Referat
DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA
Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 30 April 2018 – 4 Juni 2018
Ilsya Pertiwi 04084821820061
Tri Indah Moulina, S.Ked 04084821820044
Kang Yee Lea, S.Ked 04084821820048
Kang Yee Ming, S.Ked 04084821820056
Pembimbing: dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat:
DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA
Oleh:
Ilsya Pertiwi 04084821820061
Tri Indah Moulina, S.Ked 04084821820044
Kang Yee Lea, S.Ked 04084821820048
Kang Yee Ming, S.Ked 04084821820056
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang periode 30 April 2018 – 4 Juni
2018.
Palembang, Juni 2018
dr. Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS
KATA PENGANTAR
Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
"DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA" untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di
Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
Abdullah Sahab, Sp.KJ, MARS selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan
tugas ilmiah ini, semoga bermanfaat.
Palembang, Juni 2018
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
BAB III KESIMPULAN 23
DAFTAR PUSTAKA 24
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi manusia. Dalam
Undang-undang no 23 tahun 1992 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan
sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Atas dasar definisi kesehatan
tersebut, dapat dikatakan bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kesehatan dan unsur utama dalam terwujudnya kualitas hidup
manusia yang utuh.1
Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah
yang sangat serius. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kesehatan
jiwa yang menjadi perhatian dan dikategorikan dalam gangguan psikis yang
paling serius karena dapat menyebabkan menurunnya fungsi manusia dalam
melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti kesulitan dalam
merawat diri sendiri, bekerja atau bersekolah, memenuhi kewajiban peran,
dan membangun hubungan yang dekat dengan seseorang. Dalam sejarah
perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak tokoh psikiatri
dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin (18-1926) menyebutkan
gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu istilah yang menekankan
proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah skizofrenia
itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk
menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada
pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi symptom dasar
dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain : Asosiasi, Afek,
Autisme dan Ambivalensi.1,2
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1%
penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika.
Skizofrenia lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak
populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah.1,2
Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang di Amerika Serikat,
skizofrenia seringkali ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala,
ketidakmampuan untuk merawat diri, hilangnya tilikan dan pemburukan sosial
yang bertahap. Kedatangan diruang gawat darurat atau tempat praktek
disebabkan oleh halusinasi yamg menimbulkan ketegangan yang mungkin dapat
mengancam jiwa baik dirinya maupun orang lain, perilaku kacau, inkoherensi,
agitasi dan penelantaran.3
Skizofrenia mempunyai karakteristik dengan gejala positif dan negatif.
Gejala positif antara lain thougt echo, delusi, halusinasi. Gejala
negatifnya seperti: sikap apatis, bicara jarang, efek tumpul, menarik diri.
Gejala lain dapat bersifat non skizofrenia meliputi kecemasan, depresi dan
psikosomatik.4,5
Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam
perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah
hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya. Diperkirakan,
prevalensi depresi pada populasi dunia adalah adalah 3-8% dengan 50% kasus
terjadi pada usia produktif antara 20-50 tahun. WHO, memperkirakan pada
tahun 2020 depresi akan menduduki peringkat kedua setelah penyakit jantung
koroner dalam urutan daftar penyakit yang menimbulkan beban global dunia.
Sekitar 20% wanita dan 12% pria.6
Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
besar dibandingkan masalah kesehatan lainnya. Depresi pasca skizofrenia
merupakan suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul
setelah suatu serangan penyakit skizofrenia. Gejala depresif merupakan
masalah yang mempengaruhi seluruh tubuh, dengan mengganggu kesehatan
mental, kesehatan fisik, rasa dan perilaku pada aktifitas yang biasa
dilakukan. Semakin cepat keluarga memeriksakan seorang anggota keluarganya
yang dicurigai depresi ke layanan kesehatan, semakin cepat strategi
penanganan yang sesuai untuk menghadapi masalah ini yang sebetulnya adalah
gangguan yang sangat nyata terhadap kesehatan.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Skizofrenia
1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada
proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi,
kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataaan terutama karena waham
dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek
dan emosi inadekuat, psikomotor menunjukkan penarikan diri, ambivalensi dan
perilaku bizar. Skizofrenia berasal dari dua kata "skizo" yang berarti
retak atau pecah (split), dan "frenia" yang berarti jiwa. Dengan demikian
seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang
mengalami keretakan atau keretakan kepribadian (splitting of personality).
