BABI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan yang diberikan dan
disesuaikan dengan keadaan pasien berdasarkan keadaan klinis, status gizi
dan status metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada
proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses peralanan penyakit dapat
berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Sering teriadi kondisi pasien
yang semakin buruk karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi untuk
perbaikan organ tubuh terutama dalam hal pemberian makanan pasien.
Salah satu kegiatan pelayanan gizi adalah penyelenggaraan
makanan yang merupakan serangkaian kegiatan sejak penetapan peraturan
pemberian makan, perencanaan menu hingga distribusi makanan.
Penyelenggaraan makanan dimaksudkan bagi pencapaian status kesehatan
yang optimal bagi pasien konsumen melalui pemberian dict yang tepat
(Depkes, 2006).
Penyelenggaraan makanan meliputi teknologi pangan, adapun
pengertian dari teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung
pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting
dalam upaya mengimplementasikan tujuan industri untuk memenuhi
permintaan pasien konsumen. Teknologi pangan diharapkan berpenmn
dalam perancangan produk, pengawasan bahan baku, pengolahan, ti ndak pengawetan yang diperlukan, pengemasan, penyimpanan da
busi
produk hingga sampai ke pasienkonsumen.
Beberapa kasus di ndonesia menunjukkan bahwa adanya
kelemahan dalam hal pengawasan mutu industri pangan dapat berakibat
fatal terhadap kesehatan konsumen dan kelangsungan industri pangan yang
bersangkutan. Contohnya seperti kasus biskuit beracun pada tahun 1 989.
Akibat kesalahan tersebut, perusahaan yang bersangkutan harus ditutup,
(Depkes, 2006).
Penyelenggaraan makanan meliputi teknologi pangan, adapun
pengertian dari teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung
pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting
dalam upaya mengimplementasikan tujuan industri untuk memenuhi
permintaan pasien konsumen. Teknologi pangan diharapkan berpenmn
dalam perancangan produk, pengawasan bahan baku, pengolahan, ti ndak pengawetan yang diperlukan, pengemasan, penyimpanan da
busi
produk hingga sampai ke pasienkonsumen.
Beberapa kasus di ndonesia menunjukkan bahwa adanya
kelemahan dalam hal pengawasan mutu industri pangan dapat berakibat
fatal terhadap kesehatan konsumen dan kelangsungan industri pangan yang
bersangkutan. Contohnya seperti kasus biskuit beracun pada tahun 1 989.
Akibat kesalahan tersebut, perusahaan yang bersangkutan harus ditutup,
Penolakan beberapa jenis makanan olahan yang diekspor ke luar negeri juga
menunjukkan bahwa pengawasan mutu masih belum dilaksanakan dengan
baik. Oleh karena itu, perkembangan teknologi yang pesat diikuti dengan
pertumbuhan industri yang cepat harus didukung oleh sistem pengawasan
mutu yang baik.
Penerapan konsep mutu di bidang pangan dalam arti luas
menggunakan penafsiran yang beragam. Kramer dan Twigg (1983)
menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai
secara organoleptik (wama, tekstur, rasa dan bau). Hal ini digunakan
konsumen untuk memilih produk secara total. Gatchallan (1989) dalam
Hubeis (994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat
penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang
(seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi terutama sifat
organoleptiknya. Juran (1974) dalam Hubeis (1994) menilai mutu sebagai
kepuasan (kebutuhan dan harga yang didapatkan ko nsumen dari integritas
produk yang dihasilkan produsen. Menurut Fardiaz (1997), mutu berdasarkan ISO/DIS 8402-1992 didefinisikan sebagai karakteristik
menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses.
organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam
memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan.
Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu
bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu: karakteristik fisik/tampak yang
meiliputi penampilan (wama, ukuran, bentuk dan cacat fisik) dan
karakteristik tersembunyi yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis.
Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya
ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik.
Namun, ciri organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan wama juga
ikut menentukan. Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi
produk yang bersangkutan dilakukan menurut standar estetika ( warna, rasa,
bau dan kejernihan), kimiawi (mineral, logam-logam berat dan bahan kimia
yang ada dalam bahan pangan) dan mikrobiologi (tidak mengandung bakteri
Eschericia coli dan patogen).
Kadarisman (1996) berpendapat bahwa mutu hanus dirancang dan
dibentuk kedalam produk. Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat
awal, yaitu gagasan konsep produk, setelah persyaratan-persyaratan
konsumen diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini hanus
dilanjutkan melalui berbagai tahap pengembangan dan produksi, bahkan
setelah pengiriman produk kepada konsumen untuk memperoleh umpan
balik. Hal ini karena upaya-upaya perusahaan terhadap peningkatan mutu produk lebih sering mengarah kepada kegiatan-kegiatan inspeksi serta
Memperbaiki cacat dan kegagalan selama pro ses produksi. Bidang-bidang
mcm
fungsional dan kegiatan yang terlibat dalam pendekatan terpadu terhadap
sistem mutu.
