EMBOLI PARU y
Epidemiologi
PE dan DVT merupakan 2 presentasi klinis dari tromboembolisme vena dan memilki faktor predisposisi yang sama. Pada kasus terbanyak PE merupakan konsekuensi dari DVT. Diantara pasien dengan DVT proksimal, sekitar 50 % memiliki asosiasi klinis dengan scan paru dengan penampakan PE. Pada 70% pasien dengan PE, DVT dapat ditemukan di ekstrimitas bawah bila menggunakan pemeriksaan dengan metode yang sensitif. Epidemiologi dari tromboembolisme vena belakangan ini telah dikaji. Meskipun DVT dan PE merupakan manifestasi dari satu penyakit tromboembolisme vena, PE memiliki penampakan yang berbeda bila dibandingkan dengan DVT. Resiko kematian yang berhubungan dengan episode inisial akut atau rekuren pada PE lebih lebih hebat jika dibandingakan dengan pada DVT. Merujuk kepada studi kohort prospektif, fatality prospektif, fatality rate dari kasus akut PE berkisar antara 7 hingga 11 %. Selain itu, episode rekuren PE yang berasal dari PE sekitar 3 kali lipat dibandingkan dengan yang berasal dari DVT (sekitar 60% setelah PE dibandingkan dengan 20 % setelah DVT). Prevalensi dari PE diantara orang-orang yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat, yang mengacu pada data antara 1979 sampai 1999, adalah 0,4 %. Meskipun hanya sekitar 40-53 dari 100.000 orang yang didiagnosa PE dalam setahun, insidens tahunan di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 600.000 kasus. Diantara registerasi regional, analisis pada 2356 autopsi yang dilakukan pada tahun 1987 pada 79% penduduk dari Malmo, Swedia, dengan populasi 230.000, 595 (25%) adalah tromboembolisme vena sedangakan 431 (18,3%) diantaranya adalah PE. Pada 308 (13,1%) otopsi, PE dipertimbangkan sebagai penyebab utama atau penyebab pendukung dari kematian. Insidens PE, yang ditentukan dengan skintigrafi paru, pada periode dan populasi yang sama hanya 48 (2%) kasus pada seluruh bagian Malmo. Dari otopsi,hasil phlebography dan skintigrafi paru, penulis memperkirakan insiden dari tromboembolisme vena di kota Malmo adalah 42,5/10.0000 penduduk/tahun. Meskipun demikian, penghitungan ulang dari data mereka mereka mengindikasikan bahwa insidens insidens dari PE adalah 20,8/10.000 penduduk/tahun. Pada studi yang lebih baru di Britany, Perancis, insidens dari tromboembolisme vena dan PE
adalah 18,3 dan 6/10.000/tahun. Meskipun demikian hasil otopsi tidak ada. Karena itu, insidens sebenarnya dari PE sulit untuk di taksir karena penampakan klinisnya yang t idak spesifik.
y
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyebab emboli paru belum jelas, tetapi hasil penelitian dari autopsi paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan jelas bahwa penyebab penyakit ini adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya tromboemboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluh darah vena di tungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena, amnion, udara, lemak, sumsum tulang, fokus septik, dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar dalam peredaran darah sampai sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang-cabang arteri pulmonal, memberikan akibat timbulnya gejala klinis. Emboli paru karena trombus di d i arteri pulmonalis sangatlah jarang. Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut virchow 1856 meliputi adanya aliran darah yang lambat, kerusakan dinding pembuluh darah vena, serta keadaan darah yang mudah membeku. Aliran darah lambat dapat ditemukan pada beberapa keadaan seperti misalnya pasien mengalami tirah baring yang cukup lama, kegemukan, varises serta gagal jantung kongestif. Darah yang mengalir lambat memberi kesempatan lebih banyak untuk membeku. Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi misalnya akibat operasi, trauma pembuluh darah serta luka bakar. Adanya kerusakan endotel pembuluh vena menyebabkan dikeluarkannya bahan yang dapat mengaktifkan faktor pembekuan darah dan kemudian dimulailah proses pembekuan darah. Keadaan darah mudah membeku juga merupakan faktor predisposisi terjadinya trombus, misalnya keganasan, polisitemia vera, anemia hemolitik, anemia sel sabit, trauma dada, kelainan jantung bawaan, plenektomi dengan trombositosis, hemosistinuria, penggunaan obat kontrasepsi oral serta trombositopati. Selain hal-hal diatas, trombosis vena juga lebih mudah terjadi pada keadaan peningkatan faktor V, VII, fibrinogen abnormal, defisiensi antitrombin II, menurunnya kadar aktivator plasminogen pada endotel vena atau menurunnya pengeluaran aktivator plasminogen akibat berbagai rangsangan, defisiensi protein C, defisiensi protein S.
y
Faktor Risiko
Faktor Risiko yang didapat Faktor-faktor risiko diatas dapat meningkatkan risiko terjadinya trombosis vena dalam akut dan emboli paru. Pada operasi-operasi pada patah bagian panggul serta operasi tumor, faktor risikonya sangatlah tinggi, sama halnya dengan trauma dan luka pada batang otak. Penggunaan obat dapat pula menyebabkan tromboembolisme. Penurunan mobilitas juga dapat meningkatkan
risiko tersebut, walaupun tingkatan dan lamanya pengurangan mobilitas tersebut tidak dapat dijelaskan dengan jelas. Faktor risiko terjadinya suatu tromboembolisme meningkat setelah usia 40 tahun. Pada pasien dengan kondisi kanker, efek prokoagulan dapat pula meningkatkan risiko kejadian tromboembolisme, dimana bisa terjadi obstruksi pada vena oleh tumor, penurunan mobilitas, serta kemoterapi. Antibodi anti fosfolipid berhubungan pula dengan trombosis dan kejadiannya yang berulang.
