BAB I PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Reaksi simpang obat adalah respons yang tidak diinginkan atau diharapkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis. Sebagian besar reaksi simpang obat tidak memiliki komponen alergi. Reaksi alergi obat adalah reaksi simpang obat melalui mekanisme reaksi imunologi. Diperkirakan sekitar 6-10% dari reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi obat. Reaksi yang terjadi dapat ringan hingga berat sehingga mengancam jiwa. Reaksi obat bermanisfestasi pada organ dalam atau kullit atau mukosa. Reaksi alergi obat dapat muncul mulai dari yang ringan seperti eritema hingga yang berat seperti reaksi anafilaksis, Sindrom
Steven-Johnson
(SSJ),
Nekrolisis
Epidermal
Toksik
(NET)
serta
Sindrom
Hipersensitivitas Obat (SHO).1 Angka kejadian alaergi obat diperkirakan 1:1 000 sampai 1:10000 orang yang terpapar obat antikejang atau antibiotic golongan sulfonamida. Angka kematian berkisar 10% kasus, yang diakibatkan oleh gangguan organ sistemik yang terlibat.3,4 Obat-obatan yang sering dikaitkan dengan SHO adalah obat anti kejang, sufonamid, dapson, minosiklin, serta alupurinol.5,6 Alergi obat merupakan suatu hal yang perlu dipahami oleh seorang dokter. Akibat yang ditimbulkan tidak jarang berakhir dengan kecacatan atau kematian, serta terkadang menyebabkan seorang dokter harus berurusan dengan aspek medikolegal. Pengenalan dini kondisi berat dapat menurunkan angkakecacatan dan kematian.
1
BAB II PEMBAHASAN
II.1.
ALERGI OBAT II.1.1. Definisi
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse (adverse drug reaction), reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat ob at adalah respon abnormal terhadap obat o bat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.7
II.1.2. Epidemiologi
Hingga saat ini belum banyak data epidemiologi mengenai SHO. Insidens terjadinya alergi diperkirakan sekitar 1 dari 1000 hingga 10 000 pajanan terhadap fenitoin. 4 Di Inggris, angka kejadian alergi obat pada anak adalah 2,1% dan 39,3% diantaranya merupakan reaksi yang mengancam jiwa. Bentuk reaksi alergi yang paling banyak ditemukan adalah reaksi alergi pada kulit. Reaksi yang berat seperti anafilaksis jarang ditemukan, data d ata epidemiologis di Australia menunjukkan isidensi anafilaksi hanya 1:1000 dari kunjungan ke unit gawat darurat.6 Di Indonesia, angka kejadian sesungguhnya reaksi alergi obat sulit diketahui karena manifestasi klinisnya yang sangat bervariasi. Angka kejadian alergi obat obat yang dilaporkan di rumah sakit pada umumnya mencapai 20-30%, dengan manifestasi terbanyak pada kulit berupa urtikaria Kejadian alergi obat umumnya under-diagnosis di
2
seluruh dunia, hal tersebut disebabkan oleh bervariasinya manifestasi klinis dan temuan laboratorium yang menyebabkan pelaporan menjadi tidak akurat. 6 II.1.3. Faktor Risiko
Faktor risiko paling utama terjadinya reaksi hipersensitivitas atau alergi terhadap suatu obat ditunjukkan dalam tabel 1. Faktor genetik dan status imun pejamu dapat meningkatkan risiko alergi obat. Anak dengan riwayat alergi obat pada orang tuanya memiliki risiko alergi obat yang lebih tinggi jika dibandingkan anak yang tidak memiliki riwayat alergi obat pada orang tuanya. Predisposisi genetik ini juga berhubungan dengan terjadinya reaksi alergi yang lebih berat. Reaksi obat jarang terjadi pada bayi dan usia tua disebabkan oleh imaturitas ataupun involusi dari sistem imun.8 Pemberian obat secara topikal lebih berisiko dibandingkan pemberian secara parenteral atau oral. Pemberian obat dengan dosis besar dan tunggal memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan pemberian dengan dosis kecil tetapi berulang atau dalam jangka waktu lama. Pasien dengan infeksi virus seperti HIV dan herpes memiliki risiko yang lebih besar dalam terjadinya reaksi obat.8 Tabel 1. Faktor risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas/alergi obat Faktor pasien
