Pengaruh Kebijakan Amerika Serikat Terhadap Implementasi Protokol Kyoto
Karya tulis ini dibuat dalam rangka pemenuhan tugas dan mengasah skill penulis Dosen Pembina: Ruli Inayah Romadhoan, S.Sos, M.si
Oleh:
Teuku Zulfikar
09260145
Jumpita Arik Anggraini
201010360311145
Heavy Nala Estriani
201210360311091
Zhasha Prajna Paramitha Nareswari
201210360311076
Khasiuddin
201210360311098
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2014
Pendahuluan Berakhirnya perang dingin membawa suatu perubahan bagi studi hubungan internasional secara keseluruhan, termasuk juga terhadap isu-isu yang pada masa pasca perang dingin mulai mengemuka yang salah satu diantaranya yaitu lingkungan hidup yang mulai mendapat perhatian lebih dari aktor-aktor hubungan internasional terutama Negara-negara di dunia. Suhu bumi yang semakin panas dari waktu ke waktu mulai merebut perhatian para ahli. Mereka mulai memikirkan suatu tindakan bersama untuk menghadapi ancaman pemanasan global. Konferensi dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan kerjasama internasional antar Negara. Berbagai konferensi diadakan untuk membicarakan masalah pemanasan global dan dampaknya terhadap perubahan iklim. Konferensi-konferensi ini menghasilkan keputusan bersama salah satunya adalah Konferensi Kyoto pada tahun 1997 yang menghasilkan sebuah protocol yang disebut “Protokol Kyoto” yang isinya mewajibkan bagi Negara-negara khususnya
Negara industri maju untuk mengurangi tingkat emisi karbondioksida sebesar 5 % dibawah level tahun 1990 pada tahun 2010. Dalam proses perealisasiannya, protocol Kyoto ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih dalam, khusunya terkait kebijakan Amerika Serikat yang menolak meratifikasi protocol ini. Dalam tulisan inilah penulis akan menjelaskan lebih lanjut perihal kebijakan Amerika Serikat dalam menolak peratifikasian protocol Kyoto ini.
Isu Lingkungan Hidup Global Jika kita membahas mengenai persoalan lingkungan, perubahan iklim dan pemanasan global, seolah-olah perkara tersebut seperti tidak akan selesai selama teknologi semakin berkembang dan pabrik-pabrik industri tetap beroperasi dengan bebas serta banyaknya jumlah kendaraan dengan kadar emisi tinggi tetap berjalan dengan santai. Perubahan iklim sudah hampir menjadi kosakata umum dalam percakapan sehari-hari. Namun demikian, fenomena ini masih belum dipahami secara tepat oleh masyarakat karena prosesnya memang cukup rumit. Sehingga seringkali terjadi kesalahpahaman atau kesulitan dalam membedakan antara perubahan iklim dengan variasi iklim yang kadang-kadang terjadi dengan gejala yang agak ekstrem dan membawa dampak seketika yang cukup signifikan.
Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih-guna lah an. Jika kita telusuri jauh ke belakang, permasalahan lingkungan telah dimulai sejak adanya revolusi industri di Eropa pada akhir abad ke 18. Dengan dimulainya revolusi industri sendiri, maka pada saat itu juga mulai gencarnya pemakaian bahan bakar fosil sebagai penggerak tenaga mesin yang dianggap bakal mempermudah kinerja manusia. Secara garis besar masalah lingkungan hidup muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang berlebihan, sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup baik dalam bentuk kelangkaan sumber daya alam dan pencemaran, maupun kerusakan lingkungan hidup lainnya. Berbagai masalah lingkungan hidup terutama yang berkaitan dengan pemanasan global, kepunahan jenis flora dan fauna serta berlubangnya ozon, pencemaran dan kemiskinan telah menjadi masalah global, karena dampaknya mempengaruhi seluruh bagian bumi.1 Kerusakan lingkungan tersebut telah benar-benar kita rasakan dampaknya ketika memasuki abad ke 20, dimana perindustrian semakin berkembang dan volume kendaraan semakin padat di kota-kota besar. Berdasarkan laporan American Meteorological Society, terdapat 90% kemungkinan bahwa temperatur global akan naik sebanyak hingga 7.4 derajat celcius dalam waktu kurang dari seratus tahun. Perubahan tersebut tentu saja akan memberikan dampak yang besar dalam sejarah kehidupan manusia. Peningkatan level permukaan air laut, pola cuaca yang tidak menentu, dan lebih jauh pasti akan mempengaruhi segi kehidupan yang lain, baik itu secara sosial, politik, pemerintahan dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Kesadaran masyarakat mengenai pemanasan global dan perubahan iklim mulai terbangun seiring dengan semakin banyaknya LSM-LSM yang bergerak di bidang lingkungan. Berbagai upaya dan tindakan dilakukan oleh masyarakat internasional dalam menanggulangi dampak lebih jauh dari pemanasan global dan perubahan lingkungan ini. Berbagai hal-hal kecil mulai diperhatikan dan dilakukan seperti menghemat penggunaan energi, melakukan penghijauan dan lain sebagainya. Namun upaya masyarakat ini bisa menjadi suatu hal yang kurang berguna, apabila tidak ada respon dan dukungan dari pemerintahan suatu negara dimana masyarakat tersebut tinggal.
