IDENTITAS Inisial : Sdr. RA Tgl Pengkajian : 28 Mei 2012 Umur : 34 Th RM No : 14862 Tgl Masuk : 25 Mei 2012 Pendidikan : SMP Jam : 11.45 WIB Agama : Islam Alamat : Gg. Madukoro RT 02/01 Pekuncen, Sempor Kebumen Penanggung Jawab Nama : Tn. J Hub : Ayah Pekerjaan : Buruh Alamat : Gg. Madukoro RT 02/01 Pekuncen, Sempor Kebumen II.
III.
ALASAN MASUK Keluarga mengatakan sejak 4 hari sebelum masuk RSJ klien sering marah – marah, mudah tersinggung, sulit tidur, mengamuk, merusak alat rumah tangga, ketawa sendiri, malas bekerja. FAKTOR PREDISPOSISI 1. Riwayat Penyakit Sekarang Sakit sudah berlangsung ± 11 tahun, ± 10 tahun yang lalu klien opname di RSJ Bogor sembuh terus kerja di Tangerang. ± 4 tahun terakhir tidak mau minum obat dan kumat lagi. Klien tidak pernah melakukan, mengalami, menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal.
2. Riwayat Keluarga Garis keturunan dalam keluarga belum pernah ada anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. IV. FAKTOR PRESIPITASI Putus obat sejak 6 bulan yang lalu dan tidak kontrol lagi V.
VI.
PEMERIKSAAN FISIK Tanda –tanda vital : T : 110/80 mmHg RR : 20 x / menit N menit BB : 40 kg Tidak ada keluhan fisik yang dirasakan klien.
PSIKOSOSIAL
S
: 72 x : 37 0 C
/
1. Genogram Keterangan :
: Klien : Meninggal
: Serumah
: wanita : laki-laki : Penyakit sama dgn klien
Dalam keluarga klien jarang berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain karena merasa malas dan senang menyendiri. Pengambilan keputusan dalam keluarga diambil oleh ayahnya. Dalam pola asuh klien diasuh oleh orang tua sendiri. 2. Konsep diri a. Citra diri Klien menganggap tubuhnya sebuah anugrah dari tuhan. Klien bersyukur dan menerima tubuhnya apa adanya. b. Identitas diri Sebelum sakit, klien pernah sekolah sampai dengan SMP. Setelah klien tamat SMP klien tidak bisa melanjutkan. Klien menerima dirinya sebagai seorang laki-laki tetapi takut untuk menjadi seorang kepala keluarga. c. Peran diri
Klien berusia 34 tahun, klien belum menikah. Klien mengatakan takut untuk berumah tangga karena menurutnya harus memikirkan kebutuhan keluarga. Dalam melaksanakan tugas dirumah klien melakukannya bersama dengan ibunya seperti : menyapu, mencuci piring, mencuci baju dan membantu memasak. Akan tetapi di masyarakat klien kurang dihormati. Klien berperilaku seperti anak – anak. d. Ideal diri Klien berharap agar bisa sembuh dan cepat pulang karena ingin minta maaf pada ibunya dan mencari pekerjaan lagi. e. Harga diri Klien mengatakan tidak ada gangguan untuk berhubungan dengan orang lain. 3. Hubungan Sosial Klien mengatakan bahwa orang yang paling dekat ibunya. Dalam keluarga klien merasa enggan untuk berkomunikasi lebih senang menyendiri di kamar.
4. Spiritual Klien dan keluarganya beragama Islam, klien melakukan ibadah sholat. VII. STATUS MENTAL 1. Penampilan Klien berpenampilan cukup rapi, dalam penggunaan baju sesuai. Klien berbadan kecil, rambut pendek, bersih. 2. Pembicaraan Klien berbicara baik, dapat menjawab pertanyaan, selalu bertanya kapan bisa pulang 3. Aktivitas Motorik Klien terlihat gelisah, tegang, sering berpindah – pindah 4. Afek Appropriate (tepat) 5. Interaksi selama wawancara Saat wawancara klien kooperatif, kontak mata dengan lawan bicara baik, klien tampak curiga. 6. Proses pikir Pada saat wawancara klien mengalami sirkumtansial. 7. Isi pikir Klien tidak pernah mempunyai pikiran yang aneh-aneh yang dirasakan saat ini hanya gelisah menunggu kedatangan keluarga. 8. Tingkat Kesadaran Klien tampak bingung dan tidak terfokus. Klien mampu mengingat dengan keluarganya, hari dan waktu, ketika diajak kenalan klien mampu mengingat nama orang lain.
9. Memori Klien mengalami gangguan daya ingat jangka pendek sehingga klien lupa kejadian yang telah terjadi dalam jangka waktu seminggu. 10. Tingkat Konsentrasi dan berhitung Klien mampu berkomunikasi, tidak mampu berkonsentrasi lama dan sering memutuskan pembicaraan secara sepihak, mampu berhitung. 11. Daya tilik diri Klien sadar bahwa dirinya telah berbuat salah karena telah berperilaku kekerasan dan merasa menyesal akan tetapi klien tidak tahu tujuannya di RSJ. VIII. PERSIAPAN PULANG Makan : klien mampu makan sendiri dan mandiri BAB/BAK : Klien mampu BAB/BAK di temaptnya Mandi : Klien mampu mandi 2x sehari dengan mandiri Berpakaian : klien mampu mengambil, memilih dan memakai pakaian Istirahat dan tidur: Tidur siang dari jam 13.30-15.00 Tidur malam 22.00-04.00 Penggunaan obat: Klien mampu untuk meminum obat tanpa bantuan orang lain tetapi masih belum mengerti untuk penggunaan obat yang benar Pemeliharaan kesehatan: setelah pulang nanti klien akan berusaha control rutin. Aktivitas dalam rumah : mandiri tanpa bantuan oang lain Aktivitas diluar rumah : klien pergi keluar rumah dengan menggunakan motor secara mandiri IX.