Faktor keamanan pangan berkaitan dengan tercemar tidaknya
pangan oleh cemaran mikrobiologis logam berat dan bahan kimia yang
membahayakan kesehatan. Untuk dapat memproduksi pangan yang
bermutu baik dan aman bagi kesehatan, tidak cukup hanya mengandalkan
pengujian akhir di laboratorium saja, akan tetapi juga diperlukan adanya
penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, atau
penerapan sistem produksi pangan yang baik (GMP-Good Manufacturing
Practices dan penerapan analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP
Hazard Analysis and Critical Control Poin). Cara Produksi Makanan ang
Baik (CPMB) atau GMP adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan
yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang
telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai
dengan tuntutan konsumen. Dengan menerapkan GMP, diharapkan
produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu,
amakn i dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya dikonsumen lokal saja tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997). Menurut Fardiaz (997), dua hal yang berkaitan dengan penerapan
GMP di industri pangan adalah CCP dan HAccP. Critical Control Point
(CCP) atau Titik Kendali Kritis adalah setiap titip, uahap atau prosedur
dalam suatu sistem produksi makanan yang jika tidak terkendali dapat
menimbulkan risiko kesehatan yang tidak diinginkan. CCP diterapkan pada
setiap tahap proses mulai dari produksi, pertumbuhan dan pemanenan,
penerimaan dan penanganan ingredien, pengolahan, pengemasan, distribusi
sampai di konsumsi oleh konsumen. Limit kritis (crirical limit adalah
toleransi yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu
ccp secara afektif dapat mengendalikan bahaya mikrobiolgis, kimia
maupun fisik. Limit kritis pada CCP menunjukkan batas keamanan.
Fardiaz (1997, menyatakan bahwa Hazard Analysis and Critical
Control Point (HACCP atau Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis
adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap bahan, produk, atau proses
untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus
mendapatkan pengawasan yang ketat dengan tujuan untuk menjamin bahwa
produk yang dihasilkan aman dan m emenuhi persyaratan yang ditetapkan.
HACCP merupakan suatu sistim pengawasan yang bersifat mencegah
(preventif terhadap kemungkinan lejadinya keracunan atau penyakit
melalui makanan. Menurut Hadiwihardjo (998), sistim HAccP mempunyai tiga
pendekatan penting dalam pengawasan dan pengendalian mutu produk
pangan, yaitu: keamanan pangan (aspek-aspek dalam proses produksi yang
dapat menyebabkan timbulnya penyaki), kesehatan dan kebersihan pangan
%arakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan kontaminasi
produk atau fasilitas sanitasi dan higiene dan kecurangan ekonomi (tindakan
ilegal atau penyelewengan yang dapat merugikan ko nsumen. Tindakan ini
antara lain meliputi pemalsuan bahan baku, penggunaan bahan tambahan
yang berlebihan, berat yang tidak sesuai dengan label "overglazing" dan
jumlah yang kurang dalam kemasan. Konsep HACCP dapat dan harus
diterapkan pada seluruh mata rantai produksi makanan, salah satunya adalah
dalam industri pangan. Hubeis (1997 ) berpendapat bahwa penerapan GMP
dan HACCP merupakan implementasi dan jaminan mutu pangan sehingga
dapat dihasilkan produksi yang tinggi dan bermutu oleh produsen yang pada
akhirnya akan menciptakan kepuasan bagi konsumen.
Menu lkan Patin Goreng" merupakan salah satu menu makanan
untuk pasien kelas dan III di RSUD Ulin Banjarmasin. Pada menu
makanan ini biasanya, perlu diikuti dengan upaya pengendalian produksi
melalui penelitian HACCP (Hazard Analyze of Critical Control Point)
HACCP adalah suatu sistem pengidentifikasian bahaya spesifikasi yang
mungkin timbul dan cara pencegahannya untuk mengendalikan bahaya
tersebut pada suatu produk (Aritonang, 2012). Adapun fungsi HACCP yaitu
untuk mengevaluasi dan memperbaiki cara produksi "Ikan Patin Goreng”,
dengan cara memantau penanganan, pengolahan dan sanitasi dalam proses
produksi serta meningkatkan inspeksi mandiri.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui cara pengawasan pengendalian mutu makanan produk
"Ikan Patin Goreng" di Instalasi Gizi RSUD Ulin Banjamasin.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Mendiskripsikan gambaran produk lkan P atin Goreng
2. Mengidentifikasikan bahaya dan risiko bahaya produk ulkan Patin
Goreng".
3. Menganalisis proses produksi pengolahan produk "Ikan Patin
Goreng".
4. Menganalisis titik kendali kritis produk "Ikan Patin Goreng".
5. Menganalisis operasional matrik rencana HACCP pada produk ulkan
Patin Goreng".
