Aspek Keperilakuan pada Etika Aturan & Implikasi Keperilakuan untuk Mempertimbangkan Implikasi Keperilakuan Akuntansi Prilaku
Nama Anggota Kelompok (8) : Annisa Husnul Khotimah
13080694033
Endah Ayuning Tyas
13080694097
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya 2016
BAB 16 Aspek Keperilakuan pada Etika Aturan A. Dilema Etika Sering kali dilemma etika muncul dalam masalah perusahaan. Contohnya saja, profesi auditor pastinya akan berhadapan dengan dilema etika. Dilema ettika muncul ketika seorang auditor akan melaksanaakan kegiatan auditingnya, akan berada dalam konflik audit. Konflik dalam audit akan berkembang apabila auditor mengungkapkan informasi yang oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum. Konflik ini akan menjadi sebuah dilemma etika ketika audtor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut independensi dan integritas dengan imbalan ekonomis yang mungkin sudah disepakati. Karena auditor seharusnya bertanggung jawab, dengan masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata, sering kali auditor dihadapkan pada dilemma etika dalam pengambilan keputusannya. Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karean auditor berada dalam situasi pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis. Situasi tersebut terbentuk karena dalam konflik terdapat pada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor, sehingga auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan antara yang etis dan tidak etis. a. Penalaran Moral Penalaran moral dan pengembangan memainkan peran kunci dalam seluruh area profesi akuntansi. Akuntansi yang secara kontinu dihadapkan pada dilemma berada pada konflik nilai. Misalnya yang dihadapi oleh akuntan pajak, ketika memutuskan kebijakan mengenai metode akuntansi yang akan dipilih, membutuhkan waktu untuk memutuskan antara metode yang mencerminkan sifat ekonomi sesungguhnya dari transaksi atau metode yang paling sesuai menggambarkan perusahaan. Ketika keputusan professional didasarkan pada keyakinan dan nilai individual, maka penalaran moral memainkan peranan yang penting dalam keputusan akhir seseorang.
Contoh masalah etika dalam akuntansi yaitu, ketika terdapat kebijakan etika perusahaan yang disertai dengan sanksi yang lebih keras. Sejalan degna inisiatif baru ini, minat terhadap perilaku etis akuntan professional diperbaharui. Arnold dan panemon menekankan pentingnya pentingnya paradigm riset ini karena alasan-alasan berikut ini : 1. Riset tingkat penalaran moral akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan mengenai resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan. 2. Riset dalam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan keputusan etika akuntan. Hasil dari studi ini dapat memberikan pedoman yang mempengaruhi sifat etis dalam profesi akuntansi. 3. B. Modal Pengambilan Keputusan Etis a. Teori Penalaran Moral dari Kohlberg Psikologi dari moral reasoning menjelaskan proses ini dan menganalisis keadaan pikiran individu ketika membuat keputusan etis. Etika atau moral reason berbeda dengan proses menta lainnya dalam tiga aspek, yaitu (1) kognisi yang didasarkan pada nilai dan bukan pada fakta yang nampak (2) keputusan yang didasarkan pada beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan orang lain, dan (3) keputusan yang dibangun di seputar isu ‘keharusan’, dan bukan pada peringgkat preferensi atau kesukaan sederhana. Kolhberg menyamakan tiga tingkatan ini dengan tiga jeni hubungan berbeda
anatar
diri,
aturan,
dan
harapan
masyarakat.
Pada
tingkat
prakonvensional, seorang individu terutama memperhatikan efek aksi yang dipilih terhadap dirinya, maka keduanya tidak dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Seorang individu pada tingkat ini umumnya mengikuti hokum masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat karena hal tersebut menguntungkan. Rest mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kolhberg adalah bagian yang integral dari model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis. Misalnya, Rest menyatakan bahwa ethical reasoning hanya merupakan bagian
dari kapasitas individu secara keseluruhan untuk membangun kerangka dan memecahkan masalah etis. Rest selajutnya mengidentifikasi empat komponen dalam menentukan perilaku moral yaitu, (1) sensitivitas moral (pengenalan implikasi moral dari sebuag situasi) (2) keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral) (3) motivasi moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya) dan (4) karakter moral (mempunyai keyakinan untuk mengimplementasikan aksi moral) Kolhberg menyatakan bahwa individu pada tingkat moral reasoingn yang lebih tinggi dapat melakukan tindakan moral yang benar. Hasil empiris dalam konteks akuntansi juga menghubungkan tingkat moral reasoning yang lebih rendah denga pertanyaan mengenai independensi dari penilaian, kegagalan untuk mendeteksi penipuan laporan keuangan, dan tidak terdapatnya pengungkapan atas temuan audit sensitif melalui pengaduan (whistle-blowling) b. Ukuran Moral Reasoning Rest mengembangkan pengujian definisi masalah berupa kuisioner pihan ganda yang dikerjakan sendiri guna memberikan ukuran ibjektiif Eropa dalam memahami distribusi kemampuan etis (bukan berupa skor tunggal). DIT menampilkan