MEKANISME KOPING Klien jika mempunyai masalah lebih senang berdiam diri dikamar, marah - marah. Jika sudah tidak tahan lagi klien kemudian menjadi mengamuk atau merusak barang-barang yang ada.
X.
MASALAH PSIKOSOSIAL Menurut keluarga semenjak klien marah-marah dan mengamuk, lingkungan tidak mau menerima klien dan hal ini membuat klien menjadi lebih menarik diri. PENGETAHUAN Klien tidak mengetahui tentang penyakitnya, tanda dan gejala kekambuhan, obat yang diminum dan cara menghindari kekambuhan. Pemahaman tentang sumber koping yang adaptif dan manajemen hidup sehat kurang.
XI.
XII.
ASPEK MEDIK Diagnosa medik Terapi medik Haloperidole
: Skizofrenia tak terinci : Chlorpromazine 1 x 100 mg 2 x 5 mg Triheksifenidile 2 x 2 mg
Rawat Inap di Wisma Gatutkaca
XIII. 1. 2. 3.
DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan Perilaku kekerasan Gangguan konsep diri : harga diri rendah
XIV.
ANALISA DATA NO DATA 1 S: Keluarga mengatakan sejak 4 hari sebelum masuk RS klien mengamuk semakin sering, merusak barang yang ada didekatnya Keluarga mengatakan klien jika mempunyai masalah dan tidak bisa ditahan lagi klien kemudian menjadi mengamuk atau merusak barang-barang yang ada.
MASALAH Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
O : Mata merah, wajah agak merah, pandangan tajam
2
S: Klien mengatakan pernah memukul ibunya Keluarga mengatakan sejak 4 hari sebelum masuk RS klien marah – marah, mengamuk, merusak alat rumah tangga Keluarga mengatakan klien jika mempunyai masalah dan tidak bisa ditahan lagi klien kemudian menjadi mengamuk atau merusak barang-barang yang ada. O: Mata merah, wajah agak merah, pandangan tajam 3 S: Klien mengatakan takut untuk berumah tangga Klien mengatakan merasa bersalah atas perilakunya terhadap ibunya Merasa tidak mampu dan terbatas pengetahuannya O: Kesadaran klien tampak bingung dan tidak terfokus Tampak gelisah Saat berbicara klien sering memutuskan pembicaraan secara sepihak XV.
POHON MASALAH
Perilaku Kekerasan
Gangguan konsep dri : harga diri rendah
Resiko mencederai diri, Orang lain, lingkungan
.......
Resiko Perilaku Kekerasan
Core Problem
.......
effort
Gangguan Konsep Diri: Harga diri rendah ....... cause XVI. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan Perilaku kekerasan 2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah XVII. RENCANA KEPERAWATAN DIAGNOSA TGL TUJUAN KEPERA WATAN 28 Mei Perilaku kekersan Setelah dilakukan tindakan 2012 keperawatan selama 3x 1. 09.00 pertemuan diharapkan pasien 2. dapat mengontrol perilaku 3. kekerasan dengan kreteria hasil 4. : 5. - Membina hubungan saling 6. percaya 7. - Pasien dapat menyebutkan penyebab PK 8. - Pasien dapat menyebutkan tanda gejala PK - Pasien dapat mengidentifikasi 1. PK yang dilakukan - Pasien dapat mengidentifikasi 2. akibat PK - Pasien menyebutkan cara 3. mengontrol PK - Pasien mampu mempraktekkan latihan cara mengontrol PK dengan nafas dalam, pukul bantal atau kasur, secara verbal, secara spiritual dan penggunaan obat dengan benar
INTERVENSI KEPERAWATAN SP I bina hubungan saling percaya identifikasi penyebab marah identifikasi tanda dan gejala PK Identifikasi PK yang dilakukan Identifikasi akibat PK Identifikasi cara kontrol PK Latih cara kontrol PK dengan Fisik I ( nafas dalam ) Bimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP II Evaluasi kemampuan pasien mengontrol PK dengan cara fisik I Latih pasien konrol PK dengan cara fisik II Bimbing pasien emasukkan jadwal kegiatan harian SP III 1. Evaluasi kemampuan pasien mengontrol PK dengan cara fisik I dan II 2. Latih kontrol dengan cara verbal
PK
3. Bimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian 1.
2. 3.
1.
2. 3.
SP IV Evaluasi kemampuan pasien mengontrol PK dengan cara fisik I , II dan verbal Latih kontrol PK dengan cara spiritual Bimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP V Evaluasi kemampuan pasien mengontrol PK dengan cara fisik I , II dan verbal Jelaskan cara kontrol PK dengan minum obat teratur Bimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
XII. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN DIAGNOSA IMPLEMENTASI TGL EVALUASI KEPERA WATAN KEPERAWATAN Selasa Perilaku kekersan SP I: 29 Mei 2012 1. membina hubungan saling S: klien mengatakan namanya 09.00 percaya Rusli suka dipanggil Rusli. O: klien bicara lancar, tampak gelisah dan tidak terfokus A: dapat terbina hubungan saling percaya P: lanjutkan intervensi 2
2. mendiskusikan bersama klien penyebab marah, tanda dan gejala PK, PK yang dilakukan saat marah,akibat PK, cara kontrol PK
S:
klien
mengatakan pernah
memukul ibunya ketika meminta di timang – timang seperti bayi. Klien merasa bersalah dan meminta diajari cara mengontrol marah, O: klien kooperatif, tatapan mata tajam, tampak tegang, klien dapat memahami perilaku kekerasan A: PK dapat terpahami oleh klien
3. mengajarkan cara kontrol P: lanjutkan intervensi 3 PK dengan Fisik I S: klien mengtakan bisa tenang
( tarik nafas dalam )
setelah tarik nafas dalam dan akan mencobanya ketika hendak marah.
