REFERAT
E r upsi upsi Oba Obat
Grace Hardiana Puspitasari 030.13.083
Pembimbing: dr. Abdul Gayum, Sp. KK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN PENYAKIT KELAMIN RUMAH SAKIT TNI-AL Dr. MINTOHARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 23 JULI-24 AGUSTUS 2018
1
LEMBAR PENGESAHAN Referat dengan judul : “Erupsi Obat”
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Penyakit Kelamin RS TNI AL Dr. Mintohardjo Periode 23 Juli – Juli – 24 24 Agustus 2018
Disusun oleh : Grace Hardiana Puspitasari 030.13.083
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Abdul Gaym, Sp.KK Selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Penyakit Kelamin RS TNI AL Dr. Mintohardjo Jakarta
Jakarta,
Agustus 2018
dr. Abdul Gayum, Sp. KK
2
ERUPSI OBAT Grace Hardiana Puspitasari1, Abdul Gayum 2 1 2
Koas Fk Trisakti Bagian kulit RSAL Dr. Mintohardjo
SMF Departemen Ilmu Kulit – Kulit – Kelamin Kelamin RSAL Dr.Mintohardjo
ABSTRAK Latar belakang : Erupsi obat alergik (EOA) reaksi alergik pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik . Tujuan : Mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada erupsi obat Telaah Kepustakaan : Reaksi Simpang Obat (RSO) adalah respon terhadap obat yang
berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi f ungsi fisiologis. Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA). Manifestasi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA), yang merupakan reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Satu macam obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi obat disebabkan oleh bermacammacam obat. Beberapa obat yang berhubungan dengan insiden reaksi simpang obat di antaranya : antibiotik, obat anti inflamasi steroid (OAINS), antihipertensi, dan obat kemoterapi. Erupsi kulit dapat muncul mulai dari beberapa jam hingga beberapa bulan setelah konsumsi obat, dan biasanya akan menyerang batang tubuh serta ekstremitas. Reaksi obat dapat berupa urtikaria atau angioedema, eksantematosa, fixed drug eruption ( FDE), FDE), eritriderma, pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA), nekrosis epidermal toksik, Sindrom Steven-Johnson (SSJ), vesikobulosa, reaksi obat purpura. Penatalaksanaan terdiri dari umum dan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena dan berat ringannya tipe EOA. Kesimpulan : Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat. Kata Kunci : Drug Eruption, reaksi simpang obat, reaksi obat alergik 3
PENDAHULUAN
Reaksi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan kasus yang sering ditemukan dokter dalam tatalaksana pasien sehari-hari. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dijual bebas, termasuk herbal, suplemen, serta obat topikal dapat pula menyebabkan reaksi ringan hingga mengancam jiwa. Berdasarkan definisi WHO, efek samping obat adalah reaksi yang tidak diharapkan pada pemberian obat dosis normal yang digunakan oleh pasien. Erupsi obat merupakan wujud penyakit yang jelas dan harus ditelaah seperti penyakit kulit lainnya. Diagnosis yang tepat dari pola reaksi dapat membantu mempersempit kemungkinan penyebab, karena obat yang berbeda lebih sering dikaitkan dengan berbagai jenis reaksi.1-2 Beberapa obat yang berhubungan dengan insiden reaksi simpang obat di antaranya : antibiotik, obat anti inflamasi steroid (OAINS), antihipertensi, dan obat kemoterapi. Erupsi kulit dapat muncul mulai dari beberapa jam hingga beberapa bulan setelah konsumsi obat, dan biasanya akan menyerang batang tubuh serta ekstremitas. Reaksi obat dapat berupa urtikaria atau angioedema, eksantematosa, fixed eksantematosa, fixed drug eruption ( FDE), FDE), eritriderma, pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA), nekrosis epidermal toksik, Sindrom StevenJohnson (SSJ), vesikobulosa, reaksi obat purpura. 3 Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi. Hanya beberapa golongan obat yang 1-3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat aleri atau erupsi obat. Obatobatan tersebut antara lain obat anti inflamasi steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penicillin dan derivatnya, sulfonamid, dan obat-obatan antikonvulsan. Menurut Me nurut WHO sekitar sekit ar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang yan g timbul tergolong “serius” karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerluka perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrosis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk reaksi tersebut.4 Hal yang sering menjadi tantangan adalah bila pasien mendapatkan medikasi lebih dari satu jenis obat. Identifikasi dan anamnesis yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderta dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas. Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan kemungkian lain datap dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis erupsi obat. Pemeriksaan laboratorium seringkali dibutuhkan untuk membantu untuk menegakkan diagnosis. 4
