Ulkus Dekubitus
Definisi
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka tekan terjadi akibat tekanan yang sama pada suatu bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi (Harnawatiaj, 2008). Dekubitus adalah Kerusakan lokal dari kulit dan jaringan dibawah kulit yang disebabkan penekanan yang terlalu lama pada area tersebut (Ratna Kalijana, 2008) Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan alirandarah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang (Susan L, dkk. 2005)
Klasifikasi Ulkus Dekubitus
Salah satu cara yang paling untuk mengklasifikasikan dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali dikemukakan oleh Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2005) sebagai salah satu cara untuk memperoleh
metode
jelas
dan
konsisten
untuk
menggambarkan
dan
mengklasifikasikan luka dekubitus. Sistem tahapan luka dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). Luka yang tertutup dengan jaringan nekrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga jaringan tersebut dibuang dan kedalaman luka dapat di observasi. Peralatan ortopedi dan braces dapat mempersulit pengkajian dilakukan (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga digunakan dalam pedoman pengobatan AHPCR (1994). Pada konferensi konsensus NPUAP (1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang memperlihatkan m emperlihatkan karakteristik pengkajian pasien berkulit b erkulit gelap. Berbagai indikator selain warna kulit, seperti sep erti suhu,
adanya pori- pori ”kulit jeruk”, kekacauan atau ketegangan, kekerasan, dan data laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap (Maklebust & Seggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Bennet (1995 dalam Potter & Perry, 2005). menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap, memerlukan pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah munculnya warna biru yang dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat. Menurut NPUAP (1995 dalam Potter & Perry, 2005) ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu:
1.
Derajat I Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator
2.
Derajat II Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.
3.
Derajat III Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4.
Derajat IV Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.
Etiologi
Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan intrinsik pada pasien. 1.
Faktor Ekstrinsik
a.
Tekanan Kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan permukaan keras lainnya, seperti tempat tidur dan meja operasi. Tekanan ringan dalam waktu yang lama sama bahayanya dengan tekanan besar dalam waktu singkat. Terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi dan nekrosis. tekanan antar muka ( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan per unit area antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan antar muka lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka pembuluh darah kapiler akan mudah kolap, daerah tersebut menjadi lebih mudah untuk terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler rata rata adalah sekitar 32 mmHg.
b.
Gesekan dan pergeseran Gesekan berulang akan menyebabkan abrasi sehingga integritas jaringan rusak. Kulit mengalami regangan, lapisan kulit bergeser terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal.
c.
Kelembaban Akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat inkontinensia, drain dan keringat.
Jaringan
yang
mengalami
maserasi
akan
mudah
mengalami
erosi. Selain itu kelembapan juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.
d.
Kebersihan
Tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan klien terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.
2.
Fase Intrinsik
a.
Usia Pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan vaskularisasi. Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek. Selain itu, akibat dari penuaan adalah berkurangnya jaringan lemak subkutan, berkurangnya jaringan kolagen dan elastin. menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.
b.
Penurunan sensori persepsi Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan diatas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah terkena luka tekan. karena nyeri merupakan suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.
Kerusakan
saraf
(misalnya
akibat
cedera, stroke, diabetes )
dan koma bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri.
c.
Penurunan kesadaran gangguan neurologis, trauma, analgetik narkotik.
d.
Malnutrisi
Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi ) tidak memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan sempurna
karena
kekurangan
zat-zat
gizi
yang
penting.
Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi menderita ulkus dekubitus. Selain itu, malnutrisi dapat gangguan penyembuhan luka. Biasanya berhubungan dengan hipoalbumin. Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut penelitian Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi.
e.
Mobilitas dan aktivitas Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan. Orang-orang yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah, dipasung). Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan.
f.
Merokok Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut hasil penelitian Suriadi (2002) ada hubungaan yang signifikan antara merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan.
g.
Temperatur kulit Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya luka tekan.
h.
Kemampuan sistem kardiovaskuler menurun, sehingga perfusi kulit menurun.
i.
Anemia
j.
Hipoalbuminemia, beresiko tinggi terkena dekubitus dan memperlambat
penyembuhannya.
k.
Penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah juga mempermudah terkena
dekubitus dan memperburuk dekubitus.
Patogenesis dan Patofisiologi
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu: 1.
Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler
2.
Durasi dan besarnya tekanan
3.
Toleransi jaringan Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan tekanan (Stortts,
1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka ( Potter & Perry, 2005). Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehinggan terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2005).
Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan. (National pressure Ulcer Advisory panel (NPUAP), 1989 dalam Potter & perry, 2005) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan. Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika (Pires & Muller, 1991 dalam Potter &Perry, 2005). Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat.Pucat terlihat ketika adanya warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien yang berkulit pigmen gelap. Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan yang dibutukan untuk menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan kapiler normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005). Setelah priode iskemi, kulit yang terang mengalami satu atau dua perubahan hiperemi. Hiperemia reaktif normal (kemerahan) merupakan efek vasodilatasi lokal yang terlihat, respon tubuh normal terhadap kekurangan aliran darah pada jaringan dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan dengan ujung jari dan hyperemia
reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu jam. Kelainan hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan sebagai respon dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga merah . Indurasi adalah area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari 1 jam hingga 2 minggu setelah tekanan di hilangkan (Pirres & Muller, 1991dalam Potter & Perry, 2005). Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko kerusakan kulit. Tekanan menyebabkan penurunan suplai darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi. Apabila tekanan dilepaskan akan terdapat hiperemia reaktif, atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah tersebut. Hiperemia reaktif merupakan suatu respons kompensasi dan hanya efektif jika tekan dikulitdi hilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan. (Potter & Perry, 2005).
Manifestasi Klinis
Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka tekan dibagi menjadi empat tadium, yaitu : 1.
Stadium Satu
Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila dibandingkan dengan kulit yang ormal, maka akan tampak salah satu tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit ( lebih dingin atau lebih hangat ), perubahan konsistensi jaringan ( lebih keras atau lunak ), perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang menetap, biru atau ungu.
2.
Stadium Dua
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau membentuk lubang yang dangkal.
3.
Stadium Tiga
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka terlihat seperti lubang yang dalam
4.
Stadium Empat
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV dari luka tekan.
Menurut sumber lain, a) Tanda cidera awal adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan ibu jari. b) Pada cidera yang lebih berat dijumpai ulkus dikulit. c) Dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih. d) Dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kelemahan dan perawatan di Rumah Sakit yang berkepanjangan bahkan pada ulkus kecil.
Penegakan diagnosis
Diagnosis ulkus dekubitus didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan gambaran klinis. Anamnesis mengenai riwayat penyakit saat ini maupun terdahulu perlu dilakukan secara cermat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam upaya menegakkan diagnosis tersebut. Gambaran klinis ulkus bervariasi
dengan diameter dari beberapa milimeter
sampai beberapa centimeter bergantung pada intensitas, durasi dan jenis trauma serta infeksi yang dapat terjadi.
Pemeriksaan Penunjang 1.
Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada trauma medula spinalis.
2.
Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous colitis.
3.
Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
4.
Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan sepsis.
5.
Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level.
6.
Radiologis
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan tulang atau MRI.
Terapi
Penatalaksanaan ulkus dekubitus harus dilakukan dengan baik dan terpadu, karena proses penyembuhannya yang membutuhkan waktu yang lama. Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR) telah membuat standar baku dalam penatalaksanaan ulkus dekubitus (Bergstrom, 1994). Ketika ulkus dekubitus telah terbentuk, maka pengobatan harus diberikan dengan segera. Pengobatan yang diberikan dapat berupa tempat tidur yang termodifikasi baik untuk penderita ulkus dekubitus, pemberian salap, krim,ointment,solution, kasa, gelombang ultrasonik, atau lampu panas ultraviolet, gula, dan tindakan bedah.Pemilihan terapi, tergantung pada stadium ulkus dekubitus dan tujuan pengobatan.seperti proteksi, pelembaban dan membuang jaringan nekrosis. Hal yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah. a.Perawatan luka harus dibedakan ke dalam metode operatif dan nonoperatif. b.Perawatan luka dengan metode nonoperatif dilakukan untuk ulkus dekubitus stadium 1 dan 2, sedangkan untuk stadium 3 dan 4 harus menggunakan metode operatif. c.Sekitar
70-90%
ulkus
dekubitus
adalah
superfisial
dan
sembuh
dengan
penyembuhan sekunder. d.Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.Secara umum penatalaksanaan ulkus dekubitus dibagi menjadi nonmedikamentosa dan medikamentosa. 1.Nonmedikamentosa
