TUGAS MATAKULIAH FARMAKOTERAPI TERAPAN SEMERSTER GENAP TAHUN AJARAN 2016/2017
FARMAKOTERAPI HIPERTENSI
Disusun oleh:
Kelompok VIII NAMA
NPM
Nanda Hidayati
260112160515 260112160515
Esni
260112160537
Ainun Mardhiah Nasution
260112160559 260112160559
Rani Sri Augusti
260112160581 260112160581
Desi Rohadatus Aisy
260112160603 260112160603
PROGRAM STUDI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2017
FARMAKOTERAPI HIPERTENSI I.
DEFINISI
Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Commitee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah (TD) normal tinggi sampai hipertensi maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer/esensial (hampir 90 % dari semua kasus) atau sekunder, terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali, sering kali dapat diperbaiki (Doenges, dkk, 1999). Hipertensi merupakan keadaan ketika tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang dapat mengakibatkan semakin tingginya tekanan darah (Dipiro et al , 2015). Menurut Bruner dan Suddarth (2001) hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg. Pada populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik di atas 160 mmHg dan tekanan diastolik di atas
90
mmHg.
Sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
hipertensi
adalah
meningkatnya tekanan sistolik sedikitnya 140 mmHg dan diastolik sedikitnya 90 mmHg.
Tabel 1. Definisi dan klasifikasi tingkat tekanan darah (mmHg). Kategori Optimal Prehipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2
Sistolik (mmHg) <120 120 – 120 – 139 139 140 – 140 – 159 159 ≥160
Diastolik (mmHg) <80 80-90 90-99 ≥100
(Dipiro et al , 2015). II.
PATOFISIOLOGI
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer atau esensial yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yang diketahui penyebabnya.
1
Tabel 2. Data provinsi dengan kejadian hipertensi tertinggi di Indonesia No
Provinsi
1 2 3 4 5
Bangka Belitung Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Jawa Barat Gorontalo
Jumlah Penduduk 1.380.762 3.913.908 4.115.741 46.300.543 1.134.498
% Hipertensi 30,9 30,8 29,6 29,4 29,4
Absolut Hipertensi 426.655 jiwa 1.205.483 jiwa 1.218.259 jiwa 13.612.359 jiwa 33.542 jiwa
(Pusdatin, 2014). Umumnya kejadian hipertensi lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan pada wanita, namun pada usia pertengahan kejadian hipertensi pada wanita semakin meningkat hingga pada usia tua kejadiannya lebih tinggi daripada pria. Hipertensi pada orang kulit hitam biasanya lebih tinggi daripada yang berkulit putih hingga lebih dari dua kali lipat. Obesitas dan diabetes melitus juga dihubungkan dengan hipertensi. Begitu pula dengan pola hidup seperti pendidikan, penghasilan, atau pekerjaan yang stres juga dilihat walau tanpa hasil yang jelas (Tambayong, 2000). Kebanyakan kasus hipertensi yang terjadi adalah hipertensi primer (lebih dari 90%). Hipertensi primer dikaitkan dengan faktor genetik (riwayat penyakit keluarga), lingkungan (seperti stres, konsumsi alkohol), kelainan hormon, kelainan ginjal atau jaringan autoregulatori untuk ekskresi natrium, volume plasma, dan konstriksi arteriolar, kurangnya sintesis zat vasodilatasi, gangguan sistem saraf (sistem saraf pusat, serabut saraf otonom, adrenergik reseptor atau baroreseptor), serta asupan natrium yang tinggi (Dipiro et al , 2015). Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular, hipertiroidisme, sindrom Cushing , kehamilan, obstructive sleep
apnea,
aldosteronisme,
feokromositoma,
koarktasio
aorta,
hiperparatiroidisme. Beberapa obat juga dapat meningkatkan tekanan darah seperti kortikosteroid, estrogen, obat antiinflamasi non-steroid (NSAIDs), amfetamin, sibutramine, cyclosporine,tacrolimus, dan erythropoietin. Penyebab utama kematian pada penderita hipertensi adalah gangguan pada serebrovaskular, kardiovaskular dan gagal ginjal (Dipiro et al , 2015).