Penyakit Genetik dan Faktor Risiko terjadinya tromboembolisme Defisiensi protein C, protein S serta antitrombin dapat meningkatkan risiko trombosis dan kejadian tromboembolisme. Faktor V leiden yang menyebabkan aktivasi dari protein C yang resisten, merupakan faktor risiko genetik yang paling sering pada trombofilian. Trias Virchow yang merupakan faktor risiko terjadinya suatu trombolisme ( statis, luka pada vena dan hiperkoagubilitas) masih berhubungan, menggambarkan pengaruh dari genetik dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan lingkungan
y
Patogenesis Trombus berasal dari pembuluh darah arteri dan vena. Trombus arteri terjadi karena
rusaknya dinding pembuluh darah arteri (lapisan intima). Trombus vena terjadi terutama karena aliran darah vena yang lambat, selain dapat pula karena pembekuan darah dalam vena bila ada kerusakan endotel vena. Trombus vena berasal dari pecahan trombus besar yang kemudian terbawa aliran vena. Biasanya trombus vena berisi partikel-partikel fibrin, eritrosit serta trombosit. Ukurannya bervariasi, bisa dari beberapa milimeter sampai sebesar lumen venanya sendiri. Biasanya trombus makin bertambah besar oleh tumpukan trombus lain yang kecil-kecil. Adanya perlambatan aliran darah vena akan makin mempercepat terbentuknya trombus yang lebih besar. Adanya kerusakan dinding pembuluh vena jarang menimbulkan trombus vena. Kondisi darah yang mudah membeku juga amat berpengaruh pada pembentukkan trombus. Faktor-faktor penting yang berperan adalah diaktifkannya faktor-faktor pembekuan darah oleh kolagen, endotoksin dan prokoagulan dari jaringan maligna, selanjutnya tromboplastin dilepaskan kedalam peredaran darah dan pembekuan darah intravaskular mudah terjadi. Keadaan ini sering ditemukan pada persalinan, operasi dan trauma pada organ-organ tubuh. Secara umum dapat dikatakan bahwa tromboemboli paru merupakan komplikasi
trombosis vena dalam pada tungkai bawah atau di tempat lain (jantung kanan, vena besar di pelvis dan lain-lain). Trombus yang lepas ikut aliran darah vena ke jantung kanan dan sesudah mencapai sirkulasi pulmonal tersangkut pada beberapa cabang arteri pulmonalis, dapat menimbulkan obstruksi total atau sebagian dan memberikan akibat lebih lanjut. Trombus pada vena dalam tidak seluruhnya akan lepas dan menjadi tromboemboli, tetapi kira 80% nya akan mengalami pencairan spontan. Trombus primer pada aliran arteri pulmonalis atau cabangcabangnya jarang terjadi. Dari penelitian klinis dan eksperimental pada binatang diketahui bahwa infark paru jarang terjadi pada pasien yang mengalami tromboemboli paru. Diketahui bahwa hanya 10% kasus emboli paru pada manusia diikuti terjadinya infark paru.. Mengapa pada paru jarang terjadi infark paru sesudah ada emboli paru, karena jaringan paru memperoleh oksigen lewat tiga cara, yaitu : dari sirkulasi arteri pulmonalis, dari sirkulasi arteri bronkialis dan dari saluran udara pernapasan. Infark paru akan lebih mudah terjadi apabila terdapat gangguan pada arteri bronkialis disertai gangguan pada saluran udara pernapasan. Mekanisme terjadinya infark paru sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Infark paru sering pada gagal jantung dengan jelas. Infark paru sering terjadi pada gagal jantung, penyakit paru obstruksi kronik dan renjatan yang berlangsung lama. Gagal jantung dan renjatan yang berlangsung lama akan diikuti dengan menurunnya aliran darah ke dalam arteri bronkialis yang kemudian memudahkan terjadinya suatu infark paru. Pada pasien penyakit paru obstruktif kronik terjadi perubahan atau hilangnya struktur normal arteri bronkialis, yang selanjtnya juga memudahnya terjadinya infark paru. Infark paru juga dapat terjadi pada pasien vaskulitis dan emboli septik. Vaskulitis yang terjadi pada arteri bronkialis menimbulkan peradangan dan trombosis dan kemudian terjadi suatu infarkparu karena proses radang yang ditimbulkan oleh mikroorganisme yang dapat menimbulkan nekrosis inflamasi. Pada infark paru,hemostisis timbul setelah 12 jam terjadinya emboli paru dan sesudah 24 jam daerah infark menjadi terbatas dikelilingi oleh daerah paru yang sehat karena adanya konsolidasi perdarahan dan atelektasis. Selanjutnya sel-sel septum intraalveoli mengalami nekrosis dengan oembengkakan dan menghilangnya struktur histologis. Dua minggu sesudahnya mulai terjadinya perubahan dengan adanya penetrasi kapiler-kapiler baru dari daerah paru yang sehat ke arah paru yang terkena infark. Perdarahan secara pelan-pelan mulai terserap dan jaringan yang nekrosis diganti dengan jaringan ikat yang selanjutnya menjadi jaringan parut.
Waktu
yang dibutuhkan untuk terjadinya jaringan parut bergantung pada luasnya infark. Makin
luas infark. Makin luas infark makin lama terjadinya jaringan parut.
