ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PNEUMOTHORAKS
KELOMPOK 5 1.
ANGG ANGGUN UN MAKK MAKKYA YANA NA ASPA ASPAR R
(041 (04101 0100 0030 3033 33))
2.
ESY LESTARI
(04101003022)
3.
HARNANDA GINTING
(04101003055)
4.
MALA SANTIKA
(04101003010)
5.
NURUL DWI KHAIRANI
(04101003043)
6.
PRATIWI ARUM SARI
(04101003023)
7.
RAHMA METALIA
(04101003046)
8.
RONITA SITANGGANG
(04101003030)
9.
ULFA NOVITA SARI
(04101003057)
10. YUDO PRATAMA
(04101003011)
AM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGR AM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2012/2013
PNEUMOTHORAKS
A. Pengertian Pneumothoraks
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan terdapatnya udara di dalam rongga pleura (Arif Muttaqin, 2012). Pneumothoraks adalah rongga yang berisi udara atau gas yang menyebabkan sebagian atau seluruh paru kolaps (M. Yusuf Wibisani et all, 2004).
B. Etiologi dan Patogenesis Pneumothoraks
Saat inspirasi, tekanan intrapleura lebih negatif daripada tekanan intrabronkhial, sehingga paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks dan udara dari luar yang tekanannya nol (0) akan masuk ke bronkhus hingga sampai ke alveoli. Saat ekspirasi, dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intrapleura akan lebih tinggi dari tekanan di alveolus ataupun di bronkhus, sehingga udara ditekan keluar melalui bronkhus. Tekanan intrabronkhial meningkat apabila ada tahanan jalan napas. Tekanan intrabronkhial akan lebih meningkat lagi pada waktu batuk, bersin, atau mengejan, karena pada keadaan ini glotis tertutup. Apabila di bagian perifer dari bronkhus atau alveolus ada bagian yang lemah, bronkhus atau alveolus itu akan pecah atau robek. Pneumothoraks terjadi karena adanya kebocoran di bagian paru yang berisi udara melalui robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini berhubungan dengan bronkhus. Pelebaran alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli kemudian membentuk suatu bula yang disebut granulomatous fibrosis. Granulomatous adalah salah satu penyebab tersering terjadinya pneumothoraks, karena bula tersebut berhubungan dengan adanya obstruksi empiema. Secara singkat proses terjadinya pneumothoraks adalah sebagai berikut : 1. Alveoli disangga oleh kapiler yang lemah dan mudah robek dan udara masuk ke arah jaringan peribronkhosvaskular. Apabila alveoli itu melebar, tekanan dalam alveoli akan meningkat. 2. Apabila gerakan napas kuat, infeksi dan obstruksi endhobronkhial adalah faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan.
3. Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyahkan jaringan fibrosis di peribronkhosovaskular ke arah hilus, masuk mediastinum, dan menyebabkan pneumothoraks.
C. Tanda dan Gejala Pneumothoraks
1. Aktivitas Gejala : Dipsnea dengan aktivitas ataupun istirahat 2. Sirkulasi Tanda
:
Takikardi,
Frekuensi
tak
teratur,
disritmia,
tekanan
darah
(Hipotensi/hipertensi) 3. Integritas Ego Tanda : Ketakutan, gelisah. 4. Nyeri/Kenyamanan Gejala (tergantung pada ukuran/area yang terlibat) : a. Nyeri dada, meningkat karena pernapasan, batuk b. Timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan c. Tajam dan nyeri, menusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu, abdomen (effusi pleural) Tanda : a. Berhati-hati pada area yang sakit b. Perilaku distraksi c. Mengkerutkan wajah 5. Pernapasan Gejala : Kesulitan napas, batuk (mungkin gejala yang ada), riwayat bedah dada/trauma : penyakit paru kronis, inflamasi/infeksi paru (empiema/effusi). Tanda : takipnea, bunyi napas menurun atau tak ada, perkusi dada : hiperresonan di atas area berisi udara.
