BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggarab
pelayanan publik.[1] Undang-Undang mengenai pelayan publik yang
dihasilkan oleh lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
dibentuk atas dasar kewajiban negara untuk melayani setiap warga negara
dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka
pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik
yang dilakukan berbagai organ pelayanan publik, berbagai kegiatan harus
selalu ditingkatkan seiring dengan harapan dan tuntutan warga negara
mengenai peningkatan pelayan publik. Namun, bukan hanya peningkatan
pelayanan, pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik juga harus
berupaya untuk menjamin penyediaan pelayanan publik serta memberikan
perlindungan kepada warga negara dari segala penyalahgunaan wewenang di
dalam penyelenggaraan publik.
Upaya perlindungan terhadap pelayanan publik merupakan suatu hal
yang wajib untuk dilakukan demi mensejahterakan rakyat. Selain dilakukan
oleh pemerintah sebagai organ penyelenggaran pelayanan publik,
perlindungan terhadap pelayanan publik juga dilakukan oleh lembaga di
luar pemerintah, salah satunya adalah ombudsman. Kehadiran ombudsman
masih diharapkan karena masyarakat menghendaki perlindungan hukum secara
mudah dan dapat dipercaya.[2]
Awal pembentukan ombudsman di Indonesia adalah pada saat
Pemerintahan B.J. Habibie yang dilanjutkan oleh K.H. Abdurrachman Wahid.
Urgensi dari pembentukan ombudsman ini termaktud di dalam konsideran
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1999, yaitu untuk lebih meningkatkan
pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari perilaku
penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya, dengan
memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang dirugikan untuk
mengadu kepada suatu lembaga independen yaitu lembaga yang dikenal dengan
nama ombudsman. Selain itu, dalam konsideran Keputusan Presiden Nomor 44
Tahun 2000, latar belakang dari pembentukan lembaga ombudsman ini
didasarkan atas tiga pemikiran dasar, yang salah satunya adalah untuk
memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat
oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan.
Keberadaan ombudsman di Indonesia, diharapakan dapat memberikan
perlindungan kepada warga negara dalam hal pelaksanaan pelayanan publik.
Dalam makalah ini, penulis akan memahas mengenai peran ombudsman dalam
memberikan pelayan publik beserta segala implementasinya. Penulis
berharap makalah ini akan memberikan manfaat bagi khasanah ilmu
pengetahuan.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas permasalahan berikut ini:
a. Bagaimana upaya ombudsman dalam memberikan perlindungan pelayanan
publik?
b. Bagaimana implementasi upaya ombudsman dalam memberikan perlindungan
pelayanan publik?
3. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui upaya ombudsman dalam memberikan perlindungan pelayanan
publik.
b. Mengetahui implementasi upaya ombudsman dalam memberikan perlindungan
pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peran Ombudsman Dalam Perlindungan Pelayanan Publik
Permasalahan pelayanan publik menjadi aspek utama sebagai prioritas
dalam kinerja lembaga ombudsman guna mengawal pengaduan masyarakat untuk
segera ditindaklanjuti agar mendapat solusi yang efektif. Dalam hal ini
masalah yang menjadi lingkup tanggungjawab adalah terkait
Maladministrasi.[3] Ombudsman RI pada tahun 2013 telah menerima
laporan/pengaduan masyarakat atas dugaan maladministrasi dalam pelayanan
publik sebanyak 5173 laporan, yang disampaikan melalui berbagai cara
yaitu datang langsung ke Ombudsman RI sebanyak 2524 laporan (48,79%),
melalui surat sebanyak 1367 laporan (26,43%), melalui media sebanyak 736
laporan (14,23%), dan selebihnya melalui faksimili, website, email,
telepon dan form pengaduan.[4]
Jika sekilas menengok kebelakang, sebelum reformasi, penyelenggara
Negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktik maladministrasi antara
lain terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal tersebutlah yang
mendorong dilakukannya reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan
pemerintahan agar efektif dan efisien, jujur,bersih, terbuka serta bebas
dari KKN. Upaya untuk menciptakan hal diatas bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat, keadilan dan kepastian hukum warga Negara. Oleh
karena itu pelayanan masyarakat dan penegakan hukum harus dilakukan
dengan tidak terpisahkan. Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka
memerhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, agar terwujud
aparatur penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang baik, efisien,
jujur bersih dan terbuka, lembaga Ombdusman dibentuk.[5]
Ombudsman sendiri adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh
penyelengara Negara dan pemerintah termasuk yang diselenggarakan oleh
BUMN, BUMD dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.[6] Dari
segi tanggungjawab, yang menjadi prioritas lembaga Ombudsman jelas
terkait dengan perlindungan yang secara pasif dalam menampung aspirasi
pengaduan masalah pelayanan publik di masyarakat.
