Proposal Mini Penelitian
Derajat Depresi pada Penderita Pasca Stroke di Poliklinik Stroke RSMH Palembang
Oleh: Dr. Lidya Aprilina
Pembimbing: Dr. Syafrudin Yunus, SpS(K) Dr. Abdullah Shahab, SpKJ Dr. Irfanuddin, SpKO, MpdKed
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF FK UNSRI / RSMH PALEMBANG 2010
Dipresentasikan Dipresentasikan Selasa, 2 Februari 2010 pk 11.00 WIB
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Stroke Stroke merupa merupakan kan penyeb penyebab ab kematia kematian n tertin tertinggi ggi ketiga ketiga dan penye penyebab bab utama disabilitas berat jangka panjang di Amerika Serikat (AHA, 2005), demikian juga di Indonesia, menurut SKRT 1995, stroke merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan (Kelompok Studi Serebrovaskuler & Neurogeriatri Perdossi, 1999).1,2 Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 5,4 juta penduduk pernah mengalami stroke. Prevalensi stroke di Indonesia pada tahun 1996 adalah 35,6 per 100.000 penduduk (Lamsudin, 1998). 3 Lebih dari setengah penderita pasca stroke berisiko mengalami depresi dalam waktu 3 bulan setelah onset stroke. (Angelelli et al., 2004). 1 Depresi pasca stroke adalah gangguan depresi yang mengikuti serangan stroke, biasanya muncul dua minggu setelah serangan, dapat berlangsung lebih dari delapan bulan dan dapat menjadi kronis atau menahun. Pada penderita stroke gangguan gangguan depresi merupakan merupakan gangguan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. ditemukan. Ganggu Gangguan an depresi depresi dapat dapat menuru menurunka nkan n kualit kualitas as hidup hidup pender penderita ita,, mencetu mencetuska skan, n, memperlambat penyembuhan atau memperberat penyakit fisik. Selain itu depresi dapat dapat juga juga mening meningkat katkan kan beban beban ekonom ekonomii dan keterg ketergant antung ungan an pada pada keluar keluarga. ga. Insiden depresi pasca stroke berkisar 11–68% dengan prevalensi paling tinggi adal adalah ah 3 bula bulan n setela setelah h stro stroke ke (31% (31%). ). Mesk Meskii demi demiki kian an depr depres esii serin sering g tida tidak k terdeteksi dan tidak mendapat pengobatan semestinya dalam praktik. Sebanyak 50–80% kasus depresi sering tidak terdiagnosis oleh dokter non-psikiater. Hal ini mungkin mungkin disebabkan disebabkan gejalanya gejalanya disamarkan disamarkan dengan dengan hendaya hendaya fisik dan limitasi limitasi aktivi aktivitas tas kehidu kehidupan pan sehari sehari–ha –hari ri (ADL) (ADL) yang yang kerap kerap menyer menyertai tai setelah setelah stroke. stroke. Depresi Depresi pasca pasca stroke stroke berdam berdampak pak pada pada progno prognosis sis yang yang buruk, buruk, karena karena pasien pasien terpajan resiko kematian yang lebih besar dan pemulihan fungsional yang kurang baik. Hal ini dikarenakan salah satu gejala depresi yaitu berkurangnya minat, sehin sehingg ggaa pasi pasien en cende cenderu rung ng engg enggan an untu untuk k meng mengik ikuti uti prog program ram reha rehabi bili litas tasi, i,
2
Dipresentasikan Dipresentasikan Selasa, 2 Februari 2010 pk 11.00 WIB
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Stroke Stroke merupa merupakan kan penyeb penyebab ab kematia kematian n tertin tertinggi ggi ketiga ketiga dan penye penyebab bab utama disabilitas berat jangka panjang di Amerika Serikat (AHA, 2005), demikian juga di Indonesia, menurut SKRT 1995, stroke merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan (Kelompok Studi Serebrovaskuler & Neurogeriatri Perdossi, 1999).1,2 Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 5,4 juta penduduk pernah mengalami stroke. Prevalensi stroke di Indonesia pada tahun 1996 adalah 35,6 per 100.000 penduduk (Lamsudin, 1998). 3 Lebih dari setengah penderita pasca stroke berisiko mengalami depresi dalam waktu 3 bulan setelah onset stroke. (Angelelli et al., 2004). 1 Depresi pasca stroke adalah gangguan depresi yang mengikuti serangan stroke, biasanya muncul dua minggu setelah serangan, dapat berlangsung lebih dari delapan bulan dan dapat menjadi kronis atau menahun. Pada penderita stroke gangguan gangguan depresi merupakan merupakan gangguan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. ditemukan. Ganggu Gangguan an depresi depresi dapat dapat menuru menurunka nkan n kualit kualitas as hidup hidup pender penderita ita,, mencetu mencetuska skan, n, memperlambat penyembuhan atau memperberat penyakit fisik. Selain itu depresi dapat dapat juga juga mening meningkat katkan kan beban beban ekonom ekonomii dan keterg ketergant antung ungan an pada pada keluar keluarga. ga. Insiden depresi pasca stroke berkisar 11–68% dengan prevalensi paling tinggi adal adalah ah 3 bula bulan n setela setelah h stro stroke ke (31% (31%). ). Mesk Meskii demi demiki kian an depr depres esii serin sering g tida tidak k terdeteksi dan tidak mendapat pengobatan semestinya dalam praktik. Sebanyak 50–80% kasus depresi sering tidak terdiagnosis oleh dokter non-psikiater. Hal ini mungkin mungkin disebabkan disebabkan gejalanya gejalanya disamarkan disamarkan dengan dengan hendaya hendaya fisik dan limitasi limitasi aktivi aktivitas tas kehidu kehidupan pan sehari sehari–ha –hari ri (ADL) (ADL) yang yang kerap kerap menyer menyertai tai setelah setelah stroke. stroke. Depresi Depresi pasca pasca stroke stroke berdam berdampak pak pada pada progno prognosis sis yang yang buruk, buruk, karena karena pasien pasien terpajan resiko kematian yang lebih besar dan pemulihan fungsional yang kurang baik. Hal ini dikarenakan salah satu gejala depresi yaitu berkurangnya minat, sehin sehingg ggaa pasi pasien en cende cenderu rung ng engg enggan an untu untuk k meng mengik ikuti uti prog program ram reha rehabi bili litas tasi, i,
2
cender cenderung ung lebih lebih lama lama tingga tinggall di RS, serta serta cender cenderung ung mengal mengalami ami kompli komplikasi kasi seperti emboli paru, infeksi saluran kemih atau dekubitus. (Sasanto Wibisono, 2007).4,5 Oleh Oleh kare karena na itu itu perl perlu u dila dilaku kuka kan n suatu suatu usah usahaa untu untuk k mend mendete eteks ksii dini dini kejadian kejadian depresi depresi pasca stroke sehingga dapat diterapi sedini mungkin dan semua dampak dampak negati negatiff akibat akibat depresi depresi dapat dapat dicega dicegah. h. Selain Selain itu untuk untuk menduk mendukung ung tatalaksana secara komprehensif akan lebih baik bila mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya depresi pasca stroke sehingga kejadiannya dapat dicegah.