4
DEFINISI
Reaksi Simpang Obat (RSO) adalah respon terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologis. 3 Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA). Manifestasi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA), yang merupakan reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Satu macam obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi obat disebabkan oleh bermacam-macam obat. Yang dimaksud dengan obat adalah zat yang digunakan untuk menegakkan diagnosis, profilaksis dan pengobatan. 10 EPIDEMIOLOGI
Hasil Boston Collaborative Drug Surveillance Program, Program, prevalensi kejadian reaksi simpang obat pasien rawat inap adalah 2,2 %. Antibiotik bertanggung jawab atas 7 % reaksi yang terdeteksi. Data epidemiologi erupsi kulit akibat obat di Indonesia umumnya, dan di Propinsi Jawa Timur, khususnya masih sangat terbatas. Variasi manifestasi klinis dan temuan laboratorium menyebabkan pelaporan menjadi tidak akurat. Erupsi obat sering ditemukan di masyarakat. Sebuah systematic Sebuah systematic review menunjukkan review menunjukkan insidensi erupsi obat berat antara 0-8%. Erupsi obat terjadi pada 2-3 % dari pasien rawat inap. Peningkatan angka kejadian erupsi obat pada negara berkembang berkisar antara 2-5 %. 1,5-6 Selain itu data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Tiga hingga enam persen pasien rawat jalan dan 6-15 % dari pasien rawat inap mengalami reaksi simpang obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat yang sering timbul adalah eksantem makulopapuler (91,2 %), urtikaria (5,9 %) dan vaskulitis (1,4 %). 7 FAKTOR RISIKO8,9
Beberapa faktor risiko yang memperbesar timbulnya erupsi obat diantaranya adalah: 1. Jenis kelamin Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.
5
2. Usia Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat. 3. Sistem imunitas Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal. 4. Infeksi dan keganasan Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat. 5. Dosis obat Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka. Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien. Obat-obatan dengan berat molekul rendah (di bawah 1000 dalton) merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik. 6. Pajanan Obat Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi hipersensivtivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal menstimulasi produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA DAN Ig E, kadang-kadang IgM.
6
7. Atopik Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan perawatannya. 8. Genetik Gen
HLA
spesifik
dihubungkan
dengan
risiko
terjadinya
alergi
obat.
kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap antimikroba; sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi hanya 1,7 % mengalami reaksi alergi. 9. Reaksi obat sebelumnya Faktor risiko terpenting adalah riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara berbagai kelompok sulfonamide. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non-β non- β-laktam. Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat. 10. Penyakit medis yang menyertai Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi sistem imun seperti HIV-AIDS meningkatkan risiko dan frekuensi terjadinya ROA. Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor yang mengatur sintesis antibodi IgE. Contoh lain adalah ruam makulopapular setelah pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi te rjadi selama infeksi virus Epstein virus Epstein Barr dan dan di antara pasien dengan leukimia limfatik. ETIOPATOGENESIS a. Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik 1
Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respon terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.
7
Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi, bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan. Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas), dan pseudoalergi. Sekitar 25 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik. Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek withdrawal (tipe E) dan kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F). Reaksi tipe C tidak lazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta penekanan aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E). Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera setelah penghentian obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. syndrome. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi enzim spesifik. Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).13 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis tertentu, yaitu : 1.
Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
2.
Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
3.
Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
4.
Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di bawah kisaran dosis terapeutik.
5.
Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses alergi.
6.
Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.
8
b.
Erupsi Obat Alergik
Erupsi obat alergik ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme. 12 Tabel 1. Reaksi imunologis dan non imunologis13
i)
Mekanisme Imunologis Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Diperantarai Ig E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan
9
menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Penisilin merupakan penyebab utama erupsi obat tipe cepat yang IgE dependent. (10) Tipe II (Reaksi Sitotoksik)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel sehingga reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama, obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun yang mengikat langsung
antigen
spesifik
jaringan
(misalnya
α -methyl-dopa). α-methyl-dopa).
Contoh
obat
yang
menimbulkan reaksi ini adalah sedormid (sedatif) yang dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin
yang
terbentuk
terhadapnya
sehingga
menghancurkan
trombosit
(trombositopenia) dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah putih dan mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin, penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah merah, mengakibatkan anemia hemolitik . Contoh klasik pada Sindrom Stevens-Johnson. 7,10 Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. Makrofag dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan.
Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi urtikaria, vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga terlihat pada awal reaksi yang diikuti demam, limfadenopati, dan artralgia. Reaksi ini berhubungan dengan kompleks imun dalam sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan kaskade komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a). Selanjutnya terjadi pelepasan histamin
10
dan mediator lain dari sel mas dan basofil. Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi diperkirakan disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang diperantarai IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase lambat. Salah satu contoh dari reaksi hipersensitivitas tipe ti pe III adalah ENL ( Erythema Erythema Nodusum Leprosum). Leprosum).10 Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.10 ii) Mekanisme Non Imunologis
Reaksi " Pseudo-allergic" Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibodydependent . Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme metabolisme enzim asam arachidonat sel. Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse. MANIFESTASI KLINIS
ROA (Reaksi Obat Alergik) dapat mengenai setiap seti ap organ, seperti darah, pulmo, hepar, renal, tetapi yang tersering mengenai kulit (EOA). Manifestasi EOA yang tersering adalah erupsi morbiliformis, urtikaria, angioedema, fixed drug eruption. Manifestasi EOA yang terberat adalah sindrom Stevens-Johnson, nekrosis epidermal toksik. Beberapa manifestasi lain dapat berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis eksfoliatif, purpura,vaskulitis, reaksi fotoalergik, eritema mulltiformis dan eritema nodusum. a. Erupsi makulopapular Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau morbiliformis merupakan bentuk EOA yang paling sering ditemukan. Kelainan ini timbul dalam beberapa
11
hari hingga 1-3 minggu setelah minum obat. Biasanya lesi eritematosa dimulai dari batang tubuh kemudian menyebar ke perifer secara simetris dan generalisata, serta hampir disertai pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise dan nyeri sendi. Erupsi makulopapular akan hilang dengan cara deskuamasi dan terkadang meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Pada tipe ini sangat jarang disertai keterlibatan organ sistemik.
Gambar 1. Erupsi Eksantematosa : Ampisilin. 1
Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, OAINS, sulfonamid, fenitoin, serta karbamazepin. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat
jarang terjadi. Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.4 b. Urtikaria dan angioedema1,10 Urtikaria merupakan lesi kulit berupa edema setempat yang gatal dengan ukuran bervariasi. Lesi individual biasanya bertahan kurang dari 24 jam kemudian hilang perlahan, walaupun lesi yang baru dapat muncul juga. Bila edema terjadi pada jaringan yang lebih dalam seperti dermis dan jaringan subkutaneus, maka reaksinya disebut angioedema. Angioedema biasanya unilateral, tidak gatal, bertahan selama 1-2 jam, dan dapat pula menetap selama 2 – 5 hari. Daerah predileksinya adalah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, dan punggung tangan dan kaki. Edema pada glottis, laring dan lidah merupakan reaksi edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.