Salah satu prinsip Ombudsman yang bersifat universal adalah
ketidakberpihakan (impartiality), oleh karena itu sebenarnya Ombudsman
berfungsi menghubungkan pelapor (masyarakat) dengan terlapor
(penyelenggara pelayanan publik) agar permasalahan yang terjadi dapat
dikomunikasikan, diketahui secara lebih jelas dan kemudian
ditindaklanjuti untuk diselesaikan.
Ombudsman berupaya memulihkan serta menyeimbangkan (amicus curie)
hubungan antara pihak yang melaporkan dengan pihak yang dilaporkan. Dalam
keseimbangan tersebut terdapat rasa keadilan (fairness) dan keadilan
(justice) sehingga dalam masyarakat akan tercipta suasana kedamaian serta
ketertiban sebagai wujud dari adanya kesejahteraan sosial.[7]
Melihat lebih dalam terkait profil lembaga ombudsman sebagai organ
pengawal pelayanan publik masyarakat, memiliki visi yang jelas yaitu
"Mewujudkan Pelayanan Publik Prima yang Menyejahterakan dan Berkeadilan
bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Dan Untuk mewujudkan visi tersebut ,
Ombudsman RI melaksanakan misi sebagai berikut:
1. Melakukan tindakan pengawasan, menyampaikan saran dan rekomendasi
serta mencegah maladministrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik.
2. Mendorong penyelenggara negara dan pemerintahan agar lebih efektif dan
efisien, jujur, terbuka, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
3. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat dan
supremasi hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta keadilan,
dan
4. Mendorong terwujudnya sistem pengaduan masyarakat yang terintegrasi
berbasis teknologi informasi.
Ombudsman sendiri dalam menangani pengaduan masyarakat terkait
dugaan maladministrasi, sesuai dengan Undang-undang diberi beberapa
kewenangan antara lain :
1. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor,
Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang
disampaikan kepada Ombudsman.
2. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada
Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan.
3. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang
diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari
instansi Terlapor.
4. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang
terkait dengan Laporan.
5. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan
para pihak.
6. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk
Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada
pihak yang dirugikan.
7. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan
Rekomendasi.
8. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan
Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan
organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik.
9. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan
perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Melihat beberapa hal diatas dapat disimpulkan bahwa konsep
perlindungan yang dilakukan oleh lembaga Ombudsman dalam melayani
pengaduan masyarakat, terintegrasi dalam sistem yang tepat. Namun
demikian yang masih dianggap menjadi kelemahan Ombudsman adalah banyak
yang mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia rekomendasi Ombudsman yang
tidak mengikat merupakan salah satu kelemahan. Namun sebenarnya dalam
jangka panjang rekomendasi Ombudsman yang tidak mengikat tersebut justru
merupakan kekuatan sebab di dalamnya mengandung nilai-nilai moral serta
kesadaran untuk memberi pelayanan dengan sebaik- baiknya kepada
masyarakat.[8] Sehingga dalam hal ini sifat perlindungan Ombudsman
terhadap pelayanan publik juga dengan melibatkan unsur partisipatif
masyarakat serta penyelenggara dalam menumbuhkan semangat kesadara
berpelayanan publik. Unsur sanksi atau paksaaan dalam semangat
penyelenggaraan Negara tidak harus selalu dimaknai secara represif,
melainkan juga melalui pendekatan yang partisipatif.
