infrastruktur a) Ketersediaan Infrastruktur Pengairan Prasarana pengairan yang digunakan untuk mengairi sawah terdiri dari bendungan dan saluran irigasi. Sumber air bendungan berasal dari beberapa sungai besar yang ada di Kabupaten Rembang, antara lain Sungai Randugunting, Sungai Balang, Sungai Panohan Babon, Sungai Waru dan Sungai Kalipang.Sedangkan untuk dapat mendistribusikan air dari sumber air menuju ke sawah, Kabupaten Rembang memiliki saluran irigasi tersier sepanjang 36.567 Km. Namun kondisi saluran irigasi tersier tersebut 2,65% (0,968 Km) baik, 7,35% (2.689 Km) mengalami kerusakan berat dan sisanya 90% (32,910Km) mengalami kerusakan ringan. Ketersediaan infrastruktur belum semua dapat mendukung usaha pertanian. Infrastruktur yang tersedia tersebut belum mencukupi. Dam dan Embung masih kurang untuk memenuhi kebutuhan air baku di Kabupaten Rembang. Jaringan irigasi yang ada masih sangat terbatas belum menjangkau daerah-daerah kering yang ada di wilayah Kecamatan Pancur dan Bulu.
116
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Berdasarkan data dari DPU Bidang Sumber Daya Air, panjang saluran irigasi primer Kabupaten Rembang memiliki panjang 130,953 Km, dengan kondisi di lapangan 45% ( 58,929 Km) baik, 15% (19,643 Km) mengalami rusak berat, dan sisanya 40% (52,381 Km) mengalami kerusakan ringan, sedangkan saluran irigasi sekunder selama enam tahun terakhir memiliki panjang 119,495 Km dengan kondisi 45% (53.772 Km) baik, 10% (11.950 Km) mengalami rusak berat dan 45% (53.773 Km) mengalami kerusakan ringan. Dari luas persawahan sebesar 29.209 ha, sawah yang terairi dengan sarana pengairan teknis sebanyak 18%, sedangkan yang menggunakan sarana pengairan setengah teknis sebanyak 11,3%, dan lainnya (60,94%) masih tergantung dengan air hujan (tadah hujan). Kondisi ini menunjukkan bahwa pelayanan irigasi masih belum menjangkau seluruh wilayah. Kondisi seperti ini sangat tidak mendukung peningkatan produktivitas pertanian di masa mendatang. Dengan melihat kondisi saluran yang ada, diperlukan pengembangan dan perbaikan sarana prasarana irigasi sehingga mampu meningkatkan jangkauan areal persawahan yang dapat terairi. Diperlukan pula pengelolaan jaringan irigasi agar tetap dapat berfungsi secara optimal dalam meningkatkan produksi pertanian sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Sistem irigasi belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan, hal ini dikarenakan banyak kondisi saluran irigasi sekunder yang mengalami 117
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
kerusakan belum ada tindak lanjut untuk diperbaiki. Selain itu pada wilayah tertentu belum dibangun saluran irigasi. Untuk mengatasi kekurangan pasokan air beberapa upaya yang dilakukan petani secara swadaya membuat sumur bor untuk memenuhi kebutuhan pasokan air. Kecukupan air/pasokan air dalam mendukung pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras pada beberapa kecamatan bervariasi antar kecamatan. Ada kecamatan yang dalam setahun dapat melakukan 3 x tanam padi, ada yang 2 x dan ada yang hanya dapat 1 x tanam. Tingkat produktifitas hasil panen padi tidak terlepas dari dukungan infrastruktur antara lain sarana dan prasarana jaringan irigasi, dukungan potensi sumberdaya air. kulitas dan kuantitas infrastruktur pertanian semakin menurun dan sangat terbatas jumlahnya, sehingga menghambat upaya mewujudkan keberhasilan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang. 2) Ketersediaan Infrastruktur Jalan Kondisi jalan sangat dibutuhkan guna menunjang pembangunan pertanian yang efisien.Dengan adanya jalan pengangkutan sarana produksi pertanian hingga hasil pertanian menjadi lebih mudah dan murah sehingga usaha pertanian menjadi lebih efisien. Infrastruktur pertanian khususnya jalan pertanian merupakan salah satu komponen dalam subsistem hulu yang diharapkan dapat mendukung subsistem usahatani, subsistem pengolahan dan subsistem pemasaran hasil khususnya pada sentra-sentra produksi tanaman 118
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
pangan, hortikultura, perkebunan rakyat dan peternakan. Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Rembang diketahui bahwa permukaan jalan yang diaspal di Kabupaten Rembang pada tahun 2010 sepanjang 602,79 Km. Dari panjang jalan tersebut 346,61 km termasuk dalamkondisi baik. Sedangkan pada tahun 2011 mengalami penurunan permukaan jalan yang diaspal menjadi 593,49 km, dengan kondisi jalan yang masih baik sepanjang 321,75 Km. kondisi jalan kabupaten dari tahun 2010 sampai tahun 2011 mengalami penurunan panjang jalan dan kualitas jalan. Penurunan ini diakibatkan kerusakan jalan aspal yang belum diperbaiki sehingga yang sebelumnya merupakan jalan aspal berubah menjadi jalan yang permukaannya kerikil. c. Alam (Iklim dan Cuaca) Aspek iklim atau cuaca di Kabupaten Rembang merupakan penghambat terbesar bagi pelaksanaan kebijakan peningkatan ketersediaan beras. Secara umum berdasarkan hasil wawancara dapat dikemukakan bahwa iklim dan cuaca kurang mendukung karena hari hujan dalam setahun jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan hari kering. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, jumlah hari hujan pada tahun 2012 hanya sebesar 76 hari dari 365 hari dalam satu tahun. Rata-rata curah hujan di Kabupaten Rembang juga rendah. Tidak menentunya dukungan alam (iklim dan cuaca) berdampak pada musim tanam, bahkan petani tidak dapat melakukan kegiatan tanam, karena musim kemarau yang berkepanjangan. Semakin rendahnya dukungan iklim 119
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
menurut beberapa pendapat informan dikarenakan semakin rusaknya daya dukung hutan khususnya di daerah penyangga air. Dengan meningkatnya daya rusak atas kondisi hutan tersebut pada musim kemarau masyarakat sangat sulit mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk untuk pengairan sawah. kondisi iklim kurang mendukung dalam implementasi kebijakan ketahanan pangan. Hal ini terbukti curah hujan sangat sedikit sehingga pasokan kebutuhan air untuk pertanian sangat rendah yang akibatnya ada beberapa wilayah yang melakukan masa tanam satu tahun sekali dan hasilnyapun tidak optimal. 1) Kondisi Lahan Pertanian Penggunaan lahan wilayah Kabupaten Rembang secara umum dapat dikelompokkan menjadi lahan sawah seluas 29.172 Ha dan lahan kering seluas 72.236 Ha. Sebagian tanah sawah di Kabupaten Rembang ini merupakan sawah tadah hujan sebesar 17,84% dari keseluruhan tanah sawah. Sedang untuk tanah kering sebagian besar merupakan tegalan yaitu sebesar 34,29% dari luas tanah kering di Kabupaten Rembang. Sedangkan penggunaan lahan untuk permukiman terkait dengan pertambahan penduduk yang berdampak pada penyediaan fasilitas pemukiman dan fasilitas pendukung lainnya. Aspek penghambat kebijakan ketersediaan beras dari kondisi lahan pertanian : a) Penurunan kualitas lahan terjadi karena tingkat kerusakan lahan pertanian semakin meningkat tiap tahunnya. Kondisi lingkungan yang kurang baik juga ditunjukkan dengan bertambahnya luas lahan kritis. 120
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Berdasarkan data spasial lahan kritis Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun, pada tahun 2009 di Kabupaten Rembang terdapat lahan potensial kritis seluas 12.850,53Ha. Konservasi lahan di Kabupaten Rembang terus dilakukan, namun lahan kritis yang ada di Kabupaten Rembang berada di daerah atas sehingga rehabilitasi yang dilakukan melalui reboisasi yang tidak memiliki kemanfaatan langsung untuk pembukaan lahan sawah baru. Rehabilitasi dan konservasi lahan tersebut diharapkan bisa memperbaiki sistem persediaan air atau resapan air untuk mendukung ketersediaan air baku untuk pertanian. Upaya penanggulangan lahan kritis melalui konservasi berjalan kurang optimal. Lahan kritis di wilayah Kabupaten Rembang cenderung bertambah walau sudah dilakukan konservasi. Hal ini diakibatkan upaya konservasi lahan yang dilakukan tidak sebanding dengan tingkat kerusakan lahan (erosi) yang terjadi akibat ulah manusia b) Penurunan kuantitas lahan terjadi akibat banyaknya alih fungsi lahan. Lahan pertanian di Kabupaten Rembang seluas 63.445 hektar sebanyak 6,68% atau 9.495 hektar telah dialih fungsikan ke non pertanian. Alih fungsi lahan yang terbesar terjadi di daerah perkotaan seperti Kecamatan Rembang. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian, dan upaya perlindungan lahan pertanian produktif serta perlindungan terhadap petani merupakan salah satu bentuk kebijakan yang strategis guna mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan serta ketahanan, 121
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