subjek
dengan
enam
scenario
hipotesis
masing-masing
berhubungan dengan dilemma etika (misalnya mencuri informasi dari pihak yang berwenang, kebebasan untuk mengajukan protes). Dalam merespons terhadap masing-masing konflik, subjek diminta untuk memilih dan memeringkat masalah yang mereka piker paling relevan terhadap penyelesaian dilemma yang ditampilkan. Kolhber menyatakan bahwa ketika seorang individu mengalami kemajuan melalui tahapan tersebut, mereka mengatasi gaya pemikiran lama dan memandang dirinya sebagai individu tidak memadai dan sederhana. Sementara, Kolhberg menyatakan bahwa individu bergerak di sepanjang tahap naik seperti anak tangga. Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang menjadi preferensi dari akuntan adalah tahap yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahap yang lebih rendah? Misalnya, akuntan dapat memilih profesi berbasis aturan di mana penyimpangan dari aturan tersebut tidak dibolehkan. Dengan demikian, pmebenaran etis akuntan
mungkin didasarkan pada ekpektasi mengenai posisi mereka (misalnya masyarakat menjadi pengawas bisnis). c. Pendekatan Kognitif Lingkungan terhadap Pengambilan Keputusan Etis Ketika banyak riet yang berhubungan dengan perilaku etis individual menggunakan DIT untk mengukur tingkat moral reasoning individual (misalnya urutan peringkat dari alternatif modal), telah berkembang pendekatan tambahan yang membahas komponen lain dari model Rest. Misalnya, mereka menyebutkan Skala Etis Multidimensional (SEM) sebagai ukuran kesadaran moral, yang merupakan kompoknen pertama darri model Rest dan menghubungkan teori perencanaan perilaku dengan komponen tiga dan empat. Sementara SEM dikritik sebagai gagal untuk memasukkan kerangka kerja psikolog dalam proses ethical reasoning, Flory merespons dengan menunjukkan bagaimana ukuran ini secara teoritis berbeda dari karya pengembangan moral Kolhberg dan Rest, serta bahwa ukuran ini mungkin menjadi alat yang lebih baik untuk memahami proses moral reasoning akuntan. Cohen selanjuna menunjukkan bahwa SEM adalah sebuah ukuran sensitivitas moral yang merupakan komponen pertama dari model Rest. d. Modal Alternatif Pengambilan Keputusan Etis Terdapat model pengambilan keputusan etis lain yang dikembangkan secara spesifik untuk profei akutansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi di mana auditor dianggap melanggar kode etik dan perilaku professional AICPA, Lampe dsn Finn membuat model dari proses keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elemen (pemahaman keuangan, pengendalian dampak, keputusan lain, penilaian lain, dan pengambilan keputusan final) untuk dibandingkan dengan model yang berbasis Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA. Dengan cara yang sama, Finn dan Lampe membuat model dari keputusan berkaitan dengan penyampaian pengaduan auditor. C. Riset Perilaku Etis Akuntan Definisi dan penjelasan empat area riset akuntansi utama yang menyelidiki tingkat moral reasoning akuntan dan perilaku yang berhubungan, yaitu studi pendidikan etika, studi pengembangan etika, dan studi etika lintas budaya.
a. Studi Pendidikan Etika Berusaha menentukan efek pendidikan terhadap keahlian moral reasoning dari para praktisi dan mahasiswa akuntansi. Sementara hasil dari studi umum telah menunjukkan bahwa pendidikan kampus secara positif berhubungan denga pengaruh tingkat moral reasoning individual, temuan dalam ranah akuntansi telah menunjukkan bahwa akuntan pada umumnya tidak mengalami kemajuan pada tingkat perkembangan moral sama seperti lulusan kampus lainnya. Beberapa studi representatif yang membahas masalah ini dibahas di bagian berikutnya. M. Armstrong (1987) Satu studi pertama yang menyelidiki hubungan antara perkembangan moral dan riset perilaku dilakukan oleh M. Armstrong (1987). Tingkat moral reasoning dari CPA dibandingkan dengan mahasiswa yang sudah dan belum lulus. Pengarang menyampaikan bahwa pendidikan akuntansi memasukkan lebih banyak diskusi moral, sehingga akuntan dapat mencapai tingkat moral reasoning yang serupa dengan lulusan kampus lain. Ponemon dan Glazer (1990) serta Jeffrey (1993) Memperluas penyelidikan ke dalam tingkat moral reasoning akuntan dengan membandingkan mahasiswa dan alumni untuk dua lembaga pendidikan yang terletak di daerah timur Amerika Serikat. Penemuan menunjukkan