Ombudsman memahami bahwa mewujudkan pelayanan publik berkualitas
memerlukan kerja sama dengan institusi lain: "bersama mengawal pelayanan
publik". Untuk itu, pada tahun 2013 dilakukan penandatanganan naskah
kerja sama dengan beberapa pemerintah maupun swasta. Sebagai contoh,
kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri menghasilkan komitmen
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kepatuhan terhadap Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mewujudkan kepatuhan
Pemerintah Daerah di 23 provinsi. Guna meningkatkan komitmen
penyelenggara negara dalam mewujudkan pelayanan publik prima, pada akhir
tahun dilaksanakan Rapat Koordinasi Nasional dengan mengundang Pimpinan
Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah. Sebagai bagian masyarakat
Ombudsman dunia, Ombudsman RI juga aktif berpartisipasi dalam forum
internasional baik bilateral maupun multilateral. Ombudsman RI aktif
dalam konferensi International Ombudsman Institute (IOI), dan Asian
Ombudsman Association (AOA). Ombudsman RI secara bilateral bermitra
dengan Commonwealth Ombudsman Australia, United Nation Development
Program, Anti-Corruption and Civil Rights Commission, AusAid, USAID, dan
lain-lain.[9]
Berdasarkan hal diatas, menjadi sangat penting untuk memaknai
Lembaga Ombudsman tidak hanya dalam konteks perlindungan pelayanan
publik, melainkan juga instrumen untuk bisa mewujudkan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh dengan berfokus pada pelayanan publik prima
tanpa mengurangi asas kesatuan koordinasi dengan lembaga atau institusi
lain yang bergerak sejalan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan
menekankan pada lingkup dugaan maladministrasi yang kerapkali dilakukan
oleh pejabat penyelenggara, maka peran masyarakat juga sangat penting
tidak hanya secara aktif dalam melakukan pengaduan tetapi juga aktif
secara berkualitas dari segi procedural. Telah disampaikan sebelumnya
bahwa rekomendasi Ombudsman bersifat tidak mengikat, untuk itu agar
memperoleh perhatian tentu kualitas serta daya persuasi rekomendasi harus
dijaga. Dengan demikian untuk menghasilkan rekomendasi (sebagai output)
maka laporan yang disampaikan masyarakat (sebagai input) menjadi dasar
pokok rekomendasi harus jelas, konkrit, dilengkapi bukti serta masuk
dalam lingkup tugas dan fungsi Ombudsman (kompetensi).
Demikian halnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Ombudsman
juga harus memerhatikan asas-asas yang telah diatur dalam Undang-undang,
anatara lain : Kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak,
akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan.[10] Jika
diperhatikan denga seksama, melihat konsep asas-asas tersebut juga
sejalan dengan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara yaitu : asas
kepastian Hukum, asas tertib penyelnggara Negara, asas kepentingan umum,
asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan
akuntabilitas.[11] Dalam hal ini, keterkaitan tersebut diatas menunjukkan
bahwa konsep pelaksanaan kewenangan kerja ombudsman tidak lepas dari
upaya untuk tetap menjaga nilai-nilai positif dan mendasar dalam suatu
tindakan penyelenggaraan Negara.
Sehingga, berdasar atas keseluruhan argumen diatas, kesimpulan yang
dapat diambil bahwa Ombudsman dalam melakukan perlindungan terhadap
Pelayanan publik di masyarakat dilakukan secara sistematis tidak hanya
memeperhatikan aspek hukum yang diatur dalam Undang-undang, tetapi juga
melihat saling keterkaitan dengan aspek-aspek lain yang menjadi faktro
penyebab timbulnya hambatan dalam pelayanan publik. Tentunya untuk
mewujudkannya, partisipasi masyarakat secara aktif berkualitas dan
keikutsertaan institusi penyelenggara Negara yang lain menjadi sanagat
penting untuk bisa mengoptimalisasikan kinerja dan kewenangan Ombudsman.
2.2 Analisis Contoh Penerapan Peran Ombudsman RI dalam Pelaksanaan
Program e-KTP
Pada tanggal 15-26 September 2014 yang lalu, Ombudsman RI
mengadakan pemantauan penyelenggaraan e-KTP di wilayah Jabodetabek. Dalam
pemantauan tersebut, ditemukan adanya beberapa permasalahan seperti
persoalan infrastruktur, ketidakpastian layanan terkait jangka waktu
pencetakan, serta prosedur perbaikan data pada e-KTP. Atas dasar temuan
itulah maka Ombudsman RI selaku lembaga negara yang bertidak untuk
mengawasi pelaksanaan pelayanan publik, mendorong Kementerian Dalam
Negeri agar segera memberikan kepastian layanan pemerolehan e-KTP bagi
masyarakat di wilayah Jabodetabek pada khususnya. Tentu sudah enjadi
kewenangan dari Ombudsman RI untuk melakukan tindakan lanjut terkait
dengan pelayanan yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri tersebut.
Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman RI, yaitu:
"Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman
adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi
perlindungan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh
penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan
oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan
Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi
tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah."
Berdasarkan ketentuan pada pasal 1 angka 2 UU tersebut, yang dimaksud
dengan penyelenggara negara yaitu:
"Penyelenggara Negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi
pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan."
Maka, Kementerian Dalam Negeri selaku salah satu penyelenggara
negara yang diberi kewenangan untuk mengatur persoalan terkait
kependudukan, khususnya yaitu mengenai e-KTP, merupakan salah satu subyek
yang dapat diawasi kewenangannya dalam penyelenggaraan pelayanan publik
oleh Ombudsman RI.
Terkait dengan konsep perlindungan kepentingan masyarakat,
keberadaan Ombudsman RI ini sangatlah penting. Ombudsman RI selaku
lembaga yang berwenanglah, yang memiliki semacam kekuatan yang dapat
bersifat memaksa, bagi para penyelenggara pelayanan publik. Dalam kasus
ini, kalaupun memang Kementerian Dalam Negeri memiliki persoalan-
persoalan yang timbul terkait pelayanan e-KTP, hal itu jangan sampai
meniadakan kepastian bagi masyarakat. Artinya, persoalan-persoalan yang
timbul tadi memang mungkin tidak dapat dihindari, namun dengan adanya
persoalan-persoalan tersebut, masyarakat tetap berhak atas kepastian
layanan publik. Kepastian tersebut seharusnya tetap dapat diberikan oleh
Kementerian Dalam Negeri selaku penyelenggara pelayanan e-KTP, melalui
penyampaian informasi mengenai persoalan yang terjadi, hingga ke tingkat
kelurahan sehingga masyarakat secara luas dapat mengetahuinya. Itu baru
meliputi perlindungan kepastian layanan yang menyangkut teknisnya,
semisal jangka waktu pencetakan e-KTP dan waktu pemerolehan e-KTP bagi
masyarakat. Belum lagi terkait dengan kepentingan-kepentingan lain yang
melekat pada kehadiran e-KTP tersebut. Contohnya saja terkait fungsi e-
KTP sebagai kartu identitas, yaitu dalam kasus jual-beli tiket kereta
api. E-KTP sebagai kartu identitas menjadi syarat dalam transaksi
tersebut. Hal ini akan terasa apabila seorang warga yang hanya memiliki
kartu identitas berupa KTP saja. Jangan melihat pada kondisi lain dimana
masih dimungkinkan untuk menggunakan kartu identitas lain sebagai
pengganti KTP, seperti misalnya surat izin mengemudi (SIM), kartu tanda
mahasiswa (KTM), atau passport. Kita harus melihat dari segi yang dapat
menimbulkan kemungkinan terburuk. Tentu keberadaan e-KTP sebagai
pengganti dari KTP merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, karena
bukan hanya menyangkut masalah perlindungan kepastian secara teknis atau
formiil, tapi juga secara materiil, maka sudah sepatutnya pelayanan e-KTP
ini diawasi oleh lembaga yang berkapasitas.
Bedasarkan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan,
mulai Januari 2014, Kementerian Dalam Negeri sudah tidak berwenang lagi
untuk mencetak e-KTP. Kewenangan pencetakan tersebut ada di tingkat
kabupaten/kota dengan menggunakan APBN-P. Hal itu sesuai dengan ketentuan
Pasal 13 ayat (1) huruf l dan Pasal 14 ayat (1) huruf l UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, masalah kependudukan dan catatan sipil
menjadi salah satu urusan wajib Pemerintah Daerah Provinsi maupun
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Artinya, Pemerintah Daerah tersebut
telah memiliki kewenangan terhadap masalah kependudukan dan catatan
sipil, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 11 ayat (4) UU
Pemerintahan Daerah, yaitu setiap penyelenggaraan urusan yang bersifat
wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal[12] dilaksanakan
secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Standar pelayanan
minimal yang dimaksud berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik (lihat Pasal 20 UU Pelayanan Publik, dan Pasal
25 PP Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik). Kemudian jika kita melihat ketentuan Pasal 12
ayat (1) UU Pemerintahan Daerah, maka segala urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada Pemerintah Daerah, disertai dengan pendanaan,
pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan
yang didesentralisasikan.[13] Hal tersebut diperjelas lagi melalui Pasal
16 ayat (1) yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan umum. Jadi, jika melihat
berbagai ketentuan tersebut, kami berpendapat bahwa kewenangan dalam hal
penyelenggaraan pelayanan pembuatan e-KTP lebih mengarah kepada
Pemerintah Daerah, jika melihat dari segi teknis seperti proses
pengambilan data berupa sidik jari, pengalihan informasi pribadi dari KTP
lama ke format e-KTP, hingga penyerahan e-KTP beserta tenggang waktunya.