6. Menganalisis Standar operasional Prosedur (SOP) produksi
pembuatan produk "Ikan Patin Goreng".
Ketika NAS membentuk The National Advisory Commi ee on
Microbiological Criteria for Foods (NACMCF, maka konsep HACCP makin
dikembangkan dengan disusunnya 7 prinsip HACCP yang dikenal sampai saat
ini. Konsep HACCP kemudian diadopsi oleh berbagai badan internasional
seperti Codex Alimentarius Commission (CAC) yang kemudian diadopsi oleh
berbagai negara di dunia termasuk Indonesia (Anonim, 2006).
23 Konsep HACCP
Konsep HACCP menurut CAC terdiri dari 12 langkah, dimana 7 prinsip
HACCP tercakup pula di dalamnya Indonesia mengadopsi sistem HACCP versi
CAC tersebut dan menuangkannya dalam acuan SNI 014852-1998 tentang
Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik-Titik Kritis (HACCP) serta
pedoman penerapannya yaitu Pedoman BSN 1004/1999. Sistem yang
penerapannya masih bersifat sukarela ini telah digunakan pula oleh Departemen
Pertanian RI dalam menyusun Pedoman Umun Penyusunan Rencana Kerja
Jaminan Mutu Berdasarkan HACCP atau Pedoman Mutu Nomor 5. Langkah-
langkah penyusunan dan penerapan sistem H
menurut CAC adalah
sebagi berikut:
Tahap I menyusun tim haccp
Tahap 2 deskripsikan produk
Tahap 3 dentifikasi pengguna yang dituju
Tahap 4 susun diagram alir
Tahap 5 verifikasi diagram alir Tahap 6 daftarkan semua bahaya potensial, lakukan analisis bahaya, dan
tentukan tindakan pengendalian (prinsip 1)
Tahap 7 tentukan CCP (prinsip 2)
Tahap 8 tetapkan batas kritis untuk setiap CCP (prinsip 3)
Tahap 9 tetapkan sistem pemantauan untuk setiap CCP prinsip 4)
Tahap 10 etapkan tindakan koreksi untuk penyimpangan yang mungkin
terjadi (prinsip 5)
Tahap 1 tetapkan prosedur verifikasi (prinsip 6
Tahap 12 tetapkan penyimpanan catatan dan dokumentasi (prinsip 70
Langkah-langkah penyusunan dan penerapan sistem HACCP menurut CAC
adalah
1. Pembentukan Tim HACCP
Langkah pertama dalam penyusunan HACCP adalah membentuk
tim yang terdiri dari beberapa anggota dengan latar belakang pendidikan
atau pengalaman keria yang beragam (multi disiplin). Jumlah Tim HACCP
terdiri dari 5-6 orang dari berbagai bagian atau latar belakang keilmuan
misalnya ahli mikrobiologi, sanitasi, ahli kimia, ahli rekayasa, bagian
pembelian, bagian QA/QC dst. Orang-orang yang dilibatkan dalam Tim
yang ideal adalah meliputi (1) Staff Quality Assurance atau Staff Quality
Control. (2) Personil Bagian Produksi (mengerti bahan baku dan proses
produks); dan (3) Personil dari bagian TeknislEngineering, dan (4 Ahli
Mikrobiologi. Salah seorang anggota selanjutnya dipilih sebagai ketua Tim. Ketua Tim hendaknya sudah memahami penyusunan rencana
HACCP atau diantara tim harus sudah ada yang mengikuti pelatihan
HACCP dan/atau audit HACCP. Tim yang dibentuk bertugas menyusun
suatu rencana HACCP. Untuk itu tim harus bertemu secara rutin untuk
melakukan diskusi dan brainstorm dalam menyusun Rencana HACCP
(Anonim, 2006).
2. Mendeskripsikan Produk
penyusunan rencana HACCP adalah
Langkah kedua dalam mendeskripsikan produk. Tim HACCP harus memilih produk mana yang
akan dibuat rencana HACCP nya jika memiliki lebih dari satu jenis produk.
Informasi yang harus ada pada saat mendeskripsikan p meliputi
komposisi, karakteristik produk jadi, metode pengolahan yang diterapkan
kepada produk tersebut (pH, aw, kadar air), metode pengawetan yang
diterapkan kepada produk tersebut, pengemas primer, pengemas untu
transportasi, kondisi penyimpanan, metode distribusi, umur simpan yang
direkomendasikan, pelabelan khusus, petunjuk penggunaan, pengawasan
khusus dalam distribusi dan dimana produk akan dijual (Anonim, 2006).
