REFRAT TRAUMA ABDOMEN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3 2.1 DEFINISI .............................................................................................................. 3 2.2 EPIDEMIOLOGI .................................................................................................. 3 2.3 ANATOMI............................................................................................................ 4 2.4 KLASIFIKASI ...................................................................................................... 6 2.5 ETIOLOGI ............................................................................................................ 7 2.6 PATOFISIOLOGI................................................................................................. 8 2.7 CEDERA ORGAN ABDOMEN .......................................................................... 9 2.8 GEJALA DAN TANDA KLINIK ........................................................................ 12 2.9 DIAGNOSIS ......................................................................................................... 13 2.10 PENATALAKSANAAN .................................................................................... 17 2.11 KOMPLIKASI .................................................................................................... 19 2.12 PROGNOSIS ...................................................................................................... 20 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................. 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 23 4.1 Angka Kejadian Trauma Abdomen ..................................................................... 23 4.2 Distribusi Kasus Trauma Abdomen Berdasarkan Jenis Kelamin ......................... 23 4.3 Distribusi Kasus Trauma Abdomen Berdasarkan Kelompok Umur .................... 24 4.4 Distribusi Kasus Trauma Abdomen berdasarkan Jenis Trauma ........................... 25 4.5 Keadaan Patologi yang didapatkan Akibat Trauma Abdomen ............................ 26 4.6 Distribusi Kasus Trauma Abdomen Berdasarkan Penyebab Trauma................... 28 4.7 Keadaan Patologi yang Didapatkan Berdasarkan Penyebab Trauma Abdomen............................................................................. 39 4.8 Angka Mortalitas Trauma Abdomen ................................................................... 30 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 32
BAB I PENDAHULUAN
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tembus. Walaupun tehnik diagnostik baru sudah banyak dipakai, misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih merupakan tantangan bagi ahli klinik.Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Evaluasi awal sangat bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait. Di Eropa, sebagian besar trauma abdomen disebabkan oleh trauma tumpul, terutama karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kekerasan, kekerasan terhadap diri sendiri. Luka tembus, luka tembak, paling sering terjadi di Amerika Serikat sedangkan luka tusuk lebih umum terjadi di Finlandia dan Afrika Selatan. Pasien mungkin juga memiliki trauma organ abdomen dalam bahkan jika luka tikam atau luka tembak masuk di luar daerah perut depan, seperti di punggung, pinggang, pantat, perineum, paha atas, dada bawah atau setelah lengan. Penatalaksanaan trauma abdomen sampai sekarang masih merupakan bahan diskusi dalam Ilmu Bedah, dari tindakan yang konservatif sampai tindakan yang radikal. Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan untuk lebih selektif dalam melakukan tindakan laparotomi pada trauma abdomen. Kematian pada trauma abdomen tidak hanya ditentukan oleh beratnya trauma atau adanya trauma penyerta, tetapi juga oleh keterlambatan dalam menegakkan diagnosis. Kematian biasanya disebabkan oleh perdarahan atau peradangan dalam rongga peritoneum. Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada korbannya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI Trauma merupakan kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera. Trauma abdomen adalah trauma yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan immunologi dan gangguan faal berbagai organ
2.2 EPIDEMIOLOGI Pada tahun 1990, sekitar 5 juta orang meninggal di seluruh dunia karena cedera (trauma). Resiko kematian karena trauma sangat bervariasi tergantung dari daerah, usia, dan jenis kelamin. Kematian karena trauma sekitar 12,5% dari seluruh kematian pada laki-laki dan pada perempuan hanya 7,4%. Pada tahun 2020, diperkirakan angka kematian di dunia akibat trauma akan mencapai 8,4 miliar dan salah satu penyebab tersebut adalah kecelakaan lalu lintas. National Pediatric Trauma Registry (2000) di Amerika Serikat melaporkan 8% pasien (total 25.301 pasien)
mengalami trauma abdomen.
Delapan puluh tiga persen (83%) dari trauma tersebut adalah karena trauma tumpul dan 59% dari trauma tumpul tersebut diakibatkan oleh cedera karena kecelakaan kendaraan. Penelitian yang serupa dari database trauma pasien dewasa menunjukkan bahwa trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera intraabdomen dan kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama dari cedera tersebut. Trauma tumpul didapatkan sekitar 2/3 dari seluruh trauma tersebut. Dari seluruh kasus trauma abdomen di RSCM, trauma tembus akibat luka tusuk menempati tempat teratas (65%) diikuti oleh trauma tumpul. Lebih dari 50% trauma tumpul disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, biasanya disertai dengan trauma pada bagian tubuh lainnya. Di negara-negara yang mengharuskan penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan, dikenal trauma tumpul yang disebabkan oleh sabuk pengaman ini yang disebut seat-belt syndrome. Trauma
tumpul terutama terjadi di daerah pedesaan, sementara trauma tembus lebih sering terjadi di daerah perkotaan.
2.3 ANATOMI 2.3.1
Anatomi Luar
a. Abdomen depan Abdomen depan merupakan bidang yang dibatasi di bagian cranial oleh garis intermammaria, caudal oleh kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis serta di lateral oleh kedua linea axillaris anterior b. Pinggang Merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior dan linea axillaris posterior, dari sela iga ke VI sampai crista iliaca. Di lokasi ini ada dinding otot yang tebal, berlainan dengan dinding otot yang tipis di bagian depan, menjadi pelindung terutama terhadap luka tusuk. c. Punggung Daerah ini berada di posterior dari linea axillaris posterior, dari ujung caudal scapula sampai crista iliaca. Otot-otot punggung dan otot paraspinal menjadi pelindung terhadap trauma tajam. 2.3.2
Anatomi dalam
a. Rongga peritoneum Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding cavitas abdominis dan cavitas pelvis serta meliputi visera abdomen dan pelvis. Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas abdominis dan cavitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ. Rongga potensial di antara peritoneum parietalis dan visceralis disebut cavitas peritonealis.
b. Rongga pelvis Merupakan ruangan yang terletak diantara aperture pelvis superior dan aperture pelvis inferior. Biasanya cavitas pelvis dibagi oleh diafragma pelvis yang terletak di atas dan perineum dibawahnya. Rongga ini terutama berisi organ urogenitalia. c. Rongga retroperitoneum Rongga potensial yang berada di belakang dinding peritoneum yang melapisi abdomen. Cedera pada organ dalam retroperitoneum sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan pemeriksaan fisik dan biasanya cedera awalnya tidak akan menimbulkan gejala peritonitis. Rongga ini termasuk dalam bagian yang diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage (DPL). Ada dua macam cara pembagian topografi abdomen yang umum dipakai untuk menentukan lokalisasi kelainan, yaitu: 1. Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal melalui umbilikus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan bawah, dan kiri bawah. 2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan dua garis vertikal. a. Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan iga kesepuluh dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anteriorsuperior (SIAS). b. Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS dan mid-line abdomen. c. Terbentuklah daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri,lumbal kanan, umbilical, lumbal kiri, iliaka kanan, hipogastrium atau suprapubik, dan iliaka kiri.