bahwa perkembangan etika mahasiswa akuntansi lebih tinggi dari pada perkembangan etika mahasiswa dalam divisi yang lebih rendah dengan mahasiswa akuntansi senior menampilkan tingkat tertinggi. St. Pierre, Nelson dan Gabbin (1990) Mengkaji hubungan tingkat moral reasoning. Ukuran lain yang dikumpulkan berkaitan dengan subjek adalah jurusan, gender, dan paparan awal terhadap etika dalam kurikulum formal. Temuan menunjukkan bahwa mahasiswa dalam tiga jurusan non-bisnis mempunyai skor DIT yang tinggi dibandingkan dengan jurusan bisnis. Ponemon (1993a) Mengkaji pengaruh intervensi etika terhadap perkembangan perilaku etis mahasiswa akuntansi. Intervensi etika tersebut didasarkan pada tinjauan dan diskusi kusus etika setelah kerangka kerja pendidikan sudah diketahui dalam sepuluh minggu pertama dari satu semester. M. Armstrong (1993)
Menampilkan hasil pra dan pascapengujian dari pengembangan moral untuk siswa yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalisme di universitas yang didukung oleh negara bagian Amerika Serikat. Lampe (1994) Menyampaikan hasil dari studi akuntansi logitudinal tingkat mahasiswa sehubungan dengan moral reasoning di Universitas Southwestern, Amerika Serikat. Selama jangka waktu empat tahun, kasus etika dan muatan etik ditambah pada mata kuliah manajerial dan keuangan tingkat menengah, bersama-sama dengan prinsip-prinsip auditing dengan harapan bahwa mata kuliah ini meningkatkan perkembangan etika siswa. b. Studi Pengembangan Etika Studi Pengembangan Etika mengkaji dampak pendidikan terhadap praktisi dan
mahasiswa
akuntansi,
Studi
Pengembangan
Etika
berfokus
pada
perkembangan moral reasoning dalam profesi akuntansi. Beberapa studi menemukan bahwa posisi auditor dalam perusahaan berbanding terbalik dengan tingkat moral reasoning. Penemon (1990) Menyelidiki ethical reasoning dan penilaian praktisi akuntansi dalam perusahaan publik. Lima puluh dua praktisi CPA dari beracam-macam posisi di perusahaan publik di daerah timur laut Amerika Serikat berpartisipasi dalam studi. Penemon (1992a) Menyelidiki pengaruh dari sosialisasi kantor akuntan publik terhadap tingkat ethical reasoning masing-masing CPA. Studi dari sosialisasi perusahaan sebelumnya menunjukkan bahwa manajemen lebih bisa mendorong individu yang mempunyai pandangan organisasi umum yang sama. Shaub (1994) Menyelidiki perbedaan antara sampel yang terdiri atas 207 auditor dan sampel yang terdiri atas 91 mahasiswa akuntansi senior dengan 6 variabel demografis. Hasilnya menunjukkan bahwa usia dan pendidikan tidak secara signifikan berhubungan dengan tingkat moral reasoning kedua sampel. Sweeney (1995) Memperluas garis riset dengan menyelidiki asosiasi antara faktor-faktor demografis dan organisasional dengan tingkat moral reasoningdari auditor.
Jeffrey dab Weatherholt (1996) Menyelidiki perbedaan pengembangan etika, komitmen profesional, dan sikap terhadap aturan antara akuntanpada kantor akuntan publik yang termasuk kategori 6 besar dan akuntan pada perusahaan yang termasuk dalam fortune 500. Kite, Louwer, dan Randtke (1996) Mengkaji perbedaan dalam tingkat moral reasoningantara auditor lingkungan, auditor internal lain, dan akuntan publik dengan asumsi bahwa auditor dengan tingkat moral reasoning yang lebih tinggi kemungkinan akan memilih sendiri lingkungan penugasan audit. c. Studi Keputusan Etis Studi Keputusan Etis berfokus kepada hubungan antara bermacam-macam ukuran dan perilaku spesifik terhadap bidang akuntansi. Penelaahan studi representatif yang mengkaji 1. Isu independensi, 2. Pelanggaran Lain Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA, 3. Pendekatan atas penipuan dalam laporan keuangan dan komunikasinya, 4. Ketidak patuha pembayaran pajak, dan 5. Perilaku disfungsional spesifik dalam profesi akuntansi. i. Isu independensi Ponemo dan Gabhart (1990) Mengkaji hubungan antara penilaian independensi auditor dengan tingkat moral reasonin. Subjek menyelesaikan DIT dan studi kasus yang melibatkan dilema auditor dalam hal independensi. Instrumen studi kasus meminta subjek untuk membaca studi kasus hipotesis dan menilai strategi independensi yang benar untuk diikuti didasarkan pada lingkungan kasus. Windson dan Ashkanasy (1995) Mengkaji bagaimana hubungan antara budaya organisasi, pengembangan
moral
reasoning,
dan
kepercayaan
dalam
dunia
memengaruhi independensi auditor serta gaya pengambilan keputusan. Schatzberg, Sevcik, dan Shapiro (1996) Menguji validasi dari tiga kondisi ekonomi umum yang dianggap penting terhadap kerusakan independensi. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing kondisi tidak dianggap sebagai benar kebutuhan, dan bahwa eksistemsi bersama dari ketiga kondisi tersebut tidak dapat diinterpretasikan secara ketat untuk memprediksi terjadinya kerusakan independensi.