y
Patofisiologi Satu dari komponen trias virchow ( stasis, hiperkoagulabilitas dan cedera intimal ),
menggambarkan hampir semua pasien dengan emboli paru. Risiko penyakit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Faktor idiopatik ikut terlibat dalam salah satu faktor yang menyebabkan keadaan protrombotik. Trombosis vena dalam paling sering berasal dari vena yang berasal dari tungkai bawah dan biasanya menyebar ke bagian proksimal sebelum akhirnya mengalami embolisasi. Ada beberapa emboli yang berasal langsung dari trombus vena yang terdapat di tungkai bawah, sekitar 95% trombus mengalami embolisasi ke paru-paru dan melepaskan diri dari vena dalam bagian proksimal bagian bawah kaki ( termasuk bagian atas vena poplitea). Trombosis yang berkembang di vena subklavia aksilaris disebabkan oleh munculnya kateter pada vena sentral, biasanya terdapat pada pasien dengan penyakit yang ganas dan trombosis pada ekstremitas atas yang diinfuksi oleh aktivitas. Kejadian hipoksemia menstimulasi saraf-saraf simpatik yang mengakibatkan vasokonstriksi di pembuluh-pembuluh darah sistemik, meningkatkan vena balik dan strok volume. Pada emboli yang masih masif, kardiak output biasanya berkurang akan tetapi terus-menerus meningkat tekanan pada atrium kanannya. Peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal menghalangi aliran darah ventrikel kanan sehingga mengurangi beban dari ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi dari vaskular oleh emboli berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis. Dengan keadaan lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia yang memburuk, stimulasi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Lebih dari 50% obstruksi yang terdapat pada arteri pulmonalis biasanya muncul sebelum terdapat peningkatan yang besar dari tekanan arteri pulmonalis. Ketika obstruksi yang terdapat pada sirkulasi arteri pulmonalis makin membesar, ventrikel kanan harus menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 50mmHg dan rata-rata tekanan arteri pulmonalis lebih dari 40 mmHg untuk mempertahankan perfusi pulmonal. Pasien dengan penyakit kardiopulmonal sering terjadi kerusakan substansial pada kardiak outputnya dibandingkan dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.
Anamnesa
Pulmonary embolism (PE) adalah kondisi umum yang datang ke gawat darurat. Sebuah studi mengevaluasi pasien dengan pulmonary embolism potensi menunjukkan 7,2% menjadi positif untuk thromboembolism. Gejala yang harus mengarah penyedia untuk mempertimbangkan emboli paru pada diferensial meliputi nyeri dada, nyeri dada dinding, nyeri punggung, nyeri bahu, nyeri perut bagian atas, sinkop, hemoptysis, sesak napas, pernapasan menyakitkan, onset baru mengi, atau yang baru jantung aritmia. Selama bertahun-tahun, algoritma beberapa penilaian telah dikembangkan untuk membantu dokter menilai kemungkinan pretest dari emboli paru dan langsung hasil pemeriksaan tersebut. Yang paling sering direferensikan 4 model probabilitas pretest,
Wells,
14 Jenewa direvisi, 15
Charlotte Kriteria, 16 dan PERC rule17 semua menggunakan variabel historis atau fisik tertentu untuk memprediksi apakah atau tidak pasien mungkin memiliki pulmonary embolism. Dokter telah menggunakan model ini bersama dengan gestalt mereka dan faktor risiko lain untuk membimbing keputusan-keputusan untuk evaluasi.
Sebuah percobaan multicenter berusaha untuk memvalidasi variabel prediktor "eksplisit" yang digunakan dalam model dan juga untuk menentukan lain "implisit" variabel yang biasanya membentuk
gestalt
yang
dokter
gunakan
bersama
dengan
model
variables.
Pemeriksaan fisik Variabel pemeriksaan fisik dari model yang memiliki nilai prediktif yang signifikan secara statistik untuk emboli paru adalah sebagai ber ikut: * Sepihak kaki bengkak * Hipoksemia (saturasi <95%) * Pulse> 94 denyut per menit Pemeriksaan dada merupakan bagian penting dari pemeriksaan fisik pasien menyajikan dengan dada atau keluhan paru, namun, tidak ada temuan khusus atau penting lainnya dari takikardia untuk menunjuk ke pulmonary embolism. Massive pulmonary embolism (PE) menyebabkan hipot ensi karena pulmonale cor akut , tetapi temuan pemeriksaan fisik pada awal PE submasif mungkin normal. Setelah 24-72 jam, hilangnya surfaktan paru sering menyebabkan atelektasis dan infiltrat alveolar yang dibedakan dari pneumonia pada pemeriksaan klinis dan radiografi. Mengi dapat ditemukan, namun, ini biasanya temuan kemudian. Hal ini juga bisa menyarankan diagnosis alternatif. y
Manifestasi Klinik Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik baik trombosis vena dalam maupun emboli paru
biasanya tidak spesifik. Pasien dengan trombosis pada vena ekstremitas bawah biasanya tidak disertai dengan eritema, demam, nyeri, dan bengkak. Ketika tanda-tanda tersebut muncul, biasanya tanda tersebut tidaklah spesifik akan tetapi bila dievaluasi kembali bisa dinilai. Nyeri dengan dorsi eksi pada bagian kaki (tanda homans) akan muncul pada trombosis vena dalam, akan tetapi kadang tanda ini juga kurang sensitif. Gejala yang paling sering terjadi emboli paru yaitu sesak napas, lalu nyeri dada pleuritik dan muntah darah yang terjadi pada infark pulmonal yang disebabkan oleh emboli yang lebih kecil di bagian perifer. Palpitasi, batuk, kecemasan