I.2 Identifikasi Masalah
Depresi Depresi pasca stroke dapat mencetuskan mencetuskan,, memperlamba memperlambatt penyembuha penyembuhan n atau memperberat keadaan fisik, meningkatkankan biaya perawatan atau beban ekonom ekonomii dan keluar keluarga. ga. Depresi Depresi pasca pasca stroke stroke belum belum menjadi menjadi perhat perhatian ian dalam dalam perawatan stroke sehingga seringkali tidak terdeteksi. Oleh karena itu data-data tentang kejadian gangguan depresi pada penderita pasca stroke di RSMH penting untuk diketahui.
I.3 Tujuan Penelitian
Tuju Tujuan an pene peneli litia tian n ini ini adal adalah ah untu untuk k meng mengeta etahu huii deraj derajat at depr depresi esi pada pada penderita pasca stroke di poliklinik stroke RSMH Palembang periode 1 Februari 2010 sampai 30 April 2010 dengan meninjau juga segi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis stroke dan hemisfer yang terkena, disabilitas pasca stroke, riwayat depresi sebelumnya.
I.4 Manfaat Penelitian
1. Dalam bidang pelayanan Penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang gangguan depresi yang terja terjadi di pasca pasca stro stroke ke untu untuk k mend mendet etek eksi si dini dini dan dan memb memberi erika kan n gamb gambar aran an mengenai mengenai beberapa beberapa variabel variabel yang berhubungan berhubungan dengan dengan timbulny timbulnyaa depresi depresi pasca stroke 2. Dalam bidang pendidikan
3
Penelitian ini dapat dijadikan sarana untuk melatih kemampuan melakukan sebuah penelitian yang benar dan bermanfaat. 3. Dalam bidang penelitian Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Definisi
Stroke
adalah
suatu
sindroma
klinis
gangguan
neurologis
yang
menyebabkan gangguan cerebral blood flow sementara waktu, sehingga terjadi kerusakan sel dan kematian.1 Menurut WHO Monica Project , stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global) yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukannya penyebab selain dari pada gangguan vascular (cit. Lamsudin, 1998). 3,6 Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV, depresi pasca stroke didefinisikan sebagai gangguan mood akibat kondisi medis umum (dalam hal ini stroke) dengan spesifikasi gejala depresif, major depressive-like episodes, gejala mania, atau gejala campuran.7,8
II.2 Epidemiologi
Depresi pasca stroke muncul umumnya dua minggu setelah onset stroke dengan prevalensi bervariasi berdasarkan waktu dengan angka tertinggi pada 3-6 bulan setelah stroke dan nilai prevalensi pada satu tahun pasca stroke menurun menjadi setengahnya.1,4,7 Sekitar 40%-50% pasien dapat menderita depresi dalam beberapa bulan pertama setelah stroke.9 Robinson et al menyatakan secara alami depresi mayor pasca stroke dengan remisi spontan umumnya 1 sampai 2 tahun setelah stroke.7,10 Walaupun demikian, pada beberapa kasus depresi dapat menjadi kronis dan menetap lebih dari 3 tahun pasca stroke. Sebaliknya, depresi minor lebih bervariasi, dengan depresi jangka pendek dan jangka panjang yang dapat terjadi. Insiden depresi pasca stroke bervariasi dari 5% sampai 63%. (Gotlieb, Salagnik, Kipnis, & Brill, 2002, Abdul Gofir). Insiden MDD berkisar 6-35% dan depresi minor berkisar 11-44%.6
5
II.3 Patofisiologi
Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan depresi pasca stroke disebabkan oleh disfungsi biogenik amin. Badan sel serotoninergik dan noradrenergik terletak di batang otak dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut ini. Ada dugaan depresi pasca stroke disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis.11 Respons biokimia terhadap lesi iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri menyebabkan penurunan biogenik amin tanpa adanya kompensasi peninggian regulasi serotonin akibatnya gejala depresi dapat muncul. Sebaliknya lesi hemisfer kanan menyebabkan peninggian regulasi serotonin (karena mekanisme kompensasi yang bersifat protektif terhadap depresi.
TEORI PSIKOBIOLOGIK 12
Teori psikoanalitik Menurut Freud pasien depresi menderita kehilangan nyata atau imajiner atas obyek cinta yang bersifat ambivalen. Pasien bereaksi dengan kemarahan yang kemudian diarahkan kepada diri sendiri, dan ini menyebabkan penurunan harga diri dan terjadi depresi. Teori kognitif menyebutkan suatu "tritunggal kognitif" tentang distorsi persepsi yaitu: a. Interpretasi negatif seseorang tentang pengalaman hidupnya. b. Menyebabkan devaluasi dirinya c. Yang akhirnya menyebabkan depresi. Teori biologik Teori ini memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5HT) serta dopamin (D). Hipotesis katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya kadar NE otak dan dopamin. Walaupun demikian, pada beberapa pasien kadar MHPG (metabolit utama NE) tetap rendah. Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya 5-HT otak (atau metabolit utama, 5-
6
HIAA) dapat menyebabkan depresi. Mekanisme kerja antidepresan yang diketahui, mendukung teori ini trisiklik memblok ambilan NE dan 5-HT dan menghambat oksidasi NE oleh monoamin oksidase inhibitor. Depresi juga dihubungkan dengan ketidakseimbangan neurohormonal.
Teori neurofisiologik Penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat hipometabolisme di lobus frontal atau menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas fundamental ritmik sirkadian pada pasien depresi.