D. Klasifikasi Pneumothoraks
Pneumothoraks dibagi berdasarkan penyebab dan jenis fistula. Klasifikasi pneumothoraks berdasarkan penyebab dibagi menjadi pneumothoraks spontan (primer dan sekunder) dan pneumothoraks traumatik (Iatorgenik dan bukan
iatorgenik), sedangkan klasifikasi pneumothoraks berdasarkan jenis fistulanya dibagi menjadi pneumothoraks terbuka, pneumothoraks tertutup dan pneumothoraks ventil. Pneumothoraks berdasarkan penyebab : 1. Pneumothoraks Spontan a. Primer (Tidak diketahui dengan pasti penyebabnya) Pneumothoraks spontan diperkirakan terjadi karena ruptur dari bleb emfisematous di sub pleura, yang biasanya terletak diapeks paru-paru. Patogenesis terjadinya bleb subpleural ini masih belum jelas. Bleb-bleb seperti ini dihubungkan dengan abnormalitas congenital, inflamasi dan bronkiolus,
dan
gangguan
pada
ventilasi
colateral.
Pasien
dengan
pneumothoraks primer spontan biasanya lebih tinggi dan lebih kurus daripada
orang
control.
Selain
itu,
terdapat
suatu
kecenderungan
berkembangnya pneumothoraks primer spontan karena diwariskan. b. Sekunder (Latar belakang penyakit paru) Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyebab tersering pada pasien dengan pneumothoraks spontan sekunder, walau sebenarnya hampir semua penyakit paru-paru telah diasosiasikan dengan pneumotoraks spontan sekunder. Pada suatu penelitian denfan 505 pasien dengan pneumothoraks spontan sekunder, 348 pasien memiliki PPOK, 93 memilki tumor, 25 sakkoidosis, 9 tuerkulosis, 16 memiliki infeksi pulmo lainnya, dan 13 memiliki penyakit lain. Salah satu penyebab tersering dari pneumothoraks spontan sekunder adalah infeksi Pneumocystis jirovecii (dulu disebut carinii) pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Selain itu, terdapat insidensi tinggi penumothoraks spontan pada pasien dengan sistik fibrosis.
2. Pneumothoraks Traumatik Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Iatrogenik (Akibat tindakan medis) Aksidental (terjadi karena kesalahan/komplikasi tindakan). Misalnya pada tindakan parasentesis dada, biopsy pleura, biopsy trasbronkial, biopsy/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi vena sentralis, barotraumas (ventilasi mekanik) b. Bukan Iatrogenik (Akibat jejas kecelakaan) Insidensi terjadinya pneumothoraks setelah adanya jejas tumpul tergantung dari derajat keparahan trauma. Pneumothoraks traumatik dapat terjadi karena trauma dada yang penetrasi maupun tidak penetrasi. Pada trauma dada penetrasi, mekanisme pneumothoraks dapat dengan mudah dimengerti karena luka memperbolehkan udara untuk masuk ke dalam rongga pleura melalui rongga dada atau melalui pleura viseralis dari pohon trakeobronkial. Pada trauma dada yang tidak penetrasi, suatu pneumothoraks dapat terjadi apabila pleura viseralis terlaserasi secara sekunder karena adanya fraktur atau dislokasi iga. Walaupun demikian, pada mayoritas pasien dengan pneumotoraks sekunder terhadap trauma tidak penetrasi tidak terdapat assosiasi dengat fraktur iga. Pada kasus seperti itu, dipikirkan bahwa kompresi dada tiba-tiba, secara mendadak meningkatkan tekanan alveolar, yang dapat menyebabkan rupture alveolar. Apabila sudah terjadi rupture alveolar, udara dapat memasuki ruang interstitial dan berjalan ke pleura viseralis atau mediastinum. Suatu pneumothoraks terjadi baik saat ruptu pleura viseralis maupun mediastinalis yang memperbolehkan udara untuk memasuki rongga pleura.