3. Penentuan Pengguna Produk
Pada tahap ini, Tim HACCP mengidentifikasi cara penggunaan
produk oleh konsumen, cara penyajian, serta kelompok konsumen yang
mengkonsumsi produk Penting diketahui apakah produk akan langsung
dikonsumsi (ready to eat atau akan dimasak terlebih dahulu oleh
konsumen. Harus diingat terdapat kelompok konsumen berisiko tinggi ya ng
meliputi bayi, lansia, kelompok immunocompromised Gbu hamil, orang
sakit, orang yang menjalani kimot pasien AIDs (Anonim, 2006)
4. Diagram Alir Produk
Diagram alir proscs disusun dengan tujuan untuk menggambarkan
keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat
untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan k erjanya, dapat juga
berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin
mengerti proses dan verifikasinya. Diagram alir hanus meliputi seluruh
tahap tahap dalam proses secara jelas mengenai:
a. Rincian seluruh kegiatan proses termasuk inspeksi, transportasi,
penyimpanan dan penundaan dalam proses
b. Bahan-bahan yang dimasukkan kedalam proses seperti bahan baku,
bahan pengemas, air, udara dan bahan kimia,
c. Keluaran dari proses seperti limbah: pengemasan, bahan baku, product-
inprogress, produk reproses k, dan produk yang dibuang reworl
(ditolak)
5. Verifikasi Diagram Alir di Tempat
Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai
dengan pelaksanaan di lapangan, maka tim HAccp harus meninjau
operasinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kes empurnaan
diagram alir proses tersebut. Bila temyata diagram alir proses tersebut tidak
tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir
proses yang telah dibuat dan diverifikasi hanus didokumentasikan. Diagram
alir proses yang harus diverfikasi ditempat, dapat dilakukan dengan cara:
a. Mengamati aliran proses
b. Kegiatan pengambilan sampel
c. Wawancara
d. Mengamati operasi rutin/non-nutin
6. Analisis Bahaya
Analisis bahaya meliputi kegiatan
a. Mengidentifikasi bahaya
b. Menentukan kepentingan (signifikansi bahaya
c. Mengidentifikasi tindakan pencegahan
Identifikasi Bahaya
Dengan merujuk pada diagram alir proses, tim HACCP
mendaftarkan semua bahaya yang nyata atau potensial yang
mungkin diperkirakan layak teriadi pada setiap tahap proses.
Bahaya tersebut meliputi bahaya Biologi atau mikrobiologis,
bahaya kimia dan bahaya fisik (Anonim, 2006.
2) Kajian Risiko (Signifikansi Bahaya
a) Kemungkinan bahaya akan terjadi
Hal ini biasanya disebut PELUANG bahaya akan
terjadi Tim HACCP perlu mempertimbangkan
kemungkinan (peluang) untuk setiap bahaya yang telah
diidentifikasi. Pemeriksaan ini dapat berdasarkan pada pengetahuan dari Tim HAccP; pustaka mengenai
mikrobiologi pangan. HACCP, produk pangan. dan
pengolahan pangan, m ilmiah penelitian jumal akalah
pemasok; produsen pangan atau prosesor lain. informasi
mengenai penarikan produk; keluhan konsumen; daerah-
daerah proses, bahan baku, atau produk yang telah
diidentifikasi merupakan daerah bermasalah. Kemungkinan
bahaya yang terjadi secara sederhana dapat dinilai sebagai
tinggi, sedang, atau rendah (Anonim, 2006).
b Tingkat keseriusan bahaya
Keseriusan bahaya dapat ditetapkan dengan melihat
dampaknya terhadap kesehatan konsumen, dan juga dampak
terhadap reputasi bisnis. Keseriusan bahaya juga dapat
dinilai rendah, sedang atau tinggi (Anonim, 2006). Dengan
menggabungkan peluang dengan berat ringannya bahaya
akan dapat ditetapkan tingkat RISIKo (SIGNIFIKANSI)
bahaya yang dinyatakan sebagai tinggi, sedang atau rendah.
Pendekatan seperti ini dapat digunakan untuk menetapkan
jenis tindakan pengendalian yang harus dimiliki di tempat
dan semakin tinggi risiko bahaya, maka semakin tinggi pula
frekuansi pemantauan yang ditetapkan.
menghilangkan bahaya atau memperkecil pengaruhnya atau
keberadaannya pada tingkat yang dapat diterima. Lebih dari
satu tindakan pencegahan mungkin dibutuhkan untuk
pengendalian bahaya-bahaya yang spesifik dan lebih dari
satu bahaya mungkin dikendalikan oleh tindakan
pencegahan yang spesifik.
Tindakan pencegahan dapat berupa tindakan yang
bersifat kimia, fisik atau lainnya yang dapat mengendalikan
bahaya keamanan pangan. Tindakan pencegahan dalam
mengatasi bahaya dapat lebih dari satu bila dibutuhkan.
Tahap ini merupakan tahap penting setelah analisis bahaya.
Tindakan pencegahan didefinisikan sebagai setiap tindakan
yang dapat menghambat timbulnya bahaya ke dalam produk
dan mengacu pada prosedur operasi yang diterapkan pada
setiap tahap pengolahan. Oleh karena konsep HACCP
bersifat pencegahan, maka dalam mendesain sistem HACCP
tindakan pencegahan harus selalu menjadi perhatinn
(Anonim, 2006).
