REFERAT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ULIN BANJARMASIN
EMBOLI PARU
Disusun oleh: Nor Saidatun Nafisah
I4A013034
Luthfi Aulia
I4A013046
Regina Septiana
I4A013251
Pembimbing dr. Teguh Wahyu Purnomo, Sp. JP(K), FIHA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN
BAB I PENDAHULUAN
Patofisiologi Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga faktor yang dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu : 1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah 2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability) 3. Statis vena Trauma lokal pada dinding pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera pada dinding pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagulobilitas darah dapat disebabkan oleh therapi obat-obat tertentu termasuk kontrasepsi oral , hormone replacement theraphy dan steroid. Di samping itu masih ada sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor predisposisi suatu trombosis. Sementara statis vena dapat terjadi akibat immobilisasi yang berkepanjangan atau katup vena yang inkompeten yang dimungkinkan terjadi oleh proses tromboemboli sebelumnya.
Bila trombi vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan mengikuti aliran sistem vena yang seterusnya akan memasuki sir kulasi arteri pulmonalis. Jika emboli ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis dan membentuk saddle embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru tersumbat karenanya. Kedaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan melepaskan
senyawa-senyawa
vasokonstriktor
seperti
serotonin,
refleks vasokonstriksi arteri pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya akan
interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya gangguan pengisian ventrikel dan penurunan distensi diastolik. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri maka curah jantung sistemik (systemic cardiac output) akan menurun yang akan mengurangi perfusi koroner dan menyebabkan iskemia miokard. Peninggian tekanan dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru massif akan menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel kanan meningkat yang selanjutnya
menimbulkan iskemia dan kardiogenik
shok. Siklus ini dapat menimbulkan infark ventrikel kanan, kollaps sir kulasi dan kematian. Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi berikut : 1. Peningkatan
resistensi
vaskuler
paru
yang
disebabkan
obstruksi, neurohumoral, atau baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis 2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari dampak
obstruksi
vaskuler dan hipoksemia
karena
hipoventilasi
alveolar, rendahnya unit ventilasi-perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga gangguan transfer karbonmonoksida 3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi reseptor 4.
Peningkatan
resistensi
jalan
nafas
oleh
karena
bronkokonstriksi 5. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, perdarahan paru dan hilangnya surfaktan
DIAGNOSIS
Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan pencegahannya. Pendekatan diagnostic non invasif, khususnya pemeriksaan D-dimer, ELISA (Enzym-linked immunosorbent assay) , CT-Scan dan ultrasonografi vena saat ini semakin meningkatkan nilai kepercayaan dalam menegakkan diagnosis emboli paru. Bagaimanapun juga, di samping adanya
kemajuan
tekhnologi diagnosis,
ternyata emboli paru yang besar selalu tidak terdia gnosis dan hanya dijumpai saat autopsi.
GAMBARAN KLINIS
Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan test diagnostik. Dispnoe merupakan gejala yang paling sering muncul, dan tachypnoe adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada umumnya, dispnoe berat, sinkop atau sianosis merupak an tanda utama emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak di arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura. Emboli paru patut dicurigai pada penderita hipotensi jika : 1. Adanya bukti trombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru 2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut) seperti distensi vena leher, S3 gallop, pulsasi jantung kanan di dinding dada (a right ventricular heave) , takikardia, atau takipnea 3. Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan hipokinesis atau bukti EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor pulmonale dengan gambaran S1Q3T3, gambaran incomplete right bundle branch block atau iskemia ventrikel kanan.