Pneumothoraks berdasarkan jenis fistula : 1. Pneumothoraks Terbuka Pneumothoraks yang terjadi akibat adanya hubungan terbuka antara rongga pleura dan bronkus dengan lingkungan luar. Dalam keadaan ini, tekanan intrapleura sama dengan tekanan barometer (luar). Tekanan intrapleura di sekitar nol (0) sesuai dengan gerak pernapasan. Pada waktu inspirasi tekanannya negative dan pada waktu ekspirasi tekanannya positif
2. Pneumothoraks Tertutup Rongga pleura tertutup dan tidak berhubungan dengan lingkungan luar. Udara yang dulunya ada di rongga pleura (tekanan positif) karena direabrorbsi dan tidak ada hubungan lagi dengan dunia luar maka tekanan udara di rongga pleura menjadi negatif. Tetapi paru belum bisa berkembang penuh. Sehingga masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya sudah normal. 3. Pneumothoraks Ventil Ini merupakan pneumothoraks yang mempunyai tekanan positif berhubung adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Udara melalui bronkhus terus ke percabanngannya dan menuju arah pleura yang terbuka. Pada waktu inspirasi, udara masuk ke rongga pleura yang pada permulaannya masih negatif.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran radiologis pneumothoraks akan tampak hitam, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, tetapi berbentuk lobuler yang sesuai dengan lobus paru. Adakalanya paru yang mengalami kolaps tersebut, hanya tampak seperti massa yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besarnya kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan. Perlu diamati ada tidaknya pendorongan. Apabila ada pendorongan jantung atau trakhea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumothoraks ventil dengan tekanan intrapleura yang tinggi.
F. Mapping Pneumothoraks
Faktor predisposisi : Infeksi Paru
Kebocoran di bagian paru yang berisi udara melalui robekan atau pecahnya pleura Robekan ini berhubungan dengan bronchus. Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang kemudian membentuk suatu bulla dan bulla pecah menembus pleura. Adanya hubungan langsung antara rongga pleura dengan udara luar Tekanan positif intra pleura
Gangguan ventilasi
Ketidakefektif an Jalan Napas
Terpasang bullow drainase / WSD Respon nyeri adanya luka pasca pemasangan bullow drainase
Nyeri Resiko tinggi infeksi
Keluhan tidak nafsu makan sehingga intake nutrisi tidak adekuat dan penurunan berat badan Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
G. Komplikasi dan Prognosis Pada Pneumothoraks
Komplikasi : 1. Tension Pneumothoraks Tension pneumothoraks : komplikasi ini terjadi karena tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih hebat, mediastinum tergeser kesisi lain dan mempengaruhi darah vena ke atrium kanan. Pada foto sinar tembus dada terlihat mediastinum terdorong dan diafragma pada sakit tertekan kebawah. Keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus segera di tangani kalau tidak akan berakibat fatal . 2. Pio-Pneumothoraks Berarti terdapatnya pneumothorak disertai empiema secara bersamaan pada satu sisi paru. 3. Hidropneumothoraks / Hemo-pneumothoraks Pada kurang lebih 25% penderita pneumathoraks ditemukan juga sedikit cairan dalam pleuranya. Cairan ini biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah). Hidrothoraks dapat timbul dengan cepat setelah terjadinya pneumothoraks pada kasus-kasus trauma/perdarahan intrapleura atau perforasi esophagus (cairan lambung masuk ke dalam rongga pleura). 4. Pneumonediatinum dan emfisema subkutan Pneumomediastinum
dapat
ditegakkan
dengan
pemeriksaan
foto dada.
Insidensinya adalah 1% dari seluruh pneumothoraks. Kelainan ini dimulai robeknya alveoli kedalam jaringan interstitium paru dan kemungkinan diikuti oleh pergerakan udara yang progresif kearah mediastinum (menimbulkan pneumomediastinum) dan kearah lapisan fasia otot-otot leher (menimbulkan emfisema subkutan). 5. Pneumothoraks simultan bilateral Pneumothoraks yang terjadi pada kedua paru secara serentak ini terdapat pada 2% dari seluruh pneumothoraks, keadaan ini timbul sebagai lanjutan pneumomediastinum yang
secara sekunder berasal dari emfisem jaringan
interstitial paru. Sebab lain bias juga dari emfisem mediastinum yang berasal dari perforasi esophagus.