4. membimbing pasien O:klien kooperatif, Klien mampu memasukkan dalam jadwal mendemonstrasikan cara fisik I( kegiatan harian tarik nafas dalam) . A:dapat terkontrol PK dengan tarik nafas dalam P: lanjutkan intervensi SP2 -
bimbing
klien
dalam
memasukkan teknik kontrol marah ke jadwal kegiatan harian -
Rabu 30 Mei 2012 09.00
SP II: 1. Memvalidasi masalah. 2. melatih cara kontrol PK dengan Fisik II ( pukul bantal ) 3. membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
ajarkan
teknik
kontrol
marah
dengan fisik 2 (pukul batal ) S
:
klien
mengatakan belum dapat mengontrol
emosi,
dan
akan
mencoba cara control marah yang sudah diajarkan (pukul bantal). O: raut muka tegang, kontak mata baik, tampak gelisah
SP II : 1. memvalidasi masalah. 2. Melatih cara control PK Senin, 04 dengan cara fisik II (pukul Mei 2012 bantal) 09.00 3. Mengikutsertakan klien dalam jadwal kegiatan sehari-hari.
A: SP II belum optimal P: optimalkan SP II,(cara control marah dengan cara fisik II pukul bantal) S:
klien
mengatakan
mengontrol
emosinya
cara
II(pukul
fisik
berusaha
dapat dengan
bantal)dan
melakukannya
saat
sedang marah. O: klien
tampak
senang, klien
mampu mendemontrasikan cara fisik
Selasa, 05 Mei 2012 09.00
SP III 1. Memvalidasi masalah 2. melatih kontrol PK dengan cara verbal 3. membimbing pasien memasukkan dalam jadwal
II
dengan
baik
tanpa
bimbingan. A: SP II tercapai. P: Lanjutkan SP III ( cara control PK dengan cara verbal).
kegiatan harian
S : klien mengatakan masih ingat cara control marah yang sudah diajarkan (tarik nafas dalam dan pukul bantal), klien mengatakan sudah sering berdo’a dan shalat di RSJ O: klien tampak senang, kontak
Rabu, 04 Mei 2012 09.00
SP IV 1. memvalidasi masalah 2. melatih kontrol PK dengan cara spiritual 3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
mata
baik,
Kamis, 04 Mei 2012 09.00
bersedia
membicarakan dengan baik – baik ketika marah A: SP III tercapai P: lanjutkan SP IV (dengan cara spiritual) S
SP V 1. Memvalidasi masalah 2. menjelaskan cara kontrol PK dengan minum obat teratur 3. membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
klien
:
klien
mengatakan sudah dapat mengontrol
emosi,
mencoba
dan
cara
akan control
marah dengan berdo’a dan shalat O: klien tampak senang A: SP II belum optimal P: lanjutkan SP V (dengan cara minum obat teratur) S
: klien
mengatakan
sudah
teratur dalam meminum obat O: klien
tampak
tenang
dan
senang, klien kooperatif A: dapat
menggunakan
secara teratur P: pertahankan kondisi pasien
obat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku kekerassan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrem dari marah atau ketakutan/panik. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan sering dipandang sebagai rentang dimana agresiv verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) disisi yang lain. Suatu keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci atau marah. Hal ini kan mempengaruhi perilaku seseorang berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut terkadang perillaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping yang kurang bagus (Wati, 2010). Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang di ekspresikan dengan melakukan ancaman mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan. Respon tersebut biasanya muncul akibat adanya stressor.Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.Melihat dampak dari kerugian yang di timbulkan, maka penanganan pasien dengan perilaku kekerasan perlu di lakukan secara cepat dan tepat oleh tenaga-tenaga professional (Keliat, Model praktik keperawatan profesional jiwa, 2012). Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain atau secara fisik maupun psikologis ( Berkowitz dalam Hernawati 1993. Hasil riset WHO dan World Bank menyimpulkan bahwa gangguan jiwa dapat mengakibatkan penurunan produktivitas sampai dengan 8,5 %, saat ini gangguan jiwa menempati urutan kedua setelah penyakit infeksi dengan 11,5 % (Dayly lost (1998) dalam Rasmun,2001). WHO menyatakan satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental atau jiwa.Who memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Dalam hal ini, Azrul Azwar (Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes) mengatakan angka itu menunjukan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas, setress, depresi, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja, sampai skizofrenia (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik ( Ketner et al., 1995 dalam Keliat, Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas, 2012). Melihat dampak dari kerugian yang ditimbulkan, maka penanganan pasien dengan perilaku kekerasan perlu dilakukan secara cepat dan tepat oleh tenaga-tenaga profesional. . Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa individu yang sakit jiwa adalah aib dan memalukan, tidak bermoral bahkan tidak beriman.Pada umumnya pasien gangguan jiwa di bawa keluarga ke rumah sakit jiwa atau unit pelayanan kesehatan jiwa lainnya karena keluarga tidak mampu merawat dan terganggu perilaku pasien. Masalah tindakan kekerasan perilaku agresi merupakan kejadian kompleks yang bukan hanya mencakup aspaek perilaku (behavior) tapi merupakan suatu problema kesehatan jiwa yang dapat dialami oleh siapapun. Fenomena social yang terjadi beberapa tahun belakangan ini seperti krisis berkepanjangan, adakan penduduk yang tidak merata karena sulitnya mencari kehidupan layak sehingga penduduk melakukan migrasi (urbanisasi) ke
B. 1.
2. a. b. c. d.