Shaub dan Lawrence (1996) Menyelidiki latihan skeptisme profesional auditor sebagai sebuah alat untuk menekan perilaku klien yang mementingkan dirinya sendiri. Mereka mendefinisikan skeptisme sebagai fungsi dari 1. Disposisi etis, 2. Pegalaman, dan 3. Faktor-faktor situasional. ii. Pelanggaran lain kode etik dan perilaku professional AICPA Lampe dan Finn (1992) Guna semakin memahami situasi dimana auditor dianggap melanggar kode etik dan perilaku profesional AICPA, Lampe dan Finn ini membuat
model
atas
proses
keputusan
etis
auditor
dengan
mengembangkan model lima elemen untuk membandingkan dengan model berbasi kode etik dan perilaku profesional AICPA. Shaub, Finn, dan Munter (1993) Mengkaji orientasi etika, komitmen, dan sensitivitas etika auditor yangbekerja menyelesaikan
dikantor empat
akuntan skala
6
besar.
validasi
Subjek
yang
diminta
mengukur
untuk
komitmen
profesional, organisasi, idealisme. Dan relativisme. Dreike dan Moeckel (1995) Menganalisis keputusan auditor senior berkaitan dengan situasi dengan kemungkinan dimensi etika. Auditor diminta untuk menunjukkan pola fakta yang terlibat dala isu etika dan kemudian memeringkat urutan isu etis berdasarkan signifikansi. iii. Mendeteksi dan Mengomunikasikan Kecurangan Arnold dan Ponemon (1991) Mengkaji persepsi auditor internal terhadap whistle-blowing dalam konteks tingkat moral reasoning mereka. Tugas whistle-blowing meliputi dua kondisi yang berhubungan dengan posisi orang yang menemukan kecurangan dan sifat dari balas dendam. Finn dan Lampe (1992) Berusaha membuat model dari keputusan whistle-blowing auditor. Sebagai tambahan terhadap variabel situasi kontinjen dan individual juga dimasukkan dalam model. DIT digunakan untuk mengukur tingkat moral reasoning auditor, sementara konteks pekerjaan, karakteristik pekerjaan, dan budaya organisasi digunakan sebagai variabel situasi kontinjen.
Ponemon (1993b) Memperluas riset sebelumnya tetntang tingkat moral reasoning auditor dengan menyelidiki pentingnya ethical reasoning sebagai determinan penilaian auditor terhadap karakteristik etis dari manajemen klien. Hooks, Kaplan, dan Schults (1994) Menyelidiki satu kemungkinan kesempatan untuk mengurangi penipuan dalam pengambilan keputusan. Makalah ini berusaha untuk memfasilitasi riset guna mendesain sistem komunikasi andal yang akann menghalangi penipuan, serta peranan auditor dalam sistem tersebut. Bernadi (1994) Meneliti hubungan antara athical reasoning dengan kemampuan auditor untuk mendeteksi penipuan informasi dalam laporan keuangan. iv. Ketidakpatuhan pembayaran pajak Ghosh dan Crain (1996) Megidentifikasi faktor-faktor individual dan situasional yang memengaruhi ketidak patuhan terhadap pajak. Hanno dan Violette (1996) Menyelidiki pengaruh sosial dan
moral
yang
mendasari
pembayaran pajak dalam usaha mengembangkan model integratif perilaku kepatuhan pajak. Teori penalaran aksi digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan menonjol yang berhubungan dengan keputusann kepatuhan pajak. v. Perilaku disfungsional lain Ponemon (1992b) Menyelidiki interaksi antara tingkat moral reasoning auditor dengan pelaporan dalam waktu singkat yang digunakan dalam penugasan audit. Delapan puluh delapan auditor tingkat staf dari berbagai macammacam kantor akuntan publik nasional di Amerika Serikat berpartisipasi dalam studi. Ponemon (1995) Mengkaji objektivitas akuntan ketika berfungsi sebagai spesialis litigasi dan saksi ahli dalam kasus hukum. d. Studi Etis Lintas Budaya
Sebagian besar studi yang berhubungan dengan akuntansi dan etika difokuskan kepada profesi akuntansi di Amerika Serikat. Perbedaan budaya mungkin muncul diantara kelompok profesi akuntansi dinegara berbeda. Beberapa studi etika lintas budaya yang berusaha menyelidiki perbedaan budaya atau nasional dalam keahlian moral reasoning dan keputusan etis akuntan. Ponemon dan Gabhart (1993), Etherington dan Schulting (1995) Meliputi profesi auditing dari dua kantor akuntan besar dengan praktik di Amerika Serikat dan Kanada menggunakan DIT dan instrumen eksperimental lainnya. Sasaran utama dari studi ini adalah menilai dampak dari perbedaan lintas negara terhadap keputusan etika dari individu praktisi