2
Hipertensi terjadi melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin yang diproduksi oleh ginjal akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama (Nuraini, 2015). Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total periferal resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi (Nuraini, 2015).
III. MANIFESTASI KLINIK
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008). Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah
3
marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas (Julius, 2008). Pasien
dengan
hipertensi
primer
tanpa
gejala
biasanya
awalnya
asimptomatik. Selain itu, pasien dengan hipertensi sekunder biasanya mengeluh mengenai simptom yang dari situ bisa dicari penyebabnya. Pasien dengan pheochromocytoma bisa mempunyai riwayat sakit kepala paroksimal, berkeringat, takikardi, palpitasi, pusing orthostatik, atau sinkop. Pada aldosteronisme primer, simtom hipokalemik kejang otot dan merasa lemah bisa muncul. Pasien dengan hipertensi sekunder karena sindroma Cushing bisa mengeluh beratnya bertambah, poliuria, edema, menstruasi tidak teratur, sering muncul jerawat, atau otot yang lemah (Dipiro et al ., 2015). Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun atau setelah terjadi komplikasi berupa: a.
Nyeri kepala, kadang-kadang disertai mual dan muntah
b.
Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
c.
Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
d. e.
Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler (Corwin, 2000).
IV. DIAGNOSIS
Hipertensi primer hanya dapat ditandai dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi sekunder ditunjukkan dengan adanya peningkatan tekanan darah, disfungsi ginjal, dan hipertensi yang resisten terhadap terapi. Peningkatan tekanan darah harus diukur beberapa kali dengan posisi yang berbeda (duduk dan berbaring). Tekanan darah pada anak-anak berbeda dengan pada orang dewasa, sehingga batas hipertensi juga berbeda (Tambayong, 2000).
4
Tabel 3. Klasifikasi hipertensi pada bayi, anak dan remaja Tekanan Darah Normal (mmHg) 80/40 100/60 115/70
Usia
Bayi Anak (7-11 tahun) Remaja (12-17 tahun)
Hipertensi (mHg)
90/60 120/80 130/80 (Tambayong, 2000).
Hipertensi dapat berkembang dan merusak organ-organ seperti mata, otak, jantung, ginjal dan pembuluh darah perifer. Pemeriksaan hipertensi dapat juga menunjukkan
adanya
penyempitan
arteriolar,
pendarahan
retina,
infark,
papilledema, denyut jantung abnormal, dan aterosklerosis . Adanya protein dan sel darah dalam urin dapat menandakan adanya penyakit renovaskular (Dipiro et al , 2015).
V.
HASIL TERAPI YANG DIINGINKAN
Menurut JNC8 hasil terapi yang diinginkan untuk pasien geriatri adalah tekanan darah kurang dari 150/90 mmHg, kurang dari 140/90 mmHg untuk pasien dengan CKD, dan kurang dari 140/90 mmHg untuk pasien dengan diabetes (James et al., 2014).
VI. PENANGANAN 6.1
Terapi Non Farmakologi
Menurut Dipiro et al., (2015), terapi non farmakologi meliputi: a. Modifikasi gaya hidup, seperti: Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan. Penerapan perencanaan makan Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH). Diet asupan sodium idealnya untuk 1,5 g / hari (3,8 g / hari natrium
klorida). Aktivitas fisik secara teratur aerobi. Berhenti merokok.
5
b.
Modifikasi gaya hidup saja sudah cukup untuk sebagian besar pasien dengan prehipertensi tetapi tidak memadai untuk pasien dengan hipertensi dan risiko kardiovaskular dan hipertensi.