biasanya merupakan gejala-gejala yang tidak spesifik pada emboli pulmonal akut. Sinkop biasanya muncul pada emboli pulmonal yang masih masiv. Takipneu dan takikardi merupakan tanda dari emboli paru yang paling umum, akan tetapi memang masih tidak spesifik. Gejalagejala lain yang muncul juga meliputi demam, wheezing, nyeri pada pleura, serta pengangkatan ventrikel kanan. Sesak napas, takipneu serta hipoksemia pada pasien biasanya diikuti pada pasien-pasien dengan penyakit kard iopulmonal. 1. Gambaran klinis emboli paru masif Emboli paru masif memberikan gejala karena tersumbatnya ateri pulmonalis atau cabang pertama. Pasien akan mengalami pingsan mendadak, renjatan, pucat dan berkeringat, nyeri dada sentral atau sesak napas. Napas sangatlah cepat. Kesadaran mungkin hilang untuk sementara. Denyut nadi kecil dan cepat. Tekanan darah turun. Bagian perifer menjadi pucat dan dingin. Ditemukan tanda sianosis tipe sentral, yang mungkin tidak responsif terhadap pemberian oksigen. Apabila pasien menjadi sadar, dia akan merasakan nyeri dada yang sangat hebat. Pemeriksaan terhadap jantung, selain adanya hipotensi akan ditemukan tanda-tanda beban jantung kanan berlebihan, misalnya dapat ditemukannya vena jugularis terisi penuh, hepatojugularis refluks positif, adanya tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan, bunyi jantung P2 mengeras dan bising sistolik akibat insufisiensi katup trikuspid. 2. Gambaran klinis emboli paru ukuran sedang Biasanya emboli paru akan menyumbat
cabang arteri pulmonalis segmental dan
subsegmental. Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri pleura, sesak napas, demam, hemoptisis. Tidak ditemukannya sinkop atau hipotensi, kecuali apabila telah ada kelainan jantung dan paru sebelumnya. Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan tanda-tanda kelainan yang nyata, kecuali pada pasien yang menderita emboli berulang, dapat timbul korpulmonal dengan hipertensi pulmonal berat dan berlanjut dengan timbulnya gagal jantung. Pada pemeriksaan paru ditemukan : tanda-tanda pleuritis, area konsolidasi paru, tandatanda fisis adanya suatu efusi pleura. Bila terdapat nyeri tekan diatas daerah efusi pleura mungkin terdapat empiema. Apabila terdapat infark paru, dapat ditemukan adanya demam, leukositosis dan ikterus ringan. Emboli paru ukuran sedang dapat terjadi m
berulang dalam beberapa bulan atau tahun berikutnya, terutama pada pasien usia lanjut yang tirah baring lama. 3. Gambaran klinis emboli paru ukuran kecil Tromboemboli paru ukuran kecil sering luput dari perhatian karena sumbatan mengenai cabang-cabang arteri pulmonalis yang kecil. Baru sesudah sebagian besar sirkulasi pulmonal tersumbat, muncullah gejala-gejala. Gejalanya yaitu sesak napas waktu bekerja mirip dengan keluhan pasien gagal jantung kiri. Apabial emboli paru datang berulang dan berlangsung sampai berbulan-bulan maka akan mengakibatkan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal ini akan mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan. Adanya keluhan mudah lelah, pingsan waktu bekerja dan angina pectoris menunjukkan bahwa curah jantung sudah terbatas 4. Gambaran Klinis Infark Paru Gambaran klinis infark paru menyerupai emboli paru. Mungkin ditemukan sesak napas mendadak, takipneu, batuj-batuk, hemoptisis, nyeri pleuritik. Nyeri pleuritik tersebut menyebabkan pergerakan dada daerah yang terkena menjadi lebih berkurang. Gejala umum lainnya misalnya terdapat demam dan takikardi. Apabila sumbatan emboli paru mengenai arteri atau cabang yag besar, maka tanda-tanda gangguan hemodinamik akan lebih menonjol, misalnya tekan vena jugularis meninggi, renjatan, hipotensi, sianosis sentral dan tanda-tanda kegagalan jantung kanan lainnya. Apabila sumbatan emboli paru mengenai arteri/cabang (kecil), yang mencolok tanda klinisnya ialah gangguan respirasi. Hilangnya surfaktan dari sebagaian besar alveoli paru karena iskemia paru akan menyebabkan terjadinya atelektasis paru yang progresif. Tanda-tanda fisis paru sebenarnya terbagi menjadi tiga bagian : pleuritis, elevasi diafragma daerah yang terkena serta tanda-tanda konsolidasi daerah paru yang terkena.
Pemeriksaan Penunjang Kelainan laboratorium ( darah tepi, kimia darah, analisis gas darah, elektrokardiografi, dan radiologi) yang ditemukan pada pasien emboli paru merupakan kelainan yang tidak spesifik, serta tidak dapat menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium tersebut penting dilakukan dengan tujuan atau dapat dimanfaatkan untuk menyingkirkan penyakit lainnya. 1. Pemeriksaan darah tepi
Kadang-kadang ditemukan leukositosis dan laju endap darah yang sedikit meninggi. 2. Pemeriksaan D-dimer D-dimer plasma, produk hasil degradasi dari fibrin yang berikatan silang ( cross-linked fibrin), telah diteliti secara bertahun-tahun. Kadar D-dimer yang meningkat di plasma yang terdapat pemebkuan akut didalamnya karena aktivasi terus menerus dari pembekuan dan fibrinolisis. Karena itu nilai normal D-dimer pada fase akut dari PE dan DVT tidaklah mungkin, dengan kata lain nilai duga negatif D dimer tinggi. Sebaliknya, meskipun D-dimer sangat spesifik untuk fibrin,
spesifitas untuk fibrin karena