auditing. Schultz, Johnson, Morris, dan Dyrnes (1993) Meliputi kecenderungan manajer perusahaan dan profesional untuk melaporkan tindakan yang dapat dipertanyakan dalam konteks internasional dan dosmetik. Tindakan yang dipertanyakan didefinisikan sebagai tindakan yang melanggar standar keadilan, kejujuran atau ekonomi. Cohen, Pant, dan Sharp (1995a) Menyajikan pengujian empiris pada pernyataan Cohen bahwa kantor akuntan publik multinasional seharusnya secara hati-hati memperhatikan dampak keragaman budaya internasional terhadap sensitivitas karyawan dan pengambilan keputusan. Cohen, Pant, dan Sharp (1995b) Menyelidiki perbedaan pengambilan keputusan etika auditor dari negaranegara yang berbeda. Auditor dari satu kantor akuntan publik multi nasional dari Amerika Latin, Jepang, atau Amerika Serikat berpartisipasi dalam studi ini. D. Implikasi bagi Riset Mendatang Menekankan pentingnya kemajuan diluar penjelasan dan menyampaikan penempatan kerangka kerja teoretis kognisi moral yang spesifik bagi profesi akuntansi. Menyampaikan bahwa kerangka kerja ini harus melibatkan pengakuan atas peranan akuntan dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka terhadap bermacam-macam pengakuan kepentiangan, serta keahlian moral akuntansi. Dalam cara yang sama Ponemon dan Gabhart dalam bidang etika untuk auditor dan akuntan mengakui bahwa keputusan akuntan setelah menjadi subjek dari bermacam-macam kelompok termasuk organisasi klien yang membayar pelayanan, kantor akuntan profesional dimana karyawan menjadi anggota akuntan, profesi akuntan itu sendiri, dan buklik umum.
Riset mendatang harus melanjutkan kemajuan kedua dimensi yaitu melanjutkan integrasi model dan ukuran kognitif yang berbeda dalam model rest dan mengembangkan sebuah model pengambilan keputusan etis kognitif yang khusus untuk profesi akuntansi. Berdasarkan fakta bahwa mayoritas riset perilaku etis akuntan didasarkan pada teori moral reasoning dari Kohlberg.
BAB 19 Implikasi Keperilakuan dari Prinsip Akuntansi yang Diterima secara Umum A. Prinsip Akuntansi yang Dapat Diterima secara Umum Kecil vs Prinsip Akuntansi yang Dapat Diterima secara Umum Besar Akuntansi menghadapi masalah dimana usaha kecil terlalu dibebani oleh biaya administrasi dan akuntansi dalam rangka mematuhi aturan yang tidak relevan, dan kebutuhan akan kebebasan. Bahwa lebih dari sepuluh industri manufaktur, perdagangan, dan penjualan ritel di Amerika Serikat dihasilkan oleh usaha skala kecil dan menengah, permasalahan menjadi semakin bertambah besar. Hal ini terdapat perbedaan yang nyata antara usaha besar dan kecil serta diantara kebutuhan pengguna informasi dari usaha besar dan kecil, sehingga membenarkan perbedaan dalam aturan akuntansi dalam bentuk dua PADU yaitu PADU kecil
untuk usaha kecil atau yang dikelola secara tertutup dan PADU besar untuk perusahaan besar. FASB menyatakan bahwa tujuan pelaporan keuangan adalah untuk melayani kebutuhan pengguna laporan keuangan secara umum dan bukan kebutuhan khusus dari pengguna tertentu. Indikasi lain mengenai pandangan FASB dinyatakan dalam rancangan paparan FASB yamg diterbitkan sebelum penerbitan FASB N0. 14 mengenai pelaporan keuangan untuk segmen perusahaan bisnis. B. Kebijakan dan Perubahan Metode Akuntansi Perusahaan perlu memilih diantara berbagai metode akuntansi dalam mencatat transaksi yang menyusun laporan keuangan. Kebijakan akuntansi dari pelaporan suatu entitas adalah prinsip akuntansi spesifik dan metode penerapan prinsip tersebut yang oleh manajemen dari entitas yang bersangkutan dipandang paling tepat untuk menyajikan posisi keuangan, perubahan dalam posisi keuangan, dan hasil operasi dengan sewajarnya sesuai prinsip akuntansi yang diterima secara umum dan diadopsi untuk menyusun laporan keuangan. Perusahaan juga membuat perubahan metode akuntansi sebagai bagian kebijakan akuntansi. Keyakinan umum adalah perusahaan melakukan perubahan dalam prinsip dan estimasi akuntansi dalam keinginan manajemen untuk mencapai tujuan tertentu seperti perataan laba atau pengurangan biaya keagenaan berkaitan dengan pelanggan perjanjian utang. Badan pengaturan akuntansi telah mencoba membatasi keleluasaan manajemen dalam menggunakan perubahan metode akuntansi guna meningkatkan