Tabel 4. Modifikasi gaya hidup untuk mengontrol hipertensi menurut JNC7 Modifikasi
Penurunan berat badan (BB) Adopsi pola makan DASH Diet rendah sodium
Aktifitas fisik
Minum alkohol sedikit saja
6.2
Rekomendasi
Kira-kira Penurunan Tekanan Darah, range 5-20 mmHg / 10 kg penurunan BB 8-14 mmHg
Pelihara berat badan normal (BMI 18,5-24,9) Diet kaya dengan buah segar dan produk susu rendah lemak Mengurangi diet sodium, 2-8 mmHg tidak lebih dari 100 meq/L (2,4 g sodium atau 6 g sodium klorida) Regular aktifitas fisik 4-9 mmHg aerobik seperti jalan kaki 30 menit/hari, beberapa hari/minggu Limit minum alkohol tidak 2-4 mmHg lebih dari 2/hari (300 mL wine) untuk laki-laki dan 1/hari untuk perempuan (Departemen Kesehatan, 2006).
Terapi Farmakologi
Ada sembilan kelas antihipertensi yang berbeda. Lima diantaranya merupakan agen primer (pilihan pertama), yaitu Diuretik, β blocker, ACEI ( Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor ), ARB ( Angiotensin Reseptor II Blocker ) dan CCB (Calcium Channel Blocker ). Agen ini, baik pemberian tunggal atau dalam kombinasi, digunakan untuk mengobati mayoritas pasien hipertensi. Sedangkan 4 lainnya merupakan alternatif yang dapat digunakan setelah penderita mendapatkan obat pilihan pertama, yaitu α blocker, agonis α-2 sentral, inhibitor adrenergik, dan vasodilator (Dipiro et al., 2015).
6
a. Diuretik, terutama jenis tiazid
Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler, akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Terdiri dari golongan 3 golongan yaitu : Diuretik Tiazid
: hidroklortiazid, klortalidon, indamapid, metaplazon
Diuretik Kuat
: furosemid, torsemid, bumetanid
Diuretik Hewat Kalium
: amilorid, spironolakton, triamteren
b. β blocker
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1 antara lain: (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan konntraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung (2) hambatan sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatik, perubahan pada baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin (Gunawan dkk, 2007).
c. ACE-Inhibitor (Angiotensi Converting Enzyme Inhibitor)
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. ACEinhibitor dibedakan atas dua kelompok: - Bekerja langsung
: kaptopril dan lisinopril
- Pro drug
: enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, fosinopril dll.
ACE-inhibitor menghambat perubahan Angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi
7
secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan eksresi air dan natrium dan retensi kalium (Gunawan dkk, 2007).
d. ARB (Angiotensi Reseptor II Blocker)
Losartab merupakan prototipe obat golongan ARB yang bekerja selektif pada reseptor angiotensin I. Pemberian obat ini akan menghambat semua efek angiotensin II seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral angiotensin II (sekresi vasopresin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard. Dengan kata lain ARB menimbulkan efek mirip ACE-I tetapi kerena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering dan angiodema yang sering terjadi dengan ACE-inhibitor (Gunawan dkk, 2007).
e. CCB (Calcium Channel Blocker)
Menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, Calcium Channel Bloker dapat menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan vasokontriksi, terutama bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek sedangkan diltiazem dan verapamil tidak menimbulkan takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Contoh obat: golongan dihidropiridin (amlodipin, nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin) (Gunawan dkk, 2008).
f.
α-Blockerf
Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah selektif blockers α1-reseptor yang menghambat penyerapan katekolamin dalam sel otot polos pembuluh darah perifer, yang mengakibatkan vasodilatasi. α blocker ini paling efektif jika diberikan dengan diuretik untuk mempertahankan khasiat antihipertensi dan meminimalkan potensi edema (Dipiro et al., 2009).
8
g. Agonis α-2 Sentral
Clonidine, guanabenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2-adrenergik di otak, yang dapat menurunkan denyut jantung, curah jantung, resistensi perifer total, aktivitas renin plasma, dan refleks baroreseptor. Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti depresi, hipotensi ortostatik, pusing, dan efek antikolinergik (Dipiro et al., 2009).
h. Inhibitor Adrenergik
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi, dan berkurangnya curah jantung (Dipiro et al., 2015).
i.