Usia
Remaja > bayi
Jenis kelamin
Perempuan > laki laki
Genetic
Riwayat atopi dalam keluarga
Penyakit lain yang menyertai
Hiv, infeksi virus herpes, cystic fibrosis
Status imunologis
Riwayat alergi obat sebelumnya atau hasil tes kulit positif sebelumnya
Faktor obat
Susunan kimia obat
Golongan β-laktam, neuromuscular blocking agent, anti inflamasi non steroid, obat obatan dengan berat molecular besar
Cara pemberian
Topical > parenteral > oral
Dosis
Pemberian berulang jangka panjang
3
II.1.4. Etiologi
Tingginya angka kejadian alergi obat berhubungan dengan seringnya obat tersebut digunakan. Pada umumnya jenis obat-obatan yang dilaporkan menyebabkan alergi antara lain: golongan penisilin, sulfa, dan salisilat. Obat-obatan lain seperti asam mefenamat, golongan sedatif seperti luminal, obat-obat jenis transquilizer seperti fenotiazin, fenergan, klorpromazin dan antikonvulsan seperti dilantin, mesantoin dan tridion juga pernah dilaporkan sebagai penyebab alergi obat. Beberapa jenis obat-obatan yang paling sering berhubungan dengan gejala klinis yang berat hingga anafilaksis adalah golongan penisilin, sulfa, anti inflamasi non steroid dan aspirin.7,8 II.1.5. Patofisiologi
Substansi obat biasanya memiliki berat molekul yang rendah sehingga tidak langsung merangsang sistem imun bila tidak berikatan dengan karier yang memiliki berat molekul yang besar. Antigen yang terdiri dari kompleks obat dan protein karier ini disebut sebagai hapten. Hapten akan membentuk ikatan dengan protein jaringan yang bersifat lebih stabil dan akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan akan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.9 Sebagian kecil substansi obat memiliki berat molekul yang besar dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh, tetapi terdapat beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang memiliki sifat imunogenik tanpa perlu berikatan dengan protein karier dengan mekanisme yang masih belum jelas.14 Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori.14 Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui keempat mekanisme reaksi hipersensitivitas. Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated ) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibody yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi
4
adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgEmediated ). Alergi obat juga dapat terjadi melalui keempat mekanisme tersebut secara bersamaan. Alergi obat paling sering terjadi melalui mekanisme tipe I dan IV.7 Reaksi tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring, dan wheezing.Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks obat yang mengubah membran permukaan sel. Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi biasanya baru timbul setelah obat dihentikan.Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen.14
Tabel 2. Mekanisme hipersensitivitas/alergi obat berdasarkan mekanisme imunologis Waktu Reaksi
Pemeriksaan
Reaksi imunologis yang Urtikaria, diperantarai IgE. angioedema, Kompleks IgE-obat bronkospasme, berikatan dengan sel anafilaksis mast, melepaskan histamin dan mediator lain
Beberapa menit sampai beberapa jam setelah paparan.
Skin prick testing Intradermal testing Specific IgE testing Tes provokasi
Tipe 2
Reaksi sitotoksik diperantarai IgG atau IgM. Antibodi IgM atau IgG spesifik terhadap sel hapten-obat
Anemia hemolitik, neutropeni, trombositopeni
Bervariasi
Coombs test
Tipe III
Reaksi kompleks imun. Deposit jaringan dari kompleks antibodi-obat dengan aktivasi komplemen
Vaskulitis, limfadenopati, demam, artropati, ruam, serum sickess.