Berikut beberapa contoh tindakan pencegahan
a. Pemisahan bahan baku dengan produk akhir dalam
penyimpanan.
b. Menggunakan sumber air yang sudah memiliki
persyaratan keamanan, c. Kalibrasi timbangan dan alat pengukur s uhu
d. Menggunakan truk yang dilengkapi fasilitas pengatur
suhu, dll
Hasil analisis bahaya dituangkan dalam Tabel analisis
bahaya.
7. Penetapan Titik Kendali Kritis atau CCP
Untuk setiap bahaya yang signifikan maka hanus ditetapkan apakah
suatu Titik Kendali Kritis atau bukan. Titik kendali kritis adalah suatu tahap
atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya k eamanan
pangan dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai tingkat yang dapat
diterima sehingga resiko dapat diminimalkan. Apabila tahap ini tidak dapat
dikendalikan maka dapat menimbulkan bahaya keamanan pangan. Tim
HACCP menetapkan di manan bahaya-bahaya yang tinggi risikonya dapat
dikendalikan. CCP dapat diidentifikasi dengan menggunakan pengetahuan
tentang proses produksi dan semua potensi bahaya dan signifikasi bahaya
dari analisa bahaya serta tindakan pencegahan yang ditetapkan.
Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar,
dapat digunakan Diagram Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree),
seperti tergambar pada Gambar 2. Diagram pohon keputusan adalah seri
pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya. Jawaban dari s etiap
pertanyaan akan memfasilitasi dan membawa Tim HACCP secara logis
memutuskan apakah CCP atau bukan. Disamping diagram pohon keputusan untuk proses, untuk membantu menetapkan dapat j uga digunakan Pohon
Keputusan CCP untuk bahan baku dan formulasi (Anonim, 2006)
8. Penetapan Batas Kritis
Untuk setiap CCP yang teridentifikasi maka harus ditentukan batas
kritis. Batas kritis ini tidak boleh dilewati untuk menjamin bahwa CCP
secara efektif mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik.
Kriteria yang lazim digunakan untuk menentukan batas kritis adalah criteria
fisik seperti suhu, waktu, tingkat kelembaban, Aw dan kekentalan, s erta
criteria kimia seperti pH. residu klorin bebas, kadar asam tertitrasi,
konsentrasi pengawet, konsentrasi garam.
Kriteria mikrobiologi tidak digunakan sebagai batas kritis karena
pengukurannya memerlukan waktu lama Selain itu pengukuran fisik dan
kimia dapat digunakan sebagai indikator pengukuran atau pengendalian
mikrobiologis. Untuk menetapkan batas kritis dapat digunakan sumber-
sumber data dari artikel dalam jurnal, peraturan dan dokumentasi
pemerintah, panduan dari asosiasi, publikasi dari universitas, riset di pabrik,
konsultan dan pembuat peralatan yang digunakan (Anonim, 2006).
9. Menetapkan Prosedur Monitoring
Prosedur Pemantauan (Monitoring) adalah tahapan pengamatan atau
pengukuran batas kritis secara terencana untuk menghasilkan rekaman yang
tepat dan ditujukan untuk meyakinkan bahwa batas kritis tersebut mampu
mempertahankan keamanan produk. Tim HACCP menetapkan rangkaian
prosedur pemantauan untuk tiap-tiap batas kritis yang ditetapkan yang
mencakup apa, siapa, di mana, kapan dan bagaimana pemantauan tersebut
dilakukan.
Pertanyaan apa dijawab dengan apa yang harus dimonitor, yaitu
berdasarkan batas kritis yang ditetapkan seperti s uhu, waktu, ukuran dan
sebagainya. Pertanyaan mengapa dijawab dengan alasan bahwa apabila
tidak dimonitor dan melampaui batas kritis akan menyebabkan tidak
terkendalinya bahaya tertentu dan memungkinkan menyebabkan tidak
amannya pro-duk. Pertanyaan dimana seharusnya dijawab pada titik mana
atau pada lokasi mana monitoring harus dilakukan. Pertanyaan bagaimana
menanyakan metode monitoring, apakah secara sensori, kimia, atau
pengukuran tertentu. Berikutnya adalah pertanyaan kapan dila
kukan
monitoring, idealnya minimal dimana terjadi interupsi dalam aliran
produksi, atau lot, atau data lain yang menetapkan periode suatu monitoring.