1,3
Skizofrenia merupakan sebuah sindrom kompleks yang dapat merusak pada
efek kehidupan penderita maupun anggota-anggota keluarganya atau gangguan
mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang sesuai dengan
pengertian skizofrenia sekarang. Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk kasus
yang terjadi pada seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran atau
keruntuhan fungsi intelek yang gawat, berikutnya menjadi dementia yanc,
merupakan kemerosotan otak (dementia) yang diderita oleh orang muds
(praecox) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kekaburan keseluruhan
kepribadian. Bahwa halusinasi, delusi dan tingkah laku yang aneh pada
penderita skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan fisik atau suatu
penyakit. Eugen Bleuler dalam Kaplan & Sadock, memperkenalkan istilah
skizofrenia atau jiwa yang terbelah, sebab gangguan ini ditandai dengan
disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan
perasaan, serta berorientasi dini kedalam dan menjauh dari realitas yang
intinya terjadi perpecahan antara intelek dan emosi.4,5
2. Etiologi Skizofrenia
a. Keterlibatan faktor keturunan
Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan
pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan
tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu
telur mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-
sama menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari
dua telur.5,7
b. Faktor lingkungan
Penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan
perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi
diantara anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia. Skizofrenia tidak
diduga sebagai suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit
dengan ciri-ciri klinik umum. Banyak teori penting telah diajukan mengenai
etiologi dan ekspresi gangguan ini, salah satunya yang diungkapkan oleh
Residen Bagian Psikiatri UCLA.5,7
c. Teori biologik dan genetik
Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat
mendukung teori bahwa faktor genetik sangat penting dalam transmisi
mendukung skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan
juga dapat menjadi penyebab peningkatan insiden dari sindrom, yang mirip
dengan skizofrenia (gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik dan
lainnya) yang terjadi dalam keluarga.5,7
d. Hipotesis neurotransmitter
Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor
dopaminergik dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada
hakekatnya neuroleptik diduga efektif karena kemampuannya memblokir
reseptor dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenik yang tidak di obati
juga mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor dopaminergik yang secara
langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan ini berhubungan dengan
pemberian neuroleptik.5
e. Pencetus psikososial
Stressor sosio lingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal
dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan
kekuatan protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko
biologik dalam pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan di
lingkungan rumah : komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional
yang berlebihan terbukti menyebabkan peningkatan angka kekambuhan
skizofrenia. Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan
oleh Kaplan dan Sadock sebagai berikut:
1. Model diatesis-stress
Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan
lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa
seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika
dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan
memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.5,7
2. Faktor biologis
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk
daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan
ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga
disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi
primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk
patologi primer pasien skizofrenik.5,7
3. Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Adapun kriteria diagnostik skizofrenia meliputi:
a. Gangguan pada isi pikiran
Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran
yang paling umum dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi
rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau
doss dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional
mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa
disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya karena
paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi
kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien
skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap.8-10
b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi
Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak
terorganisasi dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi
kehilangan logika, cara mereka mengekspresikan dalam pikiran dan bahasa
dapat menjadi tidak dapat dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita
berkomunikasi dengan penderita, gangguan pikiran. Contoh umum gangguan
berpikir adalah inkoheren, kehilangan asosiasi, neologisms, blocking dan
pemakaian kata-kata yang salah.8-10
c. Gangguan persepsi halusinasi
Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan
kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita walaupun
halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan
begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol
individu, tetapi tejadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk
menghalanginya. 8-10
d. Gangguan afeksi (perasaan)
Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara, abnormal
dibandingkan dengan orang lain. secara umum, perasaan itu konsisten dengan