12
Gambar 2. Urtikaria dan Angioedema1
Bila diasosiasikan dengan penggunaan obat, urtikaria dan angioedema biasanya dipengaruhi Ig E (Immunoglobulin E)-mediated immediate hipersensitivity. Mekanisme ini biasanya merupakan reaksi cepat terhadap penisilin dan antibiotik lainnya. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit kepala. Penyebab tersering urtikaria adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID
lain. c. Fixed Drug Eruption (FDE) Eruption (FDE)1,10 FDE merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang berat dapat timbul bula, sehingga sering menyerupai eritema multiforme. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, bibir, tangan, dan genitalia, walaupun dapat terjadi pada seluruh tubuh. Pada daerah penis laki-laki sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. Reaksi sering timbul setelah 30 menit hingga 8-16 jam setelah konsumsi obat. Lesi kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang bahkan sering menetap. Ciri khas FDE adalah lesi berulang pada pada predileksi yang sama setelah pajanan ulang obat penyebab. Obat tersering yang menyebabkan FDE adalah tetrasiklin, sulfonamid, ibuprofen, naproxen, dan metamizol .
13
a
b
bc
c
er uption. uption. (a). Lesi makula atau plak keunguan. (b) FDE akibat Gambar 3. F i xed dr ug er tetrasiklin. (c). Bula pada glans penis. 1,11
Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV. Terdapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor. Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit yang nekrotik. 5,7 Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi limfosit T ke epidermis. d. Dermatitis Eksfoliativa (Eritroderma) Dermatitis eksfoliativa (DE) merupakan eritema difus disertai skuama lebih dari 90 % BSA. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan dan kaki3. Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah penghentian obat. Pada eritroderma e ritroderma karena alergi al ergi obat terlihat terli hat eritema tanpa skuama, skuama baru timbul pada stadium penyembuhan. DE selain diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya seperti psoriasis, atau berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan keganasan lainnya.
14
Gambar 4. Eritroderma1
Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling sering adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin, fenilbutason, allopurinol, dan garam emas. Perlu dilakukan pemeriksaan teliti dan penunjang untuk membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Pada eritroderma sering terjadi ketidak seimbangan elektrolit, gangguan termoregulasi, serta kehilangan albumin sehingga merupakan indikasi pasien untuk dirawat. e. Purpura Purpura adalah perdarahan di dalam kulit/mukosa berupa bercak/pembengkakan berwarna merah atau kebiruan yang tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas. Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan disertai rasa gatal. Kelainan dapat berupa Petekie (makula merah, diameter 2-3 mm, merah, kemudian
coklat & akhirnya menghilang), Ekimosis (makula
kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih dalam; kemudian
menguning & akhirnya menghilang), Vebeses (purpura berbentuk linear) , Hematoma (kumpulan darah dalam jaringan kulit / mukosa. Berjumlah cukup banyak
pembengkakkan
& fluktuasi).10
15
Gambar 5. Purpura pada tungkai bawah 12
Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh trombositopenia. Mekanisme trombositopenia berhubung dengan pembentukan kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada trombosit. Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik atau purpura vascular/purpura primer. Purpura non trombositopenik/purpura sekunder secara umum berkaitan dengan deposit kompleks imun di di dinding venula. 9 Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin, penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin, sulfonamid, dan tiourasil. Seangkan beberapa obat penyebab purpura non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim, sulfatr imetoprim, sulfonamid, asam asetilsalisilat.9 f.
Vaskulitis Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable
purpura yang mengenai kapiler. Vaskulitis ditandai dengan adanya inflamasi dan nekrosis pembuluh darah. Bentuk tersering adalah vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul . Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit, atau dapat melibatkan organ lain, antara lain hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, malaise, myalgia dan anoreksia. Vaskulitis clapat terjadi pada semua umur, dengar awitan rata-rata pada dekade kelima. Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi tipe III,
16
sehingga berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat hanya salah satu penyebab vaskulitis.2 Obat-obatan yang dianggap sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida, alopurinol, tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia. 1,9 g.