kemandirian dan kedaulatan pangan. Guna mewujudkan hal tersebut perlu koordinasi dan keterlibatan lembaga-lembaga terkait, salah satunya adalah Badan Pertanahan Nasional. Kondisi yang terjadi di Kabupaten Rembang menunjukkan bahwa dengan tidak adanya landasan yuridis formal BPN tidak dapat melakukan pengendalian alih fungsi lahan, karena memang aturan yang ada saat ini tidak bisa mengendalikan pemilik tanah untuk mengajukan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian karena dianggap lebih mengutungkan secara ekonomis. Peran BPN terlihat tidak maksimal dalam pengendalian alih fungsi lahan karena hanya sebatas melaksanakan fungsi koordinasi berkaitan dengan administrasi pertanahan.BPN tidak dapat menolak permohonan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian apabila memang tidak bertentangan dengan tata ruang. Dengan adanya landasan yuridis formal BPN dapat lebih berperan dalam mengendalikan alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Oleh karena itu Pemerintah Daerah sangat berkepentingan untuk memberlakukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, untuk menjadikan pertanian sebagai bagian ketahanan nasional. Disampingalih fungsi lahan adanya kebijakan swa sembada gula dengan menghidupkan kembali pabrik gula yang ada, mengakibatkan banyak areal persawahan digunakan untuk tanaman tebu. Sedangkan upaya untuk memperluas areal tanam mengalami banyak kendala.Untuk perluasan 122
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
areal tanam secara geografis tidak memungkinkan. Pembukaan lahan hutan baru untuk dijadikan lahan sawah juga sulit sehingga upaya pemerintah untuk memperluas areal tanam dilakukan dengan meningkatkan jaringan irigasi dan perubahan dari lahan kering (tegalan) menjadi lahan sawah.Perluasan areal tanam di Kabupaten Rembang sulit dikembangkan atau diperluas karena secara fakta luas sawah di Kabupaten Rembang dari tahun-ke tahun relative konstan atau bahkan berkurang. Oleh karena itu yang lebih memungkinkan adalah meningkatkan tingkat produksi padi dari pada perluasan areal tanaman padi; Secara umum tanah produktif/penyangga cenderung berkurang. menurun, maka pemanfaatan lahan milik Perhutani pasca tebang pohon terutama pada desa yang berdekatan untuk jenis tanaman palawija dan padi gogo. Upaya pembukaan lahan baru untuk pertanian relatif sulit dilakukan. Lahan pertanian yang dibuka lebih banyak milik Perhutani dan setelah dibuka ditanami palawija atau padi gogo. Khusus untuk padi gogo membutuhkan persyaratan tertentu yaitu curah hujan relatif mencukupi, apabila curah hujan tidak mencukupi, maka yang ditanam adalah palawija. Di Desa Ngulaan dan Pasedan Kecamatan Bulu perluasan lahan areal tanam padi sulit dilakukan. Luas areal tanam padi tidak mengalami peningkatan, bahkan terjadi penurunan akibat alih fungsi lahan dan diversifikasi tanaman pada musim kemarau. Di Desa Pasedan luas areal tanam padi justru mengalami penurunan 123
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
dengan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke perkebunan jati dan kedondong Kondisi lahan berupa pegunungan atau perbukitan juga terdapat di Desa Sidorejo Kecamatan Pamotan yang berada di wilayah Timur Kabupaten Rembang.Perluasan areal tanam dalam rangka peningkatan ketersediaan beras sulit dilakukan karena terhambat olehkondisi geografis, karenabeberapa kecamatan yang menjadi lokasi penelitian secara geografis berupa pegunungan dan perbukitan. Sedangkan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian tidak dapat dilakukan karena hutan yang ada di wilayah tersebut merupakan hutan lindung. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi beras dilakukan dengan meningkatkan jaringan irigasi dan perubahan dari lahan kering (tegalan) menjadi lahan sawah. Berdasarkan informasi dari informan terdapat kebijakan-kebijakan kontra produktif terhadap ketersediaan beras dan ketersediaan lahan sawah untuk produksi beras secara makro adalah kebijakan tentang swasembada gula dengan mengaktifkan kembali pabrik-pabrik gula dalam negeri. Kebijakan tersebut mendorong petani untuk menanami sawah mereka dengan tanaman tebu, sehingga lahan sawah untuk tanaman padi berkurang. Kebijakan lain adalah kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Rembang sendiri yaitu tentang Pengembangan Ekonomi Rembang (PER) yang salah satu kegiatan prioritas adalah peningkatan investasi di bidang industri. 124
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Dengan implementasi kebijakan tersebut banyak industri yang dibangun di Kabupaten Rembang sehingga mengurangi lahan sawah yang pada gilirannya akan menurunkan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. Kebijakan lain adalah kebijakan tentang penyediaan lahan untuk perumahan. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mengatasi kekurangan kebutuhan akan rumah bagi penduduk. Pemerintah kabupaten diharapkan dapat menyediakan lahan yang dapat digunakan bagi pembangunan perumahan bagi masyarakat. Dengan adanya kebijakan ini pemerintah Kabupaten Rembang wajib menyediakan lahan bagi perumahan dengan mengalihfungsikan lahan pertanian atau sawah menjadi lahan perumahan. Kebijakan ini akan mengurangi luas lahan sawah yang ada sehingga dapat berpengaruh terhadap penurunan luas lahan pertanian. Penurunan lahan pertanian berakibat turunnya ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. d. Sikap dan Kemampuan Pelaksana 1) Kemampuan Aparat Kemampuanaparat PPL memang dirasakan sudah cukup baik. Aparat lain yang berkaitan dengan ketersediaan pangan terutama dalam memahami mekanisme ketersediaan beras dan pola distribusi beras serta pemahaman terhadap arah kebijakan ketersediaan beras belum optimal. Bahkan dapat dikatakan merupakan Aspek penghambat bagi pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras. Banyak 125
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
aparatur yang tergabung dalam Dewan Ketahanan Pangan maupun instansi yang berkaitan langsung dengan ketersediaan beras, seperti BKP danP4K, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum pada Bidang Pengairan dan SDA, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Bappeda. Staf di lingkungan instansi (SKPD) tersebut belum sepenuhnya memahami tentang kebijakan ketersediaan beras. kemampuan aparat dalam mengupayakan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan belum optimal. Hal ini menjadi hambatan dalam keberhasilan pelaksanaan Kebijakan ketahanan pangan. 2) Kemampuan Pemberantasan Hama Upaya pemberantasan hama yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan beras adalah adanya hama tanaman padi berbentuk jamur yang menyerang akar dan batang padi yang sampai dengan penelitian ini dilakukan (januari 2013) belum ditemukan pestisidanya (fungisida). Obat-obatan pemberantas hama tanaman padi yang tersedia saat ini belum mampu menanggulangi penyakit tanaman yang diakibatkan jamur “blas“. Berdasarkan informasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa belum tersedianya obat pembasmi hama “blas” menjadi penghambat dalam pelaksanaan kebijakan ketersediaan pangan. e. Struktur Birokrasi Untuk menggambarkan struktur organisasi ketahanan pangan di Kabupaten Rembang akan dipaparkan tentang standard operating prosedure, aspek fragmentasi, kerjasama dan aspek koordinasi. 126
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
1) Standard Operating Procedures Standar operating procedure merupakan penghambat dalam pelaksanaan Kebijakan ketersediaan beras. Prosedur-prosedur biasa yang dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan untuk menyelesaikan keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan keadaan sekarang sehingga justru akan menghambat perubahan dalam kebijakan karena prosedur prosedur biasa itu tidak sesuai dengan keadaan-keadaan baru atau program-program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implememtasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Disamping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi. Namun demikian disamping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru ketimbang birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini. Berdasarkan PP 68 tahun 2002 diserahkannya urusan ketahanan pangan kepada daerah (kabupaten/ Kota). Secara lebih tegas penyerahan dan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi baru pada tahun 2007 yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan 127