Ada enam sindroma klinis emboli paru akut dengan gambaran sebagai berikut : 1. Emboli Paru massif Presentasi klinis: Sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri sistemik persisten; khas > 50 persen obstruksi pada vaskulatur paru. Disfungsi ventrikel kanan dapat dijumpai. 2. Emboli Paru sedang sampai besar (submassif) Presentasi klinis: Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas > 30 persen defek pada perfusi scan paru dengan tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan 3. Emboli Paru Kecil sampai Sedang Presentasi klinis: Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa disertai tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan 4. Infark Paru (Pulmonary Infarction) Presentasi klinis: Nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural rub, atau bukti adanya konsolidasi paru; khasnya berupa emboli perifer yang k ecil, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan 5. Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism) Presentasi klinis: Kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan 6. Emboli Nontrombus (Nonthrombotic embolism) Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan amnion. Disfungsi ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.11
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang emboli paru mencakup : 1. Foto Toraks Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto toraks adalah tanda spesifik emboli paru. Foto toraks juga dapat menunjukkan kelainan lain seperti efusi pleura atau atelektasis yang sering bersamaan
insidensinya dengan penyakit ini.. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lain khususnya pneumothorax. 2. Analisa Gas Darah Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting akibat ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit menurun disebabkan oleh keadaan hiperventilasi. Bagaimanapun juga sensitivitas dan spesifisitas analisa gas darah untuk penunjang diagnostik emboli paru relatif rendah. 3. D-dimer Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh proses fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. Pemeriksaan ini merupakan skrining yang bermanfaat dengan sensitivitas yang tinggi (94%) namun kurang spesifisitas (45%). D-dimer dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti recent MCI . Spesifisitas D-dimer secara ELISA untuk memprediksi emboli paru meningkat bila ratio D-dimer / fibrinogen >1000. Plasma D-dimer yang normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru. 4. Elektrokardiogram (EKG) Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama pada kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif dapat terjadi perubahan EKG antara lain : -
Pola S1 Q3 T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III,
disertai gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang dikarenakan dilatasi atrium dan ventrikel kanan.
-
P Pulmonal
- Right bundle branch block yang baru - Right ventricular strain dengan T inverted di lead V1 sampai V4 5. Scanning Ventilasi-Perfusi 1
Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasive yang penting untuk sangkaan emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus alergi kontras, insufisiensi ginjal, atau kehamilan.
6. Spiral Pulmonary Computed Tomography scanning Test ini sangat sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan dapat
dilakukan
pada
penderita
yang
tidak
dapat
menjalani
pemeriksaancanning ventilasi-perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan
injeksi kontras medium melalui vena perifer dan dapat
mencapai arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal sampai ke cabang segmentalnya. 7. Pulmonary Scintigraphy Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu tekhnik yang cukup sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Defisit perfusi dapat dikarenakan oleh ketidakseimbangan aliran darah ke bagian paru atau disebabkan masalah paru seperti efusi atau kollaps paru. Untuk menambah spesifisitasnya, tekhnik ini selalu dikombinasi dengan ventilation scan dengan menggunakan radioaktif gas xenon. Gambaran
yang
menunjukkan
non-
perfusi tapi adanya zona ventilasi menunjukkan emboli paru. Bagaimanapun juga pada penderita dengan penyakit paru sebelumnya, nilai diagnostik pemeriksaan ini menjadi menurun.