Terakhir adalah pertanyaan siapa yang melakukan monitoring, dimana
idealnya adalah personil yang mempunyai akses yang sangat mudah pada
CCP, mempunyai keterampilan dan pengetahuan akan CCP dan cara
monitoring, sangat terlatih dan berpengalaman. Dengan menetapkan batas kritis maka diperoleh data dan informasi
untuk mendasari keputusan-keputusan, mendapat early warning jika ada
penyimpangan, mencegah/meminimalkan kehilangan produk.
menunjukkan sebab-sebab timbulnya masalah dan menyediakan dokumen
bahwa produk telah dihasilkan sesuai dengan rencana HACCP. Semua
dokumen dan pencatatan yang berhubungan dengan monitoring CCP harus
ditandatangani oleh seseorang yang melakukan monitoring dan oleh
penanggung jawab (Anonim, 2006.
10. Menetapkan Tindakan Koreksi
Tindakan Koreksi adalah semua tindakan yang diambil jika hasil
pemantauan pada CCP menunjukkan penyimpangan batas kritis
kehilangan kendali karena jika kendali hilang, maka produk menjadi tidak
memenuhi syarat. Dalam pelaksanaannya terdapat 2 level tindakan koreksi,
yaitu:
a. Tindakan Segera (immediete Action), yaitu penyesuaian proses agar
menjadi terkontrol kembali dan menangani produk-produk yang
dicurigai terkena dampak penyimpangan.
b. Tindakan Pencegahan preventive Action), yaitu pertanggungjawaban
untuk tindakan koreksi dan pencatatan tindakan koreksi (Anonim,
2006.
11. Menetapkan Prosedur Verifikasi
Tim HACCP menyusun suatu prosedur untuk meyakinkan bahwa
rencana HACCP sudah valid dan bahwa rencana HACCP yang disusun
sudah diimplementasikan seperti yang direncanakan. Verifikasi adalah
aplikasi suatu metode, prosedur, pengujian atau evaluasi lainnya untuk
menetapkan kesesuaian suatu pelaksanaan dengan rencana HACCP
Verifikasi memberi jaminan bahwa rencana HACCP telah sesuai dengan
kegiatan operasional schari-hari dan akan menghasilkan produk (makanan
dengan mutu baik dan/atau aman untuk dikonsumsi. Secara spesifik,
prosedur verifikasi harus menjamin bahwa:
a. Rencana HACCP yang diterapkan benar-benar tepat untuk mencegah
timbulnya
b. bahaya proses dan bahaya produk.
c. Prosedur pemantauan dan tindakan koreksi masih diterapkan.
d. Internal audit, pengujian mikrobiologi kimia pada produk akhir t ercatat
(Anonim, 2006.
12. Dokumentasi dan rekaman yang baik
Dokumen atau Rekaman Data adalah bukti tertulis bahwa suatu
tindakan telah dilakukan. Dokumen diisusun dengan menggunakan
formulir boring. Dokumen tersebut dapat digunakan untuk keperluan
inspeksi dan (2) untuk mempelajari kerusakan yang mengakibatkan
penyimpangan dan menemukan tindakan koreksi yang sesuai. Jenis Dokumen (Rekaman Data) yang harus ada dalam penyusunan rencana
HACCP adalah:
Rencana HACCP dan semua materi pendukungnya
b. Dokumen Pemantauan
c. Dokumen Tindakan Koreksi
d. Dokumen Verifikasi
Dengnn telah disusunnya sistem dokumentasi, maka selesailah
penyusunan rencana HACCP. Rencana HACCP dapat berubah j ika teradi
perubahan pada bahan baku, tata letak pabrik, penggantian peralatan,
perubahan program pembersihan sanitasi, penerapan prosedur-prosedur
baru, perubahan kelompok konsumen produk dan adanya informasi baru
tentang suatu bahaya (Anonim, 2006).
Analisis
Berdasarkan hasil analisis risiko di atas, pengolahan produk "Ikan Patin
Goreng" termasuk dalam kategori bahaya IV, yaitu kategori risiko yang
mengandung 4 risiko bahaya (bahaya A, B, c, D, E, Fl. Risiko bahaya B, yakni
mengandung bahan yang sensitif terhadap bahaya biologis, kimia atau fisik. Risik o
bahaya D, yakni kemungkinan mengalami kontaminasi kembali setelah
pengolahan. Risiko bahaya E, yakni kemungkinan penanganan yang salah selama
distribusi atau konsumsi. Risiko bahaya F, yakni tidak ada cara untuk
mencegah menghilangkan bahaya oleh konsumen, serta produk ini diperuntukkan
bagi konsumen yang memiliki risiko tinggi pasien dan golongan berisiko tinggi)
Dengan demikian, memerlukan pengendalian bahaya. Deskripsi Verifikasi
Proses pengolahan ikan goreng patin diawasi oleh konsultan gizi dan pengawas
dapur. Pengawasan dilakukan sesuai jadwal pengolahan ikan goreng patin. Selama
ini belum pernah ada masalah yang menyebabkan gangguan kesehatan bagi
konsumen pada produk hasil olahan dengan bahan dasar tempe. Artinya, hasil
olahan ikan patin diproduksi di dapur jas aboga selama ini masih aman
dikonsumsi. Perbaikan terhadap penyimpangan cop ikan goreng patin dilakukan
secara menyeluruh dalam semua proses pengolahan makanan mulai dari persiapan,
pemasakan sampai distribusi makanan sebagai pengendalian risiko bahaya.