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Menindaklanjuti kebijakan normatif tersebut pemerintah Kabupaten Rembang baru merespon dengan membentuk Dewan Ketahanan Pangan pada tahun 2009, dengan SK Nomor 500/96/2009 tentang Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Rembang. Adapun susunan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) kabupaten Rembang dengan komposisi : Ketua, wakil Ketua, sekretaris, 3 orang koordinator bidang dan 23 anggota yang berasal dari berbagai instasi / kelompok terkait. standardoperating procedures sebagai pedoman operasional pelaksanaan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang secara normatif belum terbentuk. Pelaksanaan kegiatan ketahanan pangan dalam menghadapi emergency juga belum ada prosedur baku yang harus dilalui. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Standard Operating Procedures (SOP) pelaksanaan penyediaan beras di kabupaten Rembang masih perlu disusun dan dibakukan dengan SK Kepala BKP dan P4K. Dengan masih belum adanya standardoperating procedures menjadi aspek penghambat dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras secara optimal. 2) Fragmentasi Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan alasan prioritas dari badanbadan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Pada hal, penyebaran wewenang dan sumbersumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Hambatan ini diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpecah128
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
pecah. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbukan dua konsensus pokok yang merugikan implementasi yang berhasil. Pertama, tidak ada orang yang akan mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Disamping itu, karena masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang maka tugas-tugas penting mungkin akan berdampat antara retak-retak struktur organisasi. Kedua, pandangan-pandangan yang sempit dari badanbadan mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan - kebijakan baru yang membutuhkan perubahan. Paparan fragmentasi dari kajian teoritis tersebut bila dikaitkan dengan implementasi kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang, berdasarkan jawaban informan ternyata tidak berkorelasi kuat. Hal ini terlihat dengan kurangnya kesepahaman, kurangnnya koordinasi dan sinkronisasi agar kebijakan ketahanan pangan dapat berjalan sebagaimana diharapkan. Ego sektoral masih ditemukan dan dinas terkait cenderung lebih fokus pada bidang tugas pokoknya, ketimbang ikut serius bersinegi untuk 129
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
keberhasilan program ketahanan pangan yang menjadi tugas tambahan di Kabupaten Rembang; Dengan fragmentasi yang lebih bersifat normatif dan masih kurangnya sinergi antar dinas terkait yang masuk dalam Badan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang, menjadi salah satu Aspek penghambat bagi upaya untuk keberhasilan implementasi kebijakan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. 3) Kerjasama Dari aspek kerjasama, yang menjadi penghambat kebijakan ketersediaan beras adalah : Belum optimalnya kerjasama antar SKPD & tidak adanya upaya keberlanjutan atas kerjasama yang telah terjalin.Dalam perspektif administrasi secara luas, kerja sama sangat penting karena melalui kerjasama dan pembagian kerja sebagaimana ditentukan dalam struktur, tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien. Kegiatan kerjasama dalam berbagai bentuknya adalah disebabkan adanya kondisi saling membutuhkan baik antar individu maupun antar organisasi karena adanya kondisi saling membutukan yang dilandasi oleh berbagai nilai. Pemenuhan atas nilai bisa karena rasio, indra dan juga rasa. Rasio, indra dan rasa inilah yang dimiliki oleh setiap manusia karena harkat dan martabat yang sama namun dalam aktualisasi ke’aku’annya yang berbeda. Melalui pertimbangan rasio sangat dimungkinkan terbentuknya kerja sama guna mencapai tujuan yang ditetapkan bersama. Kerjasama tersebut tentunya melibatkan sejumlah sumber-sumber maupun 130
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
peralatan yang diperlukan. Dalam organisasi kerjasama ditandai oleh adanya saling memberi dan saling menerima, saling ketergantungan dan saling keterikatan sehingga tercipta adanya hubungan yang teratur dalam mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, secara esensial kerjasama adalah suatu keteraturan yang diciptakan oleh manusia melalui ketergantungan dan keterikatan satu sama lainnya untuk pencapaian tujuan bersama; Mata rantai kebijakan pengadaan beras yang melibatkan berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta termasuk individu-individu baik petugas maupun petani harus dibangun suatu sinergitas dan kerja sama yang baik. Pada Dinas Pertanian dan Kehutanan menunjukkan bahwa dalam rangka pelaksanakan kebijakan ketahanan pangan khususnya kebijakan penyediaan beras, faktor kerja sama yang baik antara instansi terkait masih perlu ditingkatkan. Demikian halnya perlu ditingkatkan pula kerja sama yang baik dengan stakeholders, pengusaha, termasuk petani / kelompok tani.Perlunya kerjasama dan koordinasi karena pejabat /instansi yang terlibat dalam program ketahanan pangan di Kabupaten Rembang cukup banyak. Sesuai dengan SK Bupati Kepala Daerah Kabupaten Rembang maka pejabat/instansi yang bertanggung jawab baik langsung maupun tidak langsung terhadap ketahanan pangan yaitu : Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten . Rembang, Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Rembang, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, 131
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Koperasi dan UMKM, Kepala Dinas Kesehatanepala Bappeda, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB, Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Dinas Perhubungan dan Kominfo, Kepala Dinas PU, Kepala Dinsosnakertrans, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Kantor Lingkungan Hidup, Kepala Badan Pusat Statistik, Kepala Gudang Bulog 206 Rembang, Kepala Dinas ESDM, Kepala DPPKAD, Kepala Bagian Kesra, Kepala Bagian Administrasi Perekonomian, Ketua Tim Penggerak PKK, Ketua Assosiassi LUEP, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kab. Rembang, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Camat Se Kabupaten Rembang. Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa mata rantai kebijakan pengadaan beras melibatkan berbagai tingkatan dari petani, pengepul / penggiling, penyalur sampai pada pedagang besar yang ada dipasar maupun instansi, baik instansi pemerintah maupun pengusaha swasta. Begitu pentingnya aspek kerjasama ini maka pemerintah daerah Kabupaten Rembang, harus secara sungguh-sungguh mengupayakan suatu sinergitas dan kerja sama yang baik. Tentang efektivitas kerjasama dalam rangka penyediaan beras di Kabupaten Rembang masih perlu ditingkatkan lagi. 4) Koordinasi Koordinasi dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras merupakan penghambat dalam implementasi. Pelaksanaan koordinasi masih lemah sehingga sulit ditemukan kegiatan selaras dan terpadu mengarah pada satu tujuan yaitu peningkatan ketersediaan beras. Seharusnya melalui fungsi Dewan Pangan Daerah 132
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Kabupaten Rembang, koordinasi di tingkat kabupaten dapat dilaksanakan. Sampai dengan saat ini koordinasi melalui dewan pangan belum dapat dilaksanakan. Pentingnya koordinasi yang baik dalam implementasi kebijakan ketahanan pangan di Kabupaten Rembang secara teoritis bahwa : (1) perasaan terlepas satu sama lain, antara satuan-satuan organisasi atau antar pejabat yang ada dalam kaitan dengan ketahanan pangan tidak terjadi; (2) terhindar dari perasaan atau pendapat bahwa satuan organisasi atau pejabat tertentu merupakan yang paling penting; (3) tehindar dari pertentangan antar bagian dalam organisasi maupun antar instansi terkait, dan (4) menimbulkan kesadaran diantara para pegawai untuk saling membantu. Bahwa koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan khususnya untuk menjaga ketersediaan beras jarang dilaksanakan. Permasalahan koordinasi sudah dilaksanakan walaupun belum optimal. Hanya saja selama ini koordinasi dilaksanakan lebih pada tahap perencanaan, sedangkan pada tahap pelaksanaan serta tahap evaluasi masih kurang memadai. Dengan kenyataan tingkat koordinasi yang belum memadai serta lebih pada tahap perencanaan maka konsekuensinya adalah apabila terjadi permasalahan dalam pelaksanaan ketahanan pangan maka tidak segera bisa diketahui dan dipecahkan bersama. Lemahnya koordinasi mengakibatkan implementasi kebijakan ketersediaan beras dilaksanakan oleh masing-masing SKPD berdasarkan tupoksinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka Dewan Ketahanan Pangan Daerah sebagai institusi yang paling 133
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
berkompeten terhadap kebijakan ketahanan pangan perlu mulai melakukan langkah-langkah koordinatif sekaligus untuk membangun komunikasi dan kerjasama antar SKPD agar implementasi kebijakan ketersediaan beras dapat terselenggara secara terpadu dan terintegrasi.