1-3 minggu setelah paparan
C3, C4, ANA, ANCA
Tipe IV
Reaksi tipe lambat, diperantarai oleh
Dermatitis
2-7 hari setelah
Patch test
Reaksi
Mekanisme
Tipe I
Manifestasi Klinis
obat
5
selular. Presentasi molekul obat oleh MHC kepada sel T dengan pelepasan
kontak alergi.
paparan
sitokin
II.1.6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada seseorang dapat berbeda dengan orang lain. Gejala klinis tersebut kita sebut sebagai alergi obat bila terdapat antibodi atau sel limfosit T tersensitisasi yang spesifik terhadap obat atau metabolitnya, serta konsisten dengan gambaran reaksi inflamasi imunologik yang sudah dikenal. Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat . Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat berupa pruritus, urtikaria, purpura, dermatitis kontak, eritema multiform, eritema nodosum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensitivitas, atau reaksi yang lebih berat dermatitis eksfoliatif dan erupsi vesikobulosa seperti pada sindrom Stevens-Johnson dan sindrom Lyell. Gejala klinis yang memerlukan pertolongan adekuat segera adalah reaksi anafilaksis karena dapat terjadi renjatan. Gejala klinis dapat berupa hipotensi, spasme bronkus, edema laring, angioedema, atau urtikaria generalisata.. Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat, atau bersama gejala klinis lain, yang timbul beberapa jam setelah pemberian obat (tetapi biasanya pada hari ke 7 -10), dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat atau sampai beberapa hari kemudian. Diduga demam terjadi akibat pelepasan mediator sitokin. Beberapa jenis obat diduga dapat bersifat pirogen langsung, misalnya amfoterisin B, simetidin, dekstran besi, kalsium, dan dimerkaprol. Mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Pada anak, epinefrin dapat menimbulkan demam karena bersifat vasokonstriktor yang menghambat pengeluaran panas tubuh. Demikian juga pemberian atropin (termasuk tetes mata) serta fenotiazin dapat menimbulkan demam dengan menghambat pembentukan keringat. Beberapa jenis obat seperti alopurinol, azatioprin, barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa, penisilinamin, penisilin, fenitoin, prokainamid, dan kuinidin, sering menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain. 6
Gejala lain adalah sindrom klinis yang tersebut penyakit serum (serum sickness) berupa demam, artralgia, mialgia, neuritis, efusi sendi, urtikaria, erupsi makulopapular, dan edema yang biasanya timbul 1-3 minggu setelah terpajan. Gejala tersebut menghilang dalam beberapa hari atau minggu. Gejala sistemik yang sering adalah demam, lupus eritematosus medikamentosa, vaskulitis, dan dapat menjadi lebih berat disertai limfadenopati, sesak nafas, edema angioneurotik, serta terkadang nefritis dan karditis. Komplikasi paling berat dapat berupa sindrom Guillain-Barre. Obat penyebab biasanya sulit diketahui karena masa laten yang cukup panjang. Selain itu dapat ditemukan pula gejala kelainan hematologik, kelainan pada organ setempat (hati, paru, ginjal, jantung), atau kelainan sistemik seperti lupus eritematosus sistemik.