II.4 Gambaran Klinik
Depresi merupakan terminologi psikiatri dan juga sebuah diagnosis. Periode beperasaan sedih atau ” feeling blue”/merana, sama halnya perasaan kehilangan dan , termasuk bagian dari keadaan manusia normal. Gejala depresi dapat merupakan efek dari stress, seperti penyakit atau dirawat di rumah sakit. Pasien dapat didiagnosis dengan depresi bila memenuhi kriteria kelainan depresi mayor (major depressive disorder ). Diagnosis terminologi depresi termasuk kelainan atau episode depresi mayor, kelainan penyesuaian dengan mood depresi, distimia atau kelainan distimik, kelainan mood akibat kondisi medis umum, dan kelainan mood terinduksi substansi. Juga yang relevan dengan pembahasan depresi post stroke adalah depresi minor dan sindroma subdepresi. Major depressive disorder (MDD) ditegakkan dengan satu atau beberapa episode depresi mayor yang berlangsung sedikitnya 2 minggu dengan gejala mood depresi atau hilangnya minat atau kesenangan hampir sepanjang hari dan terjadi hampir setiap hari. Juga disertai dengan setidaknya 4 dari 9 simptom depresi: mood depresi; hilangnya minat dan kesenangan; perubahan nafsu makan dan berat badan; insomnia atau hipersomnia; agitasi dan retardasi psikomotor; fatigue atau hilangnya energi; perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan; hilangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau membuat keputusan; dan pikiran mengenai kematian yang berulang-ulang, niat untuk bunuh diri berulang, percobaan bunuh diri, atau rencana khusus untuk bunuh diri. Episode ini juga
7
disertai dengan gangguan klinis signifikan pada kehidupan sosial, lingkungan pekerjaan, atau bidang kehidupan penting lain. 1 Depresi minor merupakan terminologi yang digunakan pada praktek klinik di protap rumah sakit umum dan penelitian. Depresi minor termasuk dalam termuat dalam edisi terbaru Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) sebagai diagnosis penelitian, yang menandakan tidak adanya bukti yang cukup atau kesepakatan ahli untuk memasukkannya sebagai diagnosis resmi (APA,2000). Gangguan depresi minor merupakan satu atau lebih periode simptom depresif berlangsung setidaknya 2 minggu dengan gejala-gejala yang lebih sedikit dan gangguan yang lebih ringan dibanding MDD. 1,12 Gejala klinis 8,12 Gambaran emosi
- Mud depresi, sedih atau murung - Iritabilitas, anksietas - Ikatan emosi berkurang - Menarik diri dari hubungan interpersonal - Preokupasi dengan kematian - Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri Gambaran kognitif
- Mengeritik diri sendiri, perasaan tak berharga, rasa bersalah - Pesimis, tak ada harapan, putus asa - Bingung, konsentrasi buruk - Tak pasti dan ragu-ragau - Berbagai obsesi - Keluhan somatik - Gangguan memori - Ide-ide mirip waham Gambaran Vegetatif
- Lesu dan tak ada tenaga - Tak bisa tidur atau banyak tidur - Tak mau makan atau banyak makan - Penurunan berat badan atau penambahan berat badan
8
- Libido terganggu - Variasi diurnal Psikomotor
- Retardasi psikomotor - Agitasi psikomotor TANDA-TANDA DEPRESI
- Tidak atau lambat bergerak - Wajah sedih dan selalu berlinang air mata - Kulit dan mulut kering - Konstipasi
II. 5 Diagnosis
Diagnosis stroke ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan klinis neurologis dan alat bantu diagnostik neuroradiologik. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan CT scan kepala dan MRI untuk menentukan dengan tepat letak dan luas lesi, ada tidaknya perluasan ke ventrikel, edema perifokal, deviasi midline serta untuk membedakan perdarahan dan iskemik. Diagnosis depresi pasca stroke dapat ditegakkan berdasarkan kriteria PPDGJ (1993) dan The Diagnostic and Statistical Manual For Mental Disorders, 4th ed. 10 ( DSM–IV) depresi pada umumnya ditandai oleh gejala–gejala: 8,13 1. Kurang nafsu makan atau penurunan berat badan yang cukup berati atau penambahan berat badan dan peningkatan nafsu makan yang cukup berarti. 2. Gangguan tidur (insomnia atau hipersomnia) 3. Agitasi atau sebaliknya, memperlambat psikomotor (gerak) 4. Hilang minat atau rasa senang dalam semua kegiatan yang biasa dilakukan. 5. Berkurangnya energi, mudah lelah yang nyata oleh kerja sedikit saja 6. Hilang semangat dan kegairahan hidup serta berkurangnya aktivitas. 7. Perasaan tidak berharga atau bersalah yang tidak tepat/ sesuai. 8. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang, dan rasa rendah diri. 9. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
9
10. Keluhan atau tanda–tanda berkurangnya kemampuan berpikir atau konsentrasi, perlambanan proses pikir atau tidak mampu mengambil keputusan. 11. Mudah tersinggung atau marah, rasa sedih, murung, hancur luluh, putus asa, merasa tidak tertolong lagi. Diagnosis depresi dapat ditegakkan jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
:
a. Kelompok A : Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami
suasana
perasaan
(mood) yang
depresif,
kehilangan minat,
kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas b. Kelompok B : Keadaan tersebut diatas paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari dialami gejala – gejala sebagai berikut: konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri / bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang. Berikutnya gejala lebih pendek dari dua minggu dapat dibenarkan jika gejala tersebut luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. Salah satu test penyaring yang dapat digunakan untuk membantu mendeteksi depresi pasca stroke adalah Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) atau The Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD) dengan sensitivitas sebesar 78,4% dan spesifisitas 81,3%. HDRS saat ini merupakan salah satu test yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi depresi pada berbagai lembaga penelitian. Keakuratan diagnosis HDRS dapat mencapai 87,1% pada skor ≥17, oleh karena itu lebih baik dalam proses penegakkan diagnosis. HDRS merupakan test yang dilakukan secara wawancara oleh observer sedangkan testtest serupa menggunakan metode penilaian diri sendiri oleh pasien. 14,15
10
II.6 Tatalaksana
Semua
pasien
depresi
mesti
mendapatkan
psikoterapi,
beberapa
memerlukan tambahan terapi fisik (olahraga berupa lari dan renang). Psikoterapi yang dapat dilakukan antara lain terapi kognitif, terapi prilaku, psikoterapi suportif, psikoterapi psikodinamik, terapi kelompok, dan terapi perkawinan. Terapi biologik juga dapat dilakukan antara lain dengan pemberian antidepresan, terapi kejang listrik. Antidepresan yang bermanfaat dalam uji klinis adalah nortriptyline (dosis sampai 100 mg/hari), citalopram (10-20 mg/hari), atau fluoxetine (20 mg/hari).5,12 Terapi kejang listrik mungkin merupakan terapi pilihan bila : obat tak berhasil, kondisi pasien menuntut remisi segera (misalnya; bunuh diri yang akut), pada beberapa depresi psikotik, pada pasien yang tak dapat mentoleransi obat (misalnya pasien tua yang berpenyakit jantung), dan lebih dari 90% pasien memberikan respons.
11
BAB III METODE PENELITIAN
III.1 Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional bersifat deskriptif.
III.2 Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi penelitian ini adalah seluruh penderita 2 minggu12 bulan pasca stroke yang berobat ke poliklinik stroke RSMH Palembang dalam periode 1 Februari sampai 30 April 2010. Tidak ada pengambilan sampel pada penelitian ini, semua penderita pasca stroke yang sesuai dengan kriteria inklusi menjadi subjek penelitian ini.
III.3
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah penderita yang kontrol ke poliklinik stroke RSMH Palembang 2 minggu-12 bulan pasca serangan stroke pertama yang telah ditegakkan diagnosis stroke berdasarkan pemeriksaan klinis neurologis dan pemeriksaan CT scan kepala, serta telah memberikan persetujuan untuk mengikuti penelitian ini. Kriteria eksklusi meliputi: penderita yang telah didiagnosa dengan depresi sebelum mengalami serangan stroke, penderita dengan afasia, dan penderita dengan data-data tidak lengkap.