atau menurunkan laba bersih. Seak tahun 1970-an, APB No. 20 telah menetapkan bahwa perubahan metode akuntansi harus diperlakukan sebagai sebuah perubahan dengan efek komulatif, perubahan dalam laba bersih pada periode terjadinya perubaha, dan pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan mengenai dampak dari pengadopsian prinsip akuntansi yang baru terhadap laba sebelum laba luar biasa dan laba bersih dari perubahan periode. C. Kebutuhan untuk Mempertimbangkan Implikasi Keperilakuan APB dan badan-badan lainnya yang memengaruhi definisi dari apa yang membentuk prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum harus
menanyakan: (1) apakah prinsip-prinsip atau praktik akuntansi ini memotivasi manajer untuk berperilaku mementingkan diri sendiri, dan (2) apakah tindakan ini dapat merusak kinerja actual manajerial karena didasarkan pada ilusi kinerja yang sebenernya tidak pernah ada atau menghasilkan tindakan ekonomi yang tidak bagus. Jika jawaban terhadap kedua pertanyaan ini adalah ya, dan hal ini sangat mungkin terjadi, maka penggunaan praktik akuntansi tersebut seharusnya tidak didorong, kecuali secara jelas dibenarkan oleh lingkungan bisnis yang didefinisikan secara jelas. Factor penentu penting lainnya dari kekuatan, karakter, dan prevalensi respons manajerial terhadap beberapa perbaikan dalam aspek keperilakuan akuntansi keuangan adalah sikap manajer terhadap system pelaporan perusahaan. Manajer dalam hal ini meliputi Komisi Bursa dan Sekuritas, Bursa Saham Utama, Komite Pajak Profesional dan etika dari AICPA pengadilan, dan kongres. a. Efek Samping Potensi implikasi motivasional yang tidak diinginkan dari metode arus (flow) terhadap akuntansi pajak meluas pada banyak keputusan akuntansi dan pajak yang menciptakan perbedaan waktu antara pengakuan pendapatan dan biaya untuk tujuan pajak dan untuk tujuan pembukuan. Dalam banyak kasus perusahaan marginal, akuntansi yang menghasilkan perbaikan keuntungan ini bekerja dengan baik karena manajemen menerima beberapa metode tersebut guna memperbaiki laba, terlepas dari implikasi penundaan pajak dan pertimbangan bisnis yang mendasarinya. Bonus tambahan yang didasarkan pada besaran laba mengakibatkan penerapan seluruh arus (flow) guna menunda pajak, sehingga akan semakin sulit untuk mempertahankan penggunaan metode ini. b. Profesi Kuat Profesi akuntansi harus melanjutkan pekerjaannya dalam mengurangi dorongan penyalahgunaan metode akuntansi. Selain itu, profesi akuntansi harus mengeliminasi praktik yang tidak dapat dibenarkan oleh lingkungan berbeda. Di luar tindakan ini, dilema yang muncul adalah : 1. Kebutuhan terhadap fungsi audit public berpengetahuan dan independen dengan komitmen kuaat terhadap kewajaran.dalam
pelaporan perusahaan dan melindungi pihak ketiga dari salah interpretasi atas informasi akuntansi 2. Sebuah definisi lebih jelas tentang lingkungan di mana praktik akuntansi alternative dapat dibenarkan. c. Analogi Kontrol Manajemen Dengan satu pengecualian,
system
pelaporan
keuaangan
perusahaan bekerja dengan cara yang serupa secara operasional dalam pengertan perilaku dalam ekonomi total dengan sistem kontrol manajemen yang digunakan secara internal oleh manajemen puncak perusahaan untuk mengomunikasikan, memahami, mengukur, dan memengaruhi tindakan manajer unit operasinya. Karena kemiripan ini, kita dapat bergerak ke sekumpulan perilaku yang diinginkan dari prinsip-prinsip akuntansi untuk praktik
pelaporan
publik
dengan
mengaplikasikan
praktik
dan
rekomendasi akuntansi keuangan dengan cara yang sama seperti pada aplikasi control manajemen untuk memengaruhi perilaku melalui penggunaan alat-alat pengukuran. Laporan keuangan kepada pemegang saham menampilkan informasi output siste public untuk mengontrol tindakan manajerial. Dalam kasus ini, system control yang dirancang oleh profesi akuntan dengan didasarkan pada ‘prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum’ dan oleh manajer sendiri selama mereka membuat keputusan kebijakan akuntansi untuk masing-masing perusahaan dalam kerangka kerja ini. Perbedaan operasi utama antara aspek motivasional sistem kontrol manajermen internal dengan sistem pelaporan perusahaan terletak pada siapa yang menentukan sasaran yang akan dicapai system tersebut. Setiap orang mengakui bahwa laporan keuangan adalah komunikasi antara manajemen dengan pemegang saham mereka. Dengan demikian, ukuran kinerja dapat saja sama untuk dua manajer, tetapi cara yang ditentukan mungkin membuat mereka membuat keputusan berbeda tentang cara untuk melindungi operasi mereka dari kerugian devaluasi. Standar kinerja system pelaporan perusahaan dibentuk dengan berbagai macam cara. Manajer dapat menentukan standart itu
