MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3 AsKep pada pasien dengan Erupsi Obat Alergik
Disususn oleh : 1. Aferi Adi S
(1611010)
2. Agus Saparudin
(1611011)
3. Ajeng Alfi S
(1611012)
4. Desi Setya N
(1611014)
5. Eka Yulis S
(1611015)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PATRIA HUSADA BLITAR TAHUN AKADEMIK 2017/2018
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Blitar, 21 April 2018
Penyusun
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii BAB I ................................................................................................................................1 1.1
LATAR BELAKANG ...................................................................................... 1
1.2
RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 1
1.3
TUJUAN ........................................................................................................... 1
BAB II. .............................................................................................................................. 3 2.1
Definisi. ............................................................................................................. 3
2.2
Etiologi. ............................................................................................................. 3
2.3
Patogenesis. ....................................................................................................... 4
2.4
Manifestasi klinis .............................................................................................. 4
2.5
Pemeriksaan Penunjang .................................................................................... 6
2.6
Penatalaksanaan ................................................................................................ 8
2.7
Prognosis ........................................................................................................... 9
BAB III ........................................................................................................................... 11 3.1
Pengkajian .......................................................................................................11
3.2
Diagnosa ......................................................................................................... 11
3.3
Intervensi.........................................................................................................1 1
BAB IV ........................................................................................................................... 12 4.1
Pengkajian .......................................................................................................12
4.2
Analisis Data ................................................................................................... 13
4.3
Diagnosa Keperawatan dan Intervensi ............................................................ 13
BAB V ............................................................................................................................ 14 5.1
Kesimpulan ..................................................................................................... 14
Daftar Pustaka .................................................................................................................16
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati, dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan farmakologi obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdoses (kelebihan dosis). Rekasi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak tergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep dasar penyakit erupsi obat alergik ? 2. Bagaimana konsep askep pada pasien yang menderita erupsi obat alergik ? 3. Bagaimana aplikasi kasus semu pada pasien erupsi obat alergik ? 1.3
TUJUAN
1. Mengetahui konsep dasar penyakit erupsi obat alergik. 2. Memahami konsep askep pada pasien yang menderita erupsi obat alergik.
1
3. Memahami melalui aplikasi kasus semu pasien erupsi obat alergik.
2
2
BAB II
Konsep Dasar Penyakit
2.1
Definisi
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter.
Gambaran
yang
khas
dari
EOA
adalah
kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama. 2.2
Etiologi
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.
3
2.3
Patogenesis
2.4
Manifestasi klinis
Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau
menurut
mekanisme
kerusakan
jaringan
akibat
reaksi
imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV). 1. Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat) Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin. Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin . Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu : a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE; b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi; c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan mediator. 2. Tipe II
4
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini. 3. Tipe III Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa : a. Demam; b. Limfadenopati; c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi; d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut sering disertai pruritis; e. Lainnnya
seperti
kejang
perut,
mual,
neuritis
optik,
glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus sistemk serta vaskulitis. Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari. 4. Tipe IV Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
5
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain : a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity; b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits); c. Reaksi tuberkulin; d. Reaksi granuloma. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial,
ensefalomielitis
dan
hepatitis.
Namun,
dermatitis
merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang – kadang gejala baru timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam setelah obat dioleskan. 2.5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah : a. Pemeriksaan in vivo Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain : 1) Uji Tempel (patch test) Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan reaksi.
6
Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan. 2) Uji Tusuk (prick/scratch test) Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan
untuk
uji
kulit
harus
bersifat
non
iritatif
untuk
menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin. 3) Uji Provokasi (exposure test) Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma
Steven
Johnson,
dermatitis
eksfoliatif,
kelainan
hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat. b. Pemeriksaan in vitro Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji
7
Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan. 2.6
Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Umum
a. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus dihentikan segera; b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan; c. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik; d. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.
Berikan
cairan
via
infus
bila
perlu.
Pengaturan
keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. 2. Penatalaksanaan Khusus a. Sistemik 1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison.
Pada
kelainan
urtikaria,
eritema,
dermatitis
medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan
8
pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali dilakukan
pemberianintravenous
immunoglobulin (IVIG)
terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari pertama. 2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid. b. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½ 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan
topikal.
membasah
dapat
Pada
eksantema
diberikan
krim
fikstum,
jika
kortikosteroid,
kelainan misalnya
hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupakenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak. 2.7
Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit
9
yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit.
10
BAB III KONSEP ASKEP
3.1 Pengkajian
3.2 Diagnosa 3.3 Intervensi
11
BAB IV APLIKASI KASUS SEMU
4.1 Pengkajian
a. Anamnesa Nama Pasien
: Tn. S
Umur
: 23 Tahun
Alamat
: Wates
Pekerjaan
: Salesman
Keluhan Utama
: Badan panas, lemas, nyeri setelah minum
obat (paramex). Juga terdapat bercak-bercak di sel uruh tubuh. Riwayat Penyakit Sekarang : ± 1 hari yang lalu px merasa masuk angin lalu px minum obat paramex dan minum antangin. Beberapa jam kemudian badan terasa lebih panas, lemas dan nyeri lalu muncul bercak-bercak di seluruh tubuh. px mengaku baru sekali ini minum obat paramex, namun sudah berkali-kali minum antangin. Riwayat penyakit dahulu : (-) Riwayat penyakit keluarga : (-) b. Pemeriksaan Fisik : Inspeksi
: pada seluruh tubuh terdapat lesi berbentuk macula eritematosa dan hiperpigmentasi di tepi-tepinya. Berkonfluensi, berbatas tegas, disertai papul-papul.
c. TTV : TD
: 120/90 mmHg
RR
: 20 x/mnt
N
: 68 x/mnt
T
: 38,7°C
d. Pemeriksaan penunjang Pmx Darah -> eosinofilia e. Diagnosa
: Drug Eruption
12
4.2 Analisis Data
No.
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
1.
4.3 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
No.
Masalah
NOC
NIC
Keperawatan 1.
13
BAB V
5.1 Kesimpulan
1. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. 2. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat. 3. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin, orang dengan sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan. 4. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. 5. Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang dikemukakan oleh Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat). 6. Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel
mast
secara
langsung,
aktivasi
langsung
dari
sistem
komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata diffuse. 7. Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema,
dermatitis
medikamentosa,
purpura,
erupsi
eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler, dan erupsi bulosa. 8. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in vivo. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium
14
maupun teknik in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. 9. Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian
terapi
yang
bersifat
suportif
sedangkan
penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama
pemberian
obat
golongan
kortikosteroid
dan
antihistamin. 10. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.
15
Daftar Pustaka
16