Sumber:www.wikipedia.com
2.4 KLASIFIKASI Trauma pada abdomen disebabkan oleh dua mekanisme yang merusak, yaitu: (1) trauma tumpul: merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peitonium. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, keselakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolah raga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. (2) Trauma tembus: merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak. Berdasarkan organ yang terkena trauma abdomen dapat dibagi menjadi dua: (1) Trauma pada organ padat, seperti hepar, limpa (lien) dengan gejala utama perdarahan. (2) Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu dengan gejala utama adalah peritonitis. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau organ dibawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benda tumpul, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi dan organ padat berupa laserasi. Trauma tembus dibagi menjadi luka tusuk dan luka tembak. Trauma tembus akibat peluru dibedakan antara jenis kecepatan rendah (low-velocity) dengan kecepatan tingg (high-velocity). Trauma tembus akibat peluru dengan kecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Hampir selalu luka tembus akibat peluru mengakibatkan kerusakan pada organ-organ dalam abdomen. Bahkan luka peluru yang tangensial tanpa memasuki rongga abdomen dapat menimbulkan kerusakan organ-organ dalam abdomen akibat efek ledakan.
2.5 ETIOLOGI Berdasarkan penyebabnya trauma tumpul dibagi menjadai tiga yaitu: benturan karena benda tumpul, cedera kompresi, dan cedera perlambatan (deselerasi). Benturan karena benda tumpul dapat mengakibatkan perforasi pada organ visera berongga dan perdarahan pada organ visera padat. Pada cedera kompresi dapat mengakibatkan robekan dan hematoma pada organ visera padat. Selain itu cedera kompresi juga dapat mengakibatkan ruptur pada organ berongga karena peningkatan tekanan intraluminer. Peregangan dan ruptur pada jaringan ikat atau penyokong diakibatkan karena perlambatan atau deselerasi. Trauma akibat kecelakaan kendaraan sampai saat ini merupakan penyebab utama trauma tumpul abdomen pada populasi masyarakat. Kecelakaan antar kendaraan dan kendaraan dengan pejalan kaki menjadi penyebab pada 50-75% kasus. Penyebab yang jarang dari trauma tumpul abdomen antara lain trauma iatrogenic selama resusitasi cardiopulmonal, melakukan dorongan secara manual untuk membersihkan jalan napas, dan maneuver Heimlich. Trauma tembus dapat desebabkan oleh luka akibat terkena tembakan, luka akibat tikaman benda tajam dan luka akibat tusukan. Luka tembus karena tembakan kecepatan rendah dapat mengakibatkan kerusakan jaringan, laserasi, dan putus. Sedangkan luka tembak kecepatan tinggi dapat mengakibatkan hancurnya organ dalam.
Luka akibat tembakan senjata, dimana mempunyai energi yang lebih besar dibandingkan luka tusuk, biasanya menyababkan kerusakan yang lebih besar. Luka akibat tembakan senjata yang menembus peritoneum dan mengakibatkan kerusakan yang berarti terhadap struktur intraabdomen yang penting didapatkan pada lebih dari 90% kasus.
2.6 PATOFISIOLOGI Pada trauma tumpul abdomen cedera pada struktur dalam rongga abdomen dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme cedera yaitu kekuatan kompresi dan kekuatan perlambatan (deselerasi). Kekuatan kompresi dapat ditemukan pada pukulan secara langsung atau kompresi luar yang melawan benda yang memfiksasi organ tersebut misalnya lap belt dan spinal column. Umumnya kekuatan yang merusak menyebabkan robek dan timbulnya hematoma subkapsular dari organ visera yang padat. Kekuatan tersebut juga menyebabkan perubahan bentuk pada organ berongga dan menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sementara sehingga dapat menimbulkan robekan. Peningkatan tekanan sementara ini biasanya terjadi pada usus kecil. Kekuatan deselerasi menyebabkan peregangan (stretching) dan memotong (shearing) secara linier bagian organ yang relatif terfiksir dengan bagian yang bergerak bebas. Kekuatan memotong secara longitudinal cenderung menyebabkan ruptur dari struktu penyokong pada daerah hubungan antara dua segmen yang bergerak bebas dan terfiksir. Cedera deselerasi yang klasik termasuk robeknya hepar sepanjang ligamentum teres dan trauma lapisan intima dari arteri renalis. Hal serupa juga dapat menyebabkan kolon terlepas dari perlekatannya dengan mesenterium, trombosis dan robekan mesenterik serta dapat juga ditemukan cedera pada arteri splanikus. Pada luka tusuk, kerusakan organ adalah akibat langsung dari alat penusuk. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga abdomen dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak
akan menimbul kerusakan pada organ yang dilalui peluru. Organ padat akan mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru tipe high velocity.