Vasodilator
Efek antihipertensi hydralazine dan minoxidil disebabkan oleh relaksasi otot polos. Obat ini mengurangi tekanan darah arteri, obat ini juga mengurangi impedansi untuk kontraktilitas miokard. Obat golongan ini menyebabkan pengurangan pada tekanan perfusi yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Aktivasi hasil baroreseptor menyebabkan peningkatan kompensasi dalam aliran simpatis, yang menyebabkan peningkatan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin. Akibatnya tachyphylaxis dapat terjadi, sehingga obat ini dapat digunakan bersama dengan obat golongan β-blocker (Dipiro et al., 2015).
Tabel 4. Contoh obat hipertensi dari masing-masing golongan Kelas
Diuretik Tiazide
Obat (Nama Dagang)
Klorotiazide (Diuril) Klortalidone (Generik) Hidroklorotiazide
Dosis Penggunaan (Mg/hari) 125-500 12,5-25 12,5-50
Penggunaan/ hari
1-2 1 1
9
(Mikrozide, Hidrodiuril) Polythiazide (Renese) Indapamide (Lozol) Metalazone (Mykrox) Metalazone (Zaroxolyn)
2-4 1,25-2,5 0,5-1,0 2,5-5
1 1 1 1
Bumetanide (Bumex) Furosemide (Lasix) Torsemid (Demadex)
0,5-2 20-80 2,5-10
2 2 1
Amiloride (Midamor) Triamterene (Dyrenium)
5-10 50-100
1-2 1-2
Eplerenone (Inspra) Spironolakton (Aldactone)
50-100 25-50
1 1
Atenolol (Tenormin) Betaxolol (Kerione) Bisoprolol (Zebeta) Metaprolol (Lopressor) Metoprolol Extended Release (Toprol Xl) Nadolod (Corgard) Propanolol (Inderal) Propanolol Long Acting (Inderal La) Timolol (Blocadren)
25-100 5-20 2,5-10 50-100 50-100
1 1 1 1-2 1
40-120 40-160 60-180
1 2 1
20-40
2
Beta Bloker Aktivitas Simpatomimetik Intrinsik
Acebutolol (Sectral) Penbutolol (Levatol) Pindolol (Generik)
200-800 10-40 10-40
2 1 2
Kombinasi Alpha Dan Beta Bloker
Carvedilol (Coreg) Labetolol (Normodyne, Trandate)
12,5-50 200-800
2 2
Benazepril (Lotensin) Captopril (Capoten)
10-40 25-100
1 2
Loop Diuretik
Diuretik Hemat Kalium Aldosteron Reseptor Bloker
Beta Bloker
ACEI
10
Enalapril (Vasotec) Fosinopril (Monopril) Lisinopril (Prinivil, Zestril) Moexipril (Univasc) Perindopril (Aceon) Quinapril (Accupril) Ramipril (Altace) Trandolapril (Mavik)
5-40 10-40 10-40
1-2 1 1
7.5-30 4-8 10-80 2.5-20 1-4
1 1 1 1 1
Angiotensin II Antagonis
Candesartan (Atacand) Eprosartan (Teveten) Irbesartan (Avapro) Losartan (Cozaar) Olmesartan (Benicar) Telmisartan (Micardis) Valsartan (Diovan)
8-32 400-800 150-300 25-100 20-40 20-80 80-320
1 1-2 1 1-2 1 1 1-2
CCB – Non Dihidropiridin
Diltiazem Extended Release (Cardizem Cd, Dilacor Xr, Tiazac) Diltiazem Extended Release (Cardizem La) Verapamil Immediate Release (Calan, Isoptin) Verapamil Long Acting (Calan Sr, Isoptin Sr) Verapamil — Coer, Covera Hs, Verelan Pm)
180-420
1 1 2 1-2 1
Amlodipine (Norvasc) Felodipine (Plendil) Isradipine (Dynacirc Cr) Nicardipine Sustained Release (Cardene Sr) Nifedipine Long-Acting (Adalat Cc, Procardia Xl) Nisoldipine (Sular)
2,5-10 2,5-20 2,5-10 60-120
1 1 2 2
30-60
1
10-40
1
1-16
1
Ccb- Dihidropiridin
Alpha 1 Bloker
Doxazosin (Cardura)
120-540 80-320 120-480 120-360
11
Prazosin (Minipress) Terazosin (Hytrin) Alpha 2 Agonis Sentral Dan Obat Lainnya Yang Bekerja Sentral
Vasodilator Langsung
Clonidine (Catapres) Clonidine Patch (Catapres-TTS) Methyldopa (Aldomet) Reserpine (Generic) Guanfacine (Tenex)
2-20 1-20
2-3 1-2
0,1-0,8 0,1-0,3
2 1 Minggu
250-1000 0,1-0,25 0,5-2
2 1 1
25-100 2,5-80
2 1-2
Hydralazine (Apresoline) Minoxidil (Loniten)
Penanganan Hipertensi Untuk Pasien Geriatri
Umur dan adanya penyakit merupakan faktor yang akan mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karenanya harus dipertimbangkan dalam memberikan obat
antihipertensi. Berikut adalah prinsip pemberian obat anti
hipertensi pada lanjut usia (Setiawan, 2009):
Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil ( start low go slow).
Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari.
Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi.
Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan.
Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali untuk maintenanc.
Pemberian antihipertensi pada lanjut usia harus hati-hati karena pada lanjut usia terdapat:
Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi ortostatik.
Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
12
Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan otot.
Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada pada lanjut usia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai efek samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid (Setiawan, 2009). Bagan dibawah adalah algoritma penangan untuk pasien dengan penyakit hipertensi tunggal dan yang disertai komplikasi penyakit lain:
(Dipiro et al , 2008).
13
(Dipiro et al , 2008). Beberapa obat golongan antihipertensi menurut penelitian yang dilakukan oleh JNC-7 menyarankan bahwa terapi untuk hipertensi pada lansia dapat menggunakan
diuretic
thiazide
sebagai
pengobatan
awal
ataupun
mengkombinasikannya dengan golongan antihipertensi lainnya. Pengobatan diureticthiazide memberikan efek reabsorbsi kalsium sehingga dapat mencegah terbentuknya batu ginjal dan memberikan proteksi pada tulang. Namun diureticthiazide memiliki efek samping dalam metabolisme tubuh. Beberapa penelitian tetap menyarankan pengobatan diuretic thiazide adalah golongan antihipertensi yang paling unggul digunakan dalam mengatasi hipertensi pada lansia (Lionakis et al , 2012). Secara umum pengobatan hipertensi pada lansia juga dapat menggunakan kalsium bloker dan dapat ditoleransi secara baik dan memiliki prognosis yang lebih baik pula. Beberapa penelitian menyarankan kombinasi dari dua golongan
14
obat antihipertensi baik digunakan untuk menangani pasien lansia yang hipertensi dengan tekanan darah awal yang tinggi ataupun dengan risiko kardiovaskuler yang tinggi karena dapat meningkatkan efikasi, mengurangi efek samping, dan memberikan efek proteksi pada organ yang berisiko untuk rusak (Lionakis et al , 2012). Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan
pemberian
lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek antihipertensi
misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan
khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat yang memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid
dan
obat
antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah: (a) tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta: verapamil
menyebabkan
bradikardia,
asistole, hipotensi,
gagal
jantung;
digoksin memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia (Kuswardhany,2006).
VII. EVALUASI HASIL TERAPI
Pemantauan rutin harus dilakukan untuk menilai perkembangan penyakit, efek yang diinginkan dari terapi antihipertensi (efikasi),dan yang tidakdiinginkan / efek samping (toksisitas) pada semua pasien yang diobati denganterapi obat antihipertensi (Dipiro et al ., 2008).Berikut adalah evaluasi hasil pada penyakit hipertensi yaitu: 1. Strategi
untuk
pencegahan
hipertensi
dengan
manifestasi
klinik
kardiovaskuler adalah pengontrolan tekanan darah pasien. 2. Nilai tekanan darah harus diperiksa secara rutin pada pasien lanjut usia. 3. Evaluasi untuk menjaga tekanan darah arterial di bawah 140/90 mmHg untuk mencegah morbiditas dan mortalitas cardiovaskular.Usaha untuk menurunkan tekanan darah sampai ke tingkat optimal (130/80 mmHg) harus
15
dilakukan, terutama pada pasien dengan diabetes atau gangguan fungsi ginjal. 4. Kepatuhan pasien dengan regimen terapi harus dilihat secara teratur.Mereka harus ditanyai secara periodik mengenai perubahan terhadap kesehatan mereka, level energi, fungsi fisik, dan kepuasan dengan perawatan.Pasien harus dimonitor secara rutin untuk menurunkan efek samping obat.