wilayah yang lebih menjanjikan pendapatan layak secara ekonomi seperti di negara Indonesia banyak terjadi PHK, antara lapangan pekerjaan yang sedikit . Berdasarkan latar belakang di atas mengenai gangguan kesehatan jiwa yang salah satunya merupakan perilaku kekerasan maka penulis tertarik untuk menulis makalah dengan judul asuhan keperawatan dengan perilaku kekerasan, guna membantu klien dan keluarga dalam menangani masalah kesehatan yang di hadapi melalui penerapan asuhan keperawatan jiwa. Tujuan Tujuan umum Mahasiswa mampu mengetahui konsep teori dan memberikanAsuhan Keperawatan dan Strategi Pelaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan khusus Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan pengertian perilaku kekerasan Mahasiswa mampu mengetahui Etiologi dari Perilaku Kekerasan Mahasiswa mampu mengetahui Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan Mahasiswa mampu memberikan Asuhan keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan meliputi pengkajian, pohon masalah, diagnosa keperawatan serta tindakan keperawatan
BAB II TINJAUAN TEORI A. PROSES TERJADINYA MASALAH a. Pengertian Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang dimana melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Wati, 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis.Berdasarkan definisi ini, perilaku kekerasan dapat di lakukan secara verbal di arahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu perilaku kekrasan saat sedang berlangsung atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).(Keliat, Keperawatan kesehatan jiwa komunitas, 2012) Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang di hadapi oleh seseorang yang di tunjukan dengan perilaku actual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri orang lain maupun lingkungan secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Menurut Berkowizt dalam buku Yosep 2011). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain ( Menurut Towsend dalam buku Yosep 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan di klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Menurut Maramis dalam buku Yosep 2011).
b. Tanda dan gejala Data subyektif : 1. mengatakan mudah kesal dan jengkel , 2. merasa semua barang tidak ada harganya sehingga dibanting-banting. ( keliat, proses keperawatan kesehatan jiwa, 1998 ) Data obyektif : 1. Muka merah dan tegang 2. Pandangan tajam 3. Mengatupkan rahang dengan kuat 4. Menegepalkan tangan 5. Jalan mondar-mandir 6. Bicara kasar 7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak 8. Mengancam secara verbal atau fisik 9. Melempar atau memukul benda/ orang lain 10. Merusak barang atau benda 11. Tidak memiliki kemampuan mencegah/ mengendalikan perilaku kekerasan (Keliat, Keperawatan kesehatan jiwa komunitas, 2012).
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Menurut Fitria (2009) tanda dan gejala perilaku kekerasan diantaranya adalah : Fisik : mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang serta postur tubuh kaku. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara dengan nada keras, kasar dan ketus. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri, atau orang lain, merusak lingkungan, amuk atau agresif. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut. Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan kreatifitas terhambat. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran. Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual. Menurut Direja (2011) tanda dan gejala pada pasien data yang perlu dikaji adalah : masalah keperawatan data yang perlu dikaji Perilaku kekerasan Subjektif 1. Klien mengancam. 2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor. 3. Klien mengatakan dendam dan
jengkel. 4. Klien mengatakan ingin berkelahi. 5. Klien menyalahkan dan menuntut. 6. Klien meremehkan. Objektif 1. Mata melotot/pandangan tajam. 2. Tangan mengepal. 3. Rahang mengatup. 4. Wajah memerah dan tegang. 5. Postur tubuh kaku. 6. Suara keras.
1. a)
1)
2)
3)
4)
5)
c. Etiologi Faktor predisposisi Teori biologi Beardasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus ternyata menimbulkan prilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbic (untuk emosi dan perilaku) lobus frontal (untuk pemikiran rasional), lobius temporal (untuk interprestasi indra penciuman dan memori) akan menimbulakn mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada disekitarnya. Neurologic faktor, beragam komponen dari sistem saraf seperti synap, neurotransmitter, dendrit, axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yamg akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif. Genetic faktor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karkotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif. Cyrcardian Rhytm (irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia menghalangi peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pkerjaan sekitar jam 9 dan jam 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untul bersikap agresif. Biochemistry faktor (Faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmiter di otak (epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang di anggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui implus neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norephinephrin serta penurunan serotonin dan GABA pada cairan cerebospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif. Brain Area dirsorder, gangguan pada sistem imbik dan lobus temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilesi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b) Faktor psikologis 1) Teori Psikoanalisa
Agresif dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang (life span hystori). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpusan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapatkan kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cendurung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompesasi adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaanya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan. 2) Imitation, modeling, and information processing theory: Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolelir kekerasan.Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari madia atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan pamukulan pada boneka dengan raward positif (makin keras pukulanya akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara mengasihii dan mencium boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik belainya mendapat hadiah coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya. 3) Learning Theory Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan terdekatnya.Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresifitas lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan. (Yosep, 2011)
1) 2) 3) 4) c)
Menurut Farida (2010)faktor predisposisi berdasarkan faktor psikologis perilaku kekerasan meliputi : Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan untuk maengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi PK. Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang tidak menyanangkan. Frustasi Kekerasan dalam rumah atau keluarga. Factor sosial budaya. Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah, rebutan uang receh, sesaji atau kotoran kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang cenderung mengarah pada kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sikap agresif dan ingin menang sendiri.Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu dengan maraknya demontrasi,film-film kekerasan, mistik tahayul dan perdukunan (santet, teluh) dalam tayangan televisi (Yosep, 2011). Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajari. Sesuai dengan teori menurut bandura bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Factor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan potdapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.(Wati, 2010).