1
Otto Soemarwoto.1992. Indonesia dalam Isu Lingkungan Hidup Global . Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. hlm 1-2.
Desakan mengenai isu pemanasan global dan perubahan lingkungan yang tidak hanya berasal dari masyarakat umum, tapi juga organisasi-organisasi internasional non-pemerintahan, memicu terbentuknya suatu rezim internasional yang berfokus pada lingkungan hidup untuk ikut serta dalam mengatasi, atau paling tidak memperkecil peningkatan dampak perubahan lingkungan dan pemanasan global yang telah terjadi. Permasalahan ini akhirnya kemudian menjadi salah satu agenda dalam berbagai pertemuan antar negara. Diawali dengan diadakannya konferensi PBB di Stockholm, Swedia pada tahun 1972. Konferensi ini membicarakan isu-isu lingkungan hidup yang terjadi dan juga membicarakan bagaimana kebijakan lingkungan yang dibuat, bagaimana program aksi dirancang, dijalankan dan dikelola, bagaimana dana disesuaikan dan oleh siapa, serta jenis organisasi internasional seperti apa yang akan dibentuk untuk menangani permasalahan ini2. Melalui konferensi ini, terbentuklah unit organisasi PBB dengan nama UNEP (United Nations Environment Programme). Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1992. Diadakan konferensi di Rio de Jeneiro atau lebih kita kenal dengan The Earth Summit. Dengan dihadiri oleh 114 kepala pemerintahan dan beberapa ribu perwakilan lain,3 konferensi ini diharapkan tidak hanya menjelaskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah kemunduran lingkungan, merehabilitasi, ekosistem yang telah rusak, dan mempertinggi pembangunan, tetapi juga menjamin komitmen untuk menyediakan dana untuk kegiatan-kegiatan tambahan dan meletakan dasar bagi terjadinya reformasi di dalam sistem PBB.4 Pada 1-10 desember 1997 diadakan KTT Kyoto yang khusus diselenggarakan untuk membahas pemanasan global dan dampaknya secara global5. Sebelum diadakannya KTT Kyoto yang merupakan COP (Conference Of the Parties) 3, sudah diadakan pertemuan-pertemuan sebelumnya, yaitu COP 1 yang diadakan di Berlin, Jerman pada tahun 1995, dan COP 2 yang diadakan di Geneva, Swiss pada tahun 1996.
2
Mochtar Mas’oed dan Rita Noerafni.1992. Isu-isu Global Masa Kini. Pusat antar Universitas Sosial, UGM. hlm 209. 3 Mitchell Beazley.1993.Caring For the Earth : A Strategi for Survival .Reer Internasional Book Ltd. hlm 152 4 Ibid. 5 “The Kyoto Protokol ; State Agreement”, dalam www. State. Gov /www/global/oes/earth.html.
Dengan diadakannya KTT Kyoto, dihasilkan suatu kesepakatan yang disebut dengan Protokol Kyoto. Isi pokok dari Protokol Kyoto sendiri adalah kesepakatan bersama antara negara-negara untuk memperlambat terjadinya kenaikan suhu bumi dengan mengurangi emisi CO2 sebesar 5,2 %.6
Protocol Kyoto Dampak kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan okleh perubahan iklim tidak hanya berskala kecil tapi bersifat merata diseluruh dunia. Hal ini membuat Negara – Negara didunia sepakat untuk menanggulangi masalah ini dengan cara mengadakan konvensi dibawah kerangka PBB yaitu untuk mencegah perubahan iklim. Dalam konvensi ini menghasilkan komitmen untuk menurunkan emisi terbesar dan mencoba membantu Negara- Negara berkembang untuk mengurangi emisi penyebab perubahan iklim dengan cara penandaan mitigasi dan adaptasi serta melakukan transfer teknonoli untuk mengatasi masalah tersebut. Dimana komitmen tersebut dikenal dengan nama Protocol Kyoto. Protocol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC), dimana sebuah persetujuan inernasional mengenai pemanasan global. Negara - negara yang meratifikasi protocol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas tersebut yang telah dikaitkan oleh pemanasan global. Dalam konferensi tersebut tercipta kerangka kerja konvensi di Kyoto Jepang pada 11 Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999 serta persetujuan mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004 7. Sejak masa mulainya industrialisasi hingga saat ini perubahan iklim yang berakibat buruk bagi lingkungan hidup menjadikan semua Negara wajib menangani masalah pemanasan global, dengan kerjasama secara multilateral diseluruh dunia usaha tersebut tidak akan sia-sia. Perhatian masyarakat dunia terhadap lingkungan hidup memberikan gambaran bahwa lingkungan merupakan factor yang penting bagi kehidupan. Dari
6