sendiri dengan meramalkan secara public hasil laba per lembar saham mendatang dari perusahaan. Dengan cara yang sama, standar dapat ditentukan dengan ramalan public melalui analisis sekuritas dan sumber lainnya yang digunakan oleh investor. Hasil actual atau ramalan dari pesaing digunakan sebagai standart perbandingan dengan kinerja actual yang diukur. Terlepas dari fakta bahwa manajemen kinerja per lembar saham merupakan ukuran kasar dari kinerja, hal ini memengaruhi perilaku manajerial melalui dua cara: 1. Cara dengan mana korporasi dikapitalisasi 2. Cara dengan mana keputusan-keputusan akuntansi dan ekonomi dibuat dalam menciptakan dan menghitung laba. d. Kemajuan Terbaru Selama lima tahun, terakhir dewan akuntansi telah membuat sejumlah keputusan signifikan yang memengaruhi bias motivasional dari prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum. e. Anak Perusahaan Tidak Dikonsolidasi Opini APB No. 10 yang merupakan amandemen terhadap Accounting Research Bulletin No. 51 mengurangi bia motivasional yang melekat kepada prinsip konsolidasi yang lama. Prinsip ini menampilkan dorongan kuat bagi perusahaan untuk membangun anak perusahaan yang tidak dikonsolidasikan (unconsolidated subsidiary) yang aktivitas bisnis utamanya adalah menyewaguna usahakan property atau fasilitas untuk induk perusahaannya. Sering kali hal ini menghasilkan presentasi posisi keuangan yang tidak memadai dan tidak wajar terhadap seluruh perusahaan karena asset dan kewajiban signifikasikan dikeluarkan dari laporan konsolidasi. f. Kerugian dan Laba Luar Biasa Sebelum opini APB No.9, prinsip-prinsip akuntansi memutuskan untuk tidak mencantumkan kerugian luar biasa yang memberikan dorongan bagi perusahaan untuk menunda kemungkinan menghadapi penghapusan (write off) terhadap biaya potensial, sepperti goodwill,
piutang tak tertagih, dan sebagainya kemudian menulisnya dalam saldoo laba dan bukannya laba periodik. Opini No. 9 merevisi situasi ini. Dengan demikian anggapan umum adalah bahwa laba bersih akan mencermikan seluruh pos keuntungan dan kerugian yang diakui selama periode tersebut, kecuali untuk pos-pos di mana benar-benar dilakukan penyesuaian sebelum laba peiodik perusahaan dibuang. g. Saham Biasa Ekuivalen Opini No. 9 dan No. 15 menghasilkan dorongan bagi manajer untuk menerbitkan efek konvertibel (convertible security), khususnya pada saat penerbitan ekuitas dengan saham biasa. Sebelumnya, potensi dilusi dari efek tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan laba per lembar saham. Hal ini mendorong perusahaan untuk menerbitkan convertible security untuk mengakuisisi perusahaan lain dan untu pendanaan baru. Namun demikian, sejak akhir tahun 1968, SEC menyatakan bahwa perhitungan laba per lembar saham actual dari korporasi harus memasukkan seluruh kelas saham biasa yang beredar dengan hak dividen yang sama dengan saham biasa, dan seluruh efek yang dihasilkan terutama dari nilai konversi atau yang memiliki karakteristik pemegang saham. h. Pengumpulan Retroaktif. Sebelum opini No. 10, penggabungan bisnis yang dilakukan selama atau segera setelah penutupan periode akuntansi, tetapi sebelum laporan keuangan bisnis boleh diterbitkan kepada pemegang saham, dapat dimasukkan menggunakan metode poolng of interest yang terjadi pada saat penutupan periode akuntansi. Tidak terdapat ketentuan untuk mengungkapkan hasil operasi dan kondisi fiscal sebelum perusahaan melakukan penggabungan. Pemegang saham tidak dapa membedakan bagian yang menjadi laporan laba operasi dengan laporan laba akuisisi. Praktik akuntansi ini menimbulkan dorongan kuat bagi beberapa manajer untuk mengakuisisi perusahaan agar mencapai proyeksi tingkat laba yang diakuisisikan sebelumnya.