134
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
BAB IV INOVASI MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Inovasi Model Implemetasi Kebijakan Publik Menurut berbagai pihak, inovasi model implemetasi kebijakan publik yang diterapkan dalam berbagai bidang memiliki banyak variasi. Inovasi model implementasi kebijakan adalah upaya untuk menemukan model ideal yang digunakan untuk meningkatkan dan memudahkan dalam melakukan implementasi sebuah kebijakan. B. Analisis Inovasi Kebijakan Publik Analisis dalam rangka menemukan satu inovasi dalam implementasi kebijakan publik perlu dilakukan dari berbagai aspek da melalui beberapa tahap. C. Rumusan Model Inovasi Implementasi Kebijakan Publik Usulan Model Kebijakan Ketersediaan Beras yang Cukup, Aman, Bermutu dan Terjangkau oleh Masyarakat Rumusan usulan model implementasi kebijakan ketersediaan beras yang cukup, aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dilihat dari mulai perumusan kebijakan sampai dengan metode monitoring dan evaluasi terlihat bahwa usulan model kebijakan tersebut mencakup beberapa kelompok variabel yaitu:
135
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
a. Isi Kebijakan atau Content Of Policy Rumusan model implementasi kebijakan ketersediaan beras dari isi kebijakan terdiri dari beberapa variabel yaitu tipe manfaat, derajat perubahan yang diharapkan, pelaksanaan program dan sumberdaya yang dilibatkan. Kebijakan ketersediaan beras yang cukup, aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat berdasarkan hasil penelitian usulan model berkaitan dengan isi kebijakan adalah : 1) Tipe manfaat dari kebijakan ketersediaan beras bagi masyarakat dirumuskan kembali sehingga memberikan manfaat secara langsung dapat dinikmati oleh kelompok sasaran. Perumusan kembali tipe manfaat kebijakan dilakukan dengan perumusan ulang kebijakan ketersediaan beras yang termuat dalam RPJMD dan Renstra Badan Ketahanan pangan. 2) Derajat perubahan yang diharapkan dari kebijakan ketersediaan beras yang cukup, aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat adalah perubahan cara bercocok tanam padi dari yang konvensional menjadi pola Jajar Legowo; perubahan diversifikasi pangan dengan tidak makan nasi sehari dalam satu tahun. Perlu disosialisaikan dan dilaksanakan secara bertahap untuk mencapai derajat perubahan yang diinginkan. 3) Peningkatan implementasi kebijakan ketersediaan beras yang cukup, aman dan terjangkau, adalah dengan mengoptimalkan Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (BKP dan P4K) sebagai leading sector dalam mengkoordinir pelaksanaan kebijakan keahanan pangan khususnya dalam hal kebijakan peningkatan ketersediaan beras. Peningkatan peran Dewan 136
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Ketahanan Pangan perlu dilakukan dengan mengemukakan arti penting dari ketahanan pangan kepada Bupati dan secara sinergi juga kepada DRPD. Petani dan pedagang serta pelaku usaha tataniaga beras harus selalu dibina dan diberikan pengarahan agar menjaga ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. BKP dan P4K harus mampu berperan menjaga keterpaduan dan sinergetias antara stekoholder terkait dan meminimalisir egosektor dan tumpang tindih dalam menjalankan tupoksinya. Selain itu pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan peraturan tentang ketahanan pangan dan tataniaga beras, sehingga pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan memiliki payung hukum yang tegas di daerah. Dalam pelaksanaan, upaya yang harus dilakukan adalah: a. Dalam Implementasi kebijakan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang sebagaimana PP 68 tahun 2002 adalah optimalisasi dari Badan Ketahanan Pangan Daerah dalam hal ini adalah optimalisasi peran BKP dan P4K, sebagai sekretaris eksekutif dari Dewan Ketahanan Pangan Daerah. Peran menjaga ketersediaan pangan khususnya beras menjadi tujuan utama dengan melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. b. Rapat Koordinasi tahunan dalam forum Dewan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Rembang perlu dilakukan karena kebijakan pelaksanaan kegiatan ketahanan pangan khususnya ketersediaan beras dapat dirumuskan dalam forum itu dan segera dapat ditindaklanjuti. 137
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Pengorganisasian di tingkat Kabupaten dilakukan melalui BKP dan P4K dengan pusat kendali ketahanan pangan ada di sana. d. BKP dan P4k harus melakukan rapat koordinasi resmi setiap enam bulan untuk memantau ketersediaan beras, sehingga semua kegiatan berkaitan penyediaan beras dapat dilakukan secara terpadu dari beberapa SKPD. e. Peningkatan produksi padi dilakukan dengan berbagai metode dan cara antara lain mempraktekkan cara tanam Jajar Legowo, metode budidaya tanaman padi dipraktekkan kepada seluruh petani, pembatasan areal sawah yang ditanami tebu, program sawah lestari, mengembangkan metode bercocok tanam padi menggunakan metode System Rice Intensification (SRI) yang hemat air, penanganan pasca panen yang efisien. f. Optimalisasi kelembagaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan Kelompok Tani serta mengaktifkan kembali lumbung desa secara bertahap. 4) Sumberdaya yang dilibatkan Sumber daya manusia yang tergabung dalam Dewan Ketahanan Pangan Daerah dari sisi kuantitas sudah sangat memadai. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya SKPD yang terlibat. Namun dari sisi kualitas perlu ditingkatkan terutama mengenai pemahaman tentang kebijakan ketersediaan beras. Sedangkan dari aspek anggaran masih kurang memadai, sehingga implementasi kebijakan ketersediaan beras tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. c.
138
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
b. Konteks Kebijakan atau Contex of Policy 1) Kepatuhan dan Daya Tanggap Dalam konteks kebijakan atau setting kebijakan, suatu kebijakan akan dengan mudah diimplementasikan apabila tingkat pemahaman dan daya tanggap aparatur pelaksana cukup baik.Walaupun berjalan dengan kurang koordinasi namunimplementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang sangat didukung oleh kepatuhan dan daya tanggap aparatur pelaksana.Hal tersebut terutama ditunjukkan oleh para PPL yang mempunyai komitmen dan kompetensi dibidangnya. 2) Dukungan Stakeholders Kebijakan akan dapat diimplentasikan dengan baik apabila stakholders yang terlibat di dalamnya memberikan dukungan yang optimal. Dukungan terhadap kebijakan ketersediaan beras telah dilakukan sesuai dengan kapasitasnya baik oleh SKPD, Bulog, PPL, Gapoktan, Kelompok Tani, Petani, Pengusaha Rice Milll, Penyedia Saprotan, Pengepul Beras Dan Pedagang Beras. 3) Dukungan Infrastruktur Agar implementasi kebijakan ketersediaan beras semakin baik perlu dukungan infrastruktur yang optimal. Pelayanan irigasi masih belum menjangkau seluruh wilayah. Perbaikan infrastruktur seperti saluran irigasi, embung, dam, dan jalan pertanian harus dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan daerah. Strategi pengadaan infrastruktur tersebut antara lain dengan meminta dukungan pendanaan dari pemerintah Pusat dan provinsi. Selain itu strategi lain adalah memanfaatkan air tanah untuk irigasi dan membangun saluran irigasi baru pada wilayah yang belum terdapat 139
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
irigasi seperti Kecamatan Bulu, Pancur, Sulang dan Pamotan. 4) Alam (Iklim dan Cuaca) Pengaruh iklim terhadap usaha pertanian sangat besar. Terutama untuk tanaman semusim yang syarat tumbuhnya tergantung ketersediaan air dan curah hujan. Pada wilayah dengan anomali iklim dan cuaca tinggi perlu kiranya menyiasati pola tanam dan sistem tanam. Beberapa sistem tanam yang cocok antara lain adalah System Rice Intensification (SRI) yaitu cara bercocok tanam padi hemat air, sangat cocok untuk daerah yang pasokan air baku untuk irigasi kecil. Pola tanam walik dami merupakan sistem tanam padi berdasarkan kearifan lokal untuk menyiasati singkatnya musim penghujan di Kabupaten Rembang. Pola tanam walik dami dipadukan dengan cara tanam Jajar Legowo akan memberikan hasil yang maksimal. Selain itu penggunaan varietas padi yang toleran terhadap kekeringan akan memberikan hasil yang maksimal. Untuk “menangkap“ air hujan dan menahannya selama mungkin perlu disediakan embung. Selain itu untuk menyediakan air bisa melalui pembuatan sumur artetis. 5) Kondisi Lahan Pertanian Kondisi lahan pertanian di Kabupaten Rembang relatif subur apabila memperoleh pengairan yang cukup. Luas lahan pertanian harus diusahakan untuk dipertahankan secara ketat agar luasnya tidak semakin berkurang. Di beberapa tempat lahan berkurang untuk usaha batu bata, seperti di Desa Maguan Kaliori atau di Kecamatan Kaliori. Upaya alih fungsi lahan tersebut 140