Reaksi fotoalergik Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau reaksi
imunologik fotoalergik. 2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat, respons imun dan cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar reaksi fotoalergik. Reaksi fotoalergik dapat diinduksi oleh obat topikal atau sisternik. 9 Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran dermatitis kontak alergi pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah yang terpajan sinar s inar matahari, kemudian dapat meluas yang tidak terpajan matahari. Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer sistemik lebih jarang dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan. 9 Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik. Reaksi fotoalergik membutuhkan fase induksi dan elisitas. Periode sensitisasi dapat beberapa hari sampai beberapa bulan. Konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil. sebagaian besar reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid, fenotiazin, dan halogennated salicylanilides. Fotoalergen sistemik, misalnya fenotiazin, klorpromazin, sulfa, tiazid, kuinidin, dan griseofulvin dapat menimbulkan reaksi fotoalergik. 10 h.
Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) Penyakit pustulosis eksemantosa generalisata akut(PEGA) atau acute generalized
exanthematous pustulosis(AGEP) pustulosis (AGEP) jarang terjadi, diduga disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri, dan dermatitis kontak. 9 Kelainan kulitnya berupa pustule-pustul miliar non-folikular yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi(>38 0C), dan pustule-pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa hari. Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal atau subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinophil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara PEGA dan psoriasis pustulosa yaitu PEGA terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada PEGA pustule-pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda. 9 17
i.
Eritema nodosum (EN) EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Kelainan kulit berupa berupa eritema yang lunak lunak
dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya disertai gejala umum berupa demam, malese dan artritis tidak biasa pada EN yang diinduksi obat. Distribusi lesi simetris dengan tempat predileksinya di daerah tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai paha dan lengan. Awitan EN cepat namun regresi perlahan. EN dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberculosis, infeksi streptokokus, dan leprae.
Gambar 6. Eritema nodusum11 Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan EN. Biasanya
dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan deposit imun, tapi kadang-kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi imunologis yang menyebabkan inflamasi di pembuluh darah subkutan mungkin mencetuskan lesi. Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamid, bromida, dan kontrasepsi oral. Obat-obatan lain seperti penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN. 1,10 j.
Eritema Multiforme (EM) Eritema Multiforme atau disebut juga Herpes iris, dermatostomatitis dan eritema
eksudativum multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadangkadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spectrum(polimorfik) dan gambaran khas bentuk iris. Pada kasus yang berat disertai symptom konstitusi dan lesi
18
vesikel. Penyebab yang pasti belum diketahui. Obat merupakan penyebab EM pada 10-20% kasus, sisanya kemungkinan disebabkan oleh infeksi dan penyakit lain. 10 Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan selaput lendir sampai bentuk berat berupa kelainan multi system yang dapat menyebabkan kelainan. Terdapat dua tipe dasar yaitu tipe macula eritema dan tipe vesikobulosa.9 Tipe makula-eritema mendadak, simetris dengan tempat predileksi di punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas , dan selaput lender. Pada keadaan berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu. Gejala khas ialah bentuk iris(target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah. Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapaat juga mengenai selaput lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan kelainan, pada kasus yang berat dapat terjadi anemia dan proteinuria ri ngan.9 k.
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme mayor merupakan
sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan paada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.10 Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus). Penyebab lainnya adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host , neoplasma dan radiasi. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, beberapa NSAID dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ. Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab tersering. Penyakit ini serupa dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Gambaran klinis tergantung kepada sel sasaran (target (target cell ). ). Sasaran utama SSJ dan NET adalah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivasi sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8 pada sel epidermis. Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF
di epidermis meningkat.10
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas belum begitu berkembang.Keadaan umumnya dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Mulainya penyakit akut dapat disertai dengan gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, 19
batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. tenggorokan. 10
Gambar 7. Contoh lesi pada Sindrom Stevens Johnson 11 Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lender di
orifisium dan kelainan mata. Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. 3 Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lender di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut(100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang(masing-masing 8% dan 4%). Kelainanna berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga terjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sulit/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas. Kelainan mata terjadi pada 80% diantara semua kasus, yang tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat pula berupa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, selain itu dapat pula terjadi kehilangan darah/cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan kebutaan karena gangguan lakrimasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. 9 Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. menyeluruh. Kelainan berupa3: 1.
