BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dunia modern seperti ini, pertumbuhan penduduk dunia semakin meningkat dan
perkembangan IPTEK tak kalah jauh juga, orang-orang berlomba-lomba dalam menciptakan sesuatu yang baru, maka tidak heran bila semuanya serba praktis dan cepat. Salah satunya adalah sarana transpotasi yang dapat memudahkan setiap orang untuk melakukan mobilitas kesemua tempat. Indonesia merupakan satu dari sepuluh negara terbesar dalam hal penduduknya, ditambah dengan mobilitas penduduknya yang semakin tinggi, maka semakin meningkat terjadinya cedera kepala (trauma kapitis). Hal ini disebabkan oleh ketidakpatuhan, kelalaian pengendara. Penyebab utama yang lain, terjadinya trauma capitis yaitu kecelakaan lalu lintas berupa tabrakan : sepeda motor, mobil, penyebrang jalan yang ditabrak, ada juga yang jatuh dari ketinggian tertimpa benda (yang berat, olahraga), korban kekerasan (mis : dipukul, senjata api, dll). Di Amerika Serikat, trauma capitis setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus, dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit, yang sampai di rumah sakit 80% cedera kepala ringan(CKR), 10% cedera kepala sedang (CKS), 10% cedera kepala berat(CKB), insiden cedera kepala (trauma capitis) terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 10-44 tahun, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48-53% dari insiden trauma capitis, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan 3%-9% lainnya disebabkan tindakan kekerasan, kegiatan olahraga, rekreasi, dll.(Olva Irwana, 2009). Berdasarkan data statistik Polda Metro Jaya, angka kematian kecelakaan sepeda motor sudah sangat memprihatinkan dan setiap tahunnya meningkat, tahun 2007 terdapat 4.933 kasus, lalu naik menjadi 5.896 kasus pada tahun 2008, terakhir tahun 2009 mencapai 6.608 kasus,
jadi kenaikkan pertahun rata-rata 1.000 kasus, dari jumlah
tersebut, rata-rata 20% disebabkan karena tindakan kekerasan, dan 80% dari korban
1
meninggal dalam kecelakaan lalu lintas akibat trauma capitis (Kementrian Negara Riset dan Teknologi, 2010). Menurut Dawodu (2003) insidensi trauma capitis tertinggi terjadi pada kelompok umur 15-45 tahun, yaitu 32,8/100.000. Perbandingan laki-laki lebih banyak dari perempuan 3,4 : 1. Penyebab P enyebab utama adalah kecelakaan lalu-lintas lalu -lintas (bermotor) tiap tahun 1 juta meninggal & 20 juta cedera (Islam, 1999; Fauzi, 2002). Insiden trauma capitis, 26% dari semua kecelakaan; 33% kematian karena trauma kapitis. Insiden trauma capitis karena kecelakaan, 50% meninggal sebelum tiba di RS, 40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu perawatan. (Sidharta, 2003). Resiko utama pasien yang mengalami trauma capitis adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakaranial, selain itu, cedera dapat mengalami kerusakan begitu rusaknya otak , neuron tidak dapat diperbaiki lagi. lagi. Untuk itu, efek ini harus dihindari dan solusi harus ditemukan secepatnya oleh tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental, fisik bahkan kematian. Fokus utama dalam pengkajian dan manajemen trauma kepala adalah memproteksi otak. Walaupun otak hanya merupkan 2% dari berat badan, tetapi otak bertanggung jawab terhadap 20% konsumsi oksigen istirahat dan demam 15% curah jantung untuk mencapai pemenuhan metabolisme. Otak secara khusus mempunyai demam tinggi terhadap metabolisme-oksigen 49mL/menit dan glukosa 60mL/menit. Sangat mudah untuk diterima bahwa usaha awal pasca trauma adalah mempertahankan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi otak. Hipoglikemia dapat menyebabkan terjadinya gangguan aktivitas neuronal, kejang, koma, dan kematian. Jika sel-sel otak tidak bekerja secara benar, sistem tubuh lainnya juga terpengaruh dan disfungsi siklus organ berbahaya terjadi pada beberapa sistem tubuh. Hal inilah yang mendasari penulis menerapkan teori yang didapat selama pendidikan dengan trauma capitis melalui Penerapan Asuhan Keperawatan, dan membantu pasien mencegah timbulnya komplikasi dan pengalaman berguna demi tercapainya Sumber Daya Manusia.