6. Pneumothoraks kronik Menetap selama lebih dari 3 bulan. Terjadi bila fistula bronco-pleura tetap membuka. Insidensi pneumothoraks kronik dengan fistula bronkopleura ini adalah 5% dari seluruh pneumothoraks. Faktor penyebab antara lain adanya perlengkapan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap terbuka, adanya fistula bronkopleura yang melalui bulla atau kista, adanya fistula bronco-pleura yang melalui lesi penyakit seperti nodul rheumatoid atau tuberkuloma. 7. Pneumothoraks ulangan
Prognosis : Prognosis tergantung dari banyak faktor, antara lain umur penderita, etiologi, penyakit penyerta atau juga underlying disease-nya, dan kecepatan pengobatan. Hampir semua penderita dapat diselamatkan jika penanganan dapat dilakukan secara dini. Sekitar separuh kasus pneumotoraks spontan akan mengalami kekambuhan. Tidak ditemukan komplikasi jangka panjang setelah tindakan penanganan yang berhasil.
H. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan pneumothoraks bergantung pada jenis pneumothoraks yang dialami, derajat kolaps, berat ringannya gejala, penyakit dasar dan penyulit yang terjadi saat melaksanakan pengobatan tersebut diantaranya dapat dilakukan tindakan medis atau tindakan bedah. 1. Farmakologi a. Terapi O2 untuk meningkatkan reabsorpsi udara dari ruang pleura. b. Drainase sederhana untuk aspirasi udara pleura menggunakan kateter berdiameter kecil (seperti 16 gauge angio-chateter/ kateter drainase yang lebih besar). c. Penempatan pipa kecil yang dipasang satu jalur pada katup helmic untuk memberikan perlindungan terhadap serangan tension pneumotoraks. d. Obat simptomatis untuk keluhan batuk dan nyeri dada.
2. Pemeriksaan radiologi Peranan pemeriksaan radiologi antara lain : a. Kunci diagnosis b. Penilaian luasnya pneumotoraks c. Evaluasi penyakit-penyakit yang menjadi dasar. Pada pneumotoraks yang sedang sampai berat foto konvensional (dalam keadaan inspirasi) dapat menunjukkan adanya daerah yang hiperlusen dengan pleural line di sisi medialnya. Tetapi pada pneumotoraks yang minimal, foto konvensional kadangkadang tidak dapat menunjukkan adanya udara dalam rongga pleura, untuk itu diperlukan foto ekspirasi maksimal, kadang-kadang foto lateral dekubitus. Hinshaw merekomendasikan membuat foto pada 2 fase inspirasi dan ekspirasi, karena akan memberikan informasi yang lebih lengkap tentang :
Derajat/ luasnya pneumotoraks
Ada/ tidaknya pergeseran mediastinum
Menunjukkan adanya kista dan perlekatan pleura lebih jelas dari pada foto konvensional.
3. Tindakan Medis Tindakan observasi, yaitu dengan mengukur
tekanan intra pleural
menghisap udara dan mengembangkan paru. Tindakan ini terutama di tujukan pada
penderta
pneumothoraks
tertutup
pneumothoraks ventil tindakan utama
atau
terbuka
sedangkan
untuk
yang harus dilakukan dekompresi
terhadap tekanan intra plura yang tinggi tersebut yaitu dengan membuat hubungan dengan udara luar. 1. Tindakan dekompresi a. Membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan cara : Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk ke rongga pleura dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena udara keluar melalui jarum tersebut. b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
Dapat memakai infus set
Jarum abbocath
Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (thoraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantara troakar atau dengan bantuan klem penjepit (pean) pemasukan pipa plastik (thoraks kateter) dapat juga dilakukan me;lalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit dari sela iga ke 4 pada garis aksila tengah atau pada garis aksila belakang. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke 2 dari garis klavikula tengah. Selanjutnya ujung selang plastik didada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik di dada dan pipa kaca WSD di hubungkan melalui pipa plastik lainnya posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm dibawah permukkaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut. 2. Tindakan bedah Dengan pembukaan dinding thoraks melalui operasi duicari lubang yang menyebabkan pneumothoraks dan dijahit.