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan nonmedikamentosa adalah meliputi pengaturan diet dan rehabilitasi medik. Seperti telah disebutkan di atas, nutrisi adalah faktor risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus.Pemberian diet yang tinggi kalori, protein, vitamin dan mineral akan meningkatkan status gizi penderita ulkus dekubitus. Meningkatnya status gizi penderita ini akan memperbaik sistem imun penderita sehingga mempercepat penyembuha ulkus dekubitus. Terapi rehabilitasoi medik yang diberikan untuk penyembuhan ulkus dekubitus adalah dengan radiasi infra merah, short wave diathermy, dan pengurutan. Tujuan terapi ini adalah untuk memberikan efek peningkatan vaskularisasi sehibgga dapat membantu penyembuhan ulkus. Sedangkan penggunaan terapi ultrasonik, sampai saat ini masih terus diselidiki manfaatnya terhadap terapi ulkus dekubitus. 2.Medikamentosa Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan metode medikamentosa meliputi: 1.Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan bahan topikal seperti larutan NaC1 0,9%, larutan H202 3% dan NaC10,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik lainnya. Kompres yang diberikan pada ulkus dekubitus adalah semipermiabel dan tertutup, yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas dan transfer penguapan air dari kulit dan mencegah maserasi kulit. Selain itu, kompres dapat mencegah terjadinya infeksi sekunder dan mencegah faktor trauma. Tetapi, kompres ini tidak berfungsi baik pada pasien dengan diaforesis dan eksudat yang banyak. Beberapa kategori untuk kompres dan topikal yang dapat digunakan adalah antimikrobial,
moisturizer,emollient,
topical
circulatory
stimulant,
kompres
semipermiabel, kompres kalsium alginate, kompres hidrokoloid dan hidrogel,
penyerap eksudat, kompres dari basah/lembab ke kering dan ezim dan cairan atau gel pembentuk film. 2.Mengangkat jaringan nekrotik. Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses penyembuhan ulkus. Terdapat 7 metode yang dapat dilakukan antara lain, • Autolytic debridement. Metode ini menggunakan balutan yang lembab untuk memicu autolisis oleh enzim tubuh. Prosesnya lambat tetapi tidak menimbulkan nyeri. •
Biological
debridement,
or
maggot
debridement
therapy.Metode
ini
menggunakanmaggot (belatung) untuk memakan jaringan nekrosis. Oleh karena itu dapat membersihkan ulkus dari bakteri. Pada Januari 2004,FDAmenyetujuimaggot sebagai live medical devic untuk ulkus dekubitus. • Chemical debridement, or enzymatic debridement. Metode ini menggunakan enzim untuk membuang jaringan nekrosis. • Mechanical debridement.Teknik ini menggunakan gaya untuk membuang jaringan nekrosis. Caranya dengan menggunakan kasa basah lalu membiarkannya kering di atas luka kemudian mengangkatnya. Teknik ini kurang baik karena kemungkinan jaringan yang sehat akan ikut terbuang. Pada ulkus stadium 4, pengeringan yang berlebihan dapat memicu terjadinya patah tulang atau pengerasan ligamen. • Sharp debridement. Teknik ini menggunakan skalpel atau intrumen serupa untuk membuang jaringan yang sudah mati. • Surgical debridement. Ini adalah metode yang paling dikenal. Ahli bedah dapat membuang jaringan nekrosis dengan cepat tanpa menimbulkan nyeri.
• Ultrasound-assisted wound therap. Metode ini memisahkan jaringan nekrosis dari jaringan yang sehat dengan gelombang ultrasonik.3. Menurunkan dan mengatasi infeksi. Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat diberikan bila penderita mengalami sepsis dan selulitis. Ulkus yang terinfeksi harus dibersihkan beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti larutan H202 3%, pov idon iodin 1%, seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek bakterisidal. Antibiotik sistemik kurang dianjurkan untuk pengobatan ulkus dekubitus karena akan menimbulkan resistensi. Antibiotik sistemik yang dapat diberikan meliputi gologan penicillins, cephalosporins, aminoglycosides, fluoroquinolones, dans ulfonam ides. Antibiotik lainnya yang dpat digunakan adalahclindamycin,metronidazole dan trimethoprim. 3.Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi.Untuk mempercepat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi pada ulkus dekubitus sehingga mempercepat penyembuhan dapat diberikan: • Bahan-bahan topikal misalnya: salep asam salisilat 2%, preparat seng (ZnO, ZnSO4). • Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel, menambah jaringan granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular. 4.Tindakan bedah Tindakan
bedah
bertujuan
untuk
membersihkan
ulkus
dan
mempercepat
penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus dekubitus stadium III& IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit, myocutaneous flap, skin graft serta intervensi lainnya terhadap ulkus. Intervensi terbaru terhadap ulkus dekubitus adalah
Negative Pressure Wound Therapy, yang merupakan aplikasi tekanan negatif topikal pada luka. Teknik ini menggunakan busa yang ditempatkan pada rongga ulkus yang dibungkus oleh sebuah lapisan yang kedap udara. Dengan demikian, eksudat dapat dikeluarkan dan material infeksi ditambahkan untuk membantu tubuh membentuk jaringan granulasi dan membentuk kulit baru. Terapi ini harus dievaluasi setiap dua minggu untuk menetukan terapi selanjutnya
Komplikasi Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain: 1.
Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
2.
Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis, osteomielitis,
dan arthritis septik. 3.
Septikimia
4.
Animea
5.
Hipoalbuminea
6.
Kematian.
Daftar pustaka Guenter P., Malyszck R.,Bliss D.Z.,et al. Survey of nutritional status in newly hospitalized patiens with stage III or stage IV pressure ulcers. Advances in Wound Care.2000;13:164-168 Pendland, Susan L., dkk.Skin and Soft Tissue Infections. Dalam Joseph
T.
DiPiro,
kk,
editor.
Pharmacotherapy
A
Pathophysiologic
Approach.Edisi 6. Chicago: McGrawHill Company; 2005. p1998-90 Potter & Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik, Jakarta: EGC Sugama., J., Sanada, H., Kanagawa, K., et al . Risk factors of pressure sore development, intensive care unit, Pressure – relieving care, the Japanese version of the Braden Scale. Kanazawa Junior Collage, 1992, 16, 55-59 Suriadi, Sanada H, Kitagawa A, et.al. Study of reliability and validity of the braden scale translated into indonesia. 2002. Master thesis. Kanazawa University, Japan Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Ed 9. Jakarta: EGC.