PENDAHULUAN
Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh dokter dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu jamuan; yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh kulit. Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang mengancam jiwa manusia. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug eruption) atau R.S.O. Salah satu bentuk R.S.O ialah reaksi obat alergik (R.O.A). Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (E.O.A). Satu macam obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam obat. Obat masuk dalam tubuh secara sistemik, berarti melalui mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat kumur, obat mata, tapal gigi, dan obat topikal. ( Ilmu penyakit kulit dan kelamin)
Reaksi simpang obat (RSO) menurut WHO adalah setiap efek yang berbahaya dan tidak diharapkan pada penggunaan suatu obat dengan dosis yang digunakan pada manusia untuk tujuan pencegahan, diagnostik atau pengobatan. Reaksi simpang obat tipe A didasari mekanisme non-imunologik, dose related , umumnya berhubungan dengan efek farmakologik obat dan dapat terjadi pada setiap individu. Sebaliknya dengan RSO tipe B yang meliputi intoleransi, idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas (Gell dan Coombs tipe IIV). Pada sebagian besar RSO dengan manifestasi kulit, sulit ditentukan klasifikasinya karena mekanisme yang mendasarinya belum diketahui. Masalah erupsi obat ini menjadi semakin kompleks karena satu obat dapat menimbulkan berbagai erupsi dan jenis erupsi yang sama atau mirip dapat disebabkan oleh beberapa obat. (Penyakit kulit yang umum diindonesia hal.79)
I.
Definisi
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Yang dimaksud dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. (IK&K) II.
Insidens
Insidens reaksi adversi obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa reaksi adversi obat yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 6-15 %. Angka insiden di luar rumah sakit biasanya kecil, karena kasus-kasus tersebut bila ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat merupakan 6-10 % dari reaksi adversi obat. Di masyarakat nilai ini berkisar 1-3 % tetapi mungkin angka ini lebih kecil lagi, mengingat idiosinkrasi dan intoleransi obat sering dilaporkan sebagai reaksi alergi obat. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV) III.
Etiologi
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non-imunologik. Yang dimaksud dengan E.O.A ialah alergi terhadap obat yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Biasanya obat flu berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah. Terjadinya
reaksi
hipersensitivitas
karena
obat
harus
di
metabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reaktif. Secara umum metabolisme obat dapat dianggap sebagai satu bentuk proses detoksifikasi yaitu obat dikonversi dari zat yang larut dalam lemak, nonpolar, menjadi zat yang hidrofilik dan polar yang mudah diekskresi. Terdapat 2 langkah untuk terjadinya hal ini :
1. Reaksi fase I : reaksi oksidasi reduksi 2. Reaksi fase II : reaksi konjugasi Reaksi oksidasi-reduksi umumnya melibatkan enzim sitokin
P450,
prostaglandin sintetase dan macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh enzim, misalnya hidrolase, glutation-S-tranferase (GST) dan N-asetyl-transferase (NAT). Untuk dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten harus bergabung dahulu dengan protein pembawa (carrier ) yang ada dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes. Carrier diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T agar merangsang sel limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau metabolitnya. IV.
Klasifikasi R.O.A
Secara umu terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh Coomb dab Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke-4 jalur ini. 1. Tipe I (Reaksi cepat, reaksi anafilaksis) Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibodi yang terbentuk ialah antibodi IgE yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat menimbulkan perubahan berupa degranulasi sel mast dan basofil dengan
dilepaskannya
bermacam-macam
mediator,
antara
lain
histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator-mediator ini mengakibatkan bermacam-macam efek antara lain urtikaria, dan yang lebih berat ialah angioderma. Yang paling
berbahaya
ialah
terjadinya
syok
anafilaktik.
Penisilin
merupakan contoh penyebab utama erupsi obat hipersensivitas tipe cepat yang igE-dependent . 2. Tipe II (Reaksi sitostatik)
Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan penggabungan antara IgG dan IgM dipermukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai
komplemen.
Gabungan
obat-antibodi-komplemen
terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel sehingga reaksi tipe II tersebut disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. Contohnya ialah penisilin, sefalosforin, strepstomisin, sulfonamida, dan isoniazid. E.O.A yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin, sefalosforin, streptomisin, klorpromasin, sulfonamida, analgesik, dan antipiretik. 3. Tipe III (Reaksi kompleks imun) Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen, antibodi (IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran. Contohnya ialah penisilin, eritromisin, sulfonamida, salisilat, dan isoniazid. 4. Tipe IV (Reaksi alergik seluler tipe lambat) Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan Sel Langerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan
terhadap
antigen
menyebabkan
pelepasan
serangkaian
limfokin. Contoh reaksi tipe ini ialah dermatitis kontak alergik. V.