Pengukuran sendiri atau monitoring tekanan darah ambulatory automatis harus dilakukan untuk mendapatkan kontrol efektif 24 jam.Pembacaan harus dilakukan 2-4 minggu setelah memulai terapi atau ketika membuat perubahan pada terapi.Ketika tingkat tekanan darah yang diinginkan tercapai, pembacaan bisa dievaluasi tiap 3-6 bulan pada pasien asimtomatik.
VIII. CONTOH KASUS DRP DAN SOLUSINYA
Pasein Ny. Neni (65 thn) didiagnosa penyakit Hipertensi stage II dengan tekanan darah 190/90 mmHg dan sering mengalami tegang dibagian kepala. Pasien sudah memiliki penyakit DM sejak 1 tahun yang lalu namun pasien tidak terlalu baik dalam mengontrol gula darah sehingga sering terjadi fluktuatif tingkat kadar glukosa darahnya . Hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu pasien adalah 267 mg/dL dan kadar asam urat pasien cukup tinggi 7,2 mg/dL.
Dokter
meresepkan insaar dengan dosis 100 mg, letonal 100 mg, Glucovance 2,5/500 mg, trajenta 5mg, amitriptilin 25 mg. a. Subjektif
- Ny. Neni (65 tahun) -
Tidak terlalu baik dalam mengontrol gula darah
-
Memiliki riwayat penyakit DM 1 sejak 1 tahun yang lalu dan sering mengalami tegang di bagian kepala
b. Objektif
Hasil pemeriksaan laboratorium : No.
1.
Jenis Pemeriksaan Tekanan darah
Hasil
Niai Normal
Satuan
190/90
130/80
mmHg
16
2. 3. 4. 5.
Asam urat Hemoglobin HbA1c Glukosa sewaktu (GDS)
7,2 14,5 8,2 276
2,5-5,7 12 <6,5 <140
Mg/dL Mg/dL % Mg/dL
c. Pengobatan yang dilakukan No 1.
Nama obat ( R/ ) Insaar (Losartan)
Kekuatan Sediaan Tablet 50 mg
2. 3.
Letonal (Letonal) Glucovance ( 2,5 mg glibenkclamid/ 500 mg metforrmin) Trajenta (Linaglipitin) Amitriptilin
Tablet 25 mg, 100 mg Tablet 1,25/250 mg 2,5/500 mg
4. 5. d.
Dosis yang diberikan 2x 100 mg (setelah makan) 1 x 100 mg 1 x 1,25/250 mg
Tablet 5 mg Tablet 25 mg
1 x 5 mg 1
x 2,5 mg
Drug Related Problem dan Solusinya
Pasien dengan hipertensi stage II, diabetes melitus tipe 2 dan kejang di kepala dalam kasus ini menerima lima macam obat dalam proses pengobatannya. Analisis DTP/DRPs dilakukan untuk mencegah pasien mengalami kegagalan terapi yang dapat merugikan pasien. Diantara analisis DTP/DRPs dari kasus ini yaitu: 1. Indikasi Tanpa Obat Berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium kadar asam urat pasien cukup tinggi 7,2 mg/dL. Hal ini dapat masuk kedalam DRP yakni Indikasi yang tidak diobati. Pemberian obat dan pengaturan diet untuk menurunkan kadar asam urat pasien akan memningkatkan outcome terapi pasien dan mencegah timbulnya penyakit lain. Untuk menurunkan kadar asam urat dapat diberkan Allopurinol yang bekerja dengan menghambat perubahan purin menjadi asam urat. 2. Obat Tanpa Indikasi Dari ke lima obat pasien yang direspekan dokter diindikasi untuk mengobati hipertensi stage II, diabetes melitus tipe 2 dan kejang di kepala. Tidak ditemukan obat yang diberikan tanpa indikasi dalam kasus ini.