Ibid. Protocol Kyoto diakses dari http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/items/1673.php ( 31 Oktober 2014)
7
masalah tersebut membuat masyarakat dan para pakar kehutanan serta klimatologi berkumpul untuk membahas masalah lingkungan tersebut sehingga muncul Protocol Kyoto. Sesuai dalam ketentuan Protocol Kyoto secara efektif akan berlaku 90 hari setelah diratifikasi oleh paling sedikit 55 pihak konvensi, termasuk Negara – Negara maju dengan total emisi tahun 1990 dari kelompok industri. Negara Jepang memiliki peran besar dalam Protocol Kyoto, dimana Jepang melakukan lobby kepada Negara- Negara yang belum menjadi pihak untuk ikut serta bergabung dalam Protocol Kyoto. Kebijakan Negara Annex didalam Protocol Kyoto juga berbeda degan UNFCCC karena didalam Protocol Kyoto hanya terdapat dua Annex yaitu Negara Annex I dan Negara non Annx. Negara Annex I terdiri dari Negara pihak yang memiliki ekonomi maju sedangkan non Annex merupakan Negara dengan ekonomi yang sedang berkembang8. Protocol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi gas
rumah kaca ( GRK ) di
atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan iklim di bumi. Untuk mencapai hal tersebut, Protocol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh Negara industry sebesar 5% dibawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme Implementasi Bersama
( Joint Implement), Perdagangan Emisi (Emmision Trading), dan Mekanisme
Pembangunan Bersih ( Clean Development Mechanism)9.
Kebijakan Amerika Serikat Terkait Isu Lingkungan Pasca revolusi industri besar-besaran yang pertama kali muncul di Inggris pada pertengahan tahun 1700-an, negara-negara di dunia juga mulai berlomba-lomba meningkatkan perindustriannya masing-masing. Perkembangan perindustrian tentunya memberikan dampak baik bagi masyarakat dengan terbukanya banyak lapangan pekerjaan sehingga dapat menekan angka pengangguran. Akan tetapi, kegiatan perindustrian juga turut menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pemanasan global/global warming.
8
Negara Annex dan non Annex diakses dari file:///C:/Users/Acer/Downloads/S1-2014-297099-chapter1.pdf ( 31 ktober 2014) 9 BPKP, Tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Famework C’onvention On Climate Change diakses dari file:///C:/Users/Acer/Downloads/Undang-Undang-tahun-2004-17-04.pdf ( 31 Oktober 2014)
Emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan industri selama ini telah menyebabkan menipisnya lapisan ozon bumi yang berfungsi untuk melindungi bumi dari paparan langsung sinar ultraviolet. Selain itu, emisi karbon juga menjadi salah satu faktor penyebab efek rumah kaca yang membuat suhu bumi menjadi lebih tinggi.
Pemanasan global merupakan ancaman serius dan berkembang, maka sebagian besar pemerintah, termasuk Amerika Serikat, setuju untuk melindungi keberlangsungan kehidupan manusia dan ekonomi dari dampaknya. Amerika sebagai salah satu negara dengan sistem perindustrian terbesar di dunia dan tergabung dalam ANNEX 1 dan 2 otomatis membuatnya menjadi salah satu penyumbang emisi karbon di dunia. Oleh karena itu, untuk melindungi lapisan ozon di bumi pemerintah Amerika menyetujui Protokol Montreal tahun 1987 dan amandemen selanjutnya. Inti dari protokol ini adalah mengurangi emisi zat perusak ozon ke atmosfer. Selain itu, Departemen Luar Negeri Amerika juga terlibat dalam upaya diplomatik besar dengan lebih dari 160 negara untuk mencapai kesepakatan mengenai pengurangan emisi di masa depan pada Conference Of the Parties (COP)-III Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim di Kyoto, Jepang. Amerika Serikat mendorong untuk kesepakatan yang mengikat secara hukum tentang target emisi bagi negara-negara maju, fleksibilitas nasional maksimal dalam mencapai target tersebut, dan ketentuan yang substansial akan melibatkan negara-negara berkembang dalam solusi secara keseluruhan untuk masalah ini.10
Amerika Serikat sebagai Aktor Rasional dan Tanggapannya Terhadap Protokol Kyoto Model pengambilan kebijakan luar negeri aktor rasional menurut Mohtar Mas,oed
“......politik luar negeri dipandang sebagai akibat dari tindakan-tindakan aktor rasional, terutama suatu pemerintah yang monolit, yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai suatu tujuan. Pembuatan keputusan politik luar negeri digambarkan sebagai suatu proses intelektual.