emosi tetapi reaksi ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. 8-10
e. Gangguan psikomotor
Pasien skizofrenia kadang akan terlihat aneh dan cara yang berantakan,
memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia
akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien
tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada
orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh
atau tidak mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang
suatu gerakan tubuh) menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan
kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial. Menurut Eugen Bleuler (1857-
1938) dalam Kaplan & Sadock, (2010) membagi gejala-gejala skizofrenia
menjadi 2 kelompok: gejala positif dan negatif. Gejala positif antara lain
thougt echo, delusi, halusinasi. Gejala negatifnya seperti: sikap apatis,
bicara jarang, efek tumpul, menarik diri. Gejala lain dapat bersifat non-
skizofrenia meliputi kecemasan, depresi dan psikosomatik. 8-10
2. Depresi
1. Pengertian Depresi
Menurut sejarah psikiatri dapat dilihat bahwa pengertian depresi
sebagai gangguan tersendiri terpisah dari gangguan mental lain yang telah
sama ada sejak zaman Hipocrates (460-377 SM). Hipocrates inilah yang
berusaha mengklasifikasikan gangguan jiwa dalam beberapa penyakit yang
berdiri sendiri: epilepsi, mania (gaduh, gelisah, melankoli (depresi),
paranoid. Walaupun namanya berbeda, waktu itu diberi nama melancholy, yang
digambarkan sebagai kemurungan atau kesedihan yang ditimbulkan oleh karena
kelebihan cairan empedu yang berwarna hitam (zwartgalligheid). Kemudian
pada tahun 1905 istilah melancholy diganti dengan depresi oleh Meyer dengan
alasan etiologi yang luas. Depresi merupakan kata Indonesia yang disadur
dari bahasa Inggris yaitu depression, sadness dan low spirit . Depresi
adalah suatu penyakit jiwa yang gejala utamanya adalah sedih, yang dapat
disertai gejala-gejala psikologik lainnya, gangguan somatik maupun gangguan
psikomotor dalam kurun waktu tertentu dan digolongkan kedalam penyakit jiwa
afektif. Stuart (2006) berpendapat bahwa depresi atau melankolia adalah
suatu kesedihan dan perasaan yang berkepanjangan atau abnormal. Dapat
digunakan untuk menunjukkan berbagai fenomena, seperti tanda, gejala,
sindrom, emosional, reaksi. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnostik
Gangguan Jiwa III di Indonesia yang dimaksud depresi adalah sekumpulan
gejala dengan gambaran utama gangguan mood yang mempengaruhi penampilan
kognitif, psikomotor dan psikososial disertai kesulitan hubungan
interpersonal.6,11
2. Teori Penyebab Depresi
Adapun teori penyebab terjadinya depresi meliputi:
a. Teori biologi: depresi berhubungan dengan gangguan pada ritme sirkadian,
disfungsi otak, aktivitas kejang limbik, disfungsi neuroendokrin,
defisiensi biogenik amine, cacat pada sistem imun dan genetic.5,12
b. Teori psikoanalitical: depresi berasal dari respon terhadap kehilangan,
kekecewaan atau kegagalan. Rasa marah dipindahkan dan dikembalikan pada
diri sendiri, ketidakmampuan untuk berduka cita karena adanya kehilangan.
5,12
c. Teori Behavioral: kegagalan untuk menerima reinforcement positif dari
orang lain dan lingkungan merupakan predisposisi bagi seseorang untuk
mengalami gangguan depresi.12
d. Teori kognitif: konsep negatif dari diri, pengalaman, orang lain dan
lingkungan merupakan kontribusi terjadinya depresi. Kepercayaan bahwa
seseorang tidak dapat mengontrol situasi memberikan kontribusi terjadinya
depresi. 5,12
e. Teori sociological: kehilangan kekuasaan, status, identitas, nilai dan
tujuan untuk menciptakan eksistensi yang tepat akan menyebabkan depresi.
5,12
f. Teori Holism: depresi adalah hasil dari genetik, biologi, psikoanalisa,
tingkah laku, kognitif dan pengalaman sosiologis. 5,12
3. Etiologi Depresi
Faktor penyebab terjadinya depresi menurut Kaplan dan Saddock (2010)
adalah:
a. Faktor Biologi
Noreepinephrin dan serotonin adalah dua jenis neurotransmitter yang
bertanggung jawab mengendalikan patofisiologi gangguan alam perasaan pada
manusia. Gangguan depresi melibatkan keadaan patologi di limbic system,
basal ganglia dan hypothalamus. Limbic system dan basal ganglia berhubungan
sangat erat, hipotesa sekarang menyebutkan produksi alam perasaan berupa
emosi, depresi dan mania rupakan peranan utama limbic system. Disfungsi
hypothalamus berakibat perubahan regulasi tidur, selera makan, dorongan
seksual dan memacu perubahan biologi dalam endokrin dan imunologik.5,13
b. Faktor Genetika
Gangguan alam perasaan (mood) baik tipe bipolar (adanya episode manik
dan depresi) dan tipe unipolar (hanya depresi saja) memiliki kecenderungan
menurun kepada generasinya. Gangguan bipolar lebih kuat menurun daripada
unipolar. Sebanyak 50 % pasien bipolar memiliki satu orang tua dengan alam
perasaan atau gangguan afektif, yang tersering unipolar (depresi saja).
Jika salah satu orang tua mengidap gangguan bipolar maka 27 % anaknya
memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. Bila kedua orang tua
mengidap gangguan bipolar maka 75 % anaknya memiliki resiko mengidap
gangguan alam perasaan. 5,13
c. Faktor Psikososial
Peristiwa traumatik kehidupan dan lingkungan sosial dengan suasana
yang menegangkan dapat menjadi kausa gangguan neurosa depresi. Sejumlah
data yang kuat menunjukkan kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun
dan kehilangan pasangan hidup dapat memacu serangan awal gangguan neurosa
depresi. Boyd dan Nihart (1998) menggambarkan hubungan sebabsebab
biopsikososial terjadinya depresi pada lansia terdiri dari: 5,13
1) Biologik: penyakit fisik, disregulasi neurotransmitter dalam system
saraf pusat (SSP), efek samping terapi pengobatan, interaksi pengobatan
resep maupun non resep, gangguan mobilitas, perubahan kapasitas sensorik.