17
3. Ketepatan Pemilihan Obat Insaar (losartan) yang termasuk pada golongan ARB ( Angiotensin Reseptor Blocker ) dikombinasikan dengan letonal (Spirolacton) golongan antagonis aldosterone (tipe diuretic), pemilihan terapi ini sudah sesuai dengan algoritma terapi hipertensi pada JNC VIII. Pada algoritma terapi JNC VIII pasien usia ≥60 tahun dengan komplikasi DM ( Diabetes MIlitus) dapat diberikan terapi kombinasi golongan Thiazid, diuretic, ACE inhibitor , ARB, CCB sebagai awalan secara titrasi. Jika dosis tunggal sudah dimaksimalkan dan belum dapat menstabilkan tekanan darah, maka dapat diberika terapi kombinasi golongan Thiazid,type- diuretic, ACE inhibitor , ARB, CCB. Dalam hal ini pasien Ny. I dokter memberikan terapi kombinasi untuk penyakit hipertensi adalah sudah tepat. Kontrol tekanan darah pasien hingga mencapai kestabilan tekanan darah <140/90 mmHg. Untuk pengobatan Diabetes militus Tipe 2, dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu pasien 267 mg/dL. Diberikan obat kombinasi Glucovance dan trajenta untuk menurukan dan mengontrol glukosa darah pasien. Amitriptilin, untuk mengobati ketegangan kepala akibat hipertensi (tension headache). Berdasarkan literature amitriptilin merupakakan antidpressan yang biasa digunakan untuk mengatasi depressi dan kecemasan. Namun selain indikasi tersebut amitrpitilin juga memiliki fungsi lain (unlabled use) yakni untuk mengatasi tension headache dan diabetic neuropathy. 4. Interaksi Obat Terdapat interaksi obat, yang tergolong interaksi Signifikan sehingga perlu dimonitoring dan interaksi minor. Solusi untuk interaksi obat-obat diatas adalah dengan memberikan jadwal pemberian penggunaan obat sehingga obat-obat yang menimbulkan interaksi tidak digunakan secara bersamaan. No. 1
Nama Obat Amitriptilin dan Letonal
Keterangan Letonal akan meningatkan kadar level amitriptilin melalui efflux transporter (MDR1) P glikoprotein
Kategori Signifikan – monitor ketat
18
2
Insaar dan Spironolactone
3
Glucovance dan Trajenta Amitriptilin dan Glucovance
4
Insaar dan spinolacton keduanya akan meningkatkan kadar serum kalium. Berpotensi interaksi berbahaya dan penggunaannya harus dimonitoring ketat Meningkatkan resiko hipoglikemik Amitriptilin meningkatkan efek metformin melalui sinergisme farmakodinamik
Signifikan – monitor ketat
Signifikan – monitori ketat Minor
Solusi Interaksi Obat : No. Nama Obat
1 2 3 4 5
Insaar Letonal Glucovance Trajenta Amitriptilin
Bentuk Sediaan Tablet Tablet Tablet Tablet Tablet
Aturan Pakai 2x1 pc 1x1 1x1 1x1 1x1/2 tab (hs)
Rute Pemberian Po Po Po Po Po
Pagi
Siang
Malam
08.00 08.00 -
12.00 12.00 -
12.00 21.00
5. Dosis Terlalu Tinggi Atau Rendah Untuk dosis penggunaan insaar dan letonal menurut pemeberian dari dokter terlalu tinggi. Perlu dilakukan penurunan dosis untuk pasien geriatric hipertensi. Dosis yang diberikan lebih rendah dari pada dosis dewasa untuk menghindari hipotensi (Patel and Stewart,2015). 6. Monitoring Pantau perkembangan pasien apakah kadar Glukosa darah dan tekanan
darah sudah menurun dan terkontrol atau belum Manajemen efek samping, jika timbul hipoglikemik segera mengonsumi
makanan (sesuai rekomendasi diet dari dokter), tunggu 15 menit, dan cek kadar glukosa darah lagi. Orang yang berisiko hipoglikemia harus selalu menyiapkan makanan cepat kemanapun mereka pergi atau beraktivitas.