II.1.7. Uji Diagnostik
Upaya untuk menentukan obat penyebab seringkali sulit ditegakkan hanya berdasarkan temuan klinis. Data yang penting dikumpulkan meliputi riwayat penyakit yang lengkap, data penggunaan obat, cara pemberian obat, dosis yang diberikan, serta obat yang pernah digunakan sebelumnya.14 Uji provokasi merupakan tes baku emas dalam mendiagnosis obat penyebab reaksi hipersensitivitas obat. Uji provokasi adalah pemberian obat secara terkontrol untuk mendiagnosis reaksi simpang obat baik yang diperantarai imun maupun tidak. Prinsip uji provokasi adalah memberikan dosis permulaan yang sangat kecil,kemudian dinaikan perlahan lahan sampai dosis terapeutik tercapai. Dua indikasi dilakukannya uji provokasi obat adalah untuk mengeksklusi reaksi hipersensitivitas pada kondisi yang meragukan baik dari riwayat maupun
tampilan klinis dan menegakkan
diagnosis reaksi
hipersensitivitas pada kasus yang mengarah dengan hasil pemeriksaan uji alergi lain yang inkonklusif atau negatif. Keunggulan uji provokasi obat adalah memungkinkan kita mengetahui metabolisme individu serta latar belakang imunogenetika. Akan tetapi risiko tindakan uji provokasi obat juga besar yaitu dapat memicu reaksi relaps yang berat dan tidak terkontrol. Uji provokasi dilakukan terhadap pasien yang sudah dalam kondisi stabil serta dilakukan dengan pendampingan oleh dokter yang berpengalaman.14
7
Berdasarkan pemahaman mengenai adanya limfosit T spesifik terhadap obat, yang berperan dalam terjadinya SHO maka uji diagnostik yang seringkali digunakan adalah uji tempel dan tes transformasi limfosit. Tes transformasi limfosit memiliki keamanan yang lebih baik serta risiko lebih rendah dalam mencetuskan alergi terhadap obat lain. Pada pasien SHO waktu untuk melakukan tes transformasi limfosit adalah 5-6 minggu setelah gejala muncul. Hasil positif dapat berlangsung hingga satu tahun sesudahnya. 14
II.1.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang mungkin pada kasus SHO adalah: Lupus eritematosus imbas obat, Sindrom hipereosinofilia, Mononukleosis infeksiosa, Penyakit Kawasaki, Campak, Pseudolimfoma/imunoblastik limfadenopati, Serum sickness like reaction, Staphylococcal toxic shock syndrome. Pada kasus pseudolimfoma imbas obat, rentang waktu antara erupsi obat dengan awal pemberian obat sangat panjang, dapat mencapai 110 hari. Pada pseudolimfoma imbas obat tidak terdapat demam atau keterlibatan multi organ.3
II.1.9. Tata Laksana
Tata laksana yang dilakukan bersifat suportif yaitu antipiretik untuk menurunkan suhu, nutrisi adekuat, cairan intravena yang cukup, serta perawatan kulit. Penghentian obat tersangka sesegera mungkin merupakan tindakan pertama yang perlu dilakukan. Hingga saat ini kortikosteroid merupakan terapi pilihan. Umumnya demam serta ruam kulit akan mengalami perbaikan dengan pemberian kortikosteroid sistemik.9 Dosis yang digunakan adalah prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian kortikosteroid sistemik harus secara perlahan diturunkan, meskipun didapatkan gambaran klinis yang membaik dengan cepat. Hal tersebut dikarenakan besarnya kemungkinan terjadinya flare up kembali. Risiko terjadinya sepsis akibat pemberian kortikosteroid sistemik lebih rendah apabila dibandingkan dengan kasus SSJ atau NET. Hal tersebut diakibatkan tidak adanya perubahan barier mukosa atau kulit yang signifikan.9 Antihistamin dan kortikosteroid topical dapat pula diberikan untuk mengurangi keluhan yang ada. Apabila tetap terjadi perburukan gejala meskipun kortikosteroid sistemik telah diberikan, maka terdapat beberapa obat lain yang dapat diberikan. 8