Pembahasan
nan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan
pangan berkaitan dengan sanitasi makanan, yaitu salah s atuupayapencegahan yang
menitikberatkan pada kegiatan dan tindakan membebaskan makanan dan minuman
dari segala bahaya yang dapat mengganggu atau merusak kesehatan. Mulai dari
sebelum makanan diproduksi, selama proses pengolahan, penyiapan.
pengangkutan, penjualan hingga saat makanan dan minuman tersebut siap untuk
diberikan kepada konsumen (Depkes, 2006
Keamanan pangan merupakan masalah penting, sehingga perlu mendapat
perhatian khusus dalam program pengawasan pangan. Tingkat serangan penyaki
dan kematian yang ditimbulkan melalui makanan hingga saat ini ma sih tinggi.
meskipun prinsip-prinsip yang mendasari pengendaliannya telah diketahui.
Pendekatan tradisional melalui pengawasan pangan yang mengandalkan pada uji
prosuk akhir, dianggap gagal untuk mengatasai masalah yang berkaitan dengan
keamanan pangan. Mutu produk pangan tidak dapat dijamin hanya berdasarkan
hasil uji akhir di laboraturium, tetapi harus diamati sejak dari pengadaan bahan baku, penaganan dan pengolahan, hingga ke tangan konsumen a khir. Produk
atau makanan yang aman untuk dikonsumsi dapat diperoleh dari bahan baku
pangan yang baik, ditangani, diolah, dan didistribusikan secara baik dan benar.
Sebagai upaya mewujudkan keamanan pan
maka dilakukan beberap
kajian yang terkait dengan keamanan pangan. Kajian ini diantara lain adalah Good
Manufacturing Product (GMP), skor keamanan pangan (SKP) dan
HazardAnalize
critical Control Point (HACCP) HACCP adalah suatu sistem mengidentifikasi
bahaya spesifik, yang mungkin timbul dan cara pencegahannya untuk
mengendalikan bahaya tersebut pada suatu produk makanan. Penerapan HACCP
ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, yakni mengenai
pentingnya mencegah penyakit melalui makan dengan cara mencegah teriadinya
keracunan makanan. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui evaluasi c ara
memproduksi bahan pangan, yakni untuk mengetahui proses bahaya, memperbaiki
cara memproduksi bahan pangan melalui evaluasi cara penanganan, pengolahan
dan penerapan sanitasi, meningkatkan pemeriksaan industri pangan. Hal ini
dilakukan secara mandiri oleh karyawan. Pada dasamya m etode HACCP ditujakan
mengedalikan semua potensi bahaya (titik kendali kritis yang mungkin teradi
selama proses produksi.
Pada proses pembuatan ikan goreng patinyang termasuk CCP, yaitu pada tahap
sortasi, pencucian, pencampuran bahan, pengolahan ikan goreng patin
penyimpanan sementara (pendinginan), penyajian dan distribusi ikan goreng patin.
Penerapan HACCP pada Tahap Sortasi
Ikan Patin
Pada tahap sortasi, ikan patin sudah menerapkan prinsip HACCP, yaitu
ikan patin yang disortasi adalah ikan patin yang bermutu baik. masih segar, dan
tidak busuk dan sesuai dengan spesifikasi, sehingga ikan patin aman
untuk
dikonsumsi. Selain itu, sortasi ikan patin sudah memakai perlatan yang taam
dan menggunakannya secara hati-hati agartidak merusak tekstur bahan Tahap
sortasi ikan patin dikatagorikan ccP, karena pada tahapan ini sangat rentan
untuk teriadi komtaminasi dan penyimpanan. Misalnya ikan patin yang datang
dari pemasok tidak sesuai dengan sposifikasi yang telah ditentukan.
o Bumbu
Pada tahap sortasi bumbu sudah menerapkan prinsip HACCP. ywitu bumbu
yang disortasi dalam keadaan masi utuh, tidak busuk, tidak cacat dan masih
segar. Tahap sortasi pada bumbu
dikategorikan CCP, karena pada tahapan ini
sangat rentan untuk teriadi kontaminasi dan penyimpangan. Misalnya bumbu
yang datang dari pemasok tidak sesuai dengan spesifkasiyang telab ditentukan. Penerapan HACCP pada Tahap Pencucian
Proses pencucian bahan makanan bertujuan membersihkan kotoran yang
terdapat pada bahan tersebut, misalnya tanah yang menempel maupun benda
asing Pencucian bahan seharusnya dilakukan satu per satu dengan air mengal
untuk meminimalisir kontaminasi oleh air bekas cucian. Sumber air sebaiknya
berasal dari PDAM, karena airnya telah mengalami klorinisasi untuk
menetralkan air dari mikroba mikroba pathogen.