tromboempolisme vena rendah karena fibrin di produksi oleh banyak faktor seperti penuaan, kanker, atau peradangan, infeksi, nekrosis, diseksi aorta karena itu nilai duga positif untuk D-dimer rendah. Karena itu, D-dimer tidak berguna ntuk menegakkan diagnosis PE. Ada berbagai macam tes D-dimer, beberapa di antaranya tidak cocok sebagai tes diagnostik untuk emboli paru. D-dimer tes yang telah disahkan sebagai tes untuk emboli paru bervariasi dalam sensitivitas dan spesifisitas, sebagian karena perbedaan dalam akurasi mereka dan sebagian lagi karena nilai cutoff yang mereka gunakan untuk mendefinisikan normalitas (yaitu, trade-off antara sensitivitas dan spesifisitas) . Dalam prakteknya, sebagian besar tergantung pada sensitivitas dan terkait rasio kemungkinan negatif. 3. Kimia darah Pada emboli paru masih dapat ditemukan peningkatan kadar enzim SGOT, LDH dan CPK yang arti klinisnya masih belum jelas. Terdapat peningkatan kadar FDP yang mencapai puncaknya pada hari ketiga serangan. Parameter laboratorium ini lebih mempunyai arti klinis mengingat angka negatif atau positif palsunya relatif kecil. 4. Analisis gas darah Biasanya didapatkan PaO2 rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pasien dengan serangan emboli paru mempunyai PaO2 lebih dari 80mmHg. Menurunnya PaO2 disebabkan gagalnya fungsi perfusi dan ventilasi paru. PaCO2 umumnya dibawah 40mmHg dan penurunan PaCO2 ini terjadi karena reaksi kompensasi hiperventilasi sekunder. 5. Elektrokardiografi
Kelainan yang ditemukan pada EKG juga tidaklah spesifik untuk emboli paru, tetapi tidak dapat dipakai sebagai petanda pertama dugaan adanya emboli paru, terlebih kalau digabungkan dengan keluhan dan gambaran klinis lainnya. Pada emboli paru masif kirakira 77% kasus akan menunjukkan gambaran EKG seperti pada pasien korpulmonal akut sebagai berikut : y
Adanya strain ventrikel kanan
y
Perputaran searah jarum jam dan ditemukannya gambaran rS atau RS pada V1 sampai V5/V6 dan juga qR pada V1 dan V2
y
Terdapat tanda klasik korpulmonal akut S1Q3 atau S1 Q3 T3 juga QR pada aVF dan III serta elevasi segmen ST menyerupai infark miokard akut
y
Terdapat RBBB komplet atau inkomplet
y
Gelombang P pulmonal pada II, III, dan aVF
y
Lain-lain : aritmia, takikardi dan gelepar atrial
6. Kelainan radiologis Pada pemeriksaan foto rongent dada pasien emboli, biasanya ditemukan kelainan, yang sering berhubungan adanya kelainan penyakit kronik paru atau jantung. Memang tidak ada gambaran patognomonik untuk emboli paru pada hasil foto dada. Pada pasien emboli paru tanda radiologik yang sering didapatkan adalah pembesaran arteri pulmonalis desendens, peninggian diafragma bilateral, pembesaran jantung kanan, densitas paru daerah terkena dan tanda western mark. Pembesaran arteri pulmonalis desendens disebabkan karena peningkatan terkanan arteri tersebut dan menyebabkan dilatasi pembuluh darah diatas obstruksi. Pembesaran jantung kanan bervariasi besarnya, sering-sering sulit dideteksi. Tanda western mark yaitu suatu hiperlusens paru dan ini dianggap paling khas pada emboli paru. Computed tomography (CT) tradisional tidak cocok untuk mengevaluasi emboli paru diduga, karena tidak layak untuk kepekatan arteri paru dengan kontras radiografi untuk waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pencitraan (sekitar 3 menit) dan, bahkan jika ini bisa dicapai, gerak artefak akan mengganggu kualitas gambar. Masalah ini diatasi dengan CT heliks (juga dikenal sebagai spiral atau CT volume kontinu) sebagai akuisisi gambar dapat diselesaikan dalam menahan nafas tunggal (misalnya, sekitar 20 detik), CT heliks Meskipun banyak digunakan dalam praktek klinis, baru-baru ini, tinjauan studi yang dievaluasi keakuratan CT heliks untuk diagnosis emboli paru menyimpulkan bahwa teknik ini telah dievaluasi secara
memadai untuk tujuan ini., Karena pengkajian, 2 studi telah membantu untuk menjelaskan akurasi, kekuatan dan keterbatasan CT heliks untuk diagnosis emboli. Pertama, di antara 299 pasien yang tidak memiliki pulmonary embolism dikeluarkan oleh hasil D-dimer negatif yang sangat sensitif (emboli paru prevalensi dari 39%), CT heliks memiliki sensitivitas 70%, spesifisitas tunggal sebesar 91%, rasio kemungkinan positif 8,0, rasio kemungkinan negatif dari 0,3, nilai prediktif keseluruhan positif 84% dan nilai prediksi negatif sebesar 82%. Nilai prediktif positif CT bervariasi menurut tingkat anatomi: 100% di arteri paru utama, 85% di lobar dan hanya 62% di segmen (hasil 16% CT abnormal) arteri paru arteri paru Subsegmental tidak sistematis dievaluasi dalam penelitian ini. Dalam studi kedua, yang prospektif dibandingkan CT heliks ke paru diagnostik pemindaian (scan normal atau tinggi probabilitas) atau paru-paru angiografi pada 230 pasien, CT heliks memiliki sensitifitas 86% untuk emboli paru segmental atau lebih besar dan 21% untuk emboli paru subsegmental ( 21% dari total emboli paru), sensitivitas Secara keseluruhan untuk emboli paru adalah 69% dan spesifisitas 86%.
Hasil gabungan dari sejumlah studi menunjukkan bahwa sensitivitas CT heliks untuk emboli paru terisolasi subsegmental adalah sekitar 30%, dan emboli tersebut mencapai sekitar 20% dari . gejala emboli paru Karena pasien dengan terisolasi subsegmental paru emboli juga cenderung memiliki risiko yang besar kekambuhan, emboli ini tidak dapat dianggap sebagai secara klinis tidak penting.