Opini No 10 tidak membuang insentif akuntansi untuk akuisisi, tetapi hal ini mengurangi kekuatan dari insentif tersebut. Opini No. 10 merekomendasikan ‘untuk menunjukkan efek pooling terhadap tren laba perusahaan mungkin perlu disediakan rekonsiliasi antara nilai laba sebelumnya dengan yang dilaporkan sekarang’. Efektivitas pengungkapan tersebut masih belum diuji secara penuh. Kemudahan perubahan yang disponsori oleh APB mengurangi peluang bagi manajer untuk memperbaiki laba secara tersembunyi melalui manipulasi akuntansi. Sementara APB tidak mampu menghapus kondisi yang mendorong manajer untuk mengadopsi praktik ini untuk alasan yang tidak sesuai, tetapi ini mengeliminasi atau mengurangi kekuatan potensial dari metode akuntansi. D. Area yang Menjadi Perhatian Sekarang a. Menyatukan Kepentingan Metode pembelian (purchase method) tidak popular dari umumnya tidak mendorong para manajer untuk secara aktif melakukan akuisisi terhadap perusahaan lebih kecil. Manajer segan menampilkan goodwill dengan nilai besar dalam neraca walaupun tidak terdapt ketentuan untuk mengakui asset tidak berwujud atau saldo laba, kecuali terdapat penurunan permanen pada profitabilitas dari bisnis yang diakuisisi. Dimulai sekitar sepuluh tahun yang lalu, metode pooling secara lambat berkembang ke semakinn banyak merger dan sekarang ke setiao akuisisi yang melibatkan pertukaran saham bebas pajak. b. Pendanaan di Luar Neraca Suatu factor yang signifikan dalam pertumbuhan perusahaan sewa guna usaha adalah praktik akuntansi yang tidak mengharuskan penyewa untuk mengapitalisasi pembayaran sewa mendatang dan menampilkannya sebagai kewajiban pada neraca. Fakta ini mendorong perusahaan untuk menggunakan metode sewa guna usaha darpaada mengakuisisi asset melalui utang. Hasilnya adalah rasio utang terhadap ekuitas (debt-equity) yang lebih menarik.
Metode lain yang disebut juga sebagai pendanaan di luar neraca (off the balance sheet financing) adalah menciptakan anak perusahaan yang bergerak dibidang keuangan (financial subsidiary) untuk menangani pendanaan hutang melalui penjualan kredit. Anak perusahaan ini tidak harus dikonsolidasikan dengan induk perusahaannya dalam laporan kepada publik. c. Kredit Pajak Investasi Penanganan akuntansi arus (flow) pada kredit pajak investasi memungkinkan perusahaan untuk mengakui keuntungan penghasilan secara penuhdari kredit pajak investadi dalam tahun ini, sehingga memungkinkan menghasilkan laporan menyesatkan untuk laba periode sekarang. Potensi untuk meningkatkan keuntungan dari hal ini dilakukan melalui pembelian asset. d. Perlindungan Melalui Pengungkapan Terdapat bermacam-macam lingkungan lain yang mungkin menambahkan kekuatan terhadap bias perilaku yang tidak diinginkan dari prinsip-prinsip akuntansi. Hal ini meliputi kasus di mana korporasi gagal mencapai standar laba per lembar saham, sehingga manajemen mencari peluang untuk meningkatkan laba melalui alat akuntansi. Dibutuhkan manajemen yang kuat untuk menahan godaan dalam menggunakan metode tersebut, khususnya ketika pesaing mengadopsi metode ini guna mendorong labanya. Lingkungan umum lainnya adalah perusahaan yang berusaha untuk memproyeksikan citra keuangan khusus. e. Pengendalian Internal Beberapa perusahaan menggunakan prinsip-prinsip ini untuk tujuan penyalahgunaan internal, sehingga berlawanan dengan penggunaan untuk laporan pemegang saham. Berikut terdapat empat contoh pengendalian internal: 1. Terdapat sangat sedikit perusahaan yang mengungkapkan kapitalisme sewa guna usaha pada laporan keuangan publiknya, meskipun sebagian besar dari perusahaan
tersebut menuntut manajer divisional untuk mengapitalisasi sewa guna usaha pada laporan divisional. Karena manajemen mengakui bahwa manajer dapat memperbaiki tingkat pengembalian perusahaan terhadap total asset melalui sewa guna usaha. 2. Beberapa perusahaan membolehkan manajer divide untuk mengaptalisasi
biaya
penelitian
dan
pengembangan,
terutama karena hal ini cenderung membuat mereka keluar dari “kesulitan” 3. Untuk alasan serupa sejumlah perusahaan menggunakan depresiasi dipercepat untuk tujuan internal 4. Tampaknya, beberapa perusahaan memberi kredit pada divisi untuk kredit pajak invetasi yang mengalir dari investasi mereka. Alasannya, karena hal ini dapat mendorong divisi melakukan investasi terutama untuk mendapatkan kredit pajak. Contoh tersebut menimbulkan pertanyaan, yaitu bahwa jika metode akuntansi tidak menjadi ukuran kinerja yang bermanfaat bagi tujuan internal karena: (1) memotivasi manajer untuk mengikuti kebijakan operasi yang tidak diinginkan perusahaan (2) memeberi manajemen puncak ukuran kinerja menyesatkan atau (3) gagal untuk mencerminkan prospek perusahaan. KASUS Kasus yang terjadi pada akuntan publik Justinus Aditya Sidharta yang diindikasi melakukan kesalahan dalam mengaudit laporan keuangan PT Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada laporan keuangan Great River
yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan arus kas dan gagal dalam membayar utang. Sehingga berdasarkan investigasi tersebut BAPEPAM menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Great River ikut menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28 November 2006 telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporanAudit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Great River tahun 2003.