2.7 CEDERA ORGAN ABDOMEN a. Diafragma Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke dua diafragma, yang paling penting mengenai cedera adalah diafragma kiri. Cedera biasanya 5 – 10 cm panjangnya dengan lokasi di postero lateral dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto thorak awal akan terlihat diafragma yang labih tinggi ataupun kabur, biasanya berupa hemathoraks, ataupun adanya bayangan udara yang membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang terpasang dalam gaster terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak memperlihatkan adanya kelainan. b. Organ berongga 1. Lambung dan usus halus Trauma tumpul dan penetrasi ke dalam lambung, jejunum, dan ileum relatif mudah dikoreksi pada eksplorasi bedah. Trauma penetrasi memerlukan debridemen luka dan penutupan sederhana. Kadang-kadang sejumlah luka akan ditemukan dalam usus halus di atas segmen yang relatif pendek, sehingga mereseksi segmen yang terlibat dan melakukan anastomosis primer merupakan tindakan yang tepat. Faktor yang dianggap mencetuskan hal tersebut adalah peningkatan mendadak tekanan intralumina lokal, kompresi usus halus pada kolumna vertebralis serta deselerasi pada atau dekat titik fiksasi. Penggunaan sabuk pengaman mengakibatkan avulsi lambung dan usus halus. 2. Kolon dan rektum Trauma kolon dan rektum tersering mengikuti trauma penetrasi cavitas abdominalis. Banyak kontroversi sehubungan dengan terapi cedera kolon. Penatalaksanaan memerlukan banyak penilaian klinik dan terutama ditentukan oleh derajat cedera, adanya cedera penyerta yang mengancam nyawa dan kontaminasi feses serta waktu yang terlewatkan antara trauma dan perbaikan
bedah. Para ahli percaya terapi konservatif lebih tepat, kecuali cedera kolon ringan dan kontaminasi feses sedikit. c. Organ padat 1. Hati Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering kali kerusakan disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan di hati yaitu mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu. Trauma hepar dengan hemodinamik stabil dan tidak ada tanda perdarahan serta defans muskular dilakukan perawatan non operatif dengan observasi ketat selama minimal 3 x 24 jam. Harus dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG maupun Hb serial. Indikasi operatif cedera hepar yaitu trauma hepar dengan shok, peritonitis, hematoma yang meluas, penanganan konservatif gagal, dan dengan cedera lain intra abdominal. 2. Limpa Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa. Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan terapi operatif dan non operatif. Jika terapi operatif harus dipilih, splenorafi dapat dilakukan dengan memberikan zat-zat hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera dengan vaskularisasi. Kontraindikasi tindakan penyelamatan limpa adalah kondisi pasien yang tidak stabil, avulsi limpa atau fragmentasi yang luas, dan cedera pembuluh darah hilus yang luas serta kegagalan mencapai hemostasis. 3. Pankreas Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di daerah epigastrium dengan kolumna vertebralis sebagai alas. Peningkatan kadar amilase yang konstan harus dicurigai adanya cedera pankreas. Pada 8 jam pertama pasca trauma pemeriksaan CT dengan double contras bisa saja belum memperlihatkan cedera pankreas. Pemeriksaan harus diulang jika dicurigai adanya cedera pada
organ tersebut. Jika CT scan meragukan maka dianjurkan untuk dilakukan pembedahan eksplorasi. 4. Traktus urinarius a. Ginjal Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen trauma ginjal disebabkan oleh trauma tumpul yang secara langsung mengenai abdomen, pinggang, dan punggung. Trauma tersebut disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, dan olahraga kontak. Tabrakan kendaraan pada kecepatan tinggi bisa menyebabkan trauma pembuluh darah utama karena deselerasi cepat. Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai ginjal sehingga jika terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal. Pada luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma visera abdomen. Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneum bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara massa ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia gerota. Karena fiksasi yang sedikit, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh akselerasi maupun deselerasi mendadak yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsila mauopun komplit pembuluh darah. Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrasi di daerah ini bisa menyebabkan trauma pada ke dua struktur. Vena renalis yang berdekatan dengan pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinsai yaitu trauma pankreas, duodenum, dan ginjal. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur karena adanya trauma ginjal. b.
Ureter, vesika urinaria, dan urethra Trauma tumpul ureter jarang terjadi dan biasanya timbul akibat tindakan
laparotomi. Ruptur intraperitonium dari kandung kemih biasanya timbul akibat fraktur pelvik atau ketika pukulan langsung pada perut bagian bawah. Gejala yang timbul berupa rangsangan peritoneum. Pemeriksaan dengan CT scan dapat
mendeteksi cairan intraperitoneum. Cedera tersebut juga dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan retrograde atau CT cystography. Cedera urethra anterior lebiha jarang terjadi, namun biasanya timbul akibat straddle injury yang menyebabkan timbulnya hematom di daerah penis dan perineum. Pasien dengan cedera tersebut bisanya megalami kerusakan berat pada spongiosus urethra. Eksplorasi bedah dini dindikasikan dengan mobilisasi urethra dan eksisi segmen cedra dengan reanastomosis. d. Organ reproduksi Cedera intraabdominal yang mengenai organ jarang terjadi pada pasien yang tidak hamil dan biasanya ditemukan ketika dilakukan laparotomi akibat yang lain. e. Pembuluh darah abdomen Cedera pada pembuluh darah besar abdomen biasanya menyebabkan instabilisasi hemodinamik dan ditemukan pada saat laparotomi. Pada beberapa kasus perdarahan dapat berhenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan adanya pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh darah besar, maka merupakan indikasi perbaikan pembuluh darah yang rusak dengan cara laparotomi. Pada beberapa kasus perdarahan dapat berenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan adanya pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh darah besar, maka merupakan indikasi perbaikan pembuluh darah yang rusak dengan cara laparotomi dan mencegah perdarahan yang terjadi
2.8 GEJALA DAN TANDA KLINIK Gejala awal dari cedera abdomen meliputi mual, muntah, dan demam. Darah dalam urine juga sebagai tanda yang lainnya. Cedera pada abdomen bisa didapatkan nyeri abdomen, distensi, atau kaku pada palpasi, dan suara usus bisa menurun atau tidak ada. Perlindungan abdomen yaitu dengan penegangan dari dinding perut untuk menjaga organ-organ yang mengalami inflamasi di dalam abdomen. Pneumoperitoneum merupakan udara atau gas di dalam rongga abdomen, bisa menjadi suatu indikasi adanya ruptur dari organ berongga. Pada
luka tembus, bisa didapatkan adanya eviserasi (keluarnya organ-organ dalam abdomen dari tempat luka tersebut). Cedera-cedera yang berhubungan dengan trauma intraabdomen meliputi fraktur costa, fraktur vertebra, fraktur pelvis, dan cedera pada dinding abdomen. Trauma tumpul abdomen seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. Adanya darah atau cairan usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat pula ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan adanya udara bebas dapat diketahui dengan hilang dan beranjaknya pekak hati. Bising usus biasanya melemah dan menghilang. Rangsangan peritoneum dapat pula berupa nyeri alih di daerah bahu sebelah kiri. Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intraperitoneal. Rangsangan peritoneal yang timbul sesuai dengan isi dari organ yang berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi di bagian atas, misalnya di daerah lambung, maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah, seperti kolon, mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembangbiak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
2.9 DIAGNOSIS a. Anamnesis Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksisaksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha resusitasi.
