Granuloma Piogenik Oral-Laporan Kasus
Dr Mahesh Chavda, Dr Sushma Sanjay, Dr Shefali Sharma
Abstrak
Granuloma piogenik Granuloma piogenik (diketahui juga sebagai “granuloma gravidarum” dan “tumor kehamilan) adalah penyakit oral primer yang muncul di rongga mulut sebagai pertumbuhan jaringan berlebih akibat iritasi, trauma fisik atau faktor hormonal. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan nyeri periodontal dan ketidaknyamanan, pada beberapa kasus akan mengganggu mastikasi dan menyebabkan masalah estetika. Penamaan granuloma piogenik sebenarnya tidak tepat, karena bukan merupakan granuloma sesungguhnya. Pertumbuhan biasanya terlihat pada dewasa muda, dengan kejadian di rongga mulut, khususnya gingiva, laporan kasus ini menjelaskan granuloma piogenik pada pasien laki-laki, ciri klinis dan histopatologi dan juga penanganan lesi. Kata kunci: granuloma piogenik, gingiva, trauma Pendahuluan
Granuloma piogenik adalah hiperplasia akibat inflamasi yang ditemukan di rongga mulut yang bersifat non neoplastic. neoplastic . Hlihen pertama kali menggambarkan kasus granuloma piogenik pada piogenik pada literatur Ingris. Pada tahun tahun 1904, 1904, Hartzell memberi istilah “granuloma “granuloma piogenik piogenik ” atau “granuloma pyogenicum”. pyogenicum”. Granuloma piogenik juga dikenal sebagai sebag ai “eruptive hemangioma”, hemangioma”, “ granulation tissue-type hemangioma”, hemangioma”, “ granuloma gravidarum”, gravidarum ”, “lobular capillary hemangioma”, hemangioma”, dan “tumor kehamilan”. Cawson, pada literatur dermatologi menjelaskan sebagai “ granuloma telangiectaticum” telangiectaticum ” kar ena ena banyaknya pembuluh darah yang terlihat pada potongan histologi. Lesi muncul sebagai akibat dari iritasi lokal, kemungkinan respon berlebih dari berbagai stimulus misalnya iritasi kronis, trauma minor, faktor hormonal atau obat-obatan tetapi pada beberapa kasus mungkin terdapat faktor kondisi hormon, misalnya lesi yang muncul pada kehamilan dan pubertas. Granuloma piogenik umumnya terjadi pada wanita muda pada usia dekade kedua, kemungkinan terjadi akibat e fek vaskular akibat perubahan hormon. Daerah yang paling sering terjadi adalah pada gingiva (mencapai 75%). Dapat juga terjadi pada bibir, lidah, mukosa bukal, palatum dan dasar mulut. Granuloma piogenik tampak seperti massa yang melekat atau memiliki batang ( pedunculated ) yang melebar dengan permukaan yang halus atau berlobus. Penampakan klinis berwarna merah me rah tua atau ata u merah keunguan, permukaannya dapat disertai ulserasi, memiliki kecenderungan berdarah, baik secara spontan maupun akibat sedikit trauma.