c) Aspek Religiusitas Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresifitas merupakan dorongan dan bisikan syetan yang menyukai kerusakan agar menusia menyesal (devil support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan syetan yang dituruti masunia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan norma agama (super ego) (Yosep, 2011). 2. Faktor presipitasi Menurut Yosep (2011) Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan: a) Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya. b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi. c) kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuati dalam keluarga serta tidak membisakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. d) ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa. e) adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi. f) kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga. Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa reancam, baik berupa imjury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa factor pencetus injury perilkau kekerassan adalah sebagai berikut(Wati, 2010) : a) Klien: kelemahan fisik, keputasasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan. b) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, mersa terancam baik internal dari permasalan diri klien sendiri maupun eksternal dari lingkungan. c) Lingkungan: panas, padat, dan bising. d. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang di hadapi oleh seseorang.Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.Melihat dampak dari kerugian yang di timbulkan, penanganan pasien perilaku kekerasan perlu di lakukan secara tepat dan cepat oleh tenaga yang professional(Wati, 2010). Kaji Faktor predisposisi dan presipitasi, serta kondisi klien sekarang. Kaji riwayat keluarga dan masalah yang dihadapi klien. Jelaskan tanda dan geala klien pada tahap marah, krisis atau perilaku kekerasan, dan kemungkinan bunuh diri.Muka merah, tergang, pandangan mata tajam, mondar mandir, memukul, memaksa, irritable, sensitive dan agresif. Fokus pengkajian pada pasien dengan perilaku kekerasan meliputi : 1) Pengumpulan data Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan psiritual.
a) Aspek biologis Respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, taki kardi, muka merah, pupil menebal, pengeluaran urine meningkat. Paad gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatuk tangan di kepel, tubuh kaku dan reflek cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang di keluarkan saat marah bertambah. b) Aspek emosional Individu yang marah karena tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, ngamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut. c) Aspek intelektual Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran pasca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya di olah dalam proses intelaktual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara pasien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan bagai mana informasi di proses, di klarifikasi dan di integrasikan. d) Aspek sosial Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep, rasa percaya, dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien sering kali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku orang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan. e) Aspek spiritual Kepercayaan nilai moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang di manifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut; aspek fisik terdiri dari muka merah, pandangan tajam, napas pendek, dan cepat, berkeringat sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi: tidak adekuat, tidak aman, debdam, jengkel. Aspek intelektual : mendominasi bawel , sarkasme, berdebat, meremehkan. Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor. Perawat perlu memahami dan membedakan berbagai perilaku yang ditampilkan klien. Hal ini dapat di analisa dariperbandingan berikut(Yosep, 2011) : Aspek Pasif Asertif Agresif Isi Negatif merendahkan Positif menawarkan Menyombongkan pembicaraan diri misalnya : diri misalnya : “saya diri, merendahkan “bisakah saya mampu, saya bisa, orang lain, melakukan hal itu ? anda boleh, anda misalnya : “kamu bisakah anda dapat”. pasti tidak bisa, melakukannya ?”. kamu selalu melanggar, kamu tidak
Tekanan suara Posisi badan Jarak
Penampilan Kontak mata
pernah menurut, kamu tidak akan pernah bisa”. Keras ngotot
Lambat. Mengeluh
Sedang
Menunduhkan kepala
Tegap dan santai
Kaku condong kedepan Menjaga jarak dengan Mempertahankan Siap dengan jarak sikap mengabaikan jarak yang nyaman akan menyerang orang lain Loyo tidak dapat Sikap tenang Mengancam, tenang posisi menyerang Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata meletot dan tidak kontak mata sesuai dipertahankan dengan hubungan
Format pengkajian pada pasien risiko perilaku kekerasan Berikan tanda centang pada kolom yang sesuai dengan data pada pasien Pelaku/ 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
usia korban/usia saksi/usia Aniaya fisik [ ][ ] Aniaya seksual [ ] [ ] [ ] [ ] Penolakan [ ][ ] Kekerasan dalam keluarga [ ][ ] Tindakan criminal [ ][ ] Aktivitas motoric [ ] lesu [ ] tegang [ ] gelisah [ ] agitasi [ ] tik [ ] grimasen [ ] tremor [ ] kompulsif Interaksi selama wawancara [ ] bermusuhan [ ] kontak mata kurang [ ] tidak kooperatif [ ] defensif [ ] mudah tersinggung [ ] curiga
[ ][ ] [ ]
[ ] [ ]
[ ][ ] [ ][ ] [ ][ ]
[ ][ ] [ ][ ] [ ][ ]
[
]
2. Pohon Masalah Stuart dan Sundeen (1997) dalam buku Iyus Yosep, 20111 mengidentifikasikan pohon masalah perilaku kekerasan sebagai berikut : Koping keluarga tidak efektif Inefektif proses terapi
Berduka disfungsional Isolasi sosial Gangguan harga diri kronis Perubahan persepsi sensori halusinasi Perilaku kekerasan Risiko tinggi mencederai orang lain 3. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan di tetapkan sesuai dengan data yang di dapat. Diagnose keperawatan risiko perilaku kekerasan di rumuskan jika pasien saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan, tetapi pernah melakukan perilaku kekerasan danbelum mempunyi kemampuan menecegah/mengendalikan perilaku kekerasan tersebut. Diagnose keperawatan yang biasa muncul pada pasien dengan perilaku kekerasan, Menurut(Wati, 2010)Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan 1. Resiko cedera 2. Perubahan sensori dan persepsi: halusinasi 3. Koping individu inefektif 4. Tindakan keperawatan Setelah menegakan diagnosa keperawatan perawat melakukan beberapa tindakan keperawatan, baik pada pasien maupun keluarganya. Tindakan keperawatan pada pasien Tujuan keperawatan 1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan 2) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan 3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah di lakukannya 4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang di lakukannya 5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/ mengendalikan perilaku kekerasan 6) Pasien dapat mencegah/ mengendalikan perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, social dan dengan terapi psikofarmaka Tindakan keperawatan 1) Mengucapkan salam terapeutik Dalam membina hubungan saling percaya pasien harus merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus perawat lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah : a) Mengucapkan salam terapeutik b) Berjabat tangan c) Menjelaskan tujuan interaksi d) Membuat kontrak topic, waktu, dan tempat setiap kali ketemu pasien 2) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan sekarang dan yang lalu 3) Diskusikan perasaan, tanda, dan gejala yang di rasakan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara social d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekeraan secara spiritual e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual
4) Diskusikan bersama pasien tentang perilaku kekerasan yang biasa di lakukan pada saat marah : a) Verbal b) Terhadap orang lain c) Terhadap diri sendiri d) Terhadap lingkungan 5) Diskusikan bersama pasien akibat perilaku kekerasan yang ia lakukan 6) Diskusikan bersama pasien cara mengendalikan perilaku kekerasan yaitu dengan cara berikut : a) Fisik : pukul Kasur/ bantal, Tarik napas dalam b) Obat c) Social / verbal : menyatakan secar aserif rasa marahnya d) Spiritual : beribadah sesuai keyakinan pasien 7) Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik : a) Latihan napas dalam dan pukul/ bantal b) Susun jadwal latihan dalam dan pukul Kasur/ bantal 8) Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara social/ verbal : a) Bantu mengungkapkan rasa marah secara verbal : menolak dan meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik b) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal 9) Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual : a) Bantu pasien mengendalikan marah secara spiritual : kegiatan ibadah yang biasa di lakukan b) Buat jadwal latihan ibadah dan berdoa 10) Bantu pasien mengendalikan perilaku kekerasan degngan patuh minum obat : a) Bantu pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara pemberian, benear dosis, dan benar obat) di sertai penjelasan mengenai keguanaan obat dan akibat berhenti b) Susun jadwal minum obat secara tertr 11) Ikut sertakan pasien dalam TAK stimulasi persepsi untuk mengendalikan perilaku kekerasan. (Keliat, Keperawatan kesehatan jiwa komunitas, 2012) Tindakan keperawatan pada keluarga Tujuan keperawatan Keluarga dapat merawat pasien dirumah. Tindakan keperawatan 1) Diskusikan maslah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien 2) Diskusikan bersama keluarga tentan perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul, dan akibat dari perilaku tersebut) 3) Diskusikan bersama keluarga tentang kondisi pasien yang perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain. 4) Bantu latihan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan. 5) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat. 6) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien jika pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat. 7) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan jika pasien menunjukan gejalagejala perilaku kekerasan
8)
Buat perencanaan bersama keluarga. (Keliat, Model praktik keperawatan profesional jiwa, 2012) A. Evaluasi Evaluasi terhadap kemampuan pasien dan keluarga dan kemampuan perawat.Berikut merupakan table evaluasi pada pasien dengan perilaku kekerasan (Keliat, Model praktik keperawatan profesional jiwa, 2012).
Bagaimana penanganan pasien dengan perilaku amuk di RS? Penanganan pasien amuk di RS terdiri dari Managemen Krisis dan Managemen Perilaku Kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan yang dilakukan pada saat terjadi perilaku amuk oleh pasien. Tujuannya untuk menenangkan pasien dan mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain dan lingkungan karena perilakunya yang tidak terkontrol. Sedangkan managemen perilaku kekerasan adalah penanganan yang dilakukan setelah situasi krisis terlampaui, di mana pasien telah dapat mengendalikan luapan emosinya meski masih ada potensi untuk untuk meledak lagi bila ada pencetusnya.
Managemen krisis Pada saat situasi krisis, di mana pasien mengalami luapan emosi yang hebat, sangat mungkin pasien melakukan tindak kekerasan yang membahayakan baik untuk diri pasien, orang lain, maupun lingkungan. Walaupun sulit sedapat mungkin pasien diminta untuk tetap tenang dan mampu mengendalikan perilakunya. Bicara dengan tenang, nada suara rendah, gerakan tidak terburu-buru, sikap konsisten dan menunjukkan kepedulian dari petugas kepada pasien biasanya mampu mempengaruhi pasien untuk mengontrol emosi dan perilakunya dengan lebih baik. Bila pasien tidak bisa mengendalikan perilakunya maka tindakan pembatasan gerak (isolasi) dengan menempatkan pasien di kamar isolasi harus dilakukan. Pasien dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau dicederai orang lain, membutuhkan pembatasan interaksi dengan orang lain dan memerlukan pengurangan stimulus dari lingkungan. Pada saat akan dilakukan tindakan isolasi ini pasien diberi penjelasan mengenai tujuan dan prosedur yang akan dilakukan sehingga pasien tidak merasa terancam dan mungkin ia akan bersikap lebih kooperatif. Selama dalam kamar isolasi, supervisi dilakukan secara periodik untuk memantau kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang dibutuhkan termasuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti nutrisi, eliminasi, kebersihan diri, dsb. Bila tindakan isolasi tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahaya, berpotensi melukai diri sendiri atau orang lain maka alternatif lain adalah dengan melakukan pengekangan/pengikatan fisik. Tindakan ini masih umum digunakan petugas di RS dengan disertai penggunaan obat psikotropika. Untuk menghindari ego pasien terluka karena pengikatan, perlu dijelaskan kepada pasien bahwa tindakan pengikatan dilakukan bukan sebagai hukuman melainkan pencegahan resiko yang dapat ditimbulkan oleh perilaku pasien yang tidak terkendali. Selain itu juga perlu disampaikan pula indikasi penghentian tindakan pengekangan sehingga pasien dapat berpartisipasi dalam memperbaiki keadaan. Selama pengikatan, pasien disupervisi secara periodik untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang diperlukan. Selanjutnya pengekangan dikurangi secara bertahap sesuai kemampuan pasien dalam mengendalikan emosi dan perilakunya, ikatan dibuka satu demi satu, dilanjutkan dengan pembatasan gerak (isolasi), dan akhirnya kembali ke lingkungan semula. Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif ditenangkan dengan obat sedatif dan atau antipsikotik yang sesuai. Obat sedatif yang biasa digunakan misalnya Valium injeksi 5 - 10 mg atau lorazepam (Ativan) 2 -4 mg yang bisa diberikan secara intramuskuler atau intravaskuler. Pada umumnya obat antipsikotik yang paling bermanfaat untuk pasien jiwa yang melakukan kekerasan adalah injeksi Haloperidol 5 -10 mg yang diberikan secara intra muskuler. Alternatif lain jika obat-obat farmakoterapi tidak efektif adalah dengan ECT (Electro ConvulsionTherapy), suatu upaya menimbulkan kejang umum dengan induksi listrik pada sel otak. Aliran listrik yang digunakan sangat kecil dan berlangsung sangat singkat. Untuk mendapatkan efek menguntungkan dari ECT maka kejang umum harus timbul segera setelah pemberian ECT. Biasanya setelah mengalami kejang umum, pasien akan tertidur beberapa saat dan ketika bangun perilaku agitatifnya sudah menurun. Therapi ini aman dan efektif untuk mengendalikan kekerasan psikotik. Satu atau beberapa kali ECT dalam beberapa jam biasanya mengakhiri suatu episode kekerasan psikotik.