III.4 Batasan Operasional Penelitian. •
Usia Definisi
: usia penderita saat dilakukan penelitian yang dinyatakan dalam tahun
Alat ukur
: kuesioner
Cara ukur : self assesment Hasil ukur : dikelompokkan menjadi < 40 tahun, 40-49 tahun, 50-59
tahun, 60-69 tahun, 70-79 tahun
12
•
Jenis kelamin Definisi
: jenis kelamin penderita
Alat ukur
: kuesioner
Cara ukur : self assesment Hasil ukur : dikelompokkan menjadi wanita dan pria
•
Stroke Definisi
: gambaran klinik berupa gangguan fungsi serebral maupun menyeluruh (global) yang timbul tiba-tiba dan berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukan penyebab lain selain gangguan vaskuler (WHO, 1989).
Alat ukur
: pemeriksaan klinis neurologis dan CT scan kepala
Cara ukur : adanya tanda defisit neurologis yang dikonfirmasi dengan
adanya gambaran hiperdense pada CT scan kepala untuk stroke hemoragik dan gambaran hipodense untuk stroke non hemoragik Hasil ukur : dikelompokkan menjadi stroke hemoragik dan stroke non
hemoragik
•
Tingkat pendidikan Definisi
: pendidikan terakhir penderita
Alat ukur
: kuesioner
Cara ukur : self assesment Hasil ukur : dikelompokkan menjadi SD, SMP, SMA, PT
•
Status perkawinan Definisi
: status perkawinan penderita
Alat ukur
: kuesioner
Cara ukur : self assesment Hasil ukur : dikelompokkan menjadi belum kawin, kawin, duda/janda
13
•
Pekerjaan Definisi
: pekerjaan penderita
Alat ukur
: kuesioner
Cara ukur : self assesment Hasil ukur : dikelompokkan menjadi PNS, karyawan swasta, guru,
pensiunan PNS, petani, ibu RT, wiraswasta
•
Jenis stroke Definisi
: pembagian stroke berdasarkan gangguan pembuluh darah
otak Alat ukur
: pemeriksaan klinis neurologis atau CT scan kepala
Cara ukur : melalui anamnesis dan gejala klinis serta gambaran
hiperdense atau hipodense pada CT scan kepala Hasil ukur : diklasifikasikan
menjadi
stroke
hemoragik (adanya
gambaran lesi hiperdens pada CT scan kepala tanpa kontras) dan stroke non hemoragik (stroke dengan adanya lesi hipodens pada CT scan kepala tanpa kontras)
•
Hemisfer yang terkena Definisi
: sisi hemisferium otak yang mengalami gangguan akibat stroke baik perdarahan maupun sumbatan
Alat ukur
: pemeriksaan kinis neurologis atau CT scan kepala
Cara ukur : anamnesis, sisi hemisferium yang berlawanan dengan sisi
tubuh yang terdapat defisit neurologis, sisi gambaran hipodense dan hiperdense pada CT scan kepala Hasil ukur : diklasifikasi menjadi hemisferium kanan dan hemisferium
kiri.
•
Disabilitas pasca stroke Definisi
: beratnya gejala sisa stroke pada penderita
Alat ukur
: pemeriksaan klinis dan Barthel Index (BI)1
14
Cara ukur : sisa defisit neurologikus yang masih ada dan kesulitan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari Hasil ukur : skor Barthel Index 0-100
•
Riwayat depresi sebelumnya Definisi
: apakah penderita pernah didiagnosis menderita depresi
sebelumnya Alat ukur
: kuesioner dan rekam medis
Cara ukur : wawancara keluarga dan self assesment , pernah berobat ke
SpKJ/psikiater, pernah mendapat obat-obat penenang atau psikiatri Hasil ukur : dikelompokkan menjadi ada, tidak ada
•
Depresi pasca stroke: Definisi
: gangguan emosi yang ditemukan pada penderita pasca
stroke dengan gejala berupa penurunan mud (mood), gangguan kognitif, vegetatif, retardasi psikomotor Alat ukur
: kuesioner Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
Cara ukur : wawancara oleh observer Hasil Ukur : skor HDRS, derajat depresi 0-9 = Normal, 10-13 = depresi
ringan, 14-17 depresi ringan – sedang, > 17 sedang – berat
III.5 Cara Kerja dan Pengolahan data.
Pengumpulan data dilakukan secara manual dengan menggunakan formulir penelitian yang telah disediakan. Hasil akan ditampilkan dalam bentuk narasi dan tabular. Data akan ditampilkan berupa segi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis stroke dan lokasi lesi, disabilitas pasca stroke, riwayat depresi sebelumnya.
15
III.6 Alur Penelitian
Penderita 2 minggu-12 bulan pasca stroke di Poliklinik Stroke RSMH Palembang
Kriteria Inklusi
Tidak Diterima
Diterima
Penilaian variabel: Anamnesa Pengisian Kuesioner Test HDRS
Analisis data
Hasil
III. 7 Jadwal Penelitian No.
1. 2. 3. 4.
Uraian Kegiatan
1
2
Bulan 3
4
5
Pembuatan proposal penelitian Pengambilan sampel penelitian Pengolahan dan penyelesaian data Presentasi hasil penelitian
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
16
IV.1 Hasil
Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel antara lain: 1. Tabel karakteristik umum. 2. Tabel nilai HDRS 3. Tabel nilai HDRS berdasarkan usia 4. Tabel nilai HDRS berdasarkan jenis kelamin 5. Tabel nilai HDRS berdasarkan status perkawinan 6. Tabel nilai HDRS berdasarkan tingkat pendidikan 7. Tabel nilai HDRS berdasarkan pekerjaan 8. Tabel nilai HDRS bedasarkan durasi pasca stroke 9. Tabel nilai HDRS berdasarkan jenis stroke 10. Tabel nilai HDRS berdasarkan hemisfer yang terkena 11. Tabel nilai HDRS berdasarkan skor Barthel Index 12. Tabel nilai HDRS berdasarkan riwayat depresi sebelumnya
BAB IV HASIL
17
IV.1 Hasil Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah penderita stroke yang berobat di poliklinik stroke Bagian Saraf RSMH pada periode 1 Februari sampai 30 April 2010. Berdasarkan kriteria inklusi penderita paska stroke pertama dan dalam durasi waktu 2 minggu-12 bulan paska stroke maka didapatkan sampel penelitian sebanyak 48 orang, terdiri dari 27 laki-laki dan 21 perempuan.
Tabel 1. Karakteristik Umum Sampel Penelitian
Karakteristik Sampel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia <40 40-49 50-59 60-69 70-79 Status Perkawinan Kawin Janda/Duda Pendidikan SD/SR SMP SMA PT Pekerjaan Ibu RT PNS Pensiun PNS guru Karyawan swasta Wiraswasta Petani
Jumlah (N)
Persen (%)
27 21
56,3% 43,7%
1 8 19 15 5
0,21% 16,7% 39,6% 31,2% 10,4%
44 4
91,7% 8,3%
11 4 13 20
23% 8,3% 27,1% 41,6%
12 9 8 5 9 4 1
25% 18,8% 16,7% 10,4% 18,8% 8,3% 2,1%
Kelompok sampel penelitian terbesar adalah berusia 50-59 tahun sebanyak 19 orang atau 39,6% dari seluruh sampel. Satu orang penderita berusia dibawah 40 tahun (28 tahun).