Diagnosis banding granuloma piogenik adalah parulis, peripheral giant cell granuloma, peripheral ossifying fibroma, hemangioma, peripheral fibroma, leiomyoma, hemangioendothelioma, hemangiopricytoma, bacillary angiomatosis, Kaposis’s sarcoma, tumor metastasis, tumor kehamilan, dan granuloma pos-ekstraksi. Diagnosis akhir dari granuloma piogenik ditegakkan dengan histologi spesimen setelah biopsi eksisi. Penanganan grauloma piogenik dilakukan dengan eksisi bedah dengan skeling dan kuretase gigi dan permukaan akar gigi yang berdekatan. Granuloma piogenik jarang disertai kapsul pembungkus, granuloma piogenik dapat rekuren jika pembuangan tidak dilakukan dengan bersih. Laporan kasus di bawah membahas granuloma piogenik pada pasien laki-laki, disertai dengan pembahasan histologi dan perawatannya. Laporan kasus
Pasien laki-laki berusia 17 tahun datang ke Rumah Sakt Gigi Ahmedabad dengan keluhan utama kesulitan saat mastikasi dan pendaraan pada gusi saat makan dan menyikat gigi akibat gusi yang bengkak pada sisi kiri sejak satu bulan yang lalu. Satu bulan yang lalu, pasien tidak merasakan adanya gejala (asimtomatik), ia melihat adanya nodula kecil berwarna merah cerah disertai pendarahan. Ukuran lesi kemudian cepat membesar. Riwayat medis dental pasien tidak berhubungan dengan adanya keluhan. Pasien memilki kebisaan mengunyah pan masala selama tiga tahun, namun telah berhenti sejak setahun terakhir dan biasanya menggunakan tusuk gigi untuk membersihkan ruang interdental gigi. Tidak terdapat pembengkakan ekstraoral pada sisi kiri maksila. Pasien afebril dan tidak ditemukan limfadenopati. Pada pemeriksaan intraoral, lesi tampak pada sisi fasial gigi maksila meluas dari interdental antara gigi 21 dan 22 dan menutupi lebih dari 2/3 aspek fasial gigi 22 (Gambar 1). Lesi tampak seperti tumor, nodula, berlobus, exophytic, tampak kemerahan dengan permukaan eritema dan dasar bertangkai. Palpasi pada lesi terasa lunak dan dapat ditekan serta mudah berdarah. Kebersihan rongga mulut sedang. Adanya lesi tersebut menyulitkan pasien untuk melakukan prosedur pembersihan mulut yang menyebabkan penurunan kebersihan mulut sehingga mendukung pertumbuhan lesi. Ketebalan gingiva cekat adekuat. Radiografi periapikal menunjukkan kehilangan tulang ringan. Pemeriksaan darah menunjukkan nilai yang normal.
Perawatan
Profilaksis rongga mulut lengkap dan eksisi lesi dilakukan pada kondisi asepsis. Anestesi dilakukan, kemudian eksisi lesi mencapai mukoperiosteum dilakukan dengan skalpel dan blade, dilanjutkan dengan kuretase dan skeling gigi yang terlibat (Gambar 2). Periodontal dressing diletakkan dan pasien diinstruksikan datang kembali setelah satu minggu untuk membuang pack dan kontrol (Gambar 3). Jaringan eksisi dikirim ke departemen patologi oral untuk dilakukan pemeriksaan. Temuan histologi
Penutupan jaringan ikat di bawahnya. Epitel menunjukkan daerah ulserasi, jaringan ikat longgar dengan vaskularisasi yang tinggi dengan kapiler endotel bertunas dan infiltrasi sel inflamasi kronis. Jaringan ikat menunjukkan proliferasi fibroblas dan serat kolagen di antaranya yang di dalamnya terdapat epitel dengan jaringan ikat dengan sel limfosit dan plasma (Gambar 4). Tidak terdapat atypia atau keganasan. Temuan klinis dan histopatologi mengonfirmasi kasus granuloma piogenik. Pembahasan
Granuloma piogenik cukup sering terjadi, dengan penampakan seperti tumor, merupakan respon jaringan akibat iritasi atau trauma lokal. Granuloma piogenik lebih menunjukkan pertumbuhan kapiler yang menonjol dengan massa granulomatus daripada organisme piogenik dan pus, sehingga penamanan granuloma piogenik kurang repat dan bukan merupakan granuloma dalam artian sebenarnya. Granuloma piogenik dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering terjadi pada perempuan di usia dekade kedua akibat peningkatan sirkulasi hormon esterogen dan progesteron. Yuan dkk menyimpulkan faktor morfogenetik lebih tinggi pada granuloma piogenik dibandingkan gingiva normal yang menunjukkan adanya mekanisme angiogenesis pada granuloma piogenik pada kehamilan, namun, efek hormon kewanitaan pada granuloma piogenik oral dipertanyakan oleh Bhaskar dan Jacoway karena penemuan lesi ini pada laki-laki dan wanita tanpa predileksi yang spesifik. Pada kasus ini, pasien berusia 17 tahun dengan kondisi tubuh sehat. Etiologi dapat dikarenakan kalkulus dan penggunaan tusuk gigi, seperti yang dibahas oleh Ainemo dkk bahwa trauma rekuren menyebabkan pelepasan berbagai endogen dan faktor angiogenik yang menyebabkan peningkatan vaskularitas lesi. Faktor ini dapat berkontribusi dalam perkembangan lesi.
