MAKALAH KEGAWATDARURATAN II ASKEP KEGAWATDARURATAN SISTEM MUSKULOSKELETAL “FRAKTUR”
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah : Gadar Gadar II
Oleh:Kelompok 4 Ach.Dovan (11.321.) Annisa Dwi A (11.321.) Ayu Mufidatul (11.321.) Devita Putri (11.321.) Luluk Nur F (11.321.) Ninka Zelbi (11.321.) Sugik Aprilianto (11.321.072) (11.321.072) Suliana (11.321.) Zumrotul Mufida (11.321.)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum WR .WB. Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kekuatan yang diberikan kepada saya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Gadar II. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu melalui bimbingan, dukungan, motivasi, dan doa dalam menyelesaikan makalah ini terutama kepada : Suhendra , S.kep. Ns selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran-saran dan bimbingan kepada penulis sejak awal penulisan sampai dengan selesainya makalah ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman teman dan kakak tingkat yang sudah membantu memberikan saran dan bimbingan Penulis juga menyadari akan adanya keterbatasan didalam makalah ini. Namun penulis berharap kiranya dapat diambil manfaatnya. Demi untuk memperbaiki penulisan ini penulis berharap dan lapang dada untuk
menerima
saran
dan
kritikan
yang
bersifat
membangun.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Wabillahi Taufik Walhidayah Assalamualaikum WR . WB.
Jombang,
Maret 2015
Penyusun
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum WR .WB. Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kekuatan yang diberikan kepada saya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Gadar II. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu melalui bimbingan, dukungan, motivasi, dan doa dalam menyelesaikan makalah ini terutama kepada : Suhendra , S.kep. Ns selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran-saran dan bimbingan kepada penulis sejak awal penulisan sampai dengan selesainya makalah ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman teman dan kakak tingkat yang sudah membantu memberikan saran dan bimbingan Penulis juga menyadari akan adanya keterbatasan didalam makalah ini. Namun penulis berharap kiranya dapat diambil manfaatnya. Demi untuk memperbaiki penulisan ini penulis berharap dan lapang dada untuk
menerima
saran
dan
kritikan
yang
bersifat
membangun.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Wabillahi Taufik Walhidayah Assalamualaikum WR . WB.
Jombang,
Maret 2015
Penyusun
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................... Masalah................................................. ............................................ ............................. ....... B. Tujuan...................................... Tujuan............................................................ ............................................ ............................................ ........................ .. BAB II KONSEP TEORI A. Anatomi Fisiologi Tulang........................................... Tulang................................................................. ................................. ........... B. Definisi.......................... Definisi................................................ ............................................ ............................................ .................................. ............ C. Etiologi......................................... Etiologi............................................................... ............................................ ......................................... ................... D. Manifestasi Klinis.............................................. Klinis.................................................................... .......................................... .................... E. Klasifikasi............................. Klasifikasi................................................... ............................................ ............................................ ........................... ..... F. Patofisiologi...................... Patofisiologi............................................ ............................................ ............................................. ............................... ........ G. Komplikasi...................... Komplikasi............................................ ............................................ ............................................. ................................. .......... H. Proses Penyembuhan.............. Penyembuhan.................................... ............................................ ............................................. ......................... .. I. Penatalaksanaan.......................... Penatalaksanaan................................................ ............................................ .......................................... .................... J. Pemeriksaan Penunjang..................................... Penunjang........................................................... ......................................... ................... BAB III ASKEP GAWAT DARURAT FRAKTUR A. Pengkajian........................................ Pengkajian.............................................................. ............................................. .................................... ............. B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi...................................................... Intervensi...................................................... BAB IV PENUTUP A. Simpulan....................................... Simpulan............................................................. ............................................ ......................................... ................... B. Saran............................................. Saran................................................................... .............................................. ......................................... ................. DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin meningkat selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern manusia tidak akan lepas dari fungsi normal system musculoskeletal. Salah satunya tulang yang merupakan alat gerak utama pada manusia, namun dari kelainan ataupun ketidaksiplinan dari manusia itu sendiri (patah tulang) fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun partial . fraktur biasanya terjadi pada cruris, karena cruris sangat kurang di lindungi oleh jaringan lunak, sehingga mudah sekali mengalami kerusakan (Rasjad, 1998). Berbagai
penelitian
di
Eropa,
Amerika
Serikat,
dan
Australia
menunjukkan bahwa resiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas massa tulang melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang berkaitan dengan kerapuhan fisik (frailty) dan meningkatkannya resiko untuk jatuh. (Sudoyo, 2010) Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya disebabkan
oleh
komplikasi
akibat
patah
tulang
dan
imobilisasi
yang
ditimbulkannya. Beberapa diantara komplikasi tersebut adalah timbulnya dikubitus akibat tirah baring berkepanjangan, perdarahan, trombosis vena dalam dan emboli paru; infeksi pneumonia atau infeksi saluran kemih akibat tirah baring lama; gangguan nutrisi dan sebagainya. (Sudoyo, 2010) Walaupun dalam kasus yang jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien dengan kasus kegawat daruratan fraktur.