2) Psikologis: stress, kehilangan sesuatu dalam hidup, episode depresi
sebelumnya (diawal kehidupan), kemunduran kognitif.
3) Sosiokultural: isolasi sosial, kematian atau ketidakmampuan pasangan
atau teman, kesulitan ekonomi, pensiun, gangguan perubahan lingkungan.
5,13
4. Faktor Resiko Depresi
Menurut Kaplan dan Saddock (2010), faktor resiko dari depresi
dipengaruhi oleh:
a. Umur, rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40
tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50
tahun. Gangguan depresif berat juga mungkin memiliki onset selama masa
anak-anak atau pada lanjut usia, walaupun hal tersebut jarang
terjadi.5,14,15
b. Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali
lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan
telah didalilkan sebagai melibatkan perbedaan hormonal, perbedaan
stressor psikososial bagi perempuan dan laki-laki c. Status perkawinan,
pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang-
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau karena
perceraian atau berpisah dengan pasangan. .5,14,15
c. Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan
baru, pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit,
adalah sebagian dari beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi
depresi. .5,14,15
5. Gejala-gejala Depresi
Menurut Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III
depresi ditandai dengan gejala, yaitu : 8,15
a. Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan aktivitas menurun.
8,15
b. Gejala lain, meliputi:
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik.
5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.
6) Tidur terganggu.
7) Nafsu makan berkurang. 8,15
Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis,
gejala fisik dan sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan,
sensitif, mudah marah dan tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi dan menurunnya daya tahan. 8,15
Gejala-gejala ini dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
a. Gejala fisik
Gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan dan variasi yang luas
sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namun secara garis
besar ada beberapa gejala fisik umum yang relatif mudah dideteksi. 8,15
Gejala itu seperti:
1) Sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit
2) Pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukkan perilaku yang
pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan orang lain seperti nonton
tv, makan, tidur.
3) Orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran
pada suatu hal, atau p ekerjaan. Sehingga mereka juga akan sulit
memfokuskan energi pada hal-hal prioritas. Kebanyakan yang dilakukan
justru hal-hal yang tidak efisien dan tidak berguna, seperti misalnya
mengemil, melamun, merokok terus-menerus, sering menelpon yang tidak
perlu. Orang yang terkena depresi akan terlihat dari metode kerjanya yang
menjadi kurang terstruktur, sistematika kerjanya jadi kacau atau kerjanya
jadi lamban. 8,15
4) Orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau seluruh
motivasi kerjanya. Sebabnya, ia tidak lagi bisa menikmati dan merasakan
kepuasan atas apa yang dilakukannya. Ia sudah kehilangan minat dan
motivasi untuk melakukan kegiatannya seperti semula. Oleh karena itu,
keharusan untuk tetap beraktivitas membuatnya semakin kehilangan energi
karena energi yang ada sudah banyak terpakai untuk mempertahankan diri
agar tetap dapat berfungsi seperti biasanya. Mereka mudah sekali lelah,
capai padahal belum melakukan aktivitas yang berarti. 8,15
5) Depresi itu sendiri adalah perasaan negatif. Jika seseorang menyimpan
perasaan negatif maka jelas akan membuat letih karena membebani pikiran
dan perasaan dan ia harus memikulnya dimana saja dan kapan saja, suka
tidak suka. 8,15
b. Gejala Psikis
1) Kehilangan rasa percaya diri
Penyebabnya, orang yang mengalami depresi cenderung memandang segala
sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Pasti mereka
senang sekali membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Orang
lain dinilai lebih sukses, pandai, beruntung, kaya, lebih
berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih diperhatikan oleh atasan dan
pikiran negatif lainnya. 8,15
2) Sensitif
Orang yang mengalami depresi senang sekali mengkaitkan segala sesuatu
dengan dirinya perasaannya sensitive sekali, sehingga sering peristiwa
yang netral jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka,
bahkan disalahartikan. Akibatnya, mereka mudah tersinggung, mudah
marah, perasa, curiga akan maksud orang lain (yang sebenarnya tidak ada
apa-apa), mudah sedih, murung, dan lebih suka menyendiri8,15
3) Merasa diri tidak berguna
Perasaan tidak berguna ini muncul karena mereka merasa menjadi orang
yang gagal terutama dalam bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka
kuasai. Misalnya seorang manager mengalami depresi karena ia
dimutasikan ke bagian lain. Dalam persepsinya, pemutasian itu
disebabkan ketidakmampuannya dalam bekerja dan pimpinan menilai dirinya
tidak cukup memberikan kontribusi sesuai dengan yang diharapkan. 8,15
4) Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yang mengalami
depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai
suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung
jawab yang seharusnya dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya
menjadi beban bagi orang lain dan menyalahkan diri mereka atas situasi
tersebut. 8,15
5) Perasaan terbebani
Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang dialami.