Granuloma piogenik memiliki pola pertumbuhan ynag cepat yang dapat menjadi pertanda. Gingiva maksila (terutama pada regio anterior) lebih sering terlibat daripada gingiva mandibula. Lesi melibatkan gingiva interproksimal dan meningkat ukurannya sehingga menutupi gigi yang berdekatan (Gambar 1). Granuloma piogenik memiliki ukuran yang bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter, tanpa keluhan sakit dan terasa lunak saat dipalpasi. Secara histologis, granuloma piogenik diklasifikasikan sebagai tipe lobular capillary haemangioma (LCH) dan tipe non-LCH. Tipe LCH memiliki proliferasi pembuluh darah yang tersusun dalam agregat lobular, tidak memiliki perubahan spesifik seperti edema, dan tampak pelebaran kapiler atau granulasi inflamasi. Tipe non-LCH memiliki inti vaskular yang menunjukkan jaringan granulasi dengan foci pada jaringan fibrous. Pada daerah tengah granuloma non-LCH, sejumlah pembuluh darah berlebih dengan sel mesenkim perivaskular yang non-reaktif terhadap alpha smooth muscle actin (SMA) lebih terdeteksi dibandingkan dengan daerah lobular pada granuloma piogenik tipe LCH. Laporan biopsi menunjukkan jaringan angiomatus dengan proliferasi sel endotel, infiltrasi sel inflamasi yang terlihat dalam bentuk neutofil, limfosit, dan sel plasma yang dilapisi epitel parakeratin (Gambar 4) dan mengonfirmasi diagnosis granuloma piogenik tipe LCH. Eksisi dan biopsi lesi merupakan perawatan yang disarankan kecuali menyebabkan deformitas dan pada beberapa kasus seperti ini, biopsi insisi disarankan. Bedah eksisi konservatif dari lesi dengan pembuangan iritan misalnya plak, kalkulus dan benda asing disarankan pada lesi berukuran kecil yang tidak sakit dan tidak berdarah. Eksisi lesi gingiva hingga periosteum diikuti dengan skeling dan root planning gigi yang berdekatan untuk membuang sumber iritan sangat disarankan. Perawatan la in misalnya penggunaan laser YAG, laser karbon dioksida, flash lamp pulse dye laser , bedah cryo, electrodessication, sodium tetradecyl sulfate sclerotherapy dan penggunaan steroid intra-lesi digunakan oleh beberapa klinisi. Power dkk melaporkan penggunaan laser YAG untuk eksisi granuloma piogenik dikarenakan risiko penderahan yang kecil dibandingkan teknik lain dan karakter koagulasi yang terbaik. Pada kasus ini, lesi dieksisi secara bedah dan dikirim unutk dilakukan pemeiksaan histopatologi. Skeling dan root planning gigi yang berdekatan dilakukan untuk membuang iritan lokal yang dapat menjadi faktor etiologi primer pada kasus ini dan pasien diinstr uksikan untuk tidak menggunakan alat bantu interdental apapun.
Pertimbangan perawatan selama kehamilan sangat penting, dapat berupa pencegahan misalnya dengan pembersihan rongga mulut dengan hati-hati, pembuangan plak dental dan penggunaan sikat gigi yang halus. Wang dkk merekomendasikan kontrol pendarahan dengan pengeringan pendarahan dengan cara penekanan lesi dengan lembut, transfusi darah pada kasus pendarahan parah dari tumor kehamilan dan pada kasus terminasi kehamilan akibat eklampsia tidak terkontrol. Pada beberapa kasus, penyusutan lesi setelah kehamilan menyebabkan perawatan bedah tidak diperlukan. Namun, jika perawatan diperlukan, perawatan dapat dilakukan pada trimester kedua dengan follow up setelah kelahiran. Eksisi lesi tidak lengkap , kegagalan dalam pembuangan faktor etiologi atau trauma berulang dapat menyebabkan rekurensi lesi. Vilmann dkk menyatakan perlunya follow up pada granuloma piogenik gingiva akibat tingginya kejadian berulang. Pada kasus ini, dilakukan follow up selama satu tahun dan tidak terjadi rekurensi. Kesimpulan
Pada kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa granuloma piogenik dapat dirawat dengan adekuat dengan diagnosis yang tepat rencana perawatan yang sesuai. Penanganan lesi secara hati-hati juga membantu mencegah kejadian rekurensi lesi jinak ini. Gambar 1 (Sebelum bedah)
Gambar 2 (Setelah eksisi)
Gambar 3 (Seminggu setelah bedah)
Gambar 4 (Hisopatologi)