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial
2.
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
3.
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subdermal
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa adneksa
20
5.
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Diagnosis banding SSJ adalah NET karena NET merupakan bentuk parah dari SSJ. Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka diangnosanya adalah NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk. buruk. 9 Obat yang dianggap sebagai kausanya harus dihentikan, termasuk jamu dan adiktif. Pengobatan yang diberikan jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak menyeluruh adalah dengan prednisone 30-40mg sehari. Jika keadaan umum pasien kurangbaik atau lesi menyeluruh pasien harus dirawat inap. Penggunaan kortikosteroid merupakan life-saving, dapat digunakan injeksi deksametason dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Setelah beberapa hari (2-3 hari) bila masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul les i baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi maka dosis diturunkan 5 mg setiap harinya dan setelah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari. Selain deksametason dapat pula digunakan metilprednisolon degan dosis setara. Kelebihan metilprednisolon adalah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan dengan deksametason namun harganya lebih mahal. Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang sehingga harus diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi, misalnya bronkopneumonia yang menyebabkan kematian. Contoh antibiotic yang biasa digunakan adak=lah ciprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin 2 x 600 mg iv sehari, ceftriakson 2 gr 1 x 1 sehari. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan tinggi protein karena kortikosteroid bersifat katabolic.Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl KCl 3 x 500 mg. 10 Pada pasien dengan lesi di mulut dan tenggorokan yang menyebabkan sulit/tidak dapat menelan dapat diberikan infus seperti dextrose 5%, NaCl 9% dan Ringer Laktat dengan perbandingan 1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole ( whole blood ) adalah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit jadi meninggikan daya tahan. Indikasi Indikasi pemberian transfuse pada SSJ dan NET adalah :10 1.
Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40mg sehari.
21
2.
Bila terdapat purpura generalis
3.
Jika terdapat leukopenia
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit.C 500 mg atau 1000 mg sehari iv. Terapi topical tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak, untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase orabase dan betadine gargle gargle Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman data diberikan emolien misalnya krim urea 10%. 10 l.
Nekrosis Epidermal Toksik (NET) NET disebut juga Sindrom Lyell merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada
SSJ, sehingga jika pengobatan tidak cepat dan tepat dapat menyebabkan kematian. NET ialah penyakit berat, gejala terpenting ialah epidermolisis generalisata (karena sel sasarannya adalah epidermis), dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium dan mata. 3,5 Etiologinya sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah 80-95% dari semua pasien. NET merupkan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan cairan dan elketrolit atau karena sepsis. NET disertai periode prodromal berupa demam, rhinitis, konjungtivitis, yang bertahan beberapa hari hingga minggu yang dapat disertai dengan penurunan kesadaran(spoor-komatosa), selanjutnya lesi kulit berkembang cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya, pasien merasakan seperti terbakar atau nyeri pada lesi eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula dan dapat disertai dengan purpura. Bula dan pengelupasan kulit(epidermolisis) pada area yang luas mengakibatkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu kulit yan ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.10
Gambar 14. Nekrosis Epidermal Toksik 11
22
Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonephritis. Diagnosis banding NET adalah SSJ, Dermatitis kontak iritan karena baygon dan Staphylococcus Scalded Skin Syndrome(SSSS). Syndrome(SSSS) .10 PERJALANAN PENYAKIT
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya gejala-gejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut : Tabel 2. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan berdasarkan waktu 15
Segera
Cepat
Lambat
Sangat lambat
Urtikaria
Urtikaria
Urtikaria
Anemia hemolitik
Hipotensi
Erupsi Moribiliform
Eksantema
Trombositopenia
Asma
Edema laring
Serum siekness
Granulositopenia
Drug Fever
Sindroma Stevens-Johnson
Edema laring
Gangguan Ginjal Akut Sindroma Lupus Cholestatic jaundice
Reaksi alergik yang segera (immediate (immediate), ), terjadi dalam beberapa menit dan ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated (accelerated ) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi yang lambat (late (late)) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthem dihubungkan dengan antibodi IgM.