2
B. MANFAAT PENULISAN
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Instansi rumah sakit Makalah ini dapat menjadi masukan demi meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan bagi perawat dalam menjalankan tugasnya dengan memberikan asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan Trauma Kapitis. 2. Institusi Pendidikan Makalah ini dapat digunakan atau dimanfaatkan sebagai salah satu suatu informasi dan acuan untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan dimasa yang akan datang. 3. Penulis Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman nyata dalam mengaplikasikan ilmu dan keterampilan yang diperoleh.
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah
Mengetahui secara detail tentang asuhan keperawatan gawat darurat gawat darurat pada trauma capitis.
Memenuhi syarat mata kuliah keperawatan gawat darurat.
3
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. KONSEP DASAR MEDIK 1. Pengertian Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997) Trauma capitis adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001). Trauma capitis adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/nonkongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar → timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran (Dawodu, 2003; Sutantoro, 2004).
Trauma capitis yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan gari s pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan ( accelerasi – decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk . Dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan penc egahan.
2. Etiologi Penyebab utama trauma capitis adalah benturan di kepala, jika benda yang sedang bergerak membenturkan kepala yang diam, maka akan menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
4
Adapun faktor prespitasi trauma capitis yaitu : a. Kecelakaan lalu lintas Pada keadaan ini kekuatan benturan pada kepala, lesi dapat terjadi di tempat benturan. b. Akibat Kekerasan Pukulan yang keras / kuat dapat menyebabkan otak dalam tengkorak terguncang, guncangan yang terjadi dapat merambat kebagian otak yang lain.
Kemudian
menimbulkan pendarahan selanjutnya pembengkakkan atau gumpalan darah bisa membuat otak terdesak akibatnya fungsi otak terganggu. c. Jatuh Pada saat jatuh, kepala 3mengalami benturan di lantai atau tanah, dapat mengakibatkan aliran darah yang sangat hebat / benjol, pendarahan yang banyak terjadi karena pada kulit kepala terdapat banyak pembuluh darah dan jika pecah sedikit saja dapat menyebabkan pendarahan sedangkan benjol terjadi akibat merembesnya darah dari pembuluh vena kebawah kulit kepala. Tipe trauma kepala
a. Tipe trauma kepala terbuka Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak misalnya akibat benda tajam atau tembakan. Fraktur linear di daerah temporal, di mana arteri meningel media berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linear melintasi garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus sagitalis superior. Fraktur daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda
5
diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi kelurnya
liquor melalui hidung (
rhinorhoe) dan adanya brill hematoma ( raccon eye ). Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal ( lebih jarang ). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya disebabkan oleh trauma di daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital. Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2 – 3 hari akan tampak battla sign ( warna biru di belakang telinga di atas os mastoid ) dan otorrhoe ( liquor keluar dari telinga ). Pendarahan pada telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retaknya tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan emergensi , namun sering menimbulkan masalah adalah frakmen tulang itu menyebabkan robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf cranial dan saluran saraf ( nerve pathway ) . b. Trauma kepala tertutup 1. Komusio serebri ( Gegar otak ) Merupakan bentuk trauma capitis ringan dimana terjadi pingsan 9 kurang dari 10 menit. Gejala ini mungkin termasuk pusing, noda – noda di depan mata dan linglung. Komusio serebri tidak meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak. 2. Kontusia serebri ( memar otak ) Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini bersama – sama dengan rusaknya jaringan saraf atau otak yang akan menimbulkan edema jaringan otak di daerah sekitarnya. Bila daerah 6
yang mengalami edema cukup luas akan terjadi peningkatan tekanan intracranial. Tekanan tinggi intracranial dapat menimbulkan herniasi (penonjolan substansi otak melalui kranium) serebri yang akan mengakibatkan penekanan batang otak. Bila edema mengenai batang otak akan berakibat fatal. 3. Perdarahan subdural Merupakan perdarahan antara durameter dan arakharoid, yang biasanya meliputi pendarahan vena. Pendarahan subdural dibedakan atas akut, subakut, dan kronis. Pendarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang otak. Tanda – tanda akan gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan kantuk, dan kebingungan, respon yang lambat, dan gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral (terletak pada atau mengenai sisi yang sama) pupil. Pendarahan subdural subakut biasanya berkembang 7 sampai 10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam. Pendarahan subdural kronik terjadi karena luka ringan. Mulanya pendarahan kecil memasuki ruang subdural.
Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar
membran vaskuler dan pelan – pelan meluas. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau bulan.
Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi
penurunan reaksi pupil dan motorik. 4. Pendarahan Intraserebra Merupakan penumpukan darah pada jaringan otak.
Pendarahan mungkin
menyertai contra cuop phenomenon. Kebanyakan dihubungkan dengan kontusio dan terjadi dalam areafrontal dan temporal.
Akibat adanya substansi darah dalam
jaringan otak akan menimbulkan edema otak.
Gejala neurologik tergantung dari
ukuran dan lokasi pendarahan.
7
Menurut berat ringannya
Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan masih jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak, khususnya jenis tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow Coma Scale atau GCS) dikelompokkkan menjadi : a. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I) GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral, tidak ada hematoma. b. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II) GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal. Penurunan kesadaran 30 menit – 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. c. Cedera kepala berat. GCS : 3-8 (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan fungsi batang otak. Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain. Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran, dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik (= M) dan respon verbal (= V). Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja.
8
3. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel – sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang 20% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi serebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada
kontusio, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini menyebabkan timbulnya metabolik asidosis.
Dalam
keadaan normal aliran darah serebral ( CBF ) adalah 50 – 60 ml/menit 100 gr jaringan otak yang merupakan 15% dari curah jantung ( CO ). a. Faktor Kardiovaskuler Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan distremia, fibrilisasi atrium dan ventrikel takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di mana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. Aktivitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya trauma capitis work di mana pembacaan CVP abnormal. Tidak hanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tekanan
atrium
kiri.
Akibat
tubuhnya
berkompensasi
dengan
9
meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. b. Faktor respirasi Adanya edema paru pada trauma capitis dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperpnue dan bronkokonstriksi. Pernapasan chyne – stokes dihubungkan
dengan
sensivitas
yang
meningkat
pada
mekanisme
terhadap
karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh darah kapiler atau cairan traumatik yang mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstitial otak normal tidak didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan di sekitarnya. Edema otak ini menyebabkan kematian otak ( iskemik) dan tingginya tekana intra kranial ( TIK ) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan medula oblongata dapat menyebkan pernapasan ataksia dimana ditandai dengan irama napas tidak teratur dan pola napas tidak efektif. c. Faktor metabolisme Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya jumlah nitrogen Trauma
pelepasan ADH
retensi cairan
haluaran
urine
sedikit,
meningkatnya konsentrasi elektrolit. Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium. Setelah 3 sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang, pascatrauma dapat timbul hiponatremia. Untuk itu harus hati-hati untuk mencegah peningkatan TIK. Demikian
10
pula sangatlah penting melakukan pemeriksaan serum elektrolit. Hal untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kelainan kardiovaskuler. Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon metabolik terhadap trauma, karena dengan adanya trauma, tubuh memerlukan energi untuk menangani perubahan-perubahan seluruh sistem organ tubuh. Namun masukan makanan kurang, maka akan terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa. Maka dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang disesuaikan dengan perubahan metabolisme yang terjadi pada trauma. Pemasukan makanan pada trauma kepala harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien atau kemampuan melakukan refleks menelan. d. Faktor Gastrointestinal Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (63 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus vegal. Hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namaun pengaruhnya terhadap lambung adallah peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung. Dilihat dari seluruh proses patofisiologi yang terjadi pada trauma kepala, maka dapat diduga dampak masalah yang terjadi pada kasus ini. Pada taruma kepala ringan tidak ditemukan perubahan neurologis yang serius karena tidak terjadi struktur dan fungsi. Namun pada trauma kepala berat seperti kontusio dan laserasio, kemungkinan akan ditemukan gejala-gejala perubahan neurologis seperti penurunan kesadaran dan disfungsi sensomotoris. Pengaruh lainnya adalah perubahan system kardiovaskuler, pernapasan, metabolisme tubuh, gastrointestinal atau sistem urinarius dan lain-lain. 11
e. Faktor Psikologis Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pasca trauma akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan
penurunan
kesadaran
dan
penurunan
fungsi
neurologis
akan
mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga.