Menejemen Krisis Prilaku Kekerasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan keselamatan atau keamanan adalah kebutuhan untukmelindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman bahaya fisik pada manusia dapat dikategorikan dalam ancaman mekanis, kimiawi, retnal dan bakteriologis. Kekerasan merupakan salah satu bentuk ancaman bahaya fisik seseorang. Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan “pengawalan” oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum memadai sehingga selama perawatan klien seyogyanya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku kekerasan). Asuhan keperawatan yang diberikan di rumah sakit jiwa terhadap perilaku kekerasan perlu ditingkatkan serta dengan perawatan intensif di rumah sakit umum. Asuhan keperawatan perilaku kekerasan (MPK) yaitu asuhan keperawatan yang bertujuan melatih klien mengontrol perilaku kekerasannya dan pendidikan kesehatan tentang MPK pada keluarga. Seluruh asuhan keperawatan ini dapat dituangkan menjadi pendekatan proses keperawatan. B. Rumusah Masalah Untuk memperoleh gambaran secara konseptual tentang menejemen krisis pada prilaku kekerasan. Yang akan dibahas adalah bagaimana definisi, faktor predisposisi, dan bagaimana menejemen krisis pada saat terjadi prilaku kekerasan. C. Tujuan Penulisan Diharapkan dapat memenuhi kebutuhan secara konsptual tentang menejemen krisis prilaku kekerasan, diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi keperawatan jiwa dalam menejemen krisis pada klien prilaku kekerasan dan mengharapkan agar dapat dikembangkan tentang menejemen krisis prilaku kekerasan.
BAB II PEMBAHASAN MASALAH A. Definisi Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen, 1996). Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Perasaan marah adalah normal untuk setiap individu namun perilaku yg dimanifestasikan oleh perasaan marah tersebut dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif dan maladaptif. Rentang Respon Marah Respon Adaftif Respon Maladaptif
B.
1)
2)
3)
4)
Seseorang yg frustrasi menimbulkan sikap pasif dan melarikan diri atau melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang merupakan respon maladaptif yaitu agresif dan kekerasan. Agresif akan memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan ancaman tanpa niat melukai. Umumnya masih dapat mengontrol perilaku tanpa melukai. FAKTOR PREDISPOSISI Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor predisposisi, artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu: Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima (permissive). Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.
C. FAKTOR PRESIPITASI 1. Faktor prespitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/ pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflikdapat pula memicu perilaku kekerasan. D. TANDA DAN GEJALA Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien ke rumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Kemudian perawat dapat melakukan pengkajian dengan cara: 1. Observasi: Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat. Sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak senang. 2. Wawancara: diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan klien. E. MASALAH KEPERAWATAN 1. Perilaku kekerasan 2. Resiko mencederai 3. Gangguan harga diri: harga diri rendah F. POHON MASALAH Resiko mencederai Orang lain/ lingkungan Perilaku Kekerasan (CP) Gangguan harga diri: harga diri rendah
G. DIAGNOSA 1. Resiko mencederai orang lain berhubungan dengan kekerasan 2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah H. RENCANA TINDAKAN 1. Rencana tindakan keperawatan pada keluarga klien: a. Pertemuan ke 1 Kontrak dengan keluarga, Identifikasi masalah keluarga, Informasi tentang perilaku kekerasan danInformasi tentang cara merawat klien perilaku kekerasan. b. Pertemuan ke 2 dan 3 Penerapan cara merawat klien selama dirawat di rumah sakit. c. Pertemuan ke 4 Perencanaan pulang, tentang cara merawat klien di rumah, Cara mengevaluasi perilaku kekerasan di rumah, dan Cara mengevaluasi jadwal kegiatan di rumah. I. PEDOMAN MANAJEMEN KRISIS SAAT TERJADI PERILAKU KEKERASAN 1. Tim Krisis Perilaku Kekerasan Tim krisis perilaku kekerasan terdiri dari ketua tim krisis yang berperan sebagai pemimpin (“leader”) dan anggota tim minimal 2 (dua)orang. Ketua tim adalah perawat yang berperan sebagai kepala ruangan, penanggung jawab “shif”, perawat primer, ketua tim atau staf perawat, yang penting ditetapkan sebelum melakukan tindakan. Anggota tim krisis dapat staf perawat, dokter atau konselor yang telah terlatih menangani krisis. Aktifitas yang dilakukan oleh tim krisis adalah sebagai berikut (Stuart & Laraia, 1998): 1. Aktivitas ketua tim krisis