Pemberian immunoglobulin intravena dan plasma exchange dapat menjadi alternatif. Immunoglobulin intravena diberikan atas dasar proses reaktivasi virus dalam terjadinya SHO. Pemberian immunoglobulin intravena diharapkan dapat menekan reaktivasi virus yang terjadi. Selain itu juga terdapat laporan kasus mengenai manfaat pemberian siklosporin pada kasus SHO persisten, yaitu steroid tidak dapat diberikan akibat efek samping yang ditimbulkannya.9 Pemberian N-asetilsistein diperkirakan memberikan manfaat. Hal tersebut berdasarkan pemahaman bahwa N-asetilsistein merupakan prekursor glutation serta memodulasi produksi berbagai sitokin pro inflamasi. Meskipun demikian pemberian rutin N-asetilsistein belum direkomendasikan karena belum adanya uji klinis yang mendukung. Pencegahan sekunder yang dilakukan terhadap pasien adalah dengan menghindari obat tersangka di masa mendatang. Obat alternatif sebaiknya digunakan apabila memang tersedia.9
II.1.10. Pencegahan
Hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi alergi terhadap obat dibagi atas tiga tahap yaitu sebelum pemberian obat, selama pemberian obat, dan setelah pemeberian obat. 1) Sebelum pemberian obat a) Nilai kembali apakah obat tersebut memang dibutuhkan, semua obat yang akan diberikan harus dipertimbangakan secara bijaksana. Jangan berikan obat yang memiliki resiko berbahaya jika tidak dibutuhkan. b) Tanyakan riwayat Alergi obat pada pasien terutama terhadap obat yang akan diberikan. Riwayat alargi terhadap obat harus selalu diketahui pada setiap pasien. Jika pasien menyatakan riwayat alergi terhadap obat maka hindari penggunaan obat tersebut dan obat sejenis yang bersifat reaksi alergi silang harus dihindari. Bila membutuhkan penggunaan obat tersebut, maka obat sejenis dari turunan kimia yang berbeda atau obat pengganti yang tidak bereaksi silang secara imunologi dan biokimia dapat diberikan.
9
c) Tentukan apakah pasien termasuk kelompok resiko tinggi alergi obat. Hindari pemberian obat – obat kepada pasien dengan riwayat alergi lain (asma, hay fever, rinhitis, dermatitis) jika tidak diperlukan. d) Pertimbangkan
tes
diagnostic
yang
tersedia
untuk
mendeteksi
atau
memperkirakan kemungkinan alergi obat. Tes kulit dapat digunakan untuk membantu meneggakan diagnose. Rujuk pasien kepada ahli alergi bila ingin melakukan tes. e) Berikan obat pencegah untuk mengurangi kemungkinan reaksi pemberian antihistamin untuk pasien tertentu dapat mengurangi frekuensi dan keparahan reaksi anafilaktik. 2) Selama pemberian obat a) Metode pemberian obat i) Bila mungkin berikan secara oral ii) Berikan obat penekan alergi secara stimulant iii) Hindari pemberian obat secara intermiten iv) Observasi pasien setelah pemberian obat (sampai 30 menit) v) Beri label pada semua obat yang akan diberikan vi) Informasikan kemungkinan terjadinya reaksi alergi pada pasien beresiko tinggi atau keluarga terdekatnya b) Peralatan emergensi dan obat yang diperlukan untuk mengatasi alergi obat harus tersedia dan siap pakai c) Lakukan tes dosis provokatif atau desensitisasi jika tesedia 3) Setelah pemberian obat a) Kenali tanda-tanda awal reaksi alergi b) Atasi segera symptom yang timbul akibat alergi obat c) Penderita alergi obat harus diberi surat keterangan agar tak terulang lagi pemberian obat yang sama. Ketika pasien menunjukan reaksi alergi terhadap obat yang spesifik, penting memberitahukan pasien apa nama obatnya. Informasi ini menjadi bantuan yang tidak ternilai bagi praktikan yang harus menerima tanggung jawab atas perawatan pasien pada masa yang akan dating.