4. Manifestasi Klinis Adapun manifestasi klinis trauma kepala : a)
Mual dan muntah Dengan peningkatan TIK merangsang kelenjar pituitari dan steroid sehingga sekresi asam lambung meningkat.
b)
Sakit kepala Vasokonstriksi arteri pada kulit kepala dan pembuluh – pembuluh darah serebri sedangkan pembuluh – pembuluh darah ekstrakranium dan intrakranium mengalami dilatasi.
c)
Disorientasi Adanya kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan disebabkan oleh benturan yang mengenai jaringan otak.
d)
Kelemahan pada salah satu sisi tubuh Adanya kerusakan pada lobus parientalis bagian anterior
e)
Kejang Terjadinya kerusakan pada lobus frontalis
f)
Defekasi dan perkemihan tanpa disadari Terjadinya kerusakan pada serebrum
g)
Penurunan kesadaran Penekanan dan pengembangan gaya kompresi yang destruktif sehingga otak akan membentang batang otak dengan sangat kuat dan terjadi blokade reversible terhadap lintasan asendens retikular difus yang berakibat otak tidak mendapat input afferent.
12
h)
Denyut nadi lambat Adanya tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung.
i)
Tekanan darah meningkat Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arterial berkontraksi. Aktivitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktivitas ventrikel. Hal ini bisa meningkatakan atrium kiri sehingga berkompensasi dengan menigkatkan tekanan darah.
j)
Suhu subnormal Terjadi karena adanya rangsangan hipotalamus sebagai pengatur suhu tubuh.
k)
Paralisis ekstermitas Terjadi akibat kerusakan pada luas lobus parientalis.
l)
Gerakan mata dan motorik abnormal Terjadi akibat kerusakan pada jaringan otak sehingga mengakibatkan fungsi pusat – pusat otak tepatnya di korteks serebri pada lobus oksipital.
m) Dilatasi pupil Terjadi akibat peningkatan tekanan atau menyebarnya bekuan darah pada otak sehingga mendesak otak tepatnya di korteks serebri pada lobus oksipital n)
Peningkatan TIK Tekanan darah intrakranium dapat meningkat apabila terjadi peningkatan tekanan pada jaringan, cairan serebrospinalis atau darah di cranium.
o)
Pernapasan cepat Kerusakan serebrum, pusat otak yang mengontrol, mempertahankan irama pola napas yang teratur, pusat kontrol menghilang apabila serebrum mengalami kerusakan.Orang mulai bernapas dalam pola yang bergantung pada karbondioksida dan ion hidrogen yang
dihasilkan oleh batang otak. Pada pola ini, pernapasan apapun sampai
penimbunan karbondioksida mencapai ambang tertentu, penimbunan ini menyebabkan hiperventilasi.
13
p)
Sukar bicara Adanya gangguan pada serebrum yaitu broca dan wernicke, di mana fungsi broca mengendalikan bicara dan wernicke bertanggung jawab untuk menerima dan mengartikan bahasa.
q)
Kelemahan sistem saraf cranial
5. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
CT Scan ( dengan / tanpa kontras) Mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
MRI Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
Cerebral Angiography Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, pendarahan, dan trauma.
Serial EEG Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
Sinar – X Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) , perubahan struktur garis ( pendarahan / edema ), fragmentulang.
BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
CSS Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi pendarahan subarachnoid
Kadar Elektronik Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial.
Screen Toxicology Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
14
Rontgen thoraks 2 arah ( PA / AP dan lateral ) Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura
Toraksentesis menyatakan darah/ cairan
Analisa Gas Darah ( AGD / Astrup ) Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa.
6. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000). Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :
Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi.
Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.
Berikan oksigenasi.
Awasi tekanan darah
Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik.