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
harus dibatasi dengan kebijakan pemerintah atau kalau dapat harus dibatasi dengan Perda agar memiliki kekuatan hukum. Upaya lahan sawah untuk ditanami tebu dan pembuatan batu bata dibatasi semaksimal mungkin. Lahan tegalan yang harus diupayakan untuk ditanami tebu bukan lahan sawah. Apabila sawah yang ada banyak ditanami tebu dikhawatirkan produksi beras dari Kabupaten Rembang menurun. Produksi beras yang menurun akan mempengaruhi ketersediaan beras. c. Sikap dan Kemampuan Pelaksana 1) Kemampuan Aparat Secara umum kemampuan aparatur SKPD yang tergabung dalam Dewan Ketahanan Pangan masih kurang terutama dalam memahami arah dan tujuan kebijakan ketersediaan beras.Sedangkan kompetensi dan kemampuan teknis PPL sangat mendukung implementasi kebijakan ketersediaan beras. 2) Kemampuan menyediakan Saprodi Pertanian Saprodi pertanian di Kabupaten Rembang tersedia dan mudah didapatkan dengan harga yang relatif terjangkau. 3) Kemampuan Pemberantasan Hama Upaya pemberantasan hama yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan beras adalah adanya hama tanaman padi berbentuk jamur (”blas”) yang menyerang akar dan batang padi yang sampai dengan penelitian ini dilakukan (Januari 2013) belum ditemukan pestisidanya (fungisida). d. Komunikasi Komunikasi berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan antar institusi berjalan formal dan terkendala pada prosedur 141
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
birokrasi, sehingga respon terhadap masalah ketahanan pangan dan upaya untuk mensinergikan kegiatan dalam upaya meningkatkan ketersediaan beras menjadi terhambat. 1) Transmisi (Media Komunikasi) Transmisi atau media komunikasi yang digunakan dalam implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten dilakukan melalui berbagai metode. Sedangkan transmisi kepada petani melalui media sosialiasi dan penyuluhan sebagaiamana dikemukakan di atas cukup efektif dan tepat guna sehingga informasi penting yang perlu dipahami dan dilaksanakan oleh pihak terkait khususnya petani dapat tersampaikan secara jelas dan efektif. 2) Kejelasan Informasi Informasi yang disampaikan antar SKPD maupun terhadap stakeholders maupun petani dapat diterima dengan jelas. Namun untuk meningkatkan intensitas komunikasi diperlukan sarana informasi dan komunikasi berbasis IT agar menyebarluasan informasi lebih cepat dan luas. e. Struktur Organisasi / Birokrasi 1) Standard Operating Procedures Standar prosedur operasional sebagai perwujudan dari struktur organisasi ketahanan pangan di Kabupaten Rembang belum ada sehingga menjadi aspek penghambat bagi upaya untuk mengimplementasikan kebijakan ketahanan pangan secara optimal. 2) Fragmentasi Kurangnya kesepahaman dan kurangnya koordinasi serta sinkronisasi mengakibatkan pelaksanaan kebijakan 142
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
ketahanan pangan tidak berjalan secara terintegrasi, sehingga hasilnya masih kurang maksimal. Ego sektoral masih ditemukan dan dinas terkait cenderung lebih fokus pada bidang tugas pokoknya, ketimbang ikut serius bersinegi untuk keberhasilan program ketahanan pangan. Dengan fragmentasi yang lebih bersifat normatif dan masih kurangnya sinergi antar dinas terkait akan menghambat implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang. 3) Kerjasama Kerjasama yang dilaksanakan harus ditindaklanjuti dan terus diupayakan untuk keberlanjutannya. Mata rantai kebijakan pengadaan beras melibatkan berbagai tingkatan dari petani, pengepul/penggiling, penyalur sampai pada pedagang besar yang ada dipasar maupun instansi, baik instansi pemerintah maupun pengusaha swasta. Begitu pentingnya aspek kerjasama ini maka pemerintah daerah Kabupaten Rembang, harus secara sungguh-sungguh mengupayakan suatu sinergitas dan kerja sama yang baik. Tentang efektivitas kerjasama dalam rangka penyediaan beras di Kabupaten Rembang masih perlu ditingkatkan lagi. 4) Koordinasi Koordinasi mulai tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan tahap evaluasi perlu lebih ditingkatkan. Koordinasi yang belum memadai serta lebih pada tahap perencanaan maka konsekuensinya adalah apabila terjadi permasalahan dalam pelaksanaan ketahanan pangan maka tidak segera bisa diketahui dan dipecahkan bersama. Lemahnya koordinasi akan menyebabkan implementasi kebijakan tidak berjalan secara terpadu, tiap SKPD cenderung berjalan sendiri berdasarkan 143
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
tupoksinya masing-masing. Kurang optimalnya koordinasi menjadi salah satu aspek penghambat. Hal ini karena instansi yang berwewenang untuk mengkoordinir belum melaksanakan koordinasi sebagaimana yang diharapkan. Fenomena lain yang ditemukan dalam penelitian ini,yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi adalah law enforcement atau penegakan hukum. Keberhasilan implementasi akan lebih besar apabila hukum dan peraturan betul-betul ditegakkan. Penegakan peraturan salah satunya dilakukan dengan penerapan sistem reward and punishment dan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dari para pelaksana dan masyarakat. Penegakan hukum ini memiliki pengaruh cukup besar pada keberhasilan implementasi kebijakan publik. Penegakan hukum yang dimaksud antara lain penegakan terhadap Perda Provinsi tentang sawah lestari, yaitu alih fungsi lahan dari lahan pertanian (sawah) ke lahan non pertanian atau permukiman. Dari uraian di atas berbagai fenomena dan aspek yang diupayakan untuk ditambahkan dan ditingkatkan disusun satu model usulan yang dapat digunakan untuk memperbaiki implementasi kebijakan di masa mendatang. Usulan tersebut terlihat pada gambar berikut:
144
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Diagram 4.1 USULAN MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN (Usulan Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang)
UU 7/ 1996 tentang Pangan PP 68 tahun 2002 ttg ketahanan pangan Perda No 1 tahun 2010 ttg RPJPD Kab Rembang Perda No, 10 tahun 2010 ttg RPJMD Kab. Rembang 2010 2015 Perbub no. 16 tahun 2010 ttg RKPD tahun 2011
Perbaikan terhadap aspek : Proses Penetapan Kebijakan ; Upaya Peningkatan Ketersediaan Beras; Perbaikan Perumusan Program dan Kegiatan Peningkatan Ketersediaan Beras
1. 2.
3.
4.
Struktur Birokasi SOPs : dibuat SOPs Fragmentasi : Peningkatan intensitas koordinasi, kerjasama dan komunikasi Kerjasama: kerjasama & sinergitas antar anggota DKP dan stakeholders Koordinasi : Rakor & rapat evaluasi secara berkala
Fenomena kebijakan
Ketersediaan Beras yang Cukup, Aman, Bermutu dan Terjangkau
b. Isi Kebijakan : 1. Tipe manfaat : Memperluas cakupan manfaat bagi masyarakat 2. Derajat perubahan yg diharapkan : Optimalisasi diversifikasi pangan 3. Implementasi Program : Keterpaduan dan sinergitas antara pemangku kepentingan dan stekoholdersSumberdaya yang dilibatkan : Alokasi anggaran yg menadai dan SDM yang kapabel
c. Kontek Implementasi 1. Kepatuhan & daya tanggap : Peningkatan respon aparatur 2. Dukungan Stakholder (Political will) : Perhatian dan dukungan Kepala Daerah 3. Dukungan Infrastruktur : Pengembangan & perbaikan infrastruktur 4. Dukungan Alam (Iklim dan cuaca) : Konservasi sumberdaya air, Penggunaan benih yg toleran thd kekeringan & pola tanam Walik Dami 5. Kondisi Lahan Pertanian : Konservasi lahan, meminimalisir alih fungsi lahan, dan insentif bagi petani
Feed back
Komunikasi 1. Media Komunikasi : Penggunaan sarana informasi berbasis IT 2. Kejelasan Informasi : Intensitas informasi, penyederhanaan prosedur (tdk terlalu birokratis) 3. Konsistensi komunikasi :Peningkatan konsistensi komunikasi antar anggota DKP dan stakeholders
Sikap dan Kemampuan Pelaksana: 1. Peningkatan Kemampuan Aparat : Peningkatan kemampuan teknis dan kemampuan manjerial 2. Peningkatan Kemampuan penyediaan Saprodi Pertanian : Peningkatan jaminan ketersediaan saprodi 3. Peningkatan Kemampuan Pemberantasan hama : Kemampuan dalam menentukan obat pembasmi hama dengan cepat,,terukur, dalam dosis yang tepat
Keberhasilan Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras: 1. Proses Perumusan Kebijakan (procedural) 2. Ketersediaan beras meningkat 3. Manajemen peningkatan ketersediaanberas optimal.