DIAGNOSIS
Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencurigai terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat anamnesis, manifestasi manifesta si klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi tantangan adalah bila pasien mendapatkan medikasi lebih dari satu jenis obat, sehingga langkah yang oenting diperhatikan oleh klinisi adalah sebagai berikut : 4
23
1.
Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai : a.
Riwayat alergi obat pada pasien, berikut tanda dan gejala klinisn ya.
b.
Riwayat stigmata atopi pada pasien dan keluarga
c.
Data medikasi pasien saat ini, misalnya obat oral, intravena, dan topikal. Jangan abaikan penggunaan obat herbal dan suplemen. Buatlah peta kronologis sejak obat dimulai dan dihentikan, frekuensi, serta peningkatan dosis.
d.
Riwayat pajanan obat yang dicurigai atau obat yang dapat bereaksi silang
e.
Perhatikan kronologis reaksi obat : tanda, gejala, dan hasil laboratorium.
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan yang timbul akut atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril. Kelainan kulit yang ditemukan seperti distribusinya menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul.
2.
Obat penyebab yang dicurigai menjadi lebih sempit dengan fokus terhadap : a.
Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat dengan awitan timbulnya erupsi pada kulit. Obat yang dikonsumsi dalam 6-8 minggu secara berturutan merupakan obat yang dicurigai sebagai penyebab. pen yebab.
b.
Lesi dominan, tanda dan gejala klinis reaksi hipersensitivita s.
Adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris atau setempat, bentuk kelainan yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum).
3.
Pertimbangkan farmakoepidemiologik obat yang digunakan. Urutkan berdasarkan obat yang paling berpotensi menyebabkan alergi berdasarkan dat a publikasi.
4.
Hentikan dan / atau substitusi semua obat yang memiliki hubungan temporal yang kuat. Observasi gejala setelah dihentikan.
5.
Bila obat penyebab belum dapat diidentifikasi, pertimbangkan uji kulit. Prosedur ini bisa dilakukan bila sudah memenuhi syarat uji dan harus dilakukan secara hati-hati di bawah pengawasan dokter spesialis kulit dan kelamin yang terlatih.
6.
Jika hasil uji kulit negatif, lakukan provokasi oral sesuai dengan prosedur (bila tidak ada kontraindikasi.
24
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah: (14) 1. Pemeriksaan in vivo
Uji tempel (patch test)
Uji tusuk (prick/scratch test)
Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro a. Yang diperantarai antibodi:
Hemaglutinasi pasif
Radio immunoassay
Degranulasi basofil
Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
Tes transformasi limfosit Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Uji tempel ( patch patch test ) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji provokasi (exposure ( exposure test ) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi, risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya. Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Derajat sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam tahap penelitian. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu dalam penegakkan diagnosis klinis. 12 Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat mengalami reaksi obat yang serius seperti pada penderita yang memiliki gejala awal seperti eritroderma, blister, purpura dan pustulasi karena ka rena kasus SSJ baru akan timbul beberapa setelah sete lah penggunaan obat. Perlu diketahui pula bahwa lebih dari 50% kasus SSJ dan hampir 90% penderita TEN terkait dengan penggunaan obat. 1 25
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding erupsi obat antara lain : a. Dermatitis Kontak Iritan b. Pitiriasis Rosea c. Urtikaria, selain karena obat
PENATALAKSANAAN
Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis
lainnya, dapat
digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin
dan
kortikosteroid.12 Penatalaksanaan Penatalaksanaan Umum
1.
Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus segera dihentikan. Hal ini dilakukan untuk melindungi kulit 12
2.
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan.12
3.
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.12
4.
Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari; khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 14
Penatalaksanaan Penatalaksanaan Khusus 1. Sistemik
a. Kortikosteroid.
26
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan TEN pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita. Penggunaan glukokortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama. 10 b. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal.
Kecuali
pada
urtikaria,
efeknya
kurang
jika
dibandingkan
dengan
kortikosteroid. Antihistamin terutama diberikan pada EOA tipe urtikaria dan angioedema. Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA tipe lain yang disertai rasa gatal yang berat, misalnya eritroderma dan eksantematosa. 10 2. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, kompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1%. 10,14 Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%. 10,14 Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-s ebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.10-14
27
PROGNOSIS
Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan segera dihentikam. Pada EOA tipe berat, misalnya eritroderma dan NET prognosis dapat menjadi buruk disebabkan oleh komplikasi yang terjadi, te rjadi, misalnya sepsis. Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit. 10,14 KESIMPULAN
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat. Faktor risiko yang dapat menimbulkan erupsi obat adalah usia, jenis kelamin, sistem imunitas, infeksi dan keganasan, dosis obat, pajanan obat, atopik, genetik, reaksi obat sebelumnya, dan adanya penyakit medis yang menyertai. Mekanisme erupsi dapat berupa mekanisme imunologis dan kedua atau mekanisme non imunologis. Mekanisme imunologis berupa reaksi tipe I (Reaksi anafilaksis), tipe II (Reaksi Autotoksis), tipe III (Reaksi Kompleks Imun), tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat). Sedangkan mekanisme non imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast secara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata diffuse. Morfologi erupsi obat diantaranya urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, erupsi eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler, dan erupsi bulosa. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan d engan teknik in vivo. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Penatalaksanaan terdiri dari umum dan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena dan berat ringannya tipe EOA.
28
DAFTAR PUSTAKA
1.
Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Saphiro L. Cutaneous Reeactions to Drugs. In : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7 th ed. USA: The Mc Graw Hill Companies, Inc. 2008. p: 355-62.
2.
Mockenhaupt M. Epidemiology of cutaneous adverse druag reactions. Dalam French LE, ed. Adverse Cutaneous Drug Eruption. ZurichSwitzerland: Karger, 2012. Hal 1-17.
3.
Hussein MRA. Drug-induced skin reactions: a pathologist viewpoint. Egypt
4.
Rahmayunita G, Wibawa LP. Kegawatdaruratan Dan Deteksi Dini Dalam Bidang
Dermato-Venereologi.
Jakarta
:
Badan
Penerbit
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2014. Hal : 20-7. 5.
Purwanti S, Hidayat T. Penelitian Retrospektif Erupsi Kulit Akibat Obat Di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. MDVI 2016;43(3):99-104.
6.
Grando LR, Schhmitt TA, Bakos RM. Severe cutaneous reactions to drugs in the setting of a general hospital. An Brass Dermatol 2014; 89(5): 758-62.
7.
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. American Family Physician. 2003 ; 68(9).
8.
Revus J, Allanore AV. AV. Drugs Drugs Reaction. Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352.
9.
Lee A, Thomson J. Drug-induced J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2
nd
ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. 10. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-5. Cetakan ketiga. Jakarta: FK UI, 2008. Halaman 154-8. 11. Habif, Thomas P. Clinical Dermatology, Guide to Diagnosis and Therapy. 6th ed. Hanover : Elsevier, Elsevier , 2016. p. 572-5. 12. Revus J, Allanore AV. AV. Drugs Drugs Reaction. Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352.
29
13. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi ke-8. Jakarta : FKUI ; 2009. h 106 – 129. 14. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta . 2010. p:133-139. 15. Purwanto SL. Alergi SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdkfiles-07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht.
30