Bumbu
Tahap pencucian bumbu telah menerapkan HACCP yaitu bumbu
diproses untuk mengurangi atau menghilangkan mikrooganisme yang
terdapat pada produk tersebut, sehingga diharapakan produk makanan
yang dihasilkan menjadi aman untuk dikonsumsi. Proses pencucian
menggunakan air mengalir yang bersih dan dilakukan pembersihan
terhadap kotoran atau benda asing yang menempel. Tahap pencucian
bumbu dikategorikan CPP, karena pada tahapan ini sangat rentan untuk
terjadi kontaminasi oleh air bekas cucian.
Penerapan HACCP pada Tahap Pencampuran Bahana
Tahap pencampuran bahan me prinsip HACCP, yaitu
uran bahan dilakukan dengan menggunakan peralatan yang tepa,
menggunakan sarung tangan, tutup kepala dan masker sehingga dapat
mengurangi kontaminasi terhadap mikrobio. Tahap pencampuran bahan
dikategorikan cop, karena pada tahapan ini sangat rentan untuk terjadi
kontaminasi dan penyimpangan, yaitu adanya cemaran biologi jika tidak
menggunakan tutup kepala, sarung tangan atau masker.
Penerapan HACCP pada Tahap Pengolahan Ikan Goreng Patin
Ikan patin dapat dimanfaatkan secara menyeluruh mulai dari kepala.
daging. sirip tulang, telur, isi perut dan kulit. Sebagian besar ikan patin
dipasarkan dalam bentuk fillet beku dan produk olahan lainnya. oleh karea
sifatnya yang mudah busuk, maka ikan patin dibekukan sehingga dapat
didistribusikan ke berbagai pasar.
Dalam perdagangannya terdapat bermacam-macam produk olahan ikan
patin. Dalam proses pengolahannya, pembekuan merupakan salah satu dari
banyaknya proses pada tahap pembuatan. Umum nya, pembekuan dilakukan
mikroba (Haryadi, 2007. Ikan patin biasanya diolah dari ikan yangmasih h idup sehingga kesegaran hidup, sehingga kesegaran dan mutu hasil olahan sangat baik apabila proses pembekuannya dilakukan
secara cepat. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam industri pengolahan
ikan patin untuk tujuan ekspor tenutama untuk ekspor Uni Eropa, penerapan
GMP, SSOP serta HACCP harus dilakukan untuk memberikan jaminan mutu
dan keamanan pangan.
Penerapan HACCP pada Tahap Penyimpanan Sementara (Pendinginan)
Pada tahap penyimpanan ikan patin berisiko teriadi kontaminasi jika s uhu
penyimpanan tidak sesuai dengan bahan yang akan disimpan. Misalnya pada
penyimpanan ikan patin diharuskan suhu 25 c. penyimpanan dilakukan untuk
memperpanjang masa simpan dengan menginaktivasi mikroorganisme,
sehingga tidak dapat tumbuh pada saat penyimpanan. Sebelum "ikan goreng
patin" didistribusikan ke panelis, produk tersebut ditempatkan pada wadah
(piring kecil dalam keadaan bersih, tetapi pada saat pendistribusian hanya
menggunakan nampan (baki) dan ditutup dengan nempan yang lebih besar,
sehingga dapat menyebabkan kontaminasi karena kurang rapatnya wadah yang
digunakan. Tahap penyimpanan "ikan goreng patin" dikategorikan CCP
karena pada tahapan ini sangat rentan untuk. Teriadi kontaminasi, apa lagi
pendistribusiannya menggunakan nampan (baki dan ditutup dengan nampan
yang lebih besar.
Penerapan HACCP Pada Tahap Penyajian
Pada tahap penyajian kan goreng patin' menerapkan prinsip HACCP.
yaitu dilakukan proses penyajian menggunakan piring kecil dan di sebolahnya
diletakkan sendok plastik kecil yang bersih, sehingga dapat mengurangi
kontaminasi Tahap penyajian ikan goreng patin" dikategorikan ccP, karena
pada tahapan ini sangat rentan untuk teriadi kontaminasi.
Penerapan HACCP Pada Tahap Disribusi
Tahap distribusi makanan ke pasien dari dapur catering Jasaboga, langsung
dilakukan tanpa alat portasi khusus makanan ke pantry Galan kaki). Pada
saat distribusi ikan goreng patin, tenaga pemas ak mengenakan APD (Alat
Pelindung Diri secara lengkap, yaitu dengan menggunakan celemek dan
penutup kepala (beriilbab) serta menggunakan sarung tangan dan masker
sebagai salah satu cara untuk menjaga hygine sanitasi tenaga. Saat distribusi
dari pantry ke tempat pasien hanya menggunakan nampan plastik, sehingga
kontaminasi yang terjadi lebih besar.