Law Enforcement 1. Reward and Punishment 2. Kejelasan Sistem dan prosedur
145
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
146
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
BAB V PENUTUP
A. Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan berdasarkan PP 68 Tahun 2002 (Eksisting Model) 1. Proses Penetapan Kebijakan Ketahanan Pangan : Proses penetapan kebijakan ketahanan pangan diawali dengan Perumusan Program dan Kegiatan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan (PP 68 tahun 2002) yang dilakukan dalam forum SKPD dan dituangkan dalam dokumen RPJMD Kabupaten Rembang. Baru pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Rembang menindaklanjuti PP 68 tahun 2002 dan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan dengan membentuk Dewan Pangan Daerah berdasarkan SK Bupati Nomor 500/96/2009. Sejak dibentuknya Dewan Ketahanan Pangan Daerahbelum pernah melakukan rapat koordinasi antar SKPD terkait.Koordinasi dilakukan secara informal, yaitu dengan saling bertukar informasi atau data. Kurangnya koordinasi tentang ketahanan pangan menjadikan pelaksanaanuntuk mencapai kehananan pangan tidak terarah dan terpadu, karena masing-masing SKPD melaksanakan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
147
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
2. Kondisi ketersediaan beras saat ini
Upaya peningkatan ketersediaan beras telah dilakukan oleh BKP dan P4K, Dinas Pertanian dan Kehutanan serta BULOG, namun dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara koordinatif. Peningkatan ketersediaan beras dilakukan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan melalui : a. Intensifikasi,berupa optimalisasi lahan pertanian yang ada dengan upaya antara lain : penerapan sapta usaha tani, penerapan pola tanam “Jajar Legowo”, pelaksanaan SLPTT, penerapan System Rice Intensification (SRI). b. Ekstensifikasi, dengan cara perluasan lahan atau pengembangan luas tanam melalui antara lain penerapan kebijakan sawah lestari, kerjasama dengan Perhutani dengan pembukaan areal pertanian baru dan peningkatan lahan yang tidak atau kurang produktif mejadi lahan produktif. Sedangkan perluasan areal tanam sulit dilakukan karena banyaknya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dan pembukaan lahan hutan baru untuk dijadikan lahan sawah juga sulit, karena sebagian besar hutan merupakan kawasan lindung. Upaya yang dilakukan adalah meningkatkan jaringan irigasi dan perubahan dari lahan kering (tegalan) menjadi lahan sawah. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan menjadi pilihan untuk mendukung produktivitas pertanian yang dilakukan dengan cara : a. Penanaman vegetasi berupa tanaman keras dan buahbuahan disekitar sumber air atau bendungan untuk menjaga ketercukupan air baku pertanian b. Memperbaiki saluran irigasi tersier oleh petani
148
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
c. Pemetaan lahan produktif dan tidak produktif terutama
pada tanah di lereng pegunungan dengan membangun lahan pertanian terasering. Untuk meminimalisir bulir padi terbuang diusahakan antara lain melalui penggunaan mesin perontok padi, menggunakan terpal sebagai alas perontokan dan penjemuran gabah.Guna menunjang kebutuhan air sebagai bahan baku pada lahan pertanian diupayakan dengan melakukan pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungaidengan upaya pengerukan embung, pembuatan embung dan penanaman kembali lahan kritis dan hutan yang rusak, dengan tanaman keras serta pembuatan biopori. Selanjutnya pemeliharaan irigasi dan saluran drainase oleh pemerintah dilakukan dengan mengoptimalkan saluran irigasi yang ada dan terus menambah saluran irigasi pada daerah-daerah yang belum memiliki saluran irigasi atau daerah yang memiliki irigasi setengah teknis yang perlu dikembangkan menjadi daerah pertanian dengan irigasi teknis. Sedangkan oleh petani dilakukan dengan membersihkan saluran dari sampah dan tanaman liar, pengerukan sedimentasi, pengaturan penggunaan air secara terjadwal untuk tiap petani dan penyediaan embung secara swadaya 3. Manajemen Ketersediaan beras saat ini :
Perencanaan ketahanan pangan dibuat untuk kurun waktu jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek yang dituangkan dalam RPJPD, RPJMD dan RKPD. Yang terlibat dalam proses perencanaan adalah : Bappeda, BKP dan P4K, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Bapermasdes, Diperindag, Dinas Koperasi dan UMKM. 149
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Pelaksanaan kebijakan ketersediaan beras menjadi tugas dari Dinas Pertanian dan Kehutanan.Sedangkan tupoksi SKPD terkait diatur dengan SK Bupati tentang Pembentukan Dewan Pangan. Mekanisme monitoring dan evaluasi ketersediaan beras dan harga beras di tingkat BKP dan P4K adalah dengan pembentukan tim yaitu staf Bidang Ketahanan Pangan pada Badan Ketahanan Pangan dan P4K yang bertugas memantau ketersediaan beras dan perkembangan harga beras di pasar. Sedangkan BULOG melakukan monitoring dan evaluasi secara berjenjang, Tim Gasar (harga dan pasar) Sub Divre BULOG Kabupaten kepada Kantor Divre BULOG Provinsi dan Divre BULOG Provinsi ke BULOG Pusat. 4. Aspek Pendukung dan Penghambat Implementasi
Kebijakan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang. a. Aspek Pendukung Implementasi kebijakan ketersediaan beras di Kabupaten Rembang mendapat dukungan dari fenomena isi kebijakan atau content of policy. Aspek yang mendukung adalah aspek manfaat, karena masyarakat merasakan manfaat kebijakan yang mendorong adanya pemberdayaan petani dan secara langsung menyentuh kepentingan masyarakat. Program bantuan petani seperti LUEP, BLBU dan PUAB bermanfaat dalam menjaga kestabilan harga gabah kering panen. Sedangkan kelompok tani juga dapat meningkat kapasitasnya melalui program SLPTT dan SLPHT serta memberikan dampak yang secara langsung yaitu meningkatnya hasil panen. Kepatuhan dan daya tanggap aparat pelaksana sebagai implementor kebijakan menunjukkan kinerja yang baik dalam usaha peningkatan produktifitas 150
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
pertanian dan penyediaan cadangan pangan. Dukungan lain berasal dari stakehokders terkait dengan P2BN (Program Peningkatan Beras Nasional) dan program pertanian Go Organic yaitu penggunaan pupuk organik dengan melibatkan sektor swasta. Disamping itu BKP dan P4K telah memfasilitasi 310 lumbung pangan masyarakat dan mengembangkan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) sebanyak 139 gapoktan. Untuk meningkatkan produktivitas padi, telah didukung dengan ketersediaan saprodi yang mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Sedangkan untuk mensosialisasikan kebijakan ketersediaan beras, didukung komunikasi antara pemangku kepentingan dengan stakeholders maupun petani yang dilakukan secara konsisten dan jelas dengan memanfaatkan media komunikasi. b. Aspek Penghambat Tidak adanya koordinasi mengakibatkan tidak adanya kesepahaman, sinkronisasi dalam pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan, sehingga hasilnya kurang dapat berjalan sebagaimana diharapkan. Ego sektoral masih ditemukan dan dinas terkait cenderung lebih fokus pada bidang tugas pokoknya, daripada serius bersinegi untuk keberhasilan program ketahanan pangan. Disamping itu dalam pelaksanaan kegiatan tidak ada Standard Operating Procedures (SOPs) yang jelas, dan kurangnya kerjasama antar SKPD mengakibatkan dinas terkait cenderung lebih fokus pada bidang tugas pokoknya masing-masing. Dari aspek pelaksana dan sumber dana ditemukan hambatan antara lain belum terwujudnya keterpaduan dan sinergitas antara stekoholder terkait serta masih 151
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
muncul egosektor dan tumpang tindih dalam menjalankan tupoksinya, belum terwujudnya keterpaduan program-program antar pemangku kepentingan yang satu dengan yang lain,serta regulasi dan sarana prasarana masih terbatas. Disamping itu dari sisi aparat pelaksana masih ditemukan hambatan berupa belum semua aparat memahami secara utuh kebijakan ketahanan pangan, belum optimalnya kemampuan aparat SKPD dalam mengupayakan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan belum dan keterbatasan jumlah sumber daya manusia pada BKP dan P4K sebagai lembaga yang paling berkompeten dalam bidang ketahanan pangan. Pendanaan juga menjadi salah satu penghambat kebijakan ketahanan pangan, alokasi anggaran belum sesuai harapan (masih kecil) sedangkan kebutuhannya cukup besar, oleh karena itu banyak program yang di back up melalui pendanaan dari provinsi maupun pusat. Hambatan dari aspek sumber daya alam berupa penurunan kualitas lahan karena tingkat kerusakan lahan pertanian semakin meningkat tiap tahunnya, penurunan kuantitas lahan terjadi akibat banyaknya alih fungsi lahan dan hambatan alam berupa rendahnya curah hujan sehingga pasokan kebutuhan air untuk pertanian sangat rendah. Sedangkan dari aspek sarana dan prasarana antara lain berupa banyaknya saluran irigasi dan jalan pertanian yang rusak sertabelum adanya pembasmi hama untuk penyakit tanaman “blas” yang diakibatkan jamur.