diakses melalui http://www.state.gov/www/global/oes/earth.html, pada 30 Oktober 2014 pukul 12.38 WIB 10
Perilaku pemerintah dianalogikan dengan perilaku individu yang bernalar dan terkoordinasi. Dalam analogi ini individu itu melalui serangkaian tahaptahap intelektual, dengan menerapkan penalaran yang sungguh-sungguh berusaha menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada. Jadi, unit analisis model pembuatan keputusan ini adalah pilihan-pilihan yang diambil oleh pemerintah. Dengan demikian, analisis politik luar negeri harus memusatkan perhatian pada penelaahan kepentingan nasional dan tujuan dari suatu bangsa, alternatif-alternatif haluan kebijaksanaan yang bisa diambil oleh pemerintahnya aan perhitungan untung rugi atas masingmasing alternatif itu.”11
Negosiasi Protokol Kyoto untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) telah diselesaikan 11 Desember 1997, perjanjian ini akan membuat Amerika Serikat - jika sudah meratifikasi Protokol - untuk target mengurangi gas rumah kaca sebesar 7% selama "periode komitmen" antara tahun 2008 hingga 2012. Pada saat Protokol Kyoto dibuat tahun 1998, Amerika Serikat setuju untuk menandatanganinya. Akan tetapi, Presiden Clinton yang saat itu menjabat tidak menyerahkan Protokol kepada dewan Senat sehingga keterlibatan Amerika Serikat dalam Protokol Kyoto masih belum sah. Negosiasi dan Perjanjian Internasional memang hak prerogatif Presiden, akan tetapi Presiden berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan keputusannya kepada anggota Kongres dan Senat. Maka dari itu sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam konstitusi Amerika S.Res. 98, bahwa perjanjian itu harus dikirim ke Senat AS oleh Presiden terlebih dahulu untuk dipelajari dan diberikan saran, diperlukan dua-pertiga suara mayoritas di Senat untuk menyetujuinya.12
Presiden Clinton menyatakan dukungan kuat untuk Protokol Kyoto, namun juga menyuarakan kritik terhadapnya karena di dalam Protokol Kyoto tidak mengikutsertakan komitmen untuk negara-negara industri berkembang seperti Tiongkok dan India. Selain itu,
11
Mohtar Mas’oed, “Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi ”, LP3S, Jakarta, 1990, diakses dalam http://direktori.umy.ac.id/uploads/skripsi2/20040510082-Bab-I.pdf , pada 28 Oktober 2014 pukul 13.05 WIB 12 Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German, Norwegian, and US Perspectives. European Journal of Internasional Relations, diakses melalui http://www.unipotsdam.de/u/sprinz/doc/Hovi.2012.WhytheUnitedStatesDidNotBecomeaPartytotheKyotoProtocol.EJIR.pdf , pada 30 Oktober 2014
anggota Kongres Amerika juga menyatakan keberatan atas komitmen pengurangan emisi karbon karena hal ini dapat mengancam perekonomian Amerika Serikat.13 Jika Amerika setuju untuk menandatangani Protokol Kyoto maka Amerika harus mematuhi aturan pengurangan emisi karbon. Logikanya, jika ingin mengurangi produksi gas emisi karbon, maka kegiatan industri harus ikut dikurangi. Pengurangan kegiatan industri ini akan membuat tingkat produksi Amerika melemah, tenaga kerja yang diperlukan akan berkurang sehingga detensi untuk PHK besar kemungkinannya. Tingkat produksi lemah ditambah tingkat pengangguran yang tinggi sama dengan kehancuran ekonomi sebuah negara. Hal ini yang ingin dihindari oleh sebagian besar anggota Kongres dan pengusaha Amerika.
Setelah George W. Bush terpilih menjadi Presiden menggantikan Clinton, ia juga tetap menolak keras untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Bush menganggap bahwa Protokol Kyoto tidak adil dalam memperlakukan negara industri maju dan negara industri berkembang seperti Tiongkok. Ia menganggap bahwa semua negara-negara Industri di dunia, baik yang sudah maju maupun masih berkembang, harus memiliki komitmen yang sama untuk mengurangi produksi gas emisi karbonnya. Kritik Bush ini ditolak oleh Sun Guoshun yang merupakan direktur Departemen Perjanjian dan Hukum di Kementerian Luar Negeri Tiongkok. Sun mengatakan bahwa tidak layak untuk menyamakan negara maju yang kaya dan negara berkembang yang miskin.