19
Pantau kepatuhan pasien minum obat.
7. Edukasi Obat diminum teratur sesuai dengan aturan. Jangan dihentikan walaupun
sudah terasa sembuh. Konsultasi kan ke dokter anda. Jika pasien lupa minum obat, segera minum obat setelah ingat. Jika
terlewat beberapa jam dan telah mendekati waktu minum obat berikutnya, jangan minum obat dengan dosis ganda. Minum obat pada waktu yang sama setiap hari Jangan mengurangi atau
menambah dosis obat Kontrol berat badan, jaga pola makan, diet rendah lemak dan garam,
kontrol tekanan darah secara teratur Biasakan hidup sehat dengan berolahraga ringan, berhenti merokok,
mengurangi alkohol dan stress. 8. Evaluasi Keberhasilan terapi: kondisi stabil (TD, Kadar Gula darah), gejala atau
keluhan berkurang dan pasien dapat beraktivitas seperti biasa. Evaluasi jangka pendek pada terapi hipertensi dapat dilihat dari respon
pengobatan non farmakologi (modification lifestyle) dan terapi obat berdasarkan pengukuran tekanan darah secara rutin dan kadar gula darah. Pasien dengan penyakit komplikasi harus dimonitor dalam penggunaan
obat nya serta pada pasien memiliki sindrom geriatri dengan penurunan fungsi organ.
20
DAFTAR PUSTAKA
Bruner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8
vol.2.
Jakarta: EGC . 2001 Corwin, J Elizabeth. 2000. Patofisiologi. Jakarta: EGC. Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care untuk Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Dipiro J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey L. M.. 2008. Pharmacotherapy : A Patophysiologic Approach, 7th edition. New York: McGraw Hill. Dipiro J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey L. M.. 2015. Pharmacotherapy : A Patophysiologic Approach, 9th edition. New York: McGraw Hill. Dipiro,
C.V.,
Wells,
B.G.,
Dipiro,
J.T.,
Schwinghammer,
T.L.
2009.
Pharmacotherapy Handbook.Seventh Edition. United States of America: McGraw Hill-Companies. Doenges, Marilynn E., dkk. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC. 1999 Gunawan, S. G., Rianto S., Nafrialdi, dan Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI. James, PA., Oparil, S., Carter, BL., PharmD., Chusman, WC., Himmelfarb, CD. et al. 2014. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults. Report From the Panel Members Appointed to the Eight Joint Committee (JNC8). JAMA. 284-487. Julius, S. 2008. Clinical Implications of Pathophysiologic Changes in the Midlife Hypertensive Patients. American Heart Journal , 122: 886-891. Kuswardhany, Tuty. 2006. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut Usia. J Peny Dalam, Volume 7 Nomor 2. Lionakis, N., Mendrinos, D., Sanidas, E., Favatas, G., & Maria, G. (2012). Hypertension in the elderly. World Journal of Cardiology, 4, 135-147.
21
Tersedia
di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3364500/
[Diakses tanggal 15 September 2016]. Nuraini, Bianti. 2015. Risk Factors of Hypertension. J Majority. Vol. 4, No. 5. Patel,Aneet dan Stewart, Fendley. 2015. On Hypertension in the Elderly: An Epidemiologic Shift - See more at: https://www.acc.org/latest-incardiology/articles/2015/02/19/14/55/on-hypertension-in-the-elderly#sthash.iGAgZRaK.dpuf (diakses 02 maret 2017). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (Pusdatin). 2014. Mencegah dan Mengontrol Hipertensi agar Terhindar dari Kerusakan Organ Jantung,
Otak
dan
Ginjal.
Dapat
diakses
pada
:
https://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infod atin/hipertensi.pdf (diakses tanggal 1 Maret 2017). Setiawan, F. 2016. Hipertensi. Tersedia di: http://karyatulisilmiah.com/hipertensi/ (Diakses tanggal 14 September 2016). Tambayong, Jang. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC, Jakarta.
22