b. Pemeriksaan Fisik Untuk pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru palpasi. Untuk inspeksi lihat mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah, tanda dehidrasi, perdarahan, dan tanda-tanda syok. Pada trauma abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis. Echimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di intraabdomen. Terdapat Echimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut
Cullen’s Sign sedangkan echimosis
yang
ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai Turner’s Sign. Terkadang ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar seperti usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus atau tajam. Untuk auskultasi selain suara bising usus yang diperiksa di empat kuadran dimana adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus, juga perlu didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis. Perkusi untuk melihat apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi tinju dengan meletakkan tangan kiri pada sisi dinding thoraks pertengahan antara spina iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga terjadi getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda adanya radang atau abses di ruang subfrenik antara hati dan diafraghma. Selain itu bisa ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi bila ditemukan balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul kanan ketika klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya rupture limpe. Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras pada hati menandakan adanya udara bebas yang masuk. Adanya darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum
akan
memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding abdomen. Kekakuan dinding abdomen dapat pula diakibatkan oleh hematoma pada dinding abdomen. Adanya darah dalam rongga abdomen dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. Bising
usus biasanya melemah atau hilang sama sekali. Bising usus yang normal belum berarti bahwa tidak ada apa-apa dalam rongga abdomen. Trauma abdomen disertai ranggsangan peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah bahu terutama yang sebelah kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan: pemeriksaan rektum, adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar: kuldosentesis, kemungkinan adanya darah dalam lambung; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan lesi pada saluran kencing. c. Pemeriksaan Laboratorium Secara rutin diperiksa hemoglobin, hematokrit, hitung jenis leukosit, dan urinalisis. Nilai-nilai amilase urine dan serum dapat membantu untuk menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforsi usus. 1. Darah lengkap Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi perdarahan. Pasien yang mengalami perdarahan dapat dilakukan transfusi dengan cairan kristaloid. Transfusi trombosit diperlukan jika terjadi trombositopenia (plateler count < 50.000/ml) dan perdarahan aktif. 2. Kimia serum Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui adanya ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah sewaktu juga penting digunakan untuk mengetahui status mental pasien. 3. Lever funection test (LFT) LFT mungkin dapat digunakan pada pasien dengan trauma tumpul abdomen untuk mengetahui alasan insiden seperti pada alcohol abuse. Peningkatan
kadar
aspartate
aminotransferase
(AST)
atau
alanin
aminotransferase (ALT) lebih dari 130µ berhubungan dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar lactate dehydrogenase (LDH) dan bilirubun merupakan indikasi non spesifik untuk cedera hepar.
4. Pengukuran amilase pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik untuk cedera pankreas. Namun peningkatan kadar amilase setelah 3 – 6 jam setelah trauma memiliki akuransi yang cukup besar. 5. Urinalisis Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup parah pada abdomen dan flank, gross hematuri, microscop hematuri pada pasien hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang parah. 6. Coagulation profile Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat blood dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis (cirrhosis), atau yang sedang dalam terapi obat-obatan (warfarin dan heparin). 7. Golongan darah, screen, dan crossmatch Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami trauma abdomen dengan tujuan untuk menghemat waktu crossmatch sehingga dapat dipersiapkan darah utnuk transfusi dengan segera. 8. Pengukuran gas darah arteri Pemeriksaan ini penting untuk memberikan informasi tentang kadar oksigen (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2). Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi asidosis metabolik yang sering menyertai keadaan syok. 9. Skrining obat dan alkohol Pemeriksaan skrining terhadap pemakaian obat dan alkohol dapat berguna untuk menilai kesadaran pasien. d. Pemeriksaan Radiologi Bila indikasi untuk melakukan laparatomi sudah ditentukan tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan radiologi, lebih-lebih pada penderita dalam keadaan syok. Pemeriksaan radiologi hanya akan memperburuk keadaan penderita bahkan dapat berakhir dengan kematian di atas meja rontgen. Pemeriksaan radiologi untuk skrining adalah Ro-Cervical lateral, thorak anterior-posterior, dan pelvis anterior-posterior dilakukan pada pasien trauma
tumpul dengan multi trauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi (terlentang, setengah duduk, dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum yang menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal. IVP atau sistogram hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing. e. Parasentesis Perut Pada trauma tumpul sulit untuk melihat setiap bagian intraperitoneum dari traktus gastrointestinal dengan diagnosis laparoskopi. Teknik ini tidak memungkinkan untuk melihat secara adekuat bagian retroperitoneum. Cara ini mungkin mampu menilai adanya cedera hepar atau limpa dan terapi kejadian cedera minor, namun cara tersebut sulit untuk menentukan rencana terapi. f. Lavase Peritoneal Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intraabdomen pada suatu trauma tumpul bila dengan pemeriksaan fisik dan radiologik, diagnosa masih diragukan. Test ini tidak boleh dilakukan pada penderita yang tidak kooperatif, melawan, dan yang memerlukan operasi abdomen segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi penderita terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tinktur dan infiltrasi anestesi lokal di garis tengah diantara umblikus dan pubis, kemudan dibuat insisi kecil. Kateter dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Bila pada pengisapan tidak keluar darah atau cairan, dimasukkan cairan garam fisiologis sampai 1000 ml yang kemudian dikeluarkan kembali. Hasil dikatakan positif bila: cairan yang keluar berwarna kemerahan, adanya empedu, ditemukannya bacteria atau sel darah lebih dari 100.000/mm3, sel darah putih lebih dari 500/mm3, amylase lebih dari 100 u/100 ml.