Akan sangat tidak adil untuk mengharapkan orang miskin di negara-negara berkembang untuk mengirangi konsumsi energi, yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk diketahui, bahwa Tiongkok merupakan penyumbang gas emisi karbon kedua terbesar di dunia.14
Secara garis besar penolakan Amerika Serikat atas Protokol Kyoto didasarkan atas 6 alasan utama, yaitu : 1. Jika Amerika Serikat harus mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan ketentuan
13
Ibid. diakses melalui, http://www.worldwatch.org/node/144, pada 29 Oktober 2014
14
Protokol Kyoto, maka akan berdampak negative bagi ekonomi Amerika Serikat. Khususnya pengurangan emisi gas rumah kaca akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, karena Amerika Serikat harus mengurangi produksi industrinya, hal ini dapat menyebabkan pengangguran, dan harga barang-barang konsumsi naik. Selain itu juga dikatakan bahwa penggantian pembangkit energi dari batubara menjadi gas akan sangat mahal. 2. Tidak masuk diakal Negara berkembang besar seperti China dan India yang termasuk mengemisi Gas Rumah Kaca cukup besar, tidak diharuskan mengurangi emisinya dalam Protokol Kyoto. Amerika Serikat mengaggap bahwa negar-negara tersebut juga ikut andil dalam peningkatan suhu global. 3. Protokol Kyoto adalah cara mengatasi masalah perubahan iklim global yang tidak adil dan tidak efektif 4. CO2 menurut Undang-Undang Amerika Serikat, “Clean Air Act” tidak dianggap sebagai pencemar sehingga secara domestic tidak perlu diatur emisinya. 5. Kebenaran Ilmiah Perubahan iklim dan cara-cara untuk memecahkan persoalannya didukung oleh pemahaman ilmiah yang terbatas. 6. Target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca tidak berdasarkan pertimbangan sains yang cukup. Amerika Serikat, berdasarkan Protokol Kyoto diharuskan mengurangi emisi sebanyak 7% dari tingkat emisi tahun 1990.15
Alternatif Kebijakan Amerika Serikat Terkait Isu Lingkungan Selain Protokol Kyoto Meskipun bersikeras menolak meratifikasi, akan tetapi Amerika Serikat terus menghadiri konferensi tahunan Conference Of the Parties (COP) UNFCCC, namun tidak ikut berpartisipasi dalam negosiasi Protokol Kyoto. Pada bulan Februari 2002, Presiden Bush mengumumkan kebijakan AS untuk perubahan iklim yang akan mengandalkan dalam negeri, tindakan sukarela
15
Ingga Suwandana, Penolakan Amerika Serikat Terhadap Protokol Kyoto Dan Implikasinya Terhadap Usaha Internasional dalam Meminimalisir Pemanasan Global. Universitas Pasundan Bandung 2006, diakses melalui http://digilib.unpas.ac.id/download.php?id=351, pada 28 Oktober 2014
untuk mengurangi "intensitas gas rumah kaca" (rasio emisi output ekonomi) dari ekonomi AS sebesar 18% selama 10 tahun ke depan. Pemerintah berusaha untuk mengurangi produksi gas emisi karbon dengan cara memberikan perlindungan, pemnidahtanganan kredit pengurangan emisi, peningkatan dana terkait penelitian iklim sebesar $700 juta, serta membentuk struktur manajemen baru untuk mengkoordinasi perubahan iklim dan penelitian dengan teknologi terkait. Selain itu, pemerintah juga mengusulkan kebijakan domestik seperti intensif pajak untuk energi terbarukan dan teknologi baru, pengembangan kendaraan hemat bahan bakar dan ramah lingkungan yang menggandeng pihak asing dalam kerjasama baik bilateral maupun multilateral. 16
Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko bersama-sama mengajukan proposal untuk fase penurunan konsumsi dan produksi hidrofluorokarbon (HFC) di bawah Protokol Montreal mengenai Bahan yang Merusak Lapisan Ozon pada Mei 2014. HFC merupakan bahan perusak ozon yang umumnya terdapat pada AC, baik AC ruangan maupun AC kendaraan. Menurut Wikipedia, Protokol Montreal merupakan sebuah traktat internasional yang dirancang untuk melindungi lapisan ozon dengan meniadakan produksi sejumlah zat yang diyakini bertanggung jawab atas berkurangnya lapisan ozon. Traktat ini terbuka untuk ditandatangani pada 16 September 1987 dan berlaku sejak 1 Januari 1989. Sejak itu, traktat ini telah mengalami lima kali revisi yaitu pada 1990 di London, 1992 di Kopenhagen, 1995 di Vienna, 1997 di Montreal dan 1999 di Beijing. Dikarenakan tingkat penerapan dan implementasinya yang luas, traktat ini dianggap sebagai contoh kesuksesan kerjasama internasional. Traktat ini difokuskan pada beberapa kelompok senyawa hidrokarbon halogen yang diyakini memainkan peranan penting dalam pengikisan lapisan ozon. Dalam Protokol ini, para pemimpin dari tiga negara setuju untuk membendung pertumbuhan penggunaan emisi dan HFC baik melalui kepemimpinan internasional maupun tindakan domestik dengan mulai bertindak dari sekarang di bawah Protokol Montreal.17
16
diakses melalui http://www.eoearth.org/view/article/154065/, artikel oleh Peter Saundry., pada 30 Oktober 2014 pukul 16.24 WIB 17
Diakses melalui http://www.epa.gov/ozone/intpol/mpagreement.html, pada 29 Oktober 2014, pukul 16.01 WIB
Efektifitas Protokol Kyoto Terhadap Penolakan AS Penolakan AS untuk meratifikasi Protokol Kyoto tentu mempengaruhi optimalitas pencapaian dalam protocol Kyoto itu sendiri, dalam kebijakan protocol Kyoto Amerika seharusnya mampu menurunkan kadar emisinya sebanyak 7% per tahun dari 25% yang dimilikinya. Namun karena penolakan yang tegas baik di masa Clinton maupun di era Bush, tentu
kebijakan AS ini menambah beban berat bagi negara-negara yang telah meratifikasi
protocol Kyoto ini, dan semakin menghambat usaha internasional dalam menangani pemanasan global dan perubahan iklim yang semakin meningkat dalam tiap tahunnya. Meskipun dengan penolakan AS dalam meratifikasi protocol Kyoto ini, namun protocol yang telah berkekuatan hukum secara internasional pada tanggal 16 februari 2005 ini tetap berjalan meski dengan tanpa Amerika. Dalam hal ini kita dapat melihat tumbuhnya kesadaran dunia internasional dalam memandang persoalan iklim global. Hal ini tentu tidak terlepas dari kondisi alam yang telah jauh berubah bila dibandingkan dengan beberapa ratus tahun sebelumnya.