10
d) Catat Alergi obat dalam rekam medic penderita. Reaksi alergi ini harus dicatat dengan jelas pada rekam medis penderita ( lebih baik dengan tanda bintang/ garis berwarna untuk menarik perhatian) dan tentu saja obat yang menyebabkan hal ini harus dihindari sama sekali. Pertimbangkan menggunakan sebentuk gelang atau kalung (A medic alert bracelet or necklace). Sehingga siapa saja yang menemukan pasien ada tidak sadar atau tidak sanggup berbicara dapat dengan cepat merawat pasien anda. 15
II.1.11. Prognosis
Usia terkait dengan luaran klinis. Usia tua terkait dengan prognosis yang lebih buruk sementara usia muda atau anak anak sebaliknya. Pada umumnya pasien yang mendapatkan tata laksana adekuat akan pulih beberapa bulan setelah munculnya gejala. Pada penelitian terhadap 38 kasus angka kesembuhan mencapai 94,8% pasien. Kematian yang terjadi disebabkan oleh infeksi oportunistik akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang atau gagal organ yang berat. Pasien yang mengalami memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami penyakit autoimun seperti DM tipe 1, penyakit graves, dan sklerosis sistemik. Tabel 3. Kondisi-kondisi yang Mengarahkan pada Reaksi Berat Kulit
Eritema konfluens, Keterlibatan wajah atau edema pada wajah, Nyeri kulit, Purpura, Nekrosis kulit, Terkelupasnya epidermis, Erosi mukosa, Urtikaria, Pembengkakan lidah Kondisi umum
Demam tinggi (>40°C), Pembesaran kelenjar getah bening, Atralgia atau artritisSesak nafas, mengi, hipotensi Laboratorium
Hitung eosinofil >1000/mm3 Limfositosis dengan limfosit atipikal Hasil laboratorium fungsi hati yang abnormal
11
II.2.
SINDROM STEVENS JOHNSON (SSJ) II.2.1. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas. 7 Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh kasus. Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali.7 Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok 7 Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan samasama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN. Pada SSJ akan terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata. 12
1) Kelainan pada kulit a) Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen. b) Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik. c) Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. d) Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik. e) Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas. f) Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum. g) Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di batang tubuh.
2) Kelainan selaput lendir di orifisium14
13
a) Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), disusul pada lubang alat genitalia (50%), jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%). b) Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapat timbul pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan esofagus. c) Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan. d) Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas. e) Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit.
3) Kelainan Mata Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis.
14
konjungtivitis
simblefaron
II.2.2. Pemeriksaan Penunjang SSJ
1) Pemeriksaan Laboratorium14 : Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ. a) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan kemungkinan infeksi bakteri berat. Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena alergi. b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. d) Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya infeksi. 2) Pemeriksaan Radiologi: Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan. 3) Pemeriksaan Histopatologi: Gambaran histopatologik sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyuluruh. Kelainan berupa : a) Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial. b) Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler. c) Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal. d) Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa. 15
e) Spongiosis dan edema intrasel epidermis.
II.2.3. Penatalaksanaan SSJ
14
Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu dan zat aditif lainnya. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umunya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat-inap. Pengggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving , dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang pasien SSJ yang berat, harus segera di rawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari. Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara. Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan deksametason karena termasuk golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen), misalnya pemfigus. Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah kulit tempat akan diambil darah 16
dikompres dengan spiritus dengan kasa steril selama ½ jam untuk menghindari kontaminasi. Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan. Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin, meskipun tidak berspektrum luas sering digunakan karena juga efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Hendaknya diingat obat tersebut akan memberikan sensitisasi silang dengan amoksisilin karena keduanya termasuk antibiotik beta laktam. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per os.14 Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan laktat ringer berbanding 1 : 1 :1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.14 Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood ) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya tahan. Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan TEN yang dilakukan ialah :
17
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan TEN 40 mg sehari. 2. Bila terdapat purpura generalisata. 3. Jika terdapat leukopenia. Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan karena pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat naik sedikit, namun cepat turun. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari iv.14 Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%.
18
II.3.