2.10
PENATALAKSANAAN
a. Trauma Tumpul Tindakan awal yang dilakukan pertama kali adalah primary survey untuk mengidentifikasi permasalahan yang mengancam dengan segera. Stabilisasi ABCs
(Airway, Brething, Circulation) dilakukan secara simultan. Pasien dengan permasalahan jalan nafas atau yang memiliki potensi mengancam dilakukan pemasangan endotracheal tube. Atasi pasien yang mengalami apnea atau hipoventilasi serta pasien yang mengalami takipnea dengan memberikan oksigen. Menurunnya
suara
nafas
mungkin
ditemukan
pada
hemothoraks
atau
pneumothoraks sehingga perlu dilakukan dekompresi. Identifikasi hipovolemi dan tanda shok dan mencari sumber perdarahan. Atasi segera dengan pemberian cairan intravena. Setelah tertangani semua lakukan pemeriksaan fisik lengkap mulai dari kepala sampai ke kaki dengan memfokuskan pada daerah yang mengalami trauma. Setelah melakukan primery survey dan resusitasi awal, segera lengkapi dengan
secondary
survey
untuk
mengidentifikasi
semua
potensi
yang
memungkinkan menimbulkan cedera. Bedside ultrasonography merupakan salah satu protokol untuk menilai adanya perdarahan intraperitoneum. Jika hasil penilaian negatif atau meragukan, DPL bisa dilakukan pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil. Pasien yang mengalami instabilisasi hemodinamik atau ditemukan abnormalitas yang jelas pada pemeriksaan fisik dan prosedur diagnostik memerlukan intervensi pembedahan. Penemuan yang spesifik pada tahap diagnostik, seperti terbukti adanya cairan bebas atau cedera organ padat pada sonogram atau CT-scan merupakan indikasi untuk dilakukan intervensi pembedahan. Pasien harus dimonitor secara ketat di ICU bedah setelah selesai laparotomi. Banyak pasien akan masih diintubasi dan diberikan ventilasi. Perhatian harus ditujukan pada suhu pasien, kelancaran resusitasi pemberian cairan dan darah, penggantian elektrolit, dan memonitor keluaran drainage. Pada pasien dengan adanya bukti perdarahan yang berlanjut mungkin mempunyai keuntungan untuk dilakukan evaluasi dengan angiografi untuk mengetahui adanya embolisasi; dan beberapa pasien memerlukan eksplorasi kembali untuk mengontrol perdarahan. Pasien yang menjalani prosedur control kerusakan demage-control procedures) dan/atau yang dilakukan penutupan abdomen sementara harus dilakukan operasi kembali dalam 24-48 jam untuk perbaikan definitive
b. Luka Tusuk Karena tingginya frekuensi laparotomi negatif pada tindakan laparotomi rutin, sekarang orang cenderung untuk lebih selektif dalam memutuskan tindakan laparotomi pada luka tusuk abdomen. Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila: adanya tanda-tanda rangsangan peritoneal, syok, bising usus tak terdengar, prolaps visera melalui luka tusuk, darah dalam lambung, buli-buli, rectum, udara bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal memberikan hasil positif. Selain dari itu penderita diobservasi selama 24-48 jam. Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu apakah luka tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka tusuk. Luka tusuk yang menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan laparotomi. c. Luka Tembak Berbeda dengan luka tusuk abdomen yang belum tentu mengenai alat dalam abdomen, luka tembak hampir selalu menimbulkan kerusakan pada alat dalam perut. Dianjurkan pada luka tembak perut agar dilakukan laparotomi.
2.11
KOMPLIKASI Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun
yang tidak teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis, dan kematian dapat terjadi. Delayed ruptur atau delayed hemmorage dari organ padat khususnya limpa dapat muncul. Pada pasien yang menjalani laparatomi dan perbaikan, komplikasi sama dengan kondisi lain yang memerlukan tindakan operasi. Carlos et al (2005) menemukan beberapa komplikasi pasca laparotomi pada trauma abdomen. Yang paling banyak adalah abses intraabdominal sebanyak (12%), selanjutnya infeksi luka (7%), fistel enterokutan (4%), dan gagal ginjal akut (3%). Selain itu komplikasi postoperasi dini meliputi perdarahan yang tetap berlanjut, coagulopati, dan sindrom compartment abdomen. Komplikasi yang terakhir ini diterapi dengan membuka abdomen dan menutup sementara.
Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi obstruksi usus halus dan hernia insisional.
2.12
PROGNOSIS Prognosis pasien yang menderita trauma abdomen umumnya baik. Angka
kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-10%. Sebagian besar kematian yang disebabkan oleh trauma abdomen dapat dicegah. Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian akibat suatu trauma yang dapat dicegah. Jika cedera abdomen tidak segera didiagnosis, suatu keadaan yang lebih buruk dapat terjadi. Terapi yang terlambat akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi jika terjadi perforasi saluran gastrointestinal. Angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tidak meningkat secara nyata karena kematian dalam 24 jam pertama sebagai akibat dari syok perdarahan irreversible dan exsangunasi. Lebih dari 80% kematian terjadi dalam 24 jam saat kedatangan di rumah dan 66,7% pada saat operasi awal karena cedera pembuluh darah abdomen. Sebaliknya, angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tanpa cedera pembuluh darah masih tinggi. Distribusi puncak dari kematian pada trauma tembus abdomen sangat berbeda dibandingkan pada trauma tumpul abdomen. Sebagian besar kematian karena trauma tembus abdomen terjadi antara 1 – 6 jam dari saat datang di rumah sakit, diikuti jumlah yang lebih kecil pada 6 – 24 jam setelah kedatangan. Sebaliknya, jumlah tertinggi kematian karena trauma tumpul abdomen terjadi 72 jam setelah kedatangan di rumah sakit dan jumlah yang lebih kecil dalam jam pertama kedatangan. Kematian karena trauma tembus abdomen lebih sering terjadi di instlasi gawat darurat (IGD) atau ruang operasi dibandingkan dengan trauma tumpul abdomen yang terutama terjadi di ICU. Secara umum, kematian terjadi dalam 72 jam pertama karena hipoperfusi dan sequelenya. Kematian di ICU dua minggu atau lebih kemudian biasanya karena komplikasi sepsis, sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS=systemic
inflammatory response syndrome), atau sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ dysfunction syndrome). Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas dari trauma tembus abdomen adalah jenis kelamin perempuan, lamanya jarak antara saat kejadian dan dimulainya tindakan operasi, adanya syok saat datang ke rumah sakit, dan adanya cedera kepala.