8. Angiografi paru Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard ) dalam diagnostik emboli paru. Namun tekhnik ini merupakan penyelidikan invasif yang cukup berisiko terutama pada penderita yang sudah kritis. Karenanya saat ini peran angiografi paru sudah digantikan oleh spiral CT scan yang memiliki akurasi yang sama. Berikut ini satu tampilan hasil pemeriksaan pulmonary angiography terhadap seorang pasien perempuan usia 77 tahun dengan gagal jantung kanan yang 2
sudah mendapat heparinisasi 3 hari. Pasien ini menjalani kateterisasi jantung kanan dan didapatkan emboli paru yang cukup besar pada bagian tengah kanan dan bagian atas kanan (right middle and right upper lobe) . Dikarenakan adanya kontraindikasi trombolitik, beliau menjalani kombinasi suction cathether embolectomy dan cathether directed thrombolysis dengan bolus spray tissue plasminogen activator dilanjutkan dengan infus satu malam 1 mg/ jam. Gambaran angiogram ulangan (B). 9. Magnetic Resonance Angiografi (MRA) Alat ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang sama dengan CT angiografi, bahkan dapat digunakan tanpa kontras sehingga aman untuk pasien dengan gangguan ginjal. Namun alat ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena adanya bahan metal seperti infus peralatan bantu nafas, dll. 10. Duplex Ultrasound Ekstremitas Merupakan pencitraan non invasif pada kasus dengan sangkaan trombosis vena dalam yang simptomatik pada tungkai maupun lengan yang relatif mudah dan akurat. Ultrasound bermanfaat pada sangkaan emboli paru yang kuat dengan skor Wells > 7. 11. Ekokardiografi Ekokardiografi transtorakal muncul sebagai alat diagnostik non invasif yang berperan dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat diakibatkan oleh emboli paru massif. Penderita emboli paru akut menunjukkan pergerakan dinding segmental abnormal yang spesifik yang sering disebut sebagai tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai pergerakan apeks ventrikel kanan yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan merupakan tanda tidak langsung dari beban ventrikel kanan yang berlebihan. Rasio pengukuran ventrikel kanan dibanding ventrikel kiri 1 pada pengambilan gambar apical four chamber. Pada teknik pengambilan gambar parasternal short axis akan terlihat septum interventrikuler menjadi datar dan 3
menyebabkan gambaran ekokardiografi D shape ventrikel kiri. Tanda lain dari disfungsi ventrikel kanan adalah regurgitasi tricuspid dengan kecepatan 2,6 m/detik dan dilatasi vena kava inferior.
12. Biomarker jantung Troponin T (Trop T) adalah marker jantung yang sangat sensitif dan spesifik untuk suatu nekrosis sel miokard. Pada pasien emboli paru terjadi sedikit peningkatan kadar Trop T dibandingkan dengan peningkatan yang cukup tinggi pada kasus sindroma koroner akut (nilai abnormal terendah 0,03-0,1 ng/ml). Kadar Trop T berkorelasi dengan disfungsi ventrikel kanan, dimana iskemi miokard terjadi akibat gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dari ventrikel kanan sehingga terjadi pelepasan Trop T ke dalam sirkulasi tanpa adanya penyakit jantung koroner. Natriuretic peptide merupakan suatu marker yang berguna untuk diagnostik dan prognostik gagal jantung kongestif.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Emboli paru adalah peristiwa obstruksi sebagian atau total sirkulasi arteri pulmonalis atau salah satu cabangnya akibat tersangkutnya emboli trombus atau emboli yang lain. Akibat lanjut dari emboli paru dapat menyebabkan infark paru, yaitu keadaan terjadinya nekrosis sebagian jaringan parenkim paru akibat tersumbatnya aliran darah menuju jaringan paru tersebut oleh karena emboli. Keadaan ini dapat memberikan gambaran klinis dengan spektrum luas, mulai dari suatu gambaran klinis yang asimptomatik sampai keadaan yang mengancam nyawa berupa hipotensi, syok kardiogenik dan keadaan henti jantung yang tiba-tiba (sudden cardiac death). Penyebab
utama
dari
emboli
paru
adalah
tromboemboli
vena (venous
thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis. B. Epidemiologi
Insidensi emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir 200.000 kasus pertahun dengan angka kematian mencapai 15% yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih merupakan problema yang menakutkan dan salah satu penyebab emergensi kardiovaskuler yang tersering. Laporan lain menyebutkan bahwa emboli paru secara langsung menyebabkan 100.000 kematian dan menjadi faktor kontribusi kematian oleh penyakit-penyakit lainnya. 5
C. Faktor Risiko D. Etiologi E. Patofisiologi F.
Klasifikasi
G. Manifestasi Klinis H. Diagnosis I.
Tatalaksana
J.
Pencegahan
K. Prognosis .
6
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA 7
1.
Levine GL et al. 2016 ACC/AHA Guideline Focused Update on Duration of Dual Antiplatelet Therapy in Patients With Coronary Artery Disease. American Heart Association. 2016
2.