Pada pembedahan, apabila dijumpai adanya penebalan pleura yang menyebakan
paru
tidak
dapat
mengembang,
maka
dilakukan
pengelupasan atau dekortisasi.
Dilakukan reseksi bila ada bagian paru yang mengalami robekan atau bila ada fistel dari paru yang rusak. Sehingga paru tersebut tidak berfungsi dan tidak dapat dipertahankan kembali.
Pilihan terakhir dilakukan pleurodesis dan perlekatan antara kedua pleura ditempat fistel.
ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMOTHORAKS
Case 5 :
Tn. R, 50 tahun, dirawat dengan keluhan demam, menggigil dan berkeringat jika malam hari. Klien juga mengeluh sesak napas terutama setelah naik tangga. Nyeri pada pleural juga dirasakan klien. Klien tidak nafsu makan dan berat badannya menurun. Pada klien telah dilakukan pungsi paru dan pemasangan WSD dengan hasil cairan jernih, terdapat peningkatan protein, leukosit terutama limfosit serta penurunan glukosa. Vital sign klien TD 110/70 mmHg, HR 88 x /menit, RR 27 x/menit, suhu 38°C. Sebelumnya klien pernah dirawat dengan infeksi paru-paru.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Anamnesis Nama
: Tn. R
Umur
: 50 th
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Keluhan utama meliputi sesak napas terutama setelah naik tangga dan nyeri pada pleura. 2. Riwayat Penyakit Saat Ini Klien mengeluh demam, menggigil, dan berkeringat jika malam hari. Klien juga merasakan sesak napas terutama setelah naik tangga, nyeri pada pleura juga dirasakan oleh Klien. Klien tidak nafsu makan dan berat badannya menurun. Pada klien telah dilakukan pungsi paru dan pemasangan WSD. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya pasien pernah dirawat dengan infeksi paru-paru. 4. Pemeriksaan Fisik -
TTV : Suhu : 38°C
-
Sistem Pulmonal : Subjektif : Nyeri pada pleura dan sesak napas terutama setelah naik tangga. Objektif : RR : 27 x/menit, terpasang WSD
-
Sistem Kardiovaskuler : Subjektif : -
Objektif : HR : 88 x/menit, TD : 110/70 mmHg -
Sistem Pencernaan : Subjektif : Akibat sesak napas, pasien mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan.
5. Data Penunjang Hasil Lab : cairan jernih, terdapat peningkatan protein, leukosit terutama limfosit serta penurunan glukosa.
Penatalaksanaan Medis : 1. Antibiotika 2. Analgetika 3. Pemasangan pipa WSD (Water Sealed Drainage) 4. Photo Thoraks
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal.karena trauma 2. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder 3. Resiko terhadap transmisi infeksi yang berhubungan dengan tindakan infasive pemasangan WSD 4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal.karena trauma. Tujuan : Pola pernapasan efektif Kriteria hasil : -
Memperlihatkan frekuensi napas yang efektif
-
Mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru
Ditandai dengan : DS : Sesak napas terutama setelah naik tangga. DO : RR : 27 x/menit INTERVENSI a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
b.
Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
c.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru paru.
d.
Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
e.
Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam : 1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
2)
3)
Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan. Observasi gelembung udara botol penempung.
•
RASIONAL Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
•
Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
•
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
•
Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ ansietas.
1)
Mempe rtahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2)
Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
3)
gelemb ung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan
ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu. 4)
5)
f.
Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
4)
Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5)
Bergun a untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.
•
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain unutk engevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Catat karakter / jumlah drainage selang dada.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi. Pemberian antibiotika. • Pemberian analgetika. • Fisioterapi dada. • Konsul photo toraks. •
2. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan. Tujuan : Nyeri berkurang / hilang. Kriteria Hasil :
- Nyeri berkurang / dapat diadaptasi -
Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan / menurunkan nyeri.
Ditandai dengan : DS : Nyeri pada pleura INTERVENSI RASIONAL a. Jelaskan dan bantu klien a. Pendekatan dengan menggunakan dengan tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi lainnya nonfarmakologi dan non invasif. telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
b.