Figure: 1 Peningkatan emisi karbon seperti pada grafik diatas menunjukkan semakin meningkatnya emisi karbon khusunya di negara-negara maju seperti AS , Rusia dan Eropa. 18
18
Michael Chavez, The Ky oto Protocol:Accomplishment and Failure, diakses dalam: http://www.atmos.washington.edu/2009Q1/111/ATMS111%20Presentations/Folder%201/ChavezM.pdf pada tanggal 29 Oktober 2014.
Figure: 2 Emission changes in selected Annex I countries (1990 – 2010) 19
Figure 2 diatas menunjukan hasil yang telah dicapai beberapa negara yang tergabung dalam Annex 1 country dalam penurunan emisi yang ditargetkan selama kurun waktu ( 1999-2000). Uni Eropa dan Rusia menjadi negara yang menurunkan banyak kadar emisinya melampaui batas yang ditargetkan dalam protocol kyoto. Dan Amerika mengalami peningkatan sebanyak 10,4 % dimana seharusnya jika Amerika meratifikasi protocol Kyoto Amerika harus menurunkan sebanyak 7% dari 25% total emisi yang dihasilkan. Tentu keberhasilan protocol Kyoto akan semakin berjalan baik apabila Amerika turut serta dalam meratifikasi protocol ini. Pada dasarnya emisi karbon secara global mengalami peningkatan sebanyak 50% dari tahun 1990, hal ini bisa dikatakan terjadi karena negara-negara berkembang memang banyak yang telah meratifikasi protocol ini, namun tidak diwajibkan secara langsung dalam menurunkan kadar emisi karbonnya dengan alasan ekonomi sebagai pertimbangannya. Seperti halnya China yang mengalami peningkatan emisi sebanyak 286,6% dari 2,5 metric tones menjadi 9,7 metric
19
The UE and Kyoto Protokol: Achievment and Future Chalange, Diakses dalam: http://www.feem.it/getpage.aspx?id=5254 pada tanggal 29 oktober 2014.
tones.
20
Alasan inilah yang juga melatarbelakangi keengganan AS dalam meratifikasi protocol
Kyoto. Kyoto Protokol memang telah ditargetkan hingga tahun 2012 saja, namun bukan berarti kelanjutan akan perpanjangan protocol Kyoto akan terhenti. Di tahun 2012 dalam pertemuan COP ke 18 di Doha, Qatar. Diamana negara-negara yang meratifikasi Protokol Kyoto siap belusaha maksimal untuk menekan suhu bumi agar tidak lebih dari 2 derajat celcius dan dalam komitmen yang kedua untuk meningkatkan aksi pengurangan emisi dalam kurun waktu 20132020 seperti yang telah disepakati. 21 Dalam COP ke-18 ini Amerika juga tidak meratifikasi kelanjutan Protokol Kyoto, meskipun pemberlakuan ini baru akan dimulai di tahun 2015, namun hingga saat ini Amerika belum menyatakan kesediaannya dalam meratifikasi kelanjutan protocol Kyoto ini. Dalam kurun waktu sejak dibentukuknya Protokol Kyoto, memang telah banyak melalui berbagai macam tantangan, meski dalam perjalanannya protocol ini masih banyak memiliki kekurangan namun setidaknya melaui protocol inilah muncul kesadaran-kesadaran negara-negara maju dan berkembang dalam menghadapi tantangan kerusakan iklim secara global. Terlalu dini nampaknya jika mengatakan bahwa pelaksanaan protocol kyoto ini gagal. Meskipun tanpa Amerika yang tidak meratifikasinya, pada kenyataanya masih banyak negara-negara maju seperti halnya Uni Eropa dan Rusia yang menghasilkan sebuah hasil yang membawa dampak positif dalam kelanjutan protocol Kyoto ini. Namun tentu dengan adanya penolakan Amerika ini semakin memperlambat usaha internasional dalam menangani kasus pemanasan global dan kerusakan lingkungan mengingat Amerika sebagai negara maju yang menyumbang emisi karbon yang sangat besar terhadap lingkungan global.