Gambaran klinis
1. Erupsi makulapapular atau mirbiliformis
Erupsi
makulapapular
atau
morbiliformis
disebut
juga
erupsi
eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris terdiri atas eritema, selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, Sulfonamid, dan tetrasiklin. 2. Urtikaria dan angioedema Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtika, kadang-kadang dapat disertai angioedema. Pada angioedema yang berbahaya ialah terjadi asfiksia, bila menyerang glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malaise, nyeri kepala dan vertigo Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia ekstena, tangan dan kaki. Kasus-kasus angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID. 3. Fixed drug eruption (FDE) FDE disebabkan khusus obat atau bahan kimia. FDE merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritem dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama baru hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yana sering ialah sulfonamida, barbiturat, trimetroprim, dan analgesik. 4. Eritroderma (Dermatitis eksfoliativa)
Eritroderma ialah terdapatnya eritema yang universal yang biasanya disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik termasuk keganasan pada sistem limforetikuler (Penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma karena alergi obata telihat eritema tanpa skuama; skuama baru timbul pada stadium penyembuhan.
Obat-obat
yang
biasa
menyebabkannya
ialah
sulfonamid, penisilin, dan fenibultazon. 5. Purpura Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul disekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai rasa gatal. 6. Vaskulitis Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin, sulfonamid, NSAID, antidepresan, dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum (E.N). kelainan kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malaise. Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. E.N dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain. Misalnya tuberkulosis, infeksi streptokokkus, dan leprae. Obat yang dianggap sering menyebabkan E.N ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral. 7. Reaksi fotoalergik Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergi, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah yang tidak terpajan
matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergik ialah fenotiazin, sulfonamida, NSAID, dan griseofulvin. 8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut Penyakit putulosis eksantema generalisata akut (P.E.G.A) atau acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) jarang terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri, dan dermatitis kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit yang eritromatosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi (>38ºC) , dan pustul-pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti dekuamasi selama beberapa hari. Pada pemeriksaan histopatologik di dapati pustul intraepdermal atau subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskular dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara P.E.G.A dan psoriasis pustulosa, yaitu P.E.G.A terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada P.E.G.A pustul-pustul pada kulit yang eritromatosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga berbeda. 9. Di samping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa eritema
multiforme,
sindrome
Stevens-Jhonson,
dan
nekrolisis
epidermal toksisk yang dibicarakan secara tersendiri. VI.
Diagnosis
Dasar diagnostik erupsi obat alergik sebagai berikut : Anamnesis
Wawancara mengenai riawayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis 1. Anamnesis yang teliti mengenai : a. Obat-obat yang didapat, jangan lupa menanyakan tentang j amu.
b. Kelainan yang timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat. c. Rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril. 2. Kelainan kulit yang ditemukan : a. Distribusi menyebar dan simetris, atau setempat. b. Bentuk kelainan yang timbul : eritema, urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodosum. Menurut pengalaman kami di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSCM/FKUI obat yang sering menyebabkan reaksi alergik ialah penisilin
dan
derivatnya
(ampisilin,
amoksisilin,
kloksasilin),
sulfonamida, golongan analgetik-antipiretik, misalnya asam salisilat, metametazol, metampirin, dan paracetamol. VII.
Pengobatan
1. Sistemik a. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ialah tablet prednison (1 tablet = 5 mg). Pada kelainan urtikari, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan P.E.G.A karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednison sehari. Pada eritroderma dosisnya ialah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. b. Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid 2. Topikal Pengobatan topikal bergantung pada kelainan kulit, apakah kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti pada eritema dan urtikaria, dapat diberikan bedak salisilat 2 % ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan
membasah
seperti
dermatitis
medikamentosa,
perlu
digunakan
kompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1 %. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1 % atau 2 ½ %. Pada eritoderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi, dapat diberi salap lanolin 10 % yang dioleskan sebagiansebagian.
VIII.
Pencegahan Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu memberikan hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30 kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang memiliki indikasi yang jelas . jika sudah tepat indikasinya. Barulah dinyatakan secara teliti riwayat alergi obat dimasa lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien menyebutkan alergi terhadap bermacam macam obat yang sebenarnya kurang masuk akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi silang antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dan sefelosporin, gentamisin dengan kanamicin atau streptomicin, sulfa dengan obat obat golongan sulfonilurea Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun tetap harus berhati hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan, dipertimbangkan cara pemberian obat secara desentisasi. Sedangkan bagi obat obat yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara
provokasi dan bila reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desentisasi. Prinsip uji provokasi atau desentisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat kecil, kemudian dinaikkan perlahan lahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun uji provokasi tidak selalu terjadi desentisasi karena sensitasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur desentisasi hanya memberi pasien bebas sensitasi sementara, karena bila satu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus diulangi kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaktik. IX.
Prognosis Pada dasarnya erupsi kulit karena obat menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Stevens-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. (Ilmu Penyakit
Kulit Dan Kelamin)