Ajarkan Relaksasi : b. Akan melancarkan peredaran darah, Tehnik-tehnik untuk menurunkan sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan ketegangan otot rangka, yang terpenuhi, sehingga akan mengurangi dapat menurunkan intensitas nyeri nyerinya. dan juga tingkatkan relaksasi masase.
c.
d.
e.
f.
c. Mengalihkan perhatian nyerinya ke halAjarkan metode distraksi hal yang menyenangkan. selama nyeri akut. d. Istirahat akan merelaksasi semua jaringan Berikan kesempatan sehingga akan meningkatkan kenyamanan. waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil. e. Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang. Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik. f. Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif Observasi tingkat nyeri, untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan respon motorik klien, 30 dan melakukan intervensi yang tepat. menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
3. Resiko terhadap transmisi infeksi yang berhubungan dengan tindakan infasive pemasangan WSD. Tujuan : Tidak terjadi infeksi selama perawatan Kriteria Hasil :
-
Tidak ada tanda-tanda infeksi
-
TTV normal (suhu 36-37ºC)
-
Leukosit (8.000-10.000)
INTERVENSI RASIONAL a. Identifikasi tanda-tanda terjadinya a. Infeksi yang diketahui secara dini mudah infeksi pada pemasangan WSD dan diatasi sehingga tidak terjadi perluasan multiple insisi. infeksi. b. Anjurkan klien dan keluarga ikut b. Perilaku yang diperlukan untuk mencegah menjaga kebrsihan sekitar luka dan penyebaran infeksi pemasangan alat, serta kebersihan lingkungan serta teknik mencuci tangan sebelum tindakan. c. Lakukan perawatan luka pada pemasangan WSD, dan multiple insisi.
c. Dapat membantu menurunkan kontak infeksi nosokomial.
4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen. Tujuan : Terpenuhinya kebutuhan nutrisi. Kriteria Hasil :
-
Peningkatan nafsu makan
-
BB meningkat
INTERVENSI a. Identifikasi faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap hilangnya nafsu makan pasien.
RASIONAL a. Faktor-faktor yang diketahui secara dini mudah diatasi, sehingga nafsu makan meningkat.
b. Berikan umpan balik positif pada pasien yang menunjukkan peningkatan nafsu makan.
b. Reward makan.
c. Berikan makanan yang sesuai dengan pribadi pasien, budaya, dan agama.
c. Makanan sesuai keinginan pasien dapat meningkatkan nafsu makan.
d. Tawarkan kudapan (misalnya, minuman dan buah-buahan segar/jus buah-buahan), bila memungkinkan.
d. Kudapan dapat memicu nafsu makan pasien.
e. Berikan makanan bergizi, tinggi kalori dan bervariasi yang dapat dipilih.
e. Untuk pasien
dapat
meningkatkan
memenuhi
kebutuhan
nafsu
energi
IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya : intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi (keterampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta di dokumentasi intervensi dan respon klien). Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara konkrit dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada klien.
EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dan rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang. Kriteria yang diharapkan dari tindakan keperawatan pada pasien pneumothoraks ini adalah : a.
Mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
b.
Nyeri pada pasien dapat teratasi
c.
Tidak terjadi infeksi selama perawatan, setelah pemasangan WSD.
d.
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
DISCHARGE PLANNING
Tujuan Pemulangan : 1.
Ventilasi/oksigenasi adekuat dipertahankan
2. Komplikasi dicegah/Diatasi 3. Nyeri tak ada/terkontrol 4. Proses penyakit/prognosis dan kebutuhan terapi dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Dongoes, E et all. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Diterjemahkan oleh I Made Kariase et all. EGC : Jakarta. Mason : Muray et all. 2005. Textbook of Respiratory Medicine. Ed 4. Elseiver : Saunders. Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika : Jakarta.
Tua, Paian. 2009. Makalah Askep Pneumotoraks Dan Hemotoraks, (Online), (http://id.scribd.com/doc/29308190/Askep-Pneumotoraks-Dan-Hemotoraks, Diakses 29 april 2013).