2. Susun anggota tim krisis 3. Beritahu petugas keamanan jika perlu 4. Pindahkan klien lain dari area penanganan 5. Ambil alat pengikat (jika pengekangan akan dilakukan) 6. Uraikan perencanaan penanganan pada tim 7. Tunjukkan anggota tim untuk mengamankan anggota gerak klien 8. Jelaskan tindakan pada klien dan berusaha membuat klien kooperatif 9. Ikat klien dengan petunjuk ketua tim 10. Berikan obat sesuai program terapi dokter 11. Pertahankan sikap yang tenang dan konsisten terhadap klien 12. Evaluasi tindakan yang telah dilakukan bersama anggota tim 13. Jelaskan kejadian pada klien dan staf jika diperlukan 14. Integrasikan klien kembali pada lingkungan secara bertahap J. PEMBATASAN GERAK Pembatasan gerak adalah memisahkan klien di tempat yang aman dengan tujuan melindungi klien, klien lain dan staf dari kemungkinan bahaya. Istilah yang biasa digunakan dirumah sakit jiwa untuk tempat pembatasan gerak adalah kamar isolasi. Klien dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau dicederai orang lain, membutuhkan interaksi dengan orang lain dan memerlukan pengurangan stimulus dari lingkungan (Stuart dan Laraia, 1998). Langkah-langkah pelaksanaan pembatasan gerak adalah sebagai berikut: 1. Tunjuk ketua tim krisis 2. Jelaskan tujuan, prosedur dan lama tindakan pada klien dan staf lain. 3. Jelaskan kepada klien dan staf lain tentang perilaku yang diperlukan untuk 4. mengakhiri tindakan. 5. Buat perjanjian dengan klien untuk mempertahankan mengontrol perilakunya 6. Bantu klien menggunakan metoda kontrol diri yang diperlukan. 7. Bantu klien memenuhi kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi, kebersihan diri, 8. dan kebersihan kamar. 9. Lakukan supervisi secara periodik untuk membantu dan memberikan tindakan 10. keperawatan yang diperlukan. 11. Libatkan klien dalam memutuskan pemindahan klien secara bertahap 12. Dokumentasikan alasan pembatasan gerak, tindakan yang dilakukan, respon 13. klien dan alasan penghentian pembatasan gerak. K. PENGEKANGAN ATAU PENGIKATAN FISIK Pengekangan dilakukan jika perilaku klien berbahaya, melukai diri sendiri atau orang lain (Rawhins, dkk, 1993) atau strategi tindakan yang lain tidak bermanfaat. Pengekangan adalah pembatasan gerak klien dengan mengikat tungkai klien (Stuart dan Laraia, 1998). Tindakan pengekangan masih umum digunakan perawat disertai dengan penggunaan obat psikotropik (Duxbury, 1999). Langkah-langkah pelaksanaan pengekangan (Start dan Laraia, 1998): 1. Beri suasana yang menghargai dengan supervisi yang adekuat, karena harga diri klien yang berkurang karena pengekangan. 2. Siapkan junlah staf yang cukup dengan alat pengekang yang aman dan nyaman.
3. Tunjuk satu orang perawat sebagai ketua tim. 4. Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya pada klien dan staf agar dimengerti dan bukan hukuman. 5. Jelaskan perilaku yang mengindikasikan pengelepasan pada klien dan staf. 6. Jangan mengikat pada pinggir tempat tidur. Ikat dengan posisi anatomis. 7. Ikatan tidak terjangkau klien. 8. Lakukan supervisi yang adekuat dengan tindakan terapeutik dan pemberian rasa nyaman 9. Beri aktivitas seperti televisi, bacakan buku pada klien untuk memfasilitasi kerjasama klien pada tindakan. 10. Perawatan pada daerah pengikatan: pantau kondisi kulit yang diikat: a) warna, temperatur, sensasi. b) lakukukan latihan gerak pada tungkai yang diikat secara bergantian setiap 2 (dua) jam. c) lakukan perubahan posisi tidur. d) periksa tanda-tanda vital tiap 2 (dua) jam. 11. Bantu pemenuhan kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi, dan kebersihan diri. 12. Libatkan dan latih klien untuk mengontrol perilaku sebelum ikatan dibuka secara bertahap. 13. Kurangi pengekangan secara bertahap, misalnya setelah ikatan dibuka satu persatu secara bertahap, kemudian dilanjutkan dengan pembatasan gerak kemudian kembali ke lingkungan semula. 14. Dokumentasikan seluruh tindakan yang dilakukan beserta respon klien.
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Kebutuhan akan keselamatan atau keamanan adalah kebutuhan untukmelindungi diri dari bahaya fisik. Ancaman bahaya fisik pada manusia dapat dikategorikan dalam ancaman mekanis, kimiawi, retnal dan bakteriologis. Kekerasan merupakan salah satu bentuk ancaman bahaya fisik seseorang. Marah adalah sikap yang normal dalam kehidupan manusia, tetapi ketika itu terlalu berlebihan dan menimbulkan kerusakan secara fisik maupun lingkungan maka memerlukan perhatian khusus, seperti pembatasan gerak adalah memisahkan klien di tempat yang aman dengan tujuan melindungi klien, klien lain dan staf dari kemungkinan bahaya dan pengekangan dilakukan jika perilaku klien berbahaya, melukai diri sendiri atau orang lain. B. SARAN Sebagai perawat kita perlu menjaga keselamatan klien dan juga lingkungan, dengan cara memodifikasi lingkungan tempat tinggal klien yang tidak akan menimbulkan cidera secara fisik dan kekerasan kepada lingkungan atau masyarakat sekitar.