Atasi shock
Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya: 1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. 2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi v asodilatasi. 3. Pemberian analgetika 15
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. 5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin). 6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N. Tindakan terhadap peningkatan TIK : 1. Pemantauan TIK dengan ketat. 2. Oksigenisasi adekuat. 3. Pemberian mannitol.(alkohol gula yang terbentuk oleh reduksi manosa atau fruktosa serta tersebar
luas pada tanaman dan jamur ; turunan heksanitrat digunanakan sebagai
vasodilator
Bersifat hipertonik : menarik cairan menuju ginjal yang kemudian di
buang melalui urine. 4. Penggunaan steroid. 5. Peningkatan kepala tempat tidur. 6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain
1. Dukungan ventilasi. 2. Pencegahan kejang. 3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi. 4. Terapi anti konvulsan. 5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien. 6. Pemasangan selang nasogastrik. 16
7. Komplikasi 1. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85% pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok), pemberian antibotik profilaksis masih kontrofersial. Otorea (sekret dari telinga) atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif. 2. Fistel karotis – kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita(bunyi / murmur abnormal yang terdengar pada auskultasi) dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. 3. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada yangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
Pasien mengekskresikan
sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin ( Piuresin ) 5-10 unit intravena, intramuskular, dan subkutan setiap 4-6 jam atau desmopressin asetat subkutan atau intra vena 2-4 mg setiap 12 jam diberikan untuk mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam dan volume diganti dengan cairan hipotonis (0,25 % atau 45 % salin tergantung pada berat ringannya hipernatremia. 4. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera ( dalam 24 jam pertama ), dini ( minggu pertama ) atau lanjut ( setelah satu minggu ).
Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang meningkatkan untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insiden keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut ( berulang tanpa provokasi) setelah cedera kepala tertutup adalah 5%;risiko mendekati 20% pada pasien dengan pendarahan intrakranial atau fraktur depresi.
17
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT 1. Primary Survey Airway 1. Pengkajian
Periksa jalan nafas apakah ada sumbatan atau tidak. Jika pasien masih dapat berbicara, kemungkinan jalan napas dalam keadaan adekuat.
Obstruksi jalan napas pada pasien tidak sadar dapat diakibatkan oleh benda asing, muntah, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah.
2. Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum; kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak); adanya jalan napas buatan trakea (tracheostomi) Tujuan : Pasien menunjukkan bersihan jalan nafas efektif Kriteria hasil : Batuk efektif Sianosis berkurang Sesak berkurang Pernafasan cuping hidung berkurang HR 60-100x/menit Jalan napas bersih
3. Intervensi
Kaji kepatenan jalan nafas
18
R/ Mengetahui kepatenan jalan nafas pasien dan mengetahui apakah ada sumbatan atau tidak pada jalan nafas pasien. Buka jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan menggunakan teknik chin lift, dan jaw thrust. R/ memastikan tidak ada obstruksi pada jalan napas sehingga pasien dapat bernapas dengan baik. Pertahankan jalan napas R/ Memantau adanya tanda dan gejala ketidakmampuan napas dalam dan pneumothoraks Lakukan suction minimal tiap 2 jam/sesuai indikasi R/ Membebaskan hambatan jalan napas dan melancarkan ventilasi Berikan posisi semi fowler R/ Mencegah aspirasi pada saat terjadi peningkatan TIK Kolaborasi denngan dokter dalam pemberian obat-obat bronkhodilator sesuai indikasi aminophilin, meta-proterenol sulfat ( alupent ), adoetharine hydrochloride ( bronkosol) R:
Mengatur
ventilasi
dan
melepaskan
sekret
karena
relaksasi
muscle/bronchospasme
19
Breathing 1. Pengkajian
Kaji kemampuan bernafas, peningkatan tekanan CO2 akan memperburuk edema serebri.