152
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
5. Rumusan Model implementasi Kebijakan Ketersediaan
Beras dalam Rangka Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang. Model implementasi yang diusulkan ada beberapa fenomena yang perlu mendapat penekanan khususnya pada content of policy yaitu pada aspek sumberdaya yang dilibatkan. Sumber daya yang dilibatkan perlu ditambahkan alokasi anggaran dari APBD Kabupaten Rembang guna mendukung operasional kegiatan yang berkaitan dengan kebijakan ketersediaan beras, Kemudian pada fenomena context of policy perlu ada penekanan atau perbaikan pada dukungan stakeholders terutama adalah dari Bupati berupa political wiill dengan menempatkan masalah ketahanan pangan sebagai kebijakan prioritas dalam pembangunan daerah. Fenomena lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah struktur birokrasi. Beberapa aspek dalam struktur birokrasi yang perlu mendapat perhatian adalah perlu dibuat SOPs. Adanya SOPs dapat digunakan sebagai acuan tentang tugas dan tanggung jawab masing-masing implementor kebijakan, sehingga implementasinya dapat berjalan secara terintegrasi dan terpadu. Selanjutnya perlu adanya koordinasi dan kerjasama antar SKPD terkait agar implementasi kebijakan tidak terfragmentasi dan terlaksana dengan baik Selain itu ada satu fenomena menarik yang muncul yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan beras adalah adanya penegakan hukum yang tegas atau law enforcement. Penegakan hukum diperlukan guna mendukung RTRW berkaitan dengan penetapan kawasan pangan abadi (sawah lestari) serta untuk membatasi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
153
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
B. Rekomendasi Ketersediaan beras yang cukup, aman dan terjangkau oleh masyarakat dapat terpenuhi apabila dilakukan dengan penguatan implementasi kebijakan di bidang pangan. Agar penguatan implementasi kebijakan ketersediaan beras dapat terwujud apabila penguatan kelembagaan ketahanan pangan dapat merumuskan kebijakan secara jelas. Untuk itupeneliti merekomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Faktor Internal Faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan beras pada kelompok fenomena content of policy, sikap dan kemampuan pelaksana serta struktur organisasi/birokrasi. Berdasarkan analisis teori dan konsep serta dipadukan dengan temuan empiris direkomendasikan sebagai berikut: a) Dewan Ketahanan Pangan Daerah perlu melakukan rapat koordinasisetiap tahun sekali yang melibatkan seluruh anggota/SKPD untuk merumuskan dan merencanakan program kegiatan, strategi, dan tujuan secara bersama atas dasar masukan seluruh anggota/SKPD dan dilaksanakan secara terintegrasi dengan melibatkan seluruh SKPD terkait dengan SOPs yang jelas agar singkron dan selaras dalam pelaksanaan. Agenda ini juga dapat digunakan mencari solusi terhadap permasalahan sarana dan prasarana pertanian yang perlu dikembangkan atau diperbaiki (misal sarana irigasi pertanian yang menjadi tanggung jawab Dinas PU Bidang Sumber Daya Air), sehingga dapat dibahas bersama untuk mencari solusinya. b) Dewan Ketahanan Pangan Daerah perlu melakukan rapat evaluasi pelaksanaan kegiatan tiap 6 bulan sekali, dan masing-masing anggota Dewan Ketahanan Pangan 154
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
Daerah melaporkan hasil kegiatannya sehingga dapat segera melakukan antisipasi terhadap kendala dalam impelementasi kebijakan. c) Dewan Ketahanan Pangan Daerah perlu mengusulkan penambahan sumber daya manusia yang kapabel dan peningkatan sarana - prasarana serta mengajukan usulan anggaran dalam RAPBD d) Dewan Ketahanan Pangan Daerah perlu melakukan sosialisasi dan pembinaan secara intensif ditingkat aparatur pelaksana dan stakeholders tentang program kebijakan ketersediaan beras agar terjadi pemahaman yang sama dan utuh tentang program kebijakan ketersediaan beras agar terbentuk komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan. e) BKP dan P4K perlu meningkatkan kemampuaan PPL dalam menentukan varietas padi yang toleran terhadap kekeringan dan pola tanam yang cocok untuk lahan kering, serta untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia harus disosialisasikan penggunaan pupuk organik. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan ketersediaan beras pada kelompok fenomena context of policy. Berdasarkan analisis teori dan konsep serta dipadukan dengan temuan empiris disarankan sebagai berikut: a) Pemerintah perlu meminimalisir konversi lahan dari pertanian ke non pertanian dan penurunan kualitas lahan pertanian dengan penyusunan regulasi tata guna lahan yang baik. Disamping itu hal yang sangat penting adalah adanya Law Enforcement dan komitmen semua pihak untuk menegakkan regulasi tersebut. 155
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
b) Pemerintah Kabupaten Rembang perlu menetapkan Kawasan Pangan Abadi dengan insentif bagi pemilik lahan pertanian yang tidak dialihfungsikan. c) Pemerintah Kabupaten Rembang perlu membentuk lembaga yang kompatible guna melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dibidang pertanian, meliputi pembibitan/pembenihan, penemuan bibit unggul yang cepat panen, tahan hama dan yang lebih penting adalah sesuai dengan kondisi ekologi dan iklim serta rekayasa genetika sehingga menghasilkan bibit padi yang hanya membutuhkan lahan dan air sedikit namun menghasilkan hasil yang melimpah.Pemanfaatan mesin pertanian yang sederhana dan terjangkau serta mudah digunakan dalam teknologi produksi dan teknik budidaya. d) DPU harus terus melakukan perbaikan dan pengembangan saluran irigasi dan drainase agar pelayanan irigasi mampu menjangkau seluruh wilayah. e) DPU-PSDA bersama Dinas Pertanian dan Kehutanan harus melakukan konservasi sumber daya air dengan cara melakukan penanaman, pemeliharaan, dan kegiatan konservasi tanah lainnya pada kawasan lahan yang gundul dan tanah kritis lainnya. f) Pemerintah Kabupaten Rembang perlu mendorong peningkatan SDM dibidang pertanian, saat ini ada kecenderungan semakin rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian karena alasan pertanian bukan merupakan lahan yang menjanjikan secara ekonomis dan bukan merupakan profesi yang menarik. Berdasar pada realita tersebut, maka perlu peran pemerintah melalui kebijakan pro pertanian, misalnya dengan pengurangan PBB dan pengurangan ongkos produksi dengan pemberian subsidi bibit, pupuk dan 156
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
obat-obatan pembasmi hama serta penyiapan tenaga pertanian terdidik yang mendapat fasilitas beasiswa dari pemerintah. g) Pemerintah Kabupaten Rembangperlu melakukan sosialisasi / kampanye secara intensif dan berkelanjutan tentang : Diversifikasi makanan pokok untuk mengurangi ketergantungan pada beras sebagai sumber karbohidrat. Mengurangi kebiasaan pola makan diatas meja yang sering menyisakan / tidak menghabiskan makanan.
157
Implementasi Kebijakan Publik dalam Praktek
158
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Wahab, S., 1997., Analisis Kebijaksanaan dari Implementasi. Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara. Jakarta. ---------., 1999., Analisis Kebijakan Publik Teori dan Aplikasinya. PT Danar Wijaya. Malang. Amang, B., 1995. Sistim Pangan Nasional. PT Dharma Karsa Utama. Jakarta. Anderson dalam LAN, 2011, Perumusan Kebijakan Publik dan Pengambilan Keputusan, Lembaga Administrasi Negara RI, Jakarta. Braun, V.J., H. Bouis, S. Kumar, and L P. Lorch. 1992. Improving Food Security of the Poor: Concept, Policy, and Programme. InternationaI Food Policy Research Institute,.Washington, D.C. Brian W. Hogwooddan Levis A. Gunn dalam Solichin Wahab, 1997, Pengantar Kebijakan Publik, Bina Aksara, Jakarta. Brown, Donald., 1995. "Poverty-Growth Dichotomy".Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York: University Press, New York Caiden, G.E. 1982. Public Administration. Second Edition. California: Palasades Publisher. Creswell, John W., 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publications. Chandler dan Plano (1988) dalam Kamus Administrasi Publik, Kebijakan Publik (Public Policy), Gajah Mada University Press, Jogjakarta.