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang bersifat retrospektif pada penderita trauma di RSUP NTB. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan mendata jumlah kasus trauma abdomen baik kunjungan IRD (Instalasi Rawat Darurat) maupun rawat inap di RSUP NTB selama periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2010. Subjek penelitian adalah semua pasien yang mengalami trauma abdomen yang datang berobat ke IRD maupun pasien yang dirawat dirawat di RSUP NTB selama periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2010. Data yang dikumpulkan meliputi angka kejadian trauma abdomen, karakteristik subjek/demografi (jenis kelamin,umur), jenis trauma, akibat dari trauma abdomen, dan penyebab trauma abdomen. Sumber data berasal dari catatan medis pasien trauma baik dalam masa observasi di IRD maupun di rawat inap di RSUP NTB. Data akan diolah secara statistic deskriptif. Data akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Angka Kejadian Trauma Abdomen Jumlah seluruh pasien trauma abdomen yang tercatat di RSUP NTB selama periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2010 adalah 59 pasien (2,21%) dari total 2659 kasus trauma. Dari 59 pasien yang tercatat secara lengkap dalam rekam medis RSUP NTB sebanyak 42 pasien, sedangkan 17 pasien tidak tercatat dengan lengkap di rekam medis RSUP NTB. Suatu penelitian di Amerika Serikat oleh Cooper et al mendapatkan pasien trauma abdomen sekitar 8 % dari total 25.301 pasien trauma. 4.2 Distribusi Kasus Trauma Abdomen Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.1 Distribusi korban trauma abdomen berdasarkan jenis kelamin Jumlah kasus Tahun
Laki-laki
Perempuan
Total
2009
16 (38,1%)
2 ( 4,8%)
18 (42,9%)
2010
21 (50%)
3 (7,1%)
24 (57,1%)
Total
37 (88,1%)
5 (11,9%)
42 ( 100% )
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB Grafik 4.1 Distribusi korban trauma abdomen berdasarkan jenis kelamin 50% 38.10% 2009 4.80% 7.10% Laki-laki
2010
Perempuan
Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan angka kejadian trauma abdomen di RSUP NTB dari tahun 2009 sampai 2010 yaitu sebesar 14,20%. Pada tahun 2010 trauma abdomen pada laki-laki meningkat 11,90%,
sedangkan pada perempuan meningkat 2,30%. Cheng et al menemukan bahwa beberapa daerah di Amerika Serikat, 90% pasien trauma tembus adalah berjenis kelamin laki-laki sedangkan Salomone. et.al menyatakan bahwa rasio pasien laki-laki dan perempuan yang mengalami trauma tumpul abdomen adalah 60% : 40%. 4.3 Distribusi Kasus Trauma Abdomen Berdasarkan Kelompok Umur Tabel 4.2 Distribusi korban trauma abdomen berdasarkan kelompok umur Umur
Jumlah kasus
Persentase
< 15 tahun
6 orang
14.29%
15-25 tahun
20 orang
47.62%
26-35 tahun
5 orang
11.90%
36-45 tahun
3 orang
7.15%
> 45 tahun
8 orang
19.04%
Total
42 orang
100 %
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
Grafik 4.3 Distribusi Kasus Trauma Abdomen Berdasarkan Kelompok Umur 47.62%
19.04% 14.29%
11.90% 7.15%
< 15 tahun
15-25 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
> 45 tahun
Dari data yang terkumpul, korban trauma abdomen terbanyak berasal dari kelompok umur 15-25 tahun sebanyak 20 orang (57,62%) diikuti oleh kelompok umur > 45 tahun sebanyak 8 orang (19,04%), kelompok umur < 15
tahun sebanyak 6 orang (14,28 %), kelompok umur 26-35 tahun sebanyak 5 orang (11,90%), dan yang paling sedikit adalah kelompok umur 36-45 tahun sebanyak 3 orang (7,15%). Data dari National Center for Injury Prevention and Control (2000) bahwa 73% kasus trauma abdomen didapatkan pada usia 15-25 tahun dan pada rentang umur 25-35 tahun didapatkan angka kematian 57%. Salomone et.al menyatakan bahwa insiden puncak trauma abdomen terjadi pada usia 14-30 tahun. 4.4 Distribusi Kasus Trauma Abdomen berdasarkan Jenis Trauma Tabel 4.3 Distribusi korban trauma abdomen berdasarkan jenis trauma Jenis trauma
Jumlah
Presentase
Trauma tumpul
32 orang
76,2 %
Trauma tembus
10 orang
23,8 %
Total
42 orang
100 %
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
Grafik 4.3 Distribusi korban trauma abdomen berdasarkan jenis trauma 76.20%
23.80%
Trauma tumpul
Trauma tembus
Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis trauma abdomen terbanyak yaitu trauma tumpul sebanyak 32 orang (76,20%) sedangkan kasus trauma tembus sebanyak 10 orang (23,80%). Cooper et al mendapatkan 83% dari kasus trauma abdomen adalah trauma tumpul pada abdomen. Dari seluruh kasus trauma abdomen di RSCM, trauma tembus akibat luka tusuk menempati tempat teratas (65%) diikuti oleh trauma tumpul sedangkan Cheng et.al