Kaji irama, kedalaman, keteraturan pernafasan dan ekspansi dada
2. Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan depresi pusat pernapasan; kelemahan otot-otot pernapasan; ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma dan perubahan perbandingan O2 dan CO2. Tujuan : Pasien menunjukkan pola napas yang efektif Kriteria hasil : Pernapasan 20-25x/menit
3. Intervensi
Kaji fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital. R: Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia Beri O2 4-6 liter/menit R : Mencegah hipoksia serebri dan memaksimalkan oksigen pada daerah arteri Beri hiperventilasi 20-25x/menit
20
R : meningkatkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga edema serebri menurun. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan R : mengidentifikasi adanya masalah paru seperti ateletaksis, kongesti atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi serebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru. (umumnya merupakan komplikasi dari cedera kepala). Pantau analisa gas darah (AGD), tekanan oksimetri R : menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi. Circulation 1. Pengkajian
Kaji nadi dan perdarahan
Kaji tekanan darah
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK; edema serebral dan perdarahan serebral. Tujuan : Mempertahankan perfusi jaringan serebral yang adekuat Kriteria hasil : Pusing, mual, muntah dan gelisah berkurang TD dalam batas normal Tidak ada tanda peningkatan TIK 21
3. Intervensi
Kontrol perdarahan, jangan beri tekanan pada luka perdarahan dikepala, tutup saja dengan kassa, di plester. R : Penekanan pada kepala dapat merangsang/memperparah peningkatan TIK Pantau adanya tanda peningkatan TIK : sakit kepala berat, muntah proyektil R : Peningkatan TD secara bermakna akan memperberat kondisi TIK Pantau TTV dan nadi R : Memberikan petunjuk adanya perkembangan syok sebaik adanya peningkatan TIK Tinggikan kepala 15-45 untuk mendorong drainage vena dan mengurangi bendungan pada serebral R : Meminimalisir rangsang yang dapat meningkatkan T IK Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Berikan cairan melalui intravena dengan alat control. R : meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema atau resiko terjadinya peningkatan TIK Kolaborasi dalam pemberian terapi diuretic untuk menurunkan TIK, biasanya diberikan manitol R : Terapi diuretic dapat mencegah peningkatan TIK
22
Disability
Pada pasien dengan trauma kepala sedang sampai berat dapat mengalami penurunan kesadaran. Namun pada pasien dengan cedera kepala sedang mengalami penurunan kesadaran kurang dari 24 jam (GCS 9-12), sedangkan pada pasien cedera kepala berat dapat mengalami koma (GCS 3- 8).
Dilatasi pupil dapat terjadi akibat peningkatan tekanan atau menyebarnya bekuan darah pada otak sehingga mendesak otak tepatnya di korteks serebri pada lobus oksipital.
Kejang dapat terjadi akibat kerusakan lobus frontalis dan juga akibat dari manifestasi klinis peningkatan TIK.
Intervensi : Pantau GCS evaluasi pupil : ukuran, repson terhadap cahaya/reflks pupil, simetris/anisokor Pantau TTV
Exposure
Seluruh pakaian harus dibuka, untuk memudahkan pengkajian menyeluruh secara cepat dan untuk mengetahui trauma pada daerah lain. Cegah terjadinya hipotermia dan hipertermia. Intervensi : Pantau suhu dengan TTV
2. Secondary survey a. Kaji riwayat trauma Mekanisme trauma
23
Posisi klien saat ditemukan Memori
b. Pengkajian Head to toe c. Pantau tanda-tanda vital
3. Evaluasi
1. Bersihan jalan napas kembali efektif, pasien terbebas dari aspirasi 2. Ekspansi paru maksimal, pola napas efektif 3. Tidak terdapat tanda-tanda syok 4. Tidak terjadi penurunan kesadaran/disorientasi 5. Perfusi jaringan serebral adekuat 6. Suhu kembali normal (36-37,5)
24
BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan. 2. Saran
Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan gawat darurat yang akan datang, diantaranya : 1. Bagi Institusi Sebaiknya institusi menambah buku-buku asuhan keperawatan gawat darurat terutama pada pasien dengan trauma capitis, agar kedepan mahasiswa yang menyusun makalah dengan judul yang sama, dapat memperoleh sumber kepustakaan yang menunjang. 2. Bagi dosen pembimbing Sebaiknya terus memberikan tugas seperti ini kepada kami mahasiswa/I, agar kami dapat mengetahui penanganan yang tepat untuk pasien dengan kasus yang telah diberikan. 3. Bagi mahasiswa Sebaiknya lebih aktif berpartisipasi dalam mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh dosen pembimbing.
25
DAFTAR PUSTAKA
Rab Prof.Dr. H. Tabrani. 2007. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung : P.T. ALUMNI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Marilynn E, Doengoes, 2000 , Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000
Wilkinson, Judith M (2006) Buku saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Alih bahasa, Widyawati et al; editor edisi Bahasa
Indonesia, Eny Meiliya, Monica Ester. Edisi 7, Jakarta : EGC
26