159
Connors, O, 1997 dalam Trilestari ,2010, Kebijakan Publik Sebuah Analisis, UI Press Jakarta. Dunn, William.N. 1981, Public Policy Analysis: An Introduction, Prentice Hall, New Jersey Dunn, William. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Gajah Mada University Press. Yogyakarta Dunn, William. 2000. Kebijakan Publik: Gajah Mada University Press. Yogyakarta Dunn, William. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Gajah Mada University Press. Yogyakarta Dwiyanto, Agus, 2006, Good Governance dan Pelayanan Publik, Pustaka Pelajar Jogjakarta. Edwards III, George C., 1980. Implementing Public Policy, Congressional Quartely, Inc. Washington D.C FAO., 1996. World Food Summit. 13-17 November 1996. Food and Agriculture Organisation of the United Nations. Rome. Italy. Grindle, M.S, (Editor), 1997. Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries.:Harvard Institute for International Development, Boston MA ---------, 1980.Politic and Policy Implementation in The Third World, Princeton-New Jersey: Princeton University Press, Boston MA Islamy, M. Irfan, 2001,Manajemen Sumber Daya Aparatur, FIA, Unibraw. Malang ---------, 2001, Agenda Kebijakan Reformasi Adminitrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang. Iskandar, Johan, 2006. Metodologi Memahami Petani dan Pertanian Dalam Jurnal Analisis Sosial Vol.11 No. 1 April 2006, Yayasan AKATIGA Pusat Analisis Sosial, Bandung.
160
Keban, 2008, Jeremias, Enam Dimensi Administrasi Publik, Gramedia, Jakarta. Jones, Charles O., 1991. Pengantar Kebijakan Publik, Penterjemah, Bashar Budiman, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lassa, Jonatan, 2009, Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950 – 2005, World Food Summit, Journal Ketahanan Pangan. Lincoln, Yvonna S. & Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, SAGE Publication, California, New Delhi, London. Litbang Deptan., 2003. Kajian Situasi Lumbung Pangan Masyarakat di Propinsi Jabar Dan Jateng. Departemen Pertanian. Jakarta Maní, 2000 dalam Trilestari ,2010, Kebijakan Publik Sebuah Analisis, UI Press Jakarta. Miler, Matthew B. and Michael Huberman, 1984, Qualitave Data Analysis: A Sourcebook of New Methode, First Edition, Sage Publication, Baverly Hill, California. Miles, B. Mathew dan A. Michael Huberman., 1992. Analisa Data Kualitatif (terjemahan). Penerbit Universitas Indonesia (UlPress). Jakarta. Mirsha, Usha, 2010, Current Food Security and Challenges, dalam Food Security in Bangladesh, Papers Presented In the National Workshop. 2010. Moleong, Lexy, 2000. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi keempat, Remaja Rosda Karya, Bandung. Mustopadidjaja, 2002, Studi Kebijaksanaan Perkembangan Dan Penerapannya Dalam Rangka Administrasi Dan Manajemen Pembangunan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Nugroho, Hadi, 2003, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
161
Patton, Patricia, 1998, Pelayanan Sepenuh Hati, Terjemahan Hermes, Pustaka Delapatra, Jakarta. Ripley, Randall B., 1985. Policy Analysis in Political Science, Nelson-Hall Publisher, Inc. Chicago Riyanto, Y., 2003, Penelitian Kwalitatif, Penerbit SIC, Surabaya. Sawitdan Ariyani, 1997, Ketahanan Pangan di Indonesia, Sebuah Catatan. Pustaka Jaya, Jakarta Scott. James C. 1993, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sen, Amartya., 1999. Development as Freedom. Oxford University Press. New York. Shafriz dan Russel 1997, dalam Mustopadidjaja, 2002, Studi Kebijaksanaan Perkembangan Dan Penerapannya Dalam Rangka Administrasi Dan Manajemen Pembangunan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Simatupang, P., 1999. Toward Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm in Simatupang, P. et a/- (edisi Indonesia's Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses. 1999. Centre for International Economic Studies. University of Adelaide 5005 Australia. Strauss & Corbin, 1980, Understanding & Conducting Qualitative Research, Dubuque, Lowa. Sugiono, 1993, Metode Penelitian Administrasi, Edisi Pertama, Alfabeta, Bandung. Strauss & Corbin, 1980, Understanding & Conducting Qualitative Research, Dubuque, Lowa. Van Meter, D.S and C.E Van Horn., 1975. The Policy Implementation Process : A Conceptual Framework, Administration and Society
162
Warella, Y. 2009 dalam V. Priyo Bintoro, Pangan Antara Kebutuhan dan Ancaman, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Wasrlah, Chaedar Al, 2002. Pokoknya Kualitatif (Dasar-Dasar Merancang & Melakukan Penelitian Kualitatif). Pustaka Jaya. Bandung Webb, Patrick and Beatrice Rogers. 2003, Dalam Nuhfil Hanani AR, 2011, Pengertian ketahanan Pangan, Jurnal Ketahanan Pangan, Litbang Departemen Pertanian. Wibawa, S. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Wahab, Solichin 1991, Pengantar Kebijakan Publik, Bina Aksara, Jakarta. Yin, K. Robert, 2004, Studi Kasus Desain dan Metode, penerjemah M.Djauzi Mudzakir, edisi revisi, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta. Yuliany, Sri, 2011, Paradigma Administrasi Negara, FISIP UNS, Surakarta. Zauhar, S., 2001. Administrasi Publik, Universitas Negeri Malang. Per Undang-Undangan: Anonim, (1997). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Litbang Departemen Pertanian, Anonim, (2002), Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002, tentang Ketahanan Pangan, Litbang Departemen Pertanian. Anonim, (2004), Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Anonim, (2006), Peraturan Presiden No 83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Panqan 163
Anonim, (2006) Dokumen Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 20062009, Litbang Kementerian Pertanian Anonim (2007), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Anonim, (2007), Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah -----------, (2001). Kepmendagri Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD). Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat & Desa – Departemen Dalam Negeri Anonim, (2008) Permendagri Nomor 30 Tahun 2008 tentang Cadangan Pangan Pemerintah Desa (CPPD)
164
DAFTAR DIAGRAM Diagram 2.1 Diagram 2.2 Diagram 2.3 Diagram 2.4 Diagram 2.5 Diagram 2.6
Diagram 3.1
Diagram 3.2
Diagram 3.3 Diagram 3.4 Diagram 3.5
Diagram 3.6
Diagram 3.7 Diagram 3.8 Diagram 3.9
Implementasi Kebijakan Berdasarkan Isi dan Konteks Implementasinya ................. ............... Implementasi Kebijakan………………………………… Model Implementasi Kebijakan Publik .............. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Implementasi Kebijakan Publik ………………………. Mekanisme Ketersediaan Pangan ………………….. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN (Studi Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang) ………………………………………………………. Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan ............................................................... Usulan Prosedur Penetapan Kebijakan Ketersediaan Beras Di Kabupaten Rembang ..... Mekanisme Peningkatan Ketersediaan Beras Saat ini ............................................................... Usulan Mekanisme Peningkatan Ketersediaan Beras .................................................................. Mekanisme Perencanaan Program Peningkatan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang Saat Ini ............................................... Usulan Mekanisme Perencanaan Program Peningkatan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang............................................................ Pengorganisasian Dalam Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Saat Ini .............. Usulan Pengorganisasiaan Dalam Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras .... Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang Saat Ini ............................ 165
24 30 32 33 48
57
60 61
62 63
65
67 69 70 74
Diagram 3.10 Usulan Pelaksanaan Kebijakan Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang ........................... Diagram 3.11 Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang...... Diagram 3.12 Usulan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Beras di Kabupaten Rembang ..... Diagram 3.13 MODEL EKSISTING IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN (Model Eksisting Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang) ………………………………… Diagram 4.1 USULAN MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN (Usulan Model Implementasi Kebijakan Ketersediaan Beras Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan di Kabupaten Rembang) …………………………………
166
75 77 78
86
145
RIWAYAT HIDUP
Nama Tempat/Tgl Lahir
: Suparno : Boyolali / 3 Juli 1955
Pendidikan : 1. S1 : Ilmu Adm. Negara, FISIP UNTAG Semarang, 1986 2 S2 : Magister Administrasi Negara, FISIP UNTAG Surabaya, 1994 3 S3 : Program Doktor Administrasi Publik, UNDIP Semarang, 2013 OrganisasiProfesi : 1994 - 1998
: Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP NTAG Semarang
1998 - 2002
: Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNTAG Semarang
2002 -2005
: Kepala Pusat Pengelolaan KKN UNTAG Semarang
2005 - 2006
: Pembantu Dekan III FISIP UNTAG Semarang
2006 - 2015
: Dekan FISIP UNTAG Semarang
2015 - sekarang
: Rektor UNTAG Semarang
167
168