REAKSI ANAFILAKSIS II.3.1. Kriteria Reaksi Anafilaksis
Merupakan suatu respons klinis reaksi hipersensitivitas generalisata atau sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis dapat berupa hasil reaksi imunologis dan non imunologis. Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.15 Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).15 Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).15 Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.15
19
II.3.2. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaktik
20
BAB III PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Beberapa jenis obat-obatan yang paling sering berhubungan dengan gejala klinis yang berat hingga anafilaksis adalah golongan penisilin, sulfa, anti inflamasi non steroid dan aspirin. Alergi obat merupakan suatu reaksi hipersensitivitas dari ringan hingga berat (SSJ atau anafilaksis). Alergi obat dapat terjadi melalui keempat mekanisme reaksi hipersensitivitas. Alergi obat paling sering terjadi melalui mekanisme tipe I dan IV. Uji provokasi merupakan tes baku emas dalam mendiagnosis obat penyebab reaksi hipersensitivitas obat. Uji provokasi adalah pemberian obat secara terkontrol untuk mendiagnosis reaksi simpang obat baik yang diperantarai imun maupun tidak. Tata laksana yang dilakukan bersifat suportif yaitu antipiretik untuk menurunkan suhu, nutrisi adekuat, cairan intravena yang cukup, serta perawatan kulit. Penghentian obat tersangka sesegera mungkin merupakan tindakan pertama yang perlu dilakukan. Hingga saat ini kortikosteroid merupakan terapi pilihan. Umumnya demam serta ruam kulit akan mengalami perbaikan dengan pemberian kortikosteroid sistemik.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sundaru H. Alergi obat. In: Mansjoer A, Se tiati S, Syam AF, Laksmi PW, editors. Naskah Lengkap PIT Ilmu Penyakit Dalam 2008. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2008.p.243-52 2. Kano Y, Shiohara T. The variable clinical picture of drug-induced h ypersensitivity syndrome/drug rash with eosinophilia and systemic symptoms in relation to the eliciting drug. Immunol Allergy Clin North Am. 2009;29(3):481-501. 3. Mockenhaupt M. Epidemiology and causes of severe cutaneuos adverse reactions to drugs. In: Pichler WJ, editor. Drug hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.18-31. 4. Roujeau JC, Stern RS. Severe adverse cutaneous reactions to drugs. N Engl J Med. 1994;331:1272-85. 5. Shiohara T, Takahashi R, Kano Y. Drug-induced hypersensitivity syndrome and viral reactivation. In: Pichler WJ, editor. Drug hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.251-66. 6. Limsuwan T, Demoly P. Acute Symptoms of Drug Hypersensitivity (Urticaria, Angioedema, Anaphylaxis, Anaphylactic Shock). Med Clin N Am. 2010;94:691-710. 7.
Mirakian R, Ewan P, Durhamw S, Youltenz L, Dugu P, Friedmannz P, dkk. BSACI Guidelines For The Management of Drug Allergy. C linical and Experimental Allergy. 2008;39:43-61.
8.
de Silva NP, Piquioni P, Kochen S, Saidon P. Risk factors associated with DRESS syndrome produced by aromatic and non-aromatic antipiletic drugs. Eur J Clin Pharmacol. 2011;67(5):463- 70.
9. Knowles SR, Shear NH. Recognition and Management of Severe Cutaneous Drug Reactions. Dermatol Clin. 2007;25:245-53. 10. Sullivan JR, Shear NH. The drug h ypersensitivity syndrome: what is the pathogenesis? Arch Dermatol. 2001;137:357-63. 11. Pirmohamed M. HIV and drug hypersensitivity. In: Pichler WJ, ed itor. Drug Hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.84-94. 12. Rozieresa A, Vocansona M, Saıd B, Nosbauma A, Nicolas J. Role of T cells in nonimmediate allergic drug reactions. Current Opinion in Allergy and Clinical Immunology 2009;9:305-10 22
13. Bonaci-Nikolic B, Jeremic I, Nikolic M, Andrejevic S, Lavadinovic L. High procalcitonin in a patient with drug hypersensitivity syndrome. Inter Med. 2009;48:14714. 14. Judarwanto Widodo 2009,Manifestasi klinik alergi obat. children’s ALLERGY CLINIC Jakarta 15. Emergency treatment of anaphylactic reactions Guidelines for healthcare provider.2012. Working Group of the Resuscitation Council (UK)
23