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan hasil sebagai berikut dengan CT heliks. cacat mengisi Pertama, intraluminal di lobar atau arteri paru utama memiliki nilai prediktif positif untuk pulmonary embolism minimal 85% dan dapat diinterpretasikan dalam cara yang sama sebagai probabilitas tinggi ventilasi-perfusi scan. Kedua, cacat intraluminal yang terbatas pada segmental, dan terutama subsegmental, arteri paru-paru yang nondiagnostic dan membutuhkan pengujian lebih lanjut. Ketiga, CT heliks normal secara substansial mengurangi kemungkinan emboli paru. Sebuah frekuensi emboli paru sekitar 5%, selama masa tindak lanjut atau angiografi paru, pada pasien dengan scan paru-paru nondiagnostic, normal helical CT scan dan ultrasonografi vena normal menekankan bahwa CT scan normal saja tidak mengecualikan emboli paru.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah dievaluasi kurang baik bila dibandingkan dengan CT heliks untuk diagnosis emboli paru, namun tampaknya memiliki akurasi yang sama. Baik heliks CT dan MRI memiliki keuntungan bahwa mereka dapat mengungkapkan diagnosis paru alternatif. dan kedua pemeriksaan dapat diperpanjang untuk mencari bersamaan DVT. MRI juga menghindari paparan radiasi dan kontras radiografi. Hal ini diantisipasi bahwa diagnosis emboli paru oleh CT dan MRI akan terus meningkatkan, dan scanner modern sudah mungkin lebih akurat daripada yang digunakan dalam penelitian yang diterbitkan menggunakan teknologi yang lebih tua. Yang lainnya adalah angiographi paru, perkusi ventilasi scan paru, ataupun dengan usg pembulluh darah paru.
y
Kegawatan dari emboli paru
Kegawatan dari emboli paru sebaiknya dipahami sebagai perkiraan dari resiko mortalitas dini daripada sebagai kelainan anataomis maupun bentuk dan distribusi dari emboli intrapulmonar. Karena itu, pedoman terbaru menyarankan untuk mengganti sebutan µmasif¶, µsubmasif¶ dan µnon-masif¶ menjadi tingkat perkiraan resiko kematian dini yang berk aitan dengan PE. PE dapat dugolongkan menjadi beberapa tingkatan dari resiko kematian dini berdasarkan keberadaan dari petanda-petanda resiko. Untuk kepentingan praktis, petanda-petanda yang berguna untuk penggolongan pada PE diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.
Penilaian klinis langsung di tempat tidur untuk ada atau tidaknya petanda-petanda klinis dapat langsung membagi ke dalam golongan resiko tinggi dan tidak resiko tinggi. Klasifikasi ini sebaiknya juga diterapkan pada pasien yang dicurigai menderita PE, karena akan membantu dalam pemilihan strategi diagnostik dan penata laksanaan inisial.
PE dengan resiko tinggi merupakan keadaan mengancam jiwa dalam kegawatdaruratan yang memerlukan diagnostik yang spesifik dan strateg i terapi (mortalitas dalam waktu singkat >15%). PE tidak beresiko tinggi lebih lanjut dapat di golongkan berdasarkan ada atau tidaknya keberadaan dari petanda disfungsi ventrikel kanan dan/atau luka miokardial (myocardial injury) kedalam golongan resiko menengah dan resiko rendah. PE resiko menengah di diagnosis bila terdapat paling tidak satu petanda disfungsi ventrikel kanan atau petanda luka miokardial yang positif. Resiko rendah
y
Penatalaksanaan 1. Anti Koagulan Istirahat tidaklah disarankan untuk trombosis vena dalam biarpun terdapat suatu nyeri atau bengkak, karena pada kejadian emboli paru, tindakan ini tidaklah efisien. Ketika suatu emboli paru terdiagnosis, pasien biasanya istirahat selama 24 hingga 48 jam, diikuti dengan pemberian heparin sebagai terapi. Terapi tersebut dapat digunakan
untuk mengubah kualitas hidup dan mengurangi biaya perawatan, walaupn memang tidak efisien sekali. Pasien dengan tindakan tersebut, biasanya akan lebih kuat. Ketika emboli paru akut muncul, anti koagulan parenteral dengan molekul heparin yang rendah, pentasakarida fondaparinux dan heparin yang utuh seharusnya tidak dijadikan suatu kontraindikasi.
Walaupun
mereka bukanlah suatu anti trombolitik,
obat-obat tersebut dapat diterima oleh sistem fibrinolisis yang dapat menurunkan tromboembolisme. Antikoagulan dapat mengubah lama hidup pasien dengan gejalagejala emboli paru, akan tetapi risiko untuk terjadinya suatu perulangan sebesar 5 hingga 10% pada tahun pertama setelah didiagnosis. Apabila kecurigaan terhadap emboli paru tinggi, antikoagulan parenteral seharusnya dipertimbangkan sebelum dilakukan pencitraan, sejauh risiko perdarahan tidak terjadi.
Warfarin
dapat
digunakan sebagai terapi awal. Heparin subkutaneus dengan berat molekul yang rendah, fondaparinux atau heparin intravena yang utuh seharusnya disebarkan selama kurang lebih 5 hari, dan diberikan sampai rasio yang normal tercapai (2 hingga 3). Standar administrasi heparin, aktivasi dari waktu tromboplastin seharusnya dapat dihitung dalam rentang waktu 6 jam sampai tercapai rentang terapi ( 1,5 hingga 2,5). Emboli paru akut memerlukan terapi jangka pendek awal dengan antikoagulan onset cepat, diikuti dengan terapi dengan antagonis vitamin K selama setidaknya 3 bulan, mayoritas pasien dengan emboli paru akut adalah kandidat untuk pengobatan antikoagulan awal dengan heparin bermolekul rendah atau fondaparinux atau heparin tak terpecah intravena, Enoxaparin (dosis 1 mg per kilogram berat badan yang diberikan dua kali sehari) dan tinzaparin (175 U per kilogram diberikan sekali sehari) umum digunakan untuk pengobatan emboli paru. Fondaparinux diberikan sekali sehari dengan dosis 5 mg untuk pasien dengan berat kurang dari 50 kg (110 lb), 7,5 mg untuk pasien dengan berat 50 sampai 100 kg (220 lb), dan 10 mg untuk pasien dengan berat lebih dari 100 kg. Intravena heparin tak terpecah diberikan sebagai dosis awal bolus (80 IU per kilogram atau 5000 IU), diikuti dengan infus kontinu (biasanya dimulai dengan 18 IU per kilogram per jam) dengan penyesuaian untuk mencapai target waktu tromboplastin diaktifkan yang 1,5 hingga 2,5 kali nilai normal, menurut divalidasi nomograms.