20
The Kyoto Protokol is not Quite Dead. Diakses dalam: http://www.theguardian.com/environment/2012/nov/26/kyoto-protocol-not-dead pada tanggal 29 oktober 2014. 21 Kesempatan Kedua Untuk protocol Kyoto. Diakses dalam: http://www.hijauku.com/2012/12/09/kesempatankedua-untuk-protokol-kyoto/ pada tanggal 29 Oktober 2014.
Kesimpulan Keberhasilan pelaksanaan pengurangan emisi karbon dioksida tergantung pada kerjasama dan tindakan Negara-negara yang terlibat di dalam protocol Kyoto tersebut. Negara-negara industri maju yang memiliki emisi karbon dioksida lebih besar, memiliki tanggung jawab lebih dibandingkan dengan Negara-negara berkembang. Namun secara mengejutkan Presiden George W. Bush melalui juru bicaranya Ari Fleischer pada tanggal 28 Maret 2001 mengumumkan penarikan diri Amerika Serikat dari perjanjian bersama ini. Sedangkan tanpa keterlibatan Amerika Serikat, sebagai penghasil emisi karbondioksida terbesar, maka Protokol Kyoto ini tidak akan berjalan dengan efektif, dan tidak dapat mencapai tujuan yaitu memperlambat kenaikan suhu bumi. Ketidak konsistenan (inkonsistensi) Amerika Serikat dalam membuat suatu kebijakan dan menentukan sikap, menimbulkan tanggapan dan reaksi dari Negara-negara dan aktor-aktor lainya di dunia. Rezim internasional diperlukan bagi Negara-negara untuk dapat mengatasi permasalahan pemanasan global. Dalam penelitian ini rezim internasional berupa tindakan bersama antar Negara untuk memperlambat terjadinya pemanasan global. Peraturan peraturan (rezim) ini dibuat bertujuan supaya ada tindak lanjut dari Negara-negara berupa tindakan-tindakan pencegahan kenaikan suhu bumi (Collective action). Interdepedensi atau saling ketergantunagan dipakai untuk menjelaskan penelitian ini, juga karena keefektifan dari pelaksanaan Protokol Kyoto ini tergantung dari kebersediaan Amerika Serikat dalam menjalankan komitmennya untuk mengurangi emisi karbondioksidanya sebesar 7 %. Pendekatan yang dipakai dalam karya tulis ini adalah pendekatan pluralis dimana agenda yang dibahas bersifat meluas tidak hanya politik dan ekonomi. Selain itu aktor yang berperan dalam pengambilan keputusan bukanlah hanya aktor Negara yaitu Presiden George W. Bush tetapi juga aktor non Negara (kelompok kepentingan) yaitu kelompok industri yang memanfaatkan kerjasama mereka dengan aktor Negara. Didalam karya tulis ini dijelaskan bahwa Amerika Serikat merupakan penyumbang emisi (emitor) terbesar di dunia sebesar lebih dari 30 % dengan jumlah penduduknya yang hanya 4 % dari total jumlah penduduk dunia. Tanpa keterlibatan Amerika Serikat maka Protokol Kyoto akan menjadi kurang efektif.
Untuk itu penulis mengambil kesimpulan bahwa factor-faktor yang melatar belakangi penolakan Amerika Serikat atas Protokol Kyoto ini berupa factor internal yaitu factor ekonomi dimana Amerika Serikat menyatakan bahwa Protokol Kyoto akan mengancam perekonomian Amerika Serikat. Apabila Amerika Serikat mengikuti aturan-aturan dalam protocol ini maka Amerika Serikat akan mengalami kerugian besar karena dengan mengurangi 7 % emisi karbondioksidanya maka Amrika Serikat harus mengurangi produksi industrinya. Selain itu kelompok industri misalnya Exxon Mobile juga mempunyai kepentingan dalam hal ini. Kelompok industri menyatakan bahwa banyak industri-industri yang akan dirugikan bila pengurangan emisi ini diberlakukan. Hal ini juga akan menimbulkan terciptanya pengangguaran. Tekanan dari domestic khususnya kelompok kepentingan membuat Amerika Serikat menarik diri dari Protokol Kyoto. Dalam hal ini Negara sebagai pembuat keputusan dipengarushi oleh aktor lain yang mana hal ini adalah kelompok industri untuk membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan global. Sedangkan factor eksternal yang melatar belakangi adalah persaingan ekonomi Amerika Serikat dengan Negara-negara lainnya baik Negara berkembang ataupun Negara maju. Amerika Serikat merasa khawatir tersaingi oleh keberadaan Negara-negara pesaingnya seperti Uni Eropa, Jepang dan China terutama dalam perekonomiannya. Ketidakterlibatan Negara berkembang yang dianggap juga sebagai penyumbang emisi karbondioksida seperti India dan China mengundang keberatan Amerika Serikat. Hal ini tersirat dalam pernyataan Bush dimana dikatakan bahwa tidak adil apabila hanya Amerika Serikat dan Negara industri lainnya yang diwajibkan mengurangi emisi karbondioksidanya. Amerika Serikat menganggap bahwa Negara-negara berkembang seperti Cina dan India turut adil juga dalam peningkatan suhu global, akan tetapi Negara tersebut tidak dibebani hal yang sama seperti yang dibebankan kepada Amerika Serikat. Dalam situasi seperti ini, kesan yang kita tangkap dari Negara seperti Amerika Serikat adalah “rupanya kepentingan Politik dan ekonomi lebih penting dari pada masa depan bumi”.