melaporkan bahwa trauma tembus abdomen sekitar 35% dari seluruh pasien yang datang ke pusat trauma di perkotaan Amerika serikat. 4.5 Keadaan Patologi yang didapatkan Akibat Trauma Abdomen Dari 42 kasus trauma abdomen yang tercatat di RSUP NTB periode tahun 2009 sampai tahun 2010, ditemukan hanya 28 kasus trauma abdomen yang tercatat menjalani operasi (laparatomi eksplorasi). Dari 28 kasus tersebut 21 kasus adalah trauma tumpul abdomen dan 7 kasus adalah trauma tembus abdomen. Tabel dan Grafik di bawah ini menggambarkan keadaan patologi yang ditemukan pada trauma abdomen Tabel 4.4 Keadaan patologi yang didapatkan akibat trauma abdomen Akibat trauma
Jumlah
Persentase
Perforasi jejunum
1
3,58 %
Perforasi ileum
4
14,3%
Prolaps ileum
2
7,14%
Ruptur ginjal
4
14,3%
Ruptur hepar
8
28,5%
Ruptur lien
4
14,3%
Prolaps omentum
1
3,58%
Retroperitoneal hematoma
4
14,3%
Jumlah
28
100 %
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
Grafik 4.4 Keadaan patologi yang didapatkan akibat trauma abdomen 28.50% 14.30% 3.58%
14.30% 7.14%
14.30%
14.30% 3.58%
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
. Grafik 4.5 Keadaan patologi yang ditemukan akibat trauma tumpul abdomen 28.60% 19.04% 4.76%
19.04%
19.04%
9.52%
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
Grafik 4.6 Keadaan patologi yang didapatkan akibat trauma tembus abdomen 28.60% 28.60%
28.60% 14.20%
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
Dari semua jenis trauma abdomen didapatkan keadaan patologi pada organ padat sebanyak 16 kasus (57,14%) dan organ padat berongga sebanyak 7 kasus (25%). Patologi yang terbanyak ditemukan adalah trauma hepar (tabel 4.5) yaitu 28,5% diikuti ruptur ren (ginjal), ruptur lien, masing-masing 14,3%. Pada organ padat berongga didapatkan Patologi yaitu perforasi ileum 14,3% dan perforasi jejunum 3,58%. Pada taruma tumpul abdomen jenis patologi yang paling banyak ditemukan yaitu ruptur hepar 28,60% dari 21 trauma tumpul abdomen (grafik 4.6) sedangkan pada trauma tembus hanya didapatkan 28,60% dari 7 trauma tembus abdomen. Hal ini menunjukkan bahwa ruptur hepar paling banyak disebabkan oleh truma tumpul.
Udeani et.al menyatakan bahwa organ padat seperti hati dan limpa merupakan organ yang tersering mengalami kerusakan pada trauma tumpul abdomen. Selain itu usus halus, ginjal, vesica urinaria, colorectum, diaphragma, dan pancreas juga tidak jarang ditemukan. Peletti et al (2003) menemukan angka kejadian ruptur lien (37%) lebih banyak dari ruptur hepar (32%) dari 110 kasus trauma abdomen sedangkan Carlos et al (2005) menemukan organ padat yang paling banyak terkena pada trauma abdomen adalah hati (25%). Cheng et.al menyatakan pada trauma tembus karena luka tusuk, organ yang paling sering cedera adalah hati (40%), usus halus (30%), diaphragma (20%), dan colon (15%). Organ intraabdomen yang paling sering cedera karena luka tembak adalah usus halus (50%), colon (40%), hati (30%), dan struktur pembuluh darah (25%).
4.6 Distribusi Kasus Trauma Abdomen Berdasarkan Penyebab Trauma Tabel 4.5. distribusi kasus trauma abdomen berdasarkan penyebab trauma Penyebab trauma abdomen
Jumlah
persentase
Kecelakaan lalu lintas
28
66,67%
Trauma tajam
7
16,67%
Senjata api
1
2,38%
Lain-lain
6
14,28%
Jumlah
42
100%
Grafik 4.7. distribusi kasus trauma abdomen berdasarkan penyebab trauma
66.67%
16.67%
14.28% 2.38%
Kecelakaan lalu lintas
Trauma tajam
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
Senjata api
Lain-lain
Penyebab trauma abdomen yang paling banyak ditemukan di RSUP NTB adalah karena kecelakaan lalu lintas (tabel 4.5). Dari tahun 2009 sampai 2010 terhitung 28 (66,7%) kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan trauma abdomen. Dari semua kecelakaan lalu lintas tersebut semuanya menyebabkan trauma tumpul abdomen dan didapatkan hanya satu kematian karena perforasi jejunum. Data dari National Center for Injury Prevention and Control (2000) bahwa terdapat 57% kematian akibat trauma abdomen disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Selain itu penyebab trauma abdomen adalah trauma tajam (16,67%) , senjata api (2,38%), dan karena akibat yang lain yaitu terjatuh dari pohon, tertimpa pohon, tertimpa beton, jatuh dari sungai, dan korban longsor sebanyak 14, 28%. Akibat kekerasan tajam dan senjata api tersebut semuanya menyebabkan trauma tembus abdomen sedangkan yang
lain
menyebabkan
trauma
tumpul
abdomen.