Namun dalam segi teori dan kebijakan, Pemerintah Pusat yang memiliki
kewenangan, seperti dalam prosedur pembuatan e-KTP dan penentuan tenggang
waktu maksimal pembuatan e-KTP, yang tidak boleh dilanggar oleh
Pemerintah Daerah selaku penyelenggara langsung. Terkait hal tersebut,
maka Kementerian Dalam Negeri kemudian melakukan koordinasi dan kerjasama
dengan Ombudsman RI terkait dengan pengawasan pelaksanaan pelayanan e-KTP
di tingkat daerah kabupaten/kota tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Prof.Dr.H.Muchsin, S.H. Ombudsman Mendorong Pelayanan Publik yang
Bertanggung jawab Memahami Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Sujata Antonius, RM Surachman. Efektivitas Ombudsman Indonesia. Jakarta:
Mitra Alembana Grafika. 2003
Jurnal
Kustadi. Peran Ombudsman dalam Perlindungan Pelayanan Publik. "Jurnal 1/mu
Hukum Refleksi Hukum (April 2009).
Ombudsman RI, Laporan Ombudsman Republik Indonesia 2013.
Peraturan
Indonesia, Undang-undang Ombudsman, UU NO.37 tahun 2008, LN No. 139 Tahun
2008, TLN No. 4899.
Indonesia, Undang-Undang Pelayanan Publik, UU No. 25 Tahun 2009, LN No.
112, TLN No. 5038.
Indonesia, Undang-undang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 tahun 2004, LN
No.125 Tahun 2009.
Indonesia, Peraturan Permerintah tentang Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009,
PP No. 96 Tahun 2012.
-----------------------
[1] Indonesia, Undang-Undang Pelayanan Publik, UU No. 25 Tahun 2009, LN
No. 112 Tahun 2009, TLN. No. 5038., Psl. 1 Nomor 1
[2] Kustadi, Peran Ombudsman dalam Perlindungan Pelayanan Publik,
"Jurnal 1/mu Hukum Refleksi Hukum (April 2009) hal.2.
[3] Undang-undang Ombudsman, UU NO.37 tahun 2008, Ps.1 angka 3: Perilaku
atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenanguntuk
tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian
atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang
dilakukan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan
kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang
perseorangan.
[4] Ombudsman RI, Laporan Ombudsman Republik Indonesia 2013. hlm.14.
[5] Prof.Dr.H.Muchsin, SH dalam tulisannya yang berjudul "Ombudsman
Mendorong Pelayanan Publik yang Bertanggungjawab". 2011. Memahami
Hukum.Jakarta; Rajawali Pers. hlm. 131-132.
[6] Indonesia, Undang-undang Ombudsman, UU No. 37 tahun 2008, PS.1 angka
1
[7] Sujata Antonius, RM Surachman, Efektivitas Ombudsman Indonesia, (
Jakarta: Mitra Alembana Grafika pt,2003), hlm. vii
[8] Ibid., hlm.6.
[9] Ombudsman RI, op. cit., hlm. ix.
[10] Indonesia, Undang-undang Ombudsman., op. cit. psl. 3
[11] Prof.Dr.H.Muchsin., op. cit. hlm.317
[12] Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan mengenai jenis dan
mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal. SPM merupakan petunjuk yang
dipahami untuk diterapkan dalam pemberian pelayanan. Sedangkan bagi
Pemerintah Daerah, SPM yang telah ditetapkan Pemerintah menjadi salah satu
acuan bagi Pemerintah Daerah untuk menyusun perencanaan dan penganggaran
penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Proses pemenuhan SPM ini sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan membutuhkan sumber daya, baik
pada tingkat manajerial, hingga pelaksana lapangan. Dikutip dari
infoduk.babelprov.go.id yang diakses pada 14 Oktober 2014. Bandingkan
dengan isi Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun
2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di
Kabupaten/Kota.
[13] Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat
ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.