18
Sebagian besar sampel penelitian berstatus kawin dan terdapat 4 orang yang berstatus janda/duda, baik karena bercerai maupun karena pasangan meninggal. Dua puluh orang (41,6%) penderita menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi baik diploma maupun sarjana. Kelompok terbesar penderita memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, PNS dan karyawan swasta.
Tabel 2. Nilai HDRS Sampel Penelitian
HDRS 0-9 10-13 14-17 >17
Jumlah (N) 27 5 5 11
Persen (%) 56,3% 10,4% 10,4% 22,9%
Dari 48 sampel penelitian didapatkan 27 orang (56,3%) yang memiliki nilai HDRS antara 0-9 yang berarti tidak mengalami depresi dan sisanya sebanyak 43,7% mengalami depresi pasca stroke dengan derajat ringan, ringan-sedang, sedang-berat.
Tabel 3. Nilai HDRS Berdasarkan Usia
Nilai HDRS 0-9
10-13
14-17
>17
Usia <40 40-49 50-59 60-69 70-79 <40 40-49 50-59 60-69 70-79 <40 40-49 50-59 60-69 70-79 <40 40-49 50-59 60-69 70-79
Jumlah (N) 6 13 7 1 1 2 2 2 1 2 1 5 3 2
Persen (%) 12,5% 27,1% 14,6% 2,1% 2,1% 4,2% 4,2% 4,2% 2,1% 4,2% 2,1% 10,4% 6,3% 4,2%
19
Pada kelompok nilai HDRS 0-9 jumlah sampel penelitian yang dominan berusia antara 50-59 tahun, sedangkan pada kelompok lain tidak ada kelompok usia yang jumlahnya dominan.
Tabel 4. Nilai HDRS Berdasarkan Jenis Kelamin
HDRS 0-9 10-13 14-17 >17
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Jumlah (N) 17 10 4 1 2 3 4 7
Persen (%) 35,4% 20,8% 8,3% 2,1% 4,2% 6,3% 8,3% 14,6%
Pada kelompok nilai HDRS 0-9 jumlah laki-laki lebih besar dibanding perempuan, dan pada kelompok nilai HDRS > 17 jumlah perempuan lebih besar dibanding laki-laki. Tabel 5. Nilai HDRS Berdasarkan Status Perkawinan
HDRS 0-9 10-13 14-17 >17
Status Perkawinan Kawin Duda/janda Kawin Duda/janda Kawin Duda/janda Kawin Duda/janda
Jumlah (N) 26 1 5 4 1 9 2
Persen (%) 54,2% 2,1% 10,4% 8,3% 2,1% 18,8% 4,2%
Dari 4 orang sampel penelitian yang berstatus duda atau janda, 1 orang terdapat dalam kelompok nilai HDRS 0-9, 1 orang terdapat dalam kelompok nilai HDRS 14-17 dan 2 orang terdapat dalam kelompok nilai HDRS > 17.
Tabel 6. Nilai HDRS Berdasarkan Tingkat Pendidikan
HDRS 0-9
Pendidikan SD SMP
Jumlah (N) 5 1
Persen (%) 10,4% 2,1%
20
10-13
14-17
>17
SMA PT SD SMP SMA PT SD SMP SMA PT SD SMP SMA PT
9 12 1 2 2 1 1 3 6 1 1 3
18,8% 25% 2,1% 4,2% 4,2% 2,1% 2,1% 6,3% 12,5% 2,1% 2,1% 6,3%
Sebagian besar sampel penelitian yang memiliki nilai HDRS 0-9 berpendidikan perguruan tinggi, dan pada kelompok nilai HDRS > 17 sebagian besar sampel penelitian berpendidikan SD.
Tabel 7. Nilai HDRS Berdasarkan Pekerjaan
HDRS 0-9
10-13
14-17
>17
Pekerjaan Petani Ibu RT PNS Pensiunan PNS Karyawan swasta Wiraswasta Guru Petani Ibu RT PNS Pensiun PNS Karyawan swasta Wiraswasta Guru Petani Ibu RT PNS Pensiun PNS Karyawan swasta Wiraswasta Guru Petani Ibu RT
Jumlah (N) 5 5 5 4 3 5 1 2 1 2 2 1 1 1 1 4
Persen (%) 10,4% 10,4% 10,4% 8,3% 6,3% 10,4% 2,1% 4,2% 2,1% 4,2% 4,2% 2,1% 2,1% 2,1% 2,1% 8,3%
21
PNS Pensiun PNS Karyawan swasta Wiraswasta Guru
3 2 2 1
6,3% 4,2% 4,2% 2,1%
Pada tiap kelompok nilai HDRS jenis pekerjaan sampel penelitian cukup merata, hanya 1 orang penderita yang bekerja sebagai petani dan termasuk dalam kelompok HDRS bernilai > 17.
Tabel 8. Nilai HDRS Berdasarkan Durasi Pasca Stroke
HDRS 0-9
10-13
14-17
>17
Pasca Stroke 12 minggu-3 bulan 4-6 bulan 7-9 bulan 10-12 bulan 12 minggu-3 bulan 4-6 bulan 7-9 bulan 10-12 bulan 12 minggu-3 bulan 4-6 bulan 7-9 bulan 10-12 bulan 12 minggu-3 bulan 4-6 bulan 7-9 bulan 10-12 bulan
Jumlah (N) 13 8 3 3 3 1 1 4 1 10 1 -
Persen (%) 27,1% 16,7% 6,3% 6,3% 6,3% 2,1% 2,1% 8,3% 2,1% 20,8% 2,1% -
Pada semua kelompok nilai HDRS, penderita dengan durasi pasca stroke 12 minggu-3 bulan memiliki jumlah terbesar. Khusus pada kelompok nilai HDRS > 17, hanya 1 orang (2,1%) penderita yang memiliki durasi pasca stroke 7-9 bulan.
Tabel 9. Nilai HDRS Berdasarkan Tipe Stroke
HDRS 0-9
Tipe Stroke NH H
Jumlah (N) 23 4
Persen (%) 47,9% 8,3%
22
10-13 14-17 >17
NH H NH H NH H
5 4 1 10 1
10,4% 8,3% 2,1% 20,8% 2,1%
NH = Non Hemoragik H = Hemoragik Sebagian besar sampel penelitian mengalami stroke tipe non hemoragik yaitu berjumlah 42 orang (8,5%). Dari 6 orang penderita yang mengalami stroke hemoragik, 4 orang pada kelompok nilai HDRS 0-9 dan sisanya pada kelompok lain.
Tabel 10. Nilai HDRS Berdasarkan Hemisfer yang Terlibat HDRS Hemisfer terlibat Jumlah (N) 0-9 Kanan 11 Kiri 16 10-13 Kanan 2 Kiri 3 14-17 Kanan 3 Kiri 2 >17 Kanan 5 kiri 6
Persen (%) 22,9% 33,3% 4,2% 6,3% 6,3% 4,2% 10,4% 12,5%
Jumlah penderita yang mengalami stroke pada hemisfer kanan dan kiri hamoir sama pada tiap kelompok nilai HDRS, hanya pada kelompok nilai HDRS 0-9 jumlah penderita yang mengalami stroke melibatkan hemisfer kiri lebih banyak dari hemisfer kanan yaitu sebesar 16 orang (33,3%).