Maxey (2010)
menyebutkan bahwa 30 orang menderita trauma tembus abdomen karena senjata api dari 90 orang. 4.7 Keadaan Patologi yang Didapatkan Berdasarkan Penyebab Trauma Abdomen Grafik 4.8 Patologi yang Didapatkan Akibat Kecelakaan Lalu Lintas 26.32% 21.05% 10.52% 5.27%
21.05% 10.52%
5.27%
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
Grafik 4.9 Patologi yang Didapatkan Akibat Kekerasan Tajam 40.00%
40.00%
20%
Perforasi ileum
Ruptur hepar
Prolaps omentum
Sumber : Rekam Medik RSUP NTB
Dari 28 kasus trauma abdomen yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, cedera pada organ padat didapatkan sejumlah 13 kasus (68,42%) yaitu ruptur hepar sebanyak 5 pasien (26,32%), ruptur ginjal dan ruptur lien masingmasing sebanyak 4 pasien (21,05%). Cedera pada organ padat berongga sejumlah 4 kasus (21,05%) yaitu perforasi jejunum dan prolaps ileum masingmasing sebanyak 1 pasien (5,27%). Pada trauma tajam patologi yang didapatkan adalah ruptur hepar (40%), perforasi ileum (40%), dan prolaps omentum (20%). Namun, truma abdomen akibat senjata api tidak ditemukan patologi pada organ di abdomen sehingga tidak memerlukan tindakan operasi. Penyebab lain yang mengakibatkan trauma abdomen yaitu terjatuh dari pohon, tertimpa pohon, tertimpa beton, jatuh dari sungai, dan korban longsor mengakibatkan perdarahan intraabdomen sebanyak 2 orang , prolaps ileum dan ruptur hepar masing-masing 12 orang. 4.8 Angka Mortalitas Trauma Abdomen Dari 42 kasus trauma abdomen yang didapatkan di RSUP NTB periode tahun 2009 sampai tahun 2010, tercatat 2 orang yang meninggal karena trauma abdomen diantaranya 1 orang meninggal karena trauma tumpul abdomen dan 1 orang meninggal karena truma tembus abdomen. Kematian akibat trauma tumpul abdomen disebabkan karena kecelakaan lalu lintas dengan patologi perforasi jejunum sedangkan kematian akibat trauma tembus abdomen
disebabkan karena kekerasan tajam dengan patologi perforasi ileum. Salomone et.al menyatakan bahwah 9% orang meninggal akibat trauma tumpul abdomen sedangakan Cheng et.al menyatakan bahwa terdapat sekitar 5% orang meninggal akibat trauma tajam abdomen.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Angka kejadian trauma abdomen yang tercatat di RSUP NTB selama periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2010 adalah 42 pasien dari total 2659 kasus trauma. 2. Jumlah kasus trauma abdomen berjenis kelamin laki-laki lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan yaitu sebanyak 37 orang (88,1 %) untuk laki-laki dan 5 orang (11,9%) untuk perempuan 3. Kelompok umur yang paling banyak mengalami trauma abdomen adalah kelompok umur 15-25 tahun sebesar 20 orang (47,62%) 4. Trauma tumpul abdomen merupakan jenis trauma abdomen terbanyak yaitu 32 orang (76,2%) dan trauma tembus abdomen sebanyak 10 orang (23,8%) 5. Trauma tumpul abdomen paling banyak menyebabkan cedera pada organ padat abdomen sebanyak 16 (57,14%) 6.
Cedera organ padat yang paling banyak didapatkan adalah ruptur hepar sedangkan pada cedera organ padat berongga yang paling banyak didapatkan adalah perforasi ileum.
5.2 Saran 1. Perlu dilakukan evaluasi dalam sistem pencatatan Rekam Medik RSUP NTB baik Instalasi Gawat Darurat maupun Rawap Inap secara lengkap meliputi jumlah kasus trauma abdomen pertahun, penyebab trauma abdomen, dan angka kematian akibat trauma abdomen. 2. Untuk jangka panjang, penelitian ini sebaiknya terus dilanjutkan dan diperluas cakupan sebagai salah satu sumber informasi kejadian trauma abdomen.
DAFTAR PUSTAKA 1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2004. Trauma dan Bencana. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 2. Udeani. 2008. Abdominal Trauma, Blunt. Department of Emergency Medicine, Charles Drew University of Medicine and Science, University of California, Los. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/433404-overview. (Accesed 2011, 7 January ) 3. Ahmadsyah, Ibrahim. Abdomen Akut. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. 4. Wikipedia. 2010. Abdominal Trauma. Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Abdominal_trauma. (Accesed 2011, 7 January) 5. Maxey. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Surgery, Indiana University School of Medicine. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/433554-overview. (Accesed 2011, 7 January) 6. Cheng. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Emergency Medicine, New York University, Bellevue Medical Center. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/822099-overview. (Accesed 2011, 7 January) 7. Salomone. 2009. Abdominal Trauma, Blunt. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/821995-overview. (Accesed 2011, 7 January) 8. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Trauma Abdomen. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 9. Feliciano & Rozycki. 2003. Evaluation of Abdominal Trauma. American College of Surgeons. Available from : http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf (Accesed 2011, 21 January) 10. Sabiston. 1995. Buku Ajar Bedah. Cetakan II. Penerbit EGC : Jakarta 11. Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit EGC 12. Poletti et al. 2003. Blunt Abdominal Trauma:Should US Be Used to Detect Both Free Fluid and Organ Injuries? Available from: http://radiology.rsna.org/content/227/1/95.full.pdf+html (Accesed 2011, 30 January) 13. Carlos et al. 2005. Hemodynamically “Stable” Patients With Peritonitis After Penetrating Abdominal Trauma. Available from: http://highwire.stanford.edu/cgi (Accesed 2011, 30 January)
Airway, Breathing, Circulation (ABCs)
Trauma Tumpul Abdomen
Lakukan observasi jika hasil pemeriksaan normal
Lakukan operasi segera jika: Peritonitis Hipotensi dengan hasil pemeriksaan DPL dan USG didapatkan adanya perdarahan intraabdomen Eviserasi Fraktur pelvis terbuka
Lakukan pemeriksaan selanjutnya jika Mekanisme trauma resiko tinggi Kesadaran menurun Hasil pemeriksaan abdomen meragukan Perdarahan yang terus berlangsung hematuria
USG atau CT-Scan
USG atau DPL Hasil pemeriksaan abdomen meragukan
Normal
Observasi
Jika vital sign stabil maka dilakukan
Negatif
Operasi
Lakukan evaluasi ulang dan pertimbangkan adnnya sumber perdarahan yang lain
Vital sign tidak stabil
Operasi Jika perdarahan tidak aktif maka dilakukan manajemen non-operatif
Positif
Lakukan tindakan operasi jika kondisi klinik dan hasil pemeriksaan CT-scan yang tidak normal
Dikutip dan diterjemahkan dari: Feliciano & Rozycki (2003) http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf
Airway, Breathing, Circulation (ABCs)
Trauma Tembus Abdomen
Luka tusuk bagian anterior
Hasil pemeriksaan normal
Operasi segera juika: Peritonitis Hopotensi Eviserasi Hematuria Operasi
Observasi 2 x 24 jam
Luka tusuk/tembak bagian posterior dan regio flank yang asimptomatik
Luka tembak
Observasi
Lakulan pemeriksaan CTscan dengan menggunakan dua atau tiga kontras
Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan DPL atau tindakan laparoskopi
Operasi jika: Peritonitis Hipotensi
Positif
Positif
Operasi Dikutip dan diterjemahkan dari: Feliciano & Rozycki (2003) http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf
Lakukan tindakan laparoskopi
Laparotom i