Amerika Serikat mengakui adanya ancaman dan pentingnya untuk menghambat pemanasan global, tetapi itu harus upaya seluruh dunia, tanpa menyadari bahwa pihaknyalah yang paling besar memancarkan gas yang menyebabkan pemanasan tersebut. Namun Protokol Kyoto Akhirnya resmi berkekuatan hukum secara internasional tepat pada tanggal 16 Februari 2005, setelah melewati berbagai negoisasi yang alot dan cukup panjang sejak 1997. Dan keberhasilan dunia membuat Protokol Kyoto berkekuatan hukum tanpa Amerika
Serikat sebagai kontributor emisi terbesar dunia menunjukan bahwa komunitas internasional mengakui perubahan iklim merupakan masalah global yang harus ditangani bersama. Secara umum harus dikatakan bahwa protocol Kyoto merupakan satu monument kesepakatan global yang ditujukan dalam upaya mengamankan masa depan bumi. Tetapi jelas ia belum sempurna, karena Amerika Serikat telah dikemukakan-belum ikut dalam protocol. Sebaliknya, keberatan Amerika Serikat pun pada suatu hari nanti menjadi pertimbangan bahwa semua Negara-negara berkembang juga harus ikut dalam pemangkasan emisi, apalagi yang industrinya maju seperti China dan India.
Daftar Pustaka
Soemarwoto, Otto.1992. Indonesia dalam Isu Lingkungan Hidup Global . Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Mas’oed, Mochtar dan Rita Noerafni.1992. Isu-isu Global Masa Kini. Pusat antar
Universitas Sosial, UGM. Beazley, Mitchell.1993.Caring For the Earth : A Strategi for Survival . Reer Internasional Book Ltd. The Kyoto Protokol ; State Agreement”, dalam www. State. Gov/www/global/oes/earth.html Mas’oed, Mohtar.1990 “Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi”, LP3S, Jakarta,
diakses dalam http://direktori.umy.ac.id/uploads/skripsi2/20040510082-Bab-I.pdf , pada 28 Oktober 2014 pukul 13.05 WIB
Protocol Kyoto diakses dari http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/items/1673.php (31 Oktober 2014) Negara Annex dan non Annex diakses dari file:///C:/Users/Acer/Downloads/S1-2014-297099chapter1.pdf ( 31 ktober 2014) BPKP, Tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Famework C’onvention On Climate Change
diakses dari file:///C:/Users/Acer/Downloads/Undang-Undang-tahun-2004-17-04.pdf ( 31 Oktober 2014) diakses melalui http://www.state.gov/www/global/oes/earth.html, pada 30 Oktober 2014 Why the United States Did Not Become a Party to the Kyoto Protocol: German, Norwegian, and US Perspectives. European Journal of Internasional Relations, diakses melalui
http://www.unipotsdam.de/u/sprinz/doc/Hovi.2012.WhytheUnitedStatesDidNotBecomea PartytotheKyotoProtocol.EJIR.pdf , pada 30 Oktober 2014 Chavez, Michael . The Kyoto Protocol:Accomplishment and Failure, diakses dalam: http://www.atmos.washington.edu/2009Q1/111/ATMS111%20Presentations/Folder%201 /ChavezM.pdf pada tanggal 29 Oktober 2014. The UE and Kyoto Protokol: Achievment and Future Chalange, Diakses dalam: http://www.feem.it/getpage.aspx?id=5254 pada tanggal 29 oktober 2014. The Kyoto Protokol is not Quite Dead. Diakses dalam: http://www.theguardian.com/environment/2012/nov/26/kyoto-protocol-not-dead pada tanggal 29 oktober 2014 Kesempatan Kedua Untuk protocol Kyoto. Diakses dalam: http://www.hijauku.com/2012/12/09/kesempatan-kedua-untuk-protokol-kyoto/ pada tanggal 29 Oktober 2014.