Tabel 11. Nilai HDRS Berdasarkan Barthel Index HDRS Barthel Index Jumlah (N) 0-9 0-25 1 26-50 51-75 1
Persen (%) 2,1% 2,1%
23
10-13
14-17
>17
76-100 0-25 26-50 51-75 76-100 0-25 26-50 51-75 76-100 0-25 26-50 51-75 76-100
25 1 2 2 1 1 3 4 5 2
52,1% 2,1% 4,2% 4,2% 2,1% 2,1% 6,3% 2,1% 10,4% 4,2%
Sebagian besar penderita memiliki Barthel Index 76-100 dengan jumlah sebesar 32 orang penderita (66,7%) dan kelompok ini sebagian besar berada dalam kelompok HDRS bernilai 0-9 sedangkan pada kelompok HDRS bernilai > 17 penderita dengan Barthel Index 76-100 berjumlah paling sedikit.
Tabel 12. Nilai HDRS Berdasarkan Riwayat Depresi Sebelumnya
HDRS 0-9 10-13 14-17 >17
Riwayat Depresi Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada
Jumlah (N) 27 5 1 4 1 10
Persen (%) 56,3% 10,4% 2,1% 4,2% 2,1% 20,8%
Hanya terdapat 2 orang (4,2%) sampel penelitian yang memiliki riwayat depresi sebelumnya. Kedua penderita ini telah terdiagnosis depresi oleh spesialis jiwa sebelumnya dan 1 orang pernah mendapat terapi.
IV. 2 Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan gambaran mengenai kejadian pasca stroke pada penderita stroke yang kontrol di poliklinik stroke RSMH Palembang. Dari
24
beberapa penelitian didapatkan perkiraan insiden depresi pasca stroke berkisar antara 5% (Aben et al., 2002) sampai 63% (Gottilieb, Salagnik, Kipnis, & Brill, 2002). Menurut Gonzales-Torrecillas et al.,(1995) insiden depresi ringan (minor) diperkirakan sebesar 11% sampai 44% menurut Kauhanen et al. (1999,2000) dan insiden depresi mayor berkisar antara 6% (Berg, Palomaki, Lehtihalmes, Lonnqvist, & Kaste, 2001) sampai 35% (Weg & Kulk, 1999). Hasil insiden derajat depresi pasca stroke yang didapat peneliti hampir sama dengan insiden yang didapat dari penelitian-penelitian sebelumnya yaitu 43,7%, depresi derajat ringan sebesar 10,4% dan depresi derajat sedang-berat 33,3%. Pada beberapa penelitian dinyatakan bahwa usia tua berhubungan dengan timbulnya depresi (Berg et al.,2001; Hayee et al., 2001; Kauhanen et al., 1999, 2000; Kotila et al., 1998, 1999) dengan perbandingan yang yang hampir sama dengan penelitian yang menyebutkan usia lebih muda berhubungan dengan timbulnya depresi pasca stroke (Carota et al., 2005; Eriksson et al., 2004; Paradiso & Robinson, 1998; Robinson, Starr, et al., 1983, 1985). Pada penelitian ini, kelompok usia mayoritas yang memiliki nilai HDRS 0-9 atau tidak mengalami depresi adalah 50-59 tahun, demikian halnya dengan kelompok depresi sedang berat, kelompok usia 50-59 tahun juga merupakan jumlah terbesar. Hal ini kemungkinan karena kelompok usia 50-59 tahun merupakan kelompok sampel penelitian dengan jumlah terbanyak dan tidak dapat menunjukkan adanya hubungan keterkaitan usia dengan timbulnya depresi pasca stroke. Hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan sampel penelitian berjenis kelamin laki-laki lebih banyak yang memiliki nilai HDRS 0-9 (normal) dan 10-13 (depresi ringan) dan sampel penelitian berjenis kelamin perempuan memiliki nilai HDRS yang lebih besar. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Aben et al., 2002, 2003; Angelleli et al., 2004; Eriksson et al., 2004, yang menyatakan jenis kelamin perempuan sebagai faktor risiko timbulnya depresi pasca stroke. Menurut Berg et al., 2001, tidak ada hubungan bermakna antara status perkawinan dengan timbulnya depresi pasca stroke. Pada penelitian ini dari 48 sampel penelitian hanya 4 orang yang memiliki status duda/janda, 3 orang mengalami depresi dan satu orang normal. Dari hasil penelitian ini tidak dapat
25
dinilai adakah hubungan antara status perkawinan dengan kejadian depresi pasca stroke sebab jumlah sampel dengan status kawin dan duda/janda memiliki perbandingan yang sangat berbeda. Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua faktor yang membentuk status sosioekonomi. Robinson et al (1998) menyatakan bahwa rendahnya status sosioekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi derajat depresi pasca stroke. Pada penelitian ini didapatkan ada kecenderungan kelompok yang tidak mengalami depresi berpendidikan perguruan tinggi dan kelompok yang mengalami depresi sedang-berat memiliki pendidikan yang lebih rendah (SD), sedangkan pekerjaan sampel penelitian tidak menggambarkan adanya nilai yang dominan pada tiap derajat depresi. Sekitar 40%-50% pasien dapat menderita depresi dalam beberapa bulan pertama setelah stroke (Robinson et al, 1983) dan mencapai insiden paling tinggi pada tiga bulan pertama pasca stroke yaitu 31% (Wibisono, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah terbanyak penderita yang masih kontrol ke poliklinik adalah penderita dengan onset stroke dalam 3 bulan terakhir. Untuk kelompok nilai HDRS >17 atau yang mengalami depresi sedang-berat tampak jelas didominasi penderita yang memiliki durasi pasca stroke 2 minggu-3 bulan yaitu sebesar 20,8%. Menurut Fedoroff et al. (1991) tidak ada perbedaan bermakna antara derajat depresi pada tipe stroke hemoragik dan non hemoragik. Pada penelitian ini sebagian besar sampel mengalami stroke tipe non hemoragik dan pada kelompok derajat depresi sedang-berat hampir semuanya merupakan stroke tipe non hemoragik, tetapi hal ini mungkin merupakan suatu bias sebab sampel penelitian dengan stroke tipe hemoragik dan hemoragik jumlahnya sangat berbeda. Adanya keterkaitan antara beratnya derajat depresi dengan lesi hemisfer kiri terutama lobus frontal dinyatakan oleh Kubos et al. (1984). Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan derajat depresi pasca stroke dengan lesi pada kedua hemisferium. Sebanyak 25 orang (52,8%) sampel penelitian dengan Barthel Index 75100 memiliki nilai HDRS 0-9 atau tidak mengalami depresi. Barthel Index merupakan alat yang paling banyak digunakan untuk menilai disabilitas fisik
26
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Mahoney dan Barthel, 1965), semakin besar nilai Barthel Index semakin adekuat fungsi fisik dan aktivitas seseorang. Jadi hasil penelitian ini menggambarkan penderita pasca stroke yang disabilitas fisiknya lebih sedikit cenderung tidak mengalami depresi. Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan Aben et al (2003) yang menyatakan adanya hubungan signifikan antara disabilitas fisik dengan depresi pasca stroke. Menurut Gillen et al (2001) terdapat hubungan antara riwayat depresi sebelumnya dengan depresi pasca stroke dimana riwayat depresi sebelumnya diartikan sebagai penderita yang pernah mendapatr terapi depresi yang dikonfirmasi dengan pernyataan anggota keluarga penderita. Pada penelitian ini hanya terdapat 2 orang penderita yang memiliki riwayat depresi sebelumnya dan kedua penderita ini termasuk dalam kelompok yang mengalami depresi ringansedang dan sedang-berat. Meskipun demikian hal ini tidak dapat digeneralisasikan sebab jumlah penderita yang mengalami depresi sebelumnya terlalu sedikit.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan
1. Insiden depresi pasca stroke pada penderita yang kontrol di poliklinik stroke RSMH Palembang cukup tinggi.
27
2. Pada penelitian ini, depresi derajat sedang-berat lebih banyak dialami oleh penderita pasca stroke usia tua, perempuan, berstatus duda/janda, berpendidikan rendah, disabilitas berat, 2 minggu-3 bulan pasca stroke V.2 Saran
1. Untuk menentukan faktor risiko depresi pasca stroke diperlukan penelitian dengan metode analitik dan jumlah sampel lebih besar.
BAB VI JUSTIFIKASI ETIK 5.1 Rangkuman Karakteristik
28
Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional untuk mengetahui gambaran derajat depresi pada penderita stroke di poliklinik stroke RSMH Palembang. Depresi pasca stroke dapat mencetuskan, memperlambat penyembuhan atau memperberat keadaan fisik serta meningkatkan biaya perawatan atau beban ekonomi dan keluarga. Depresi pasca stroke belum menjadi perhatian dalam perawatan stroke sehingga seringkali tidak terdeteksi. Oleh karena itu data-data tentang kejadian gangguan depresi pada penderita pasca stroke di RSMH penting untuk diketahui sehingga dapat dilakukan pendeteksian dini, memprediksi timbulnya depresi untuk selanjutnya dapat dicegah dan diberikan terapi sejak awal.
5.2 Prosedur Kelayakan Etik
Penilitian ini dilakukan di Rumah Sakit Mohammad Husin Palembang dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan wawancara sesuai dengan formulir penelitian/HDRS.
5.3 Analisis Kelayakan Etik
Penelitian ini dilakukan berdasarkan telaah penelitian maupun kajian pustaka sebelumnya mengenai kejadian depresi pasca stroke dan faktor- f aktor risikonya. Kiranya penelitian ini diharapkan telah mempunyai landasan ilmiah yang kuat sehingga dapat memberikan hasil yang bermanfaat. Pada penelitian ini penderita tidak dikenakan biaya atau beban selama penelitian.
5.4 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mempunyai landasan yang kuat, bermanfaat dilaksanakan dengan cara yang baik, tidak menempatkan penderita pada tempat yang tidak terhormat. Peneliti mempunyai keyakinan bahwa penelitian ini layak etik untuk dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
29
1. Johnson JL, Minarik PA, Bautista C, et al. (2006). Poststroke depression incidence and risk factors: an integrative literature review. Journal of Neuroscience Nursing, 38, 316-27. 2. American Heart Association . (2005). Heart disease and stroke statistics: 2005 update. Dallas. Author. 3. Lamsudin R.1997. Algoritma Stroke Gajah Mada (Tesis Doktor). Yogyakarta; UGM. 4. Wibisono, S. (2007). Depresi Pasca Stroke. Simposia – Vol.7 No.1, Available from URL : hppt://www.majalah-farmacia.com 5. Hankey GJ. Post stroke care (how should new problems be managed?). Stroke: your questions answered. 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingstone;2007.p.315-8. 6. Gofir A. Manajemen stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press;2009.p16573. 7. Post stroke depression. 2009. Available from URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Post_stroke_depression 8. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – DSM-IV. Washington DC: Am Psychiat. Press 1994 9. Robinson RG, Starr LB, Kubos KL. A two-year longitudinal study poststroke mood disorder: findings during the initial evaluation. Stroke 1983;14:736-41 10. Robinson RG, Bolduc PL, Price TR. Two-year longitudinal study of oststroke mood disorder: diagnosis at one and two years. Stroke 1987;18:837-4 11. Robinson RG, Strarr LB, Kubos KL. Mood disorders in stroke patients: importance of lesion location. Brain 1989;107: 81-93 12. Amir N. (2005). Diagnosis dan penatalaksanaan depresi paskastroke. Cermin Dunia Kedokteran, 149, 8-13. 13. Kapplan,HI., Sadick, BJ (1995), Comprehensive Textbook of Psychiatry,6th ed: USA : Lippincott. 14. Aben I, Lousberg R, Honig A. Validity of the beck depression inventory, hospital anxiety and depression scale, SCL-90, and hamilton depression rating scale as screening instruments for depression in stroke patients.
Psychosomatics 2002; 43:386–393 15. Hamilton Rating Scale for Depression. 2009. Available from URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Hamilton_Rating_Scale_for_Depression
LAMPIRAN
30
Formulir Pengisian Data Kuesioner dan HDRS
Tanggal pemeriksaan :..................................... Pemeriksa :............................... Nama pasien :.....................................................(LK/PR) Umur ........... tahun Pekerjaan :.........................................................Pendidikan terakhir ............... Status perkawinan:...........................................Onset stroke:............................ Jenis Stroke : ................................................... Hemisfer yang terkena:.............. Riwayat depresi sebelumnya : ........................ Disabilitas pasca stroke : Skor Barthel Index: ................