Mereka merasakan beban yang terlalu berat karena merasa dibebani
tanggung jawab yang berat. 8,15
c. Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya
mempengaruhi lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas lainnya). Bagaimana
tidak, lingkungan tentu akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi
tersebut yang pada umumnya negatif (mudah marah, tersinggung, menyendiri,
sensitive, mudah letih, mudah sakit).
Masalah sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah yang
berinteraksi dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan. Masalah ini tidak
hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga seperti perasaan
minder, malu, cemas jika berada diantara kelompok dan merasa tidak nyaman
untuk berkomunikasi secara normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap
terbuka dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada
kesempatan. 8,15
6. Tingkatan Depresi
Menurut PPDGJ-III, depresi dibagi sesuai dengan tingkat keparahannya,
yaitu:
a. Depresi Ringan
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa
dilakukan. 8,17
b. Depresi Sedang
Pedoman yang dipakai adalah :
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga. 8,17
c. Depresi Berat
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Semua 3 gejala depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi dan retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejala secara rinci. 8,17
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresif berat masih dapat dibenarkan, yaitu:
a) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya dua
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari
dua minggu
b) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada tahap yang sangat
terbatas. 8,17
Lebih lanjut dijelaskan bahwa depresi berat ditandai dengan adanya:
1) Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut episode depresif
berat tanpa gejala psikotik
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam
dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik
atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau
bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat
ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent)
7. Penatalaksanaan Depresi
Penatalaksanaan pada penderita depresi harus dilakukan secara adekuat
dengan menggunakan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai
pendekatan multidisiplin yang menyeluruh. Adapun penatalaksanaan depresi
meliputi:
a. Terapi Fisik
1) Obat. Secara umum, semua obat anti-depresan sama efektifitasnya.
Pemilihan jenis anti-depresan lebih ditentukan oleh pengalaman klinikus
dan familiarity terhadap jenis-jenis anti-depresan. Pertimbangkan baik,
untung dan rugi dari setiap pemberian terapi dengan mengacu pada 4 hal
yaitu efektivitas, tolerabilitas, keamanan, dan interaksi obat.16,18
2) Terapi ECT (Electroconvulsive Therapy). Untuk pasien depresi yang tidak
bisa makan minum, mau bunuh diri atau retardasi psikomotor yang hebat,
maka ECT merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT diberikan 1-
2 kali seminggu pada pasien rawat inap, dengan metode unilateral untuk
mengurangi confusion atau memory problem. Terapi ECT diberikan sampai ada
perbaikan mood (sekitar 5-10 kali), sementara anti-depresan maintenance
harus diberikan untuk mencegah relaps atau kekambuhan. 16,18
3) Terapi profilaksis. Terapi profilaksis harus diberikan untuk mencegah
terjadinya kekambuhan depresi. Setelah gejala-gejala depresi membaik,
terapi anti-depresan masih harus dilanjutkan selama 4-6 bukan dengan
dosis terapeutik penuh. Beberapa penelitian bahkan menganjurkan agar
terapi diteruskan sampai 2 tahun. Kapan anti-depresan boleh dihentikan,
sangatlah tergantung pada evaluasi klinis (perkembangan efek samping,
munculnya penyakit fisik atau kelemahan kondisi umum). 16,18
b. Terapi psikologik antara lain:
1) Psikoterapi
Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif jika dilakukan
bersama-sama dengan pemberian anti-depresan. Baik pendekatan secara
psikodinamik maupun kognitif behavioural adalah sama keberhasilannya.
16,18
2) Terapi kognitif
Terapi kognitif perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu
negatif (persepsi diri yang buruk, masa depan yang suram, dunia yang tak
ramah, diri yang tak berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola
pikir yang netral atau positif. 16,18
3) Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi,
sehingga dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Tujuan
dari terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan
perasaan frustasi dan putus asa, merubah dan memperbaiki sikap/struktur
dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien. 16,18
4) Penanganan ansietas (relaksasi)
Macam relaksasi antara lain (Davis et.al., 1995): Relaksasi progresif,
pernafasan dalam, meditasi, guided imagery, mendengarkan musik,
biofeedback, kesadaran tubuh, dan visualisasi. 16,18
c. Terapi Senam
Pendekatan psikoterapi bagi pasien terdepresi adalah pendekatan
kognitif dan pendekatan yang lebih terarah dan lebih terstruktur. Walaupun
setelah periode depresif menghilang, intervensi keterampilan jangka panjang
masih diperlukan. Pada beberapa program terapi, modelling dan permainan
peran dapat membantu menegakkan keterampilan pemecahan masalah yang baik.