Kolansky MD. Acute Coronary Syndromes: Morbidity, Mortality, and PharmacoecononicBurden. The American Journal of Managed Care 2009;15:364I.
3.
American Heart Association. Heart Disease and Stroke statistic 2012 update. AHA statisticalupdate 20 12;125 :2-220.
4.
Menzin J, Wygant G, Flegal K, Furie K. Heart disease and stroke statistic 2008 update: areport from the American Heart Association Statistics committe and Stroke Statistics Subcommitee . Circulation . 200 8 ;24 (2) : 46 I -468 .
5.
Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC Guidelines forthe management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent STsegment elevation. European Heart Journal 20 LL ;32:29993054.
6.
Piatti G, Nusca A. Antithrombotic therapy in patients with acute coronary syndrome: abalance between protection from ischemic events and risk of bleeding. American Journal ofCardiovascular Disease 20 1 I ;l (3) :25 5 -263 .
7.
Porth CM, Maftin G. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. 8'hEd. Philadelpia: Lippincott Wiliams and Wilkins;2O09:p.542-548.
8.
McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS. P athophysiology: The Biologic Basis forDisease in Adults and Children.
9.
Libby P. Mechanisms of Acute Coronary Syndrome and their implications for therapy. TheNew England Medical Journal 2013;368:2004-200 1 3.
10. Maldonado N, Kelly-Arnold A, Vengrenyuk Y. A mechanistic analysis of the role ofmicrocalcitications in atherosclerotic plaque stability: potential implications for plaquerupture. Am J Physiol Heart Circ Physiol20l2;303:p6l9-628. 11. Katzung GB, Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology. 11'hed. Mc Graw Hill Companies; 2009: 587,598-599. 8
12. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison'sPrinciple of Internal Medicine. l7thEd ; 2008:736-7 39 . 13. Mehta SR, Tanguay JF, Eikelboom JW, Jolly SS, Joyner CD, Granger CB, et al. Double doseversus standard-dose clopidogrel and high-dose versus low-dose aspirin in individualsundergoing percutaneous coronary intervention for acute coronary syndromes (CURRENTOASIS7) : a randomised factorial trial. Lancet 2010;376:1233-1243. 14. Curial M, Nath E, Lang E. Novel Antiplatelet Agent Use for Acute Coronary Syndrome in theEmergency Department: A Review. Hindawi Publishing Corporation Cardiology Researchand Practice 2013;2013 15. Jneid H, Anderson JL, Wright S, Adams CD, Bridges CR, Casey DE, et al. Z}n ACCF/AHAFocused Update of the Guideline for the Management of Patients With Unstable Angina/Non-ST-Elevation Myocardial Infarction (Updating the 2007 Guideline and Replacing the 2011Focused Update) : A Report of the American College of Cardiology Foundation/AmericanHeart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation 2012;126:81 5 -910. 16. Friedman H, Mollon P, Lian J, Navaratnam P. Clinical Outcomes, Health Resource Use, andCost in Patients with Early versus Late Dual or Triple Anti-Platelet Treatment for AcuteCoronary Syndrome. Am J Cardiovascular Drugs 2013. 17. John J, Koshy SK. Current Oral Antiplatelets: Focus Update on Prasugrel. J Am Board FamMedicine 2012;25 :343 -349 . 18. Smith JG, Wieloch M, Koul S, Braun O, Lumsden J, Rydell E, et al. Triple Antithrombotictherapy following an Acute Coronary Syndrome : prevalence, outcome and prognostic utilityof the HAS -BLED score . EURO Intervent ion 20 12;8(6) :67 2-8 . 19. T Patrick, Kushner F, Ascheim D, Casey D, Chung M, Lemos J, et al.2013 ACCF/AHAGuidelines for the Management of ST Elevation Myocardial Infarction : Excecutive Summary. Circulation 201 3;127 ;529-555 .
9