Barthel Index MAKAN 0 = tidak mampu 5 = memerlukan bantuan dalam memotong, mengoles mentega, dll, atau membutuhkan diet khusus 10 = mandiri ______ MANDI 0 = tergantung pada orang lain 5 = mandiri ______ MERAWAT DIRI 0 = memerlukan bantuan dalam merawat diri 5 = mandiri dalam merawat wajah/rambut/gigi/bercukur (peralatan tersedia) ______ BERPAKAIAN 0 = tergantung pada orang lain 5 = memerlukan bantuan tetapi dapat mengerjakan sebagian dapat dikerjakan sendiri 10 = mandiri (termasuk memasang kancing, menarik retsleting, renda) ______ BAB 0 = inkontinensia (memerlukan enema) 5 = kadang-kadang secara spontan 10 = normal ______ BAK 0 = inkontinensia, menggunakan kateter dan tidak dapat berkemih sendiri 5 = kadang-kadang spontan 10 = normal ______ PENGGUNAAN TOILET 0 = tergantung pada orang lain 5 = memerlukan pertolongan, tetapi sebagian dapat dilakukan sendiri 10 = mandiri ______
TRANSFER (dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya) 0 = tidak mampu, bila duduk tidak seimbang
31
5 = memerlukan banyak bantuan (satu atau dua orang , secara fisik), dapat duduk 10 = memerlukan sedikit bantuan (secara verbal atau fisik) 15 = mandiri ______ MOBILITAS 0 = tidak dapat berpindah tempat atau < 50 yards ( 45 meter) 5 = mandiri dengan kursi roda, berpindah > 50 yards (45 meter) 10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yards (45 meter) 15 = mandiri (tetapi masih menggunakan alat bantu, misalnya tongkat) > 50 yards PENGGUNAAN TANGGA 0 = tidak mampu 5 = memerlukan bantuan (verbal, fisik, dengan alat bantu) 10 = mandiri ______
TOTAL (0–100): ______
Depresi Pasca Stroke HAMILTON DEPRESSION RATING SCALE (HDRS)
1. MOOD DEPRESI (kesedihan, putus asa, tak berdaya, tak berharga) 0 |__| Tidak ada. 1 |__| Perasaan ini hanya dinyatakan pada saat ditanya 2 |__| Perasaan ini dinyatakan spontan secara verbal 3 |__| Mengkomunikasikan perasaan tidak secara verbal, misalnya dengan ekspresi wajah, postur, suara dan kecenderungan menitikkan air mata 4 |__| Perasaan ini secara dominan tampak pada pasien dari komunikasi verbal dan non verbal. 2. PERASAAN BERSALAH 0 |__| Tidak ada. 1 |__| perasaan menyalahkan diri sendiri, merasa mengecewakan orang lain . 2 |__| Perasaan bersalah atau menyesali secara berlebihan kesalahan atau dosa yang telah lalu 3 |__| Penyakit sekarang merupakan suatau hukuman. Delusi perasaan bersalah. 4 |__| Mendengarkan suara-suara tuduhan dan/atau pengalaman halusinasi visual berupa ancaman 3. BUNUH DIRI 0 |__| Tidak ada. 1 |__| Merasa hidup tidak berarti lagi 2 |__| Berharap ia sudah mati atau memiliki pikiran akan kemungkinan dirinya mati 3 |__| Pikiran atau tingkah laku untuk bunuh diri 4 |__| Percobaan bunuh diri 4. INSOMNIA: pada awal malam hari 0 |__| Tidak ada kesulitan tertidur
32
1 |__| Mengeluh kadang-kadang sulit tertidur, misalnya lebih dari setengah jam 2 |__| Keluhan kesulitan tertidur pada malam hari 5. INSOMNIA: di tengah malam 0 |__| Tidak ada kesulitan 1 |__| Pasien mengeluh merasa tidak dapat beristirahat dan terganggu sepanjang malam 2 |__| terjaga sepanjang malam – terbangun dari tempat tidur (nilai 2) 6. INSOMNIA: pada dini hari 0 |__| Tidak ada kesulitan 1 |__| Terjaga di dini hari tetapi langsung tertidur kembali 2 |__| Tidak dapat kembali tertidur bila bangkit dari tempat tidur 7. PEKERJAAN DAN AKTIVITAS 0 |__| Tidak ada kesulitan 1 |__| Pikiran dan perasaan tidak mampu, kelelahan, atau kelemahan terkait aktivitas, pekerjaan atau hobi. 2 |__| Hilangnya minat terhadap aktivitas, hobi atau pekerjaan 3 |__| Menurunnya waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas atau menurunnya produktivitas. Beri skor 3 bila pasien tidak melakukan pekerjaan atau hobi selama minimal 3 jam/hari 4 |__| Berhenti bekerja karena penyakitnya. Beri skor 4 bila pasien tidak melakukan aktivitas selain rutinitas keseharian atau gagal melakukan kegiatan rutin tanpa dibantu. 8. RETARDASI (lambat dalam berpikir dan berbicara, kemampuan berkonsentrasi, menurunnya aktivitas motorik) 0 |__| Berpikir dan berbicara normal 1 |__| Retardasi ringan selama wawancara 2 |__| Retardasi nyata selama wawancara 3 |__| Sulit diwawancara 4 |__| Stupor komplit
terganggunya
9. AGITASI 0 |__| Tidak ada 1 |__| Melakukan suatu gerakan berulang-ulang 2 |__| Bermain dengan tangan, rambut, dll. 3 |__| Selalu bergerak, tidak dapat duduk diam 4 |__| Meremas-remas tangan, menggigit kuku, menarik rambut, menggigit bibir
10. ANSIETAS 0 |__| Tidak ada
33
1 |__| 2 |__| 3 |__| 4 |__|
Ketegangan subjektif dan iritablitas Mencemaskan hal-hal kecil Tingkah laku kecurigaan/tegang tampak dari wajah atau pembicaraan Ekspresi ketakutan tanpa bertanya
11. ANSIETAS SOMATIK, misalnya: gastro-intestinal – mulut kering, gangguan pencernaan, indigestion, diare, kram, kardiovaskular – palpitasi, sakit kepala, respirasi – hiperventilasi, menghela nafas, frekuensi BAK meningkat, keringat berlebih
0 |__| 1 |__| 2 |__| 3 |__| 4 |__|
Tidak ada Ringan Sedang Berat Tidak mampu
12. GEJALA GASTRO-INTESTINAL SOMATIK 0 |__| Tidak ada 1 |__| Hilangnya napsu makan tetapi makan tanpa bujukan orang lain. Perut terasa kembung. 2 |__| Kesulitan makan tanpa bujukan orang lain. Meminta atau membutuhkan laksansia atau obat untuk pencernaan atau gejala gastrointestinal 13. GEJALA SOMATIK UMUM GENERAL SOMATIC SYMPTOMS 0 |__| Tidak ada 1 |__| Rasa berat pada ekstremitas, punggung atau kepala. Nyeri punggung, nyeri otot. Hilangnya tenaga dan kelelahan. 2 |__| Setiap gejala somatik yang jelas diberi nilai 2 14. GEJALA GENITALIA (seperti hilangnya libido, gangguan menstruasi) 0 |__| Tidak ada 1 |__| Ringan 2 |__| Berat 15. HIPOKONDRIASIS 0 |__| Tidak ada 1 |__| memperhatikan tubuh secara berlebihan 2 |__| secara berlebihan mengkhawatirkan kesehatan 3 |__| Keluhan yang sering timbul, mencari-cari pertolongan berobat 4 |__| Delusi hipokondria 16. PENURUNAN BERAT BADAN (dinilai pada 1 ataupun b)) a) Menurut pasien 0 |__| Tidak ada 1 |__| Kemungkinan turunnya berat badan berkaitan dengan penyakit sekarang 2 |__| Penurunan berat badan signifikan 3 |__| Tidak dinilai b) Menurut pengukuran per minggu 0 |__| berat badan turun kurang dari 1 lb(0,45 kg) dalam 1 minggu
34