Beberapa pendekatan psikoterapi berbeda yang digunakan telah menunjukkan
hasil, yaitu psikoterapi perorangan, terapi berorientasi kesadaran, terapi
tingkah laku, terapi bermain, model stress hidup, psikoterapi kognitif,
terapi aktivitas kelompok, terapi kerja, pendidikan remedial, penempatan di
luar rumah serta ECT (Weller, 1990). Terapi aktivitas kelompok merupakan
suatu jenis terapi aktivitas yang dilaksanakan oleh pasien dengan depresi
secara bersama-sama dalam usaha penyaluran energy secara benar dalam bentuk
senam. Pengertian senam adalah aktivitas fisik yang dilakukan baik sebagai
cabang olahraga tersendiri maupun sebagai latihan untuk cabang olahraga
lainnya. Berbeda dengan cabang olahraga lain umumnya yang mengukur hasil
aktivitasnya pada obyek tertentu, senam mengacu pada bentuk gerak yang
dikerjakan dengan kombinasi terpadu dan menjelma dari setiap bagian anggota
tubuh dari komponen-komponen kemampuan motorik seperti : kekuatan,
kecepatan, keseimbangan, kelentukan, agilitas dan ketepatan. Dengan
koordinasi yang sesuai dan tata urutan gerak yang selaras akan terbentuk
rangkaian gerak artistik yang menarik (Brick, 2002). Sedangkan menurut
Hidayat (1990) menyatakan senam ialah latihan tubuh yang diciptakan dengan
sengaja, disusun secara sistematik dan dilakukan secara sadar dengan tujuan
membentuk dan mengembangkan pribadi secara harmonis. Olahraga senam sendiri
ada bermacam-macam, seperti : senam kuno, senam sekolah, senam alat, senam
korektif, senam irama, turnen, senam artistik dan senam ritmik atau modern
ritmik seperti senam aerobic. 19,20
8. Instrumen Pengukuran Tingkat Depresi
Dalam mengukur tingkat depresi menggunakan skala Hamilton Rating Scale
For Depresion (HRSD) yaitu suatu skala depresi yang terdiri dari 24 item,
yaitu item berkisar antara 0 sampai 4, atau 0 sampai 2 dengan total skor
antara 0 sampai 76. Dokter mengevaluasi jawaban pasien terhadap pertanyaan
tentang rasa bersalah, pikiran bunuh diri, kebiasaan tidur, dan gejala lain
dari depresi, dan penilaian diperoleh dari wawancara klinik. Hasil skor
penilaian menggunakan HRSD adalah
sebagai berikut:
a. Tidak dijumpai depresi skor HRSD 0 – 6
b. Depresi ringan skor HRSD 7 – 17
c. Depresi sedang skor HRSD 18 – 24
d. Depresi berat skor HRSD > 24
HRSD atau Hamilton Rating Scale for Depression merupakan salah satu
dari berbagai intrumen untuk menilai depresi. Penelitian yang membandingkan
HRSD dengan skor depresi lain didapatkan konsistensi. Reliabilitas antara
pemeriksa pada umumnya cukup tinggi. Demikian juga halnya reliabilitas oleh
satu pemeriksa yang dilakukan pada waktu yang berbeda. Adapun untuk
mengukur tingkat depresi seseorang menggunakan Hamilton Rating Scale for
Depression :
a. Keadaan perasaan sedih (sedih,putus asa,tak berdaya,tak berguna)
Perasaan ini ada hanya bila ditanya; perasaan ini dinyatakan secara verbal
spontan; perasaan yang nyata tanpa komunikasi verbal, misalnya ekspresi
muka, bentuk, suara, dan kecenderungan menangis pasien menyatakan perasaan
yang sesungguhnya ini dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal secara
spontan.19,20
b. Perasaan bersalah
Menyalahkan diri sendiri dan merasa sebagai penyebab penderitaan orang
lain; ada ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahankesalahan masa
lalu; sakit ini sebagai hukuman, waham bersalah dan berdosa; ada suara-
suara kejaran atau tuduhan dan halusinasi penglihatan tentang hal-hal yang
mengancamnya. 19,20
c. Bunuh diri
merasa hidup tak ada gunanya, mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran
lain kearah itu, ada ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah ke arah itu.