Heparin bermolekul berat rendah dan fondaparinux lebih disukai daripada heparin tak terpecah untuk kemudahan penggunaan. Sebuah meta-analisa dari 12 studi menunjukkan bahwa pengobatan dengan heparin dengan berberat molekul rendah disesuaikan dengan berat badan memiliki profil efikasi dan keamanan yang sama dengan yang heparin intravena tak terpecahkan fondaparinux. Sejak heparin dengan berat molekul rendah dan fondaparinux diekskresikan oleh ginjal, heparin tak terpecah harus dipertimbangkan pada pasien dengan bersihan kreatinin kurang dari 30 ml per menit. Kejadian komplikasi perdarahan besar dengan strategi-strategi pengobatan adalah sekitar 3% selama tinggal di rumah sakit. Peninjauan sistematis baru-baru ini 11 studi tidak acak menunjukkan bahwa mungkin untuk mengobati pasien rendah risiko secara efektif dan aman di rumah jika rawat jalan yang tepat. Namun, pendekatan ini kontroversial dan harus disediakan untuk pasien tertentu.
Dalam sebuah penelitian terbuka yang melibatkan pasien dengan hemodinamik stabil, trombolisis intravena mengurangi laju kerusakan klinis (terutama, kebutuhan untuk trombolisis
sekunder)
tetapi
tidak
tingkat
kematian,
dibandingkan
dengan
penggunaan heparin tak terpecah intravena pengobatan trombolitik dikaitkan dengan resolusi lebih cepat dari disfungsi ventrikel kanan. Namun, tingkat disfungsi ventrikel kanan adalah serupa pada kedua kelompok perlakuan. Tidak ada keuntungan jelas trombolisis kateter-diarahkan, dibandingkan dengan trombolisis intravena yang telah terbukti.
Vitamin K antagonis harus dimulai sesegera mungkin, lebih disukai pada hari perawatan pertama, dan heparin harus dihentikan jika rasio normalisasi internasional (INR) telah 2.0 atau lebih tinggi selama paling sedikit 24 hours.s berisiko tinggi u ntuk kambuh, lebih Terapi diperpanjang diperlukan . Pada pasien dengan probabilitas tinggi klinis emboli paru, pengobatan antikoagulan harus dimulai saat konfirmasi diagnostik ditunggu.
Diagnosis banding Apabila ada kecurigaan adanya emboli paru atau infark paru pada seorang pasien, sedangkan pemeriksaan definitif untuk memastikandiagosisnya belum dilakukan, perlu diingat diagnosis banding terhadap kelainan yang dihadapi. Pemeriksaan definitif yang dimaksud disini ialah pemeriksaan sidikan perfusi y
Diagnosis emboli paru masif disertai adanya nyeri dada mendadak dan hipotensi adalah infark miokard akut, aneurisma aorta disekan, gagal jantung kiri berat dan ruptrur esofagus.
y
Diagnosis banding emboli paru ukuran sedang tanpa adanya infark paru adalah sindrom hiperventilasi, asma bronkial dsb
y
Diagnosis banding emboli paru akut dengan infark paru adalah pneumonia, sumbatan bronkus dengan lendir pekat, karsinoma paru dengan peneumonia pascaobstruksi dan tuberkulosis paru.
Pencegahan Pencegahan terhadap timbulnya trombosis vena dalam dan tromboemboli paru dilakukan dengan tindakan-tindakan fisis, suntikan heparin dosis kecil dan obat antiplatelet pada pasien-pasien risiko tinggi. Tindakan-tindakan fisis misalnya pemasangan stocking elastik dan kompresi udara intermitten pada tungkai bawah. Pemakaian stocking elastik mungkin efektif untuk mencegah timbulnya trombosis vena dalam. Pemasangan alat kompresi udara intermitten pascaoperasi pada tungkai bawah dianjurkan pada pasien sesudah taraf pembedahan saraf prostat atau lutut. Tindakan-tindakan lain untuk mencegah trombosis vena dalam misalnya mobilisasi dini sesudah pembedahan, kaki letaknya ditinggikan pada pasien tirah baring dan latihan aktif dan pasif menggerakkan kaki pada pasien tirah baring. Suntikan heparin dosis rendah, 5000 unit subkutan diberikan tiap 8-12 jam, dimulai 2 jam sebelum operasi. Monitoring sama seperti pengobatan heparin. Pencegahan dengan obat antitrombosit dalam mencegah trombosis vena dalam belum ada bukti keberhasilannya.