19,20
d. Gangguan pola tidur (initial insomnia)
Ada keluhan kadang-kadang sukar masuk tidur misalnya, lebih dari setengah
jam baru masuk tidur; ada keluhan tiap malam sukar masuk tidur. 19,20
e. Gangguan pola tidur (middle insomnia)
pasien mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam, terjadi sepanjang
malam (bangun dari tempat tidur kecuali buang air kecil). 19,20
f. Gangguan pola tidur (late insomnia)
bangun saat dini hari tetapi dapat tidur lagi, bangun saat dini hari tetapi
tidak dapat tidur lagi. 19,20
g. Kerja dan kegiatan-kegiatannya
pikiran perasaan ketidakmampuan keletihan atau kelemahan yang berhubungan
dengan kegiatan kerja atau hobi; hilangnya minat terhadap pekerjaan atau
hobi atau kegiatan lainnya baik langsung atau tidak pasien menyatakan
kelesuan, keragu-raguan dan rasa bimbang; berkurangnya waktu untuk
aktivitas sehari-hari atau produktivitas menurun. Bila pasien tidak sanggup
beraktivitas, sekurang-kurangnya 3 jam seharidalam kegiatan sehari-hari;
tidak bekerja karena sakitnya sekarang (dirumah sakit) bila pasien tidak
bekerja sama sekali, kecuali tugas-tugas di bangsal atau jika pasien gagal
melaksanakan; kegiatan-kegiatan di bangsal tanpa bantuan. 19,20
h. Kelambanan (lambat dalam berpikir, berbicara gagal berkonsentrasi, dan
aktivitas motorik menurun) sedikit lamban dalam wawancara; jelas lamban
dalam wawancara; sukar diwawancarai; stupor (diam sama sekali). 19,20
i. Kegelisahan (agitasi)
kegelisahan ringan; memainkan tangan jari-jari, rambut, dan lain-lain;
bergerak terus tidak dapat duduk dengan tenang; meremas-remas tangan,
menggigit-gigit kuku, menarik-narik rambut, menggigit-gigit bibir. 19,20
j. Kecemasan (ansietas somatik)
sakit nyeri di otot-otot, kaku, dan keduten otot; gigi gemerutuk; suara
tidak stabil; tinitus (telinga berdenging); penglihatan kabur; muka merah
atau pucat, lemas; perasaan ditusuk-tusuk. 19,20
k. Kecemasan (ansietas psikis)
ketegangan subyektif dan mudah tersinggung; mengkhawatirkan hal-hal kecil;
sikap kekhawatiaran yang tercermin di wajah atau pembicaraannya; ketakutan
yang diutarakan tanpa ditanya. 19,20
l. Gejala somatik (pencernaan)
nafsu makan berkurang tetapi dapat makan tanpa dorongan teman, merasa
perutnya penuh; sukar makan tanpa dorongan teman, membutuhkan pencahar
untuk buang air besar atau obat-obatan untuk saluran pencernaan. 19,20
m. Gejala somatik (umum)
anggota gerak, punggung atau kepala terasa berat; sakit punggung, kepala
dan otot-otot, hilangnya kekuatan dan kemampuan. 19,20
n. Kotamil (genital)
sering buang air kecil terutama malam hari dikala tidur; tidak haid, darah
haid sedikit sekali; tidak ada gairah seksual dingin (firgid); ereksi
hilang; impotensi. 19,20
o. Hipokondriasis (keluahan somatik, fisik yang berpindah-pindah)
dihayati sendiri, preokupasi (keterpakuan) mengenai kesehatan sendiri,
sering mengeluh membutuhkan pertolongan orang lain, delusi hipokondriasi.
19,20
p. Kehilangan berat badan (A dan B)
(1). Bila hanya dari anamnesis (wawancara) berat badan berkurang
berhubungan dengan penyakitnya sekarang,jelas penurunan berat badan,tak
terjelaskan lagi penurunan berat badan. 19,20
(2). Di bawah pengawasan dokter bangsal secara mingguan bila jelas berat
badan berkurang menurut ukuran, kurang dari 0,5 kg seminggu, lebih dari 0,5
kg seminggu, tidak ternyatakan lagi kehilangan berat badan. 19,20
q. Insight (pemahaman diri)
mengetahui sakit tetapi berhubungan dengan penyebab-penyebab iklim,
makanan, kerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dan lain-lain. 19,20
r. Variasi Harian
adakah perubahan atau keadaan yang memburuk pada waktu malam atau pagi.
s. Depersonalisasi (perasaan diri berubah) dan derealisasi (perasaan tidak
nyata tidak realistis). 19,20
t. Gejala-gejala paranoid
Kecurigaan; pikiran dirinya menjadi pusat perhatian, atau peristiwa
kejadian diluar tertuju pada dirinya (ideas refence); waham kejaran. 19,20
3. Depresi Pasca Skizofrenia
Depresi pasca skizofrenia merupakan gejala depresif setelah suatu
episode psikotik pada seorang pasien skizofrenik dikategorikan sebagai
contoh dari gangguan depresif yang tidak ditentukan dalam DSM-II-R.6,8,19
Berdasarkan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
III) depresi pasca skizofrenia masuk ke dalam F20.4 dengan kriteria
sebagai berikut:
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
a. Pasien telah menderita skizofrenia ( yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selam 12 bulan terakhir ini.
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya).
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif (F32.-) dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu. 6,8,19
Apabila pasien pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia
diagnosis menjadi Episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih
jelas dan menonjol, Diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe
skizofrenia yang sesuai (F20.0- F20.3).
Terapinya antara lain dengan pemakaian anti depresan dalam pengobatan
gangguan depresif pascapsikotik dari skizofrenia telah dilaporkan dalam
beberapa penelitian. Kira-kira setengah dari beberapa penelitian telah
melaporkan efek yang positif, dan setengah penelitian lain tidak melaporkan
adanya efek hilangnya gejala depresif. Medikasi antidepresan kemungkinan
menghilangkan gejala depresif pada beberapa pasien, tetapi hasil campuran
dari penelitian mencerminkan ketidakmampuan sekarang ini untuk membedakan
pasien mana yang akan berespons dan pasien mana yang tidak berespons
terhadap antidepresan. 6,8,19
BAB III
KESIMPULAN
Episode depresif pada pasien pasca skizofrenia biasanya berpotensi
menjadi lebih berat dan membutuhkan terapi dan penanganan yang sesuai.
Batas klinis dari diagnosis sulit ditentukan secara operasional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Sadock. Skizofrenia. Sinopsis Psikiatri Jilid 1: edisi 7;
Penerbit Bina Rupa Aksara, Jakarta; 1997: 685-729.
2. W.F. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Airlangga;
1980: 215-35.
3. Anna L, Sarah G. Severity among Schizophrenics . Journal of Behavioural
Sciences; 2012:125-133.
4. Hawari, Dadang. Skizofrenia dalam Pendekatan Holistik Pada Gangguan
Jiwa. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2003.
5. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Schizophrenia and Other Psychotic
Disorders. Kaplan and Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry,
8th ed ; 2005.
6. American Psychiatric Association. Depressive Disorders. DSM V, 5th ed.
Washington DC; 2013;12-17.
7. Nurmiati A. Skizofrenia. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2010:170-190.
8. Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III.
9. Maslim. R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Penerbit
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta; 2001: 14-23.
10. Parnas J, Jorgensen A. Pre-morbid psychopathology in schizophrenia
spectrum. British Journal of Psychiatry; 1989:115:623–7.
11. Velligan DI and Alphs LD. Negative Symptoms in Schizophrenia: The
Importance of Identification and Treatment. Psychiatric Times. March 1,
2008;25(3).
12. P. Kulhara, A Avasthi, R Chadda. Negative and depressive symptoms in
schizophrenia. The British Journal of Psychiatry; 1989; 154:207-11.
13. K. W. Sax, S. Strakowski, Keck. Relationships among negative, positive,
and depressive symptoms in schizophrenia and psychotic depression. The
British Journal of Psychiatry; 1996; 168:68-71.
14. D A Johnson. Studies of depressive symptoms in schizophrenia. The
British Journal of Psychiatry;1981.
15. Novita S. Correlation Between Family Health Task and Relapse of
Schizophrenia. Journal Universitas Airlangga, Surabaya; 2012: 9 – 23.
16. Philip Gorwood , M.D., Ph.D. , Emmanuelle Corruble , M.D., Ph.D. , et
all. Depressive symptoms, medical illness, and functional status in
depressed psychiatric inpatients. American Journal of Psychiatry; June
1993: 910 – 915.
17. McInnis Melvin G, Riba Michelle , Greden John F.Depressive disorders.
American Journal of Psychiatry; 2001: 882 – 882.
18. Arshad, Samreen K, Farah J. Impact of Caregivers' Expressed Emotions
on their Mental Health and Relapse Symptoms; 1998.
19. Glanville, D.N, Dixon, L. Family treatment appraisal and service use
in families of patient schizophrenia. The Israel Journal of Psychiatry
and Related Sciences. 2008;42, 15-23.
20. Lewis L. Judd, Dilip V. Jeste. Depressive Symptoms in Schizophrenia.
American Journal of Psychiatry; 1999: 1736 – 1743.
21. Mark G, Williams, Kuyken W. Mindfulness-based cognitive therapy: a
promising new approach to preventing depressive relapse. The British
Journal of Psychiatry; 2012 200:359-360