Prognosis Prognosis emboli paru jika terapi yang tepat dapat segera diberikan adalah baik. Emboli paru juga dapat menyebabkan kematian mendadak. Prognosis emboli paru tergantung pada penyakit yang mendasarinya, juga tergantung pada ketepatan diagnosis dan pengobatan yang diberikan. Umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Pada emboli paru masif prognosisnya lebih buruk lagi, karena 70% dapat mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut. Prognosis juga buruk pada pasien emboli paru kronik dan yang sering mengalami ulangan serangan. Resolusi emboli paru dapat terjadi dengan terapi trombolitik yang progresif. Umumnya resolusi dapat dicapai dalam waktu 30 jam. Resolusi komplet terjadi dalam waktu 7-19 hari, variasinya tergantung pada kapan mulai terapi, adekuat tidaknya terapi dan besar kecilnya emboli yang terjadi. Penatalaksanaan Penyakit emboli paru terutama emboli paru masif dan infark paru merupakan keadaan gawat darurat, sehingga memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan seksama. Pengobatan emboli paru maupun infark paru boleh dikatakan mempunyai prinsip-prinsip terapi yang sama, sehingga uraian ini keduanya sudah dicangkup. Karena keadaan gawat darurat tersebut dan karena pasien memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan seksama tadi, maka sejak awal menghadapi pasien dengan kecurigaan terhadap adanya emboli paru atau infark paru, tindakan yang bersifat preventif ataupun terupetik sudah dilaksanakn sejak penegakan diagnosis dilakukan. Untuk keperluan ini biasanya dokter yang menangani pasien menggunakan bagan atau algoritma diagnosis atau pemantauan. Pengobatan yang diberikan kepada pasien emboli paru atau infark paru, terdiri atas : tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien, pengobatan atas dasar indikasi khusus, pengobatan utama terhadap emboli paru atau infark paru serta pengobatan lainnya. y
Pengobatan anti koagulan Heparin sekarang ini merupakan pengobatan standar awal pada pasien dengan
tromboemboli vena, mengingat kebaikannya : karena dapat mencapai tujuan pertama yaitu tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Mempermudah tujuan kedua yaitu pengobatan atas dasar indikasi khusus
dengan membuat pelarutan trombus oleh sifat
fibrinolitik tetapi tidak dihambat oleh pertumbuhan trombus, heparin membantu mencegah emboli ulang dan heparin dapat juga menhambat penglepasan tromboksan dan serotonin pada tempat emboli lagi pula efek heparin reversibel. Pemberian heparin dapat dengan berbagai macam cara menurut keadaan pasien yaitu drip heparin dengan infus intravena, suntikan intravena intermitten dan suntikan subkutan. Pemberian drip heparin lewat infus kontinu intravena lebih disukai dibandingkan pemberian intravena intermitten karena efek samping perdarahan kurang sering. Dosis heparin bolus 3000-5000 unit intravena diikuti sebanyak 30.000-35.000 unit per hari dalam infus glukosa 5% atau NaCl 0,9% atau disesuaikan sampai dicapai hasil pengobatan heparin, dengan target pemeriksaan PTT mencapai 1,5-2 kali nilai normal. Lama pengobatan diberikan 7-10 hari, selanjutnya obat anti koagulan oral. Pada emboli paru yang tidak masif, heparin diberikan 5000 unit tiap 4 jam, sesudah 48 jam diberikan pula obat antikoagulan oral. Sedangkan pada emboli paru masif, dosis he[arin ditingkatkan menjadi 10.000 unit tiap 4jam. Pemberian heparin subkutan lebih menguntungkan karena pemberiannya lebih mudah, mobilisasi lebih cepat dan bisa untuk pasien rawat jalan. Dosis mulai dengan suntikan bolus intravena 3000-5000 unti bersama suntikan subkutan pertama, kemudian suntikan subkutan diberikan 5000 unit/4 jam atau 10000 unit /8 jam atau 15.000-20.000 unit tiap 12 jam sampai PTT 1,5-2,5 kali nilai normal. Heparin tidak boleh diberikan intramuskular karena dapat menimbulkan hematom pada tempat suntikan. Keberhasilan pengobatan heparin ini dapat mencapai 92% dan heparin dapat diberikan kepada perempuan hamil karena heparin tidak dapat melewati plasenta.
y
Pengobatan trombolitik Cara ini merupakan pengobatan definitif, karena bertujuan menghilangkan sumbatan
mekanik karena tromboemboli. Cara kerja obat ini adalah mengadakan trombolisis. Obat yang tersedia ada dua sediaan yaitu streptokinase dan urokinase. Streptokinase merupakan protein non enzim, disekresikan oleh kuman streptokinase beta hemolitik grup C. Sedangkan urokinase merupakan protein enzim, dihasilkan oleh parenkim ginjal manusia. Urokinase sekarang dapat diproduksi lewat kultur jaringan ginjal. Streptokinase dan urokinase sebagai obat trombolitik, ketjanya akan memperkuat aktifitas fobrinolisis endogen dengan lebih mengaktifkan plasmin. Palasmin dapat langsung melisiskan
dan mempunyai efek sekunder sebagai anti koagulan. Terapi trombolitik selain mempercepat resolusi emboli paru, juga dapat menurunkan tekanan di arteri pulmonalis dan jantung kanan, serta memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan kanan pada kasus-kasus yang jelas menderita emboli paru. Terapi trombolitik sering diindikasikan untuk pasien emboli paru masif akut, trombosis vena dalam, emboli paru dengan gangguan hemodinamik dan terdapat penyakit jantunga tau paru akan tetapi belum mengalami perbaikan dengan terapi heparin. Terapi trombolitik boleh diberikan bila gejala-gejala yang timbul kurang dari 7 hari. Selama pengobatan trombolitik tidak boleh melakukan suntikan intra arteri, intra vena atau intramuskularis pada pasien. Demikian juga selama pengobatan trombolitik jangan meberikan obat koagulan, anti platelet bersamaan. Dosis awal streptokinase 250.000 unit dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5% diberikan intravena selama 30 menit. Dosis pemeliharaan streptokonase : 100.000 unit perjam diberikan selama 24-72jam. Dosis awal urokinase 4.400 unit/kg/BB/jam selama 12-24 jam. y
Pengobatan Lainnya Yang terpenting adalah pengobatan pembedahan. Pengobatan pembedahan pada emboli
paru diperuntukkan bagi pasien yang tidak adekuat atau tidak dapat diberikan heparin. Dengan tindakan pembedahan ini dapat dilakukan : venous interruption dan embolektomi paru. Tujuan venous interruption adalah mencegah terjadinya emboli ulang dari trombus vena dalam tungkai bawah. Sekarang yang banyak dikerjakan adalah pemasangan filter di vena kava inferior secara intravena, yang tidak menyumbat aliran vena, dapat mencegah emboli yang lebih besar dari 2mm dan jarang mengalami trombosis di filter tersebut. Tindakan embolektomi ini dulu banyak dikerjakan jika terdapat kontraindikasi terhadap pemakaian anti koagulan atau pada pasien pada emboli paru kronik. Karena risiko kematian cukup besar, maka tindakan embolektomi sekarang ditinggalkan, lebih-lebih karena telah adanya kemajuan terapi trombolitik.