B. Tujuan Makalah ini disusun dengan tujuan : Umum : 1. Mahasiswa mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan kegawat daruratan pada pasien dengan fraktur Khusus: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep fraktur 2. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep metodologi asuhan keperawatan kegawat daruratan pada pasien fraktur
BAB II KONSEP TEORI
A. Anatomi Fisiologi Tulang Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk sel darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk meyimpan dan mengatur kalsium dan pospat. Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan jaringan organik (kolagen, proteoglikan). Kalsium dan phospat membenuk suatu kristal garam (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks organik tulang disebut juga sebagai suatu osteoid. Sekitar 70 % dari osteoid adalah kolagen tipe 1 yang kaku dan memberikan ketegaran tinggi pada tulang. Materi organik lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan seperti asam hialuronat. Hampir semua tulang berongga dibagian tengahnya. Struktur demikian memaksimalkan kekuatan struktural tulang dengan bahan yang relatif kecil atau ringan. Kekuatan tambahan diperoleh dari susunan kolagen danmineral dalam jaringan tulang. Jaringan tulang dapat berbentuk anyaman atau lameral. Tulang yang berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan cepat, seperti sewaktu perkembangan janin atau sesudah terjadinya patah tulang, selanjutnya keadaan ini akan diganti oleh tulang yang lebih dewasa yang berbentuk lameral. Pada orang dewasa tulang anyaman ditemukan pada insersi ligamentum atau tendon. Tumor sarkoma osteogenik terdiri dari tulang anyaman . tulang lameral terdapat seluruh tubuh orang dewasa.tulang lameral tersusun dari lempengan-lempengan yang sangat padat, dan bukan merupakan suatu massa kristal. Pola susunan semacam ini melengkapi tulang dengan kekuatan yang besar. Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari 3 jenis sel: osteoblas, osteosid dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif
menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mensekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorbsi. Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi tulang. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu kalsifikasi tulang, antara lain dengan meningkatlan absorbsi kalsium dan fosfat oleh usus halus. (Price dan Wilson, 1995)
B. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth, 2002). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 1999). Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma (Tambayong, 2000). Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik ( Price, 1995) Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi.
C. Etiologi Etiologi dari fraktur menurut (Price dan Wilson, 1995) ada 3 yaitu: 1. Cidera atau benturan 2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis. 3. Fraktur beban Fraktur beban atau fraktur kelelahan teradi pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat aktifitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.
D. Manifestasi Klinis Adapun tanda dan gejala dari fraktur, sebagai berikut : (Mansjoer, 2000) 1. Nyeri Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Hilangnya fungsi dan deformitas Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot berrgantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. 3. Pemendekan ekstremitas Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot yang melengket di atas dan bawah tempat fraktur. 4. Krepitus Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya. 5. Pembengkakan lokal dan Perubahan warna Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
E. Klasifikasi 1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain: a. Fraktur tertutup (closed) Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (opened) Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :
Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal. ii. Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
2. Menurut derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu: a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur) Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur ) Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick. (Menurut Price dan Wilson 2006) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. 3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu: a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga. c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh trauma rotasi. d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kea rah permukaan lain. e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang. 4. Menurut jumlah garis patahan ada 3 antara lain: (Mansjoer, 2000) a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
F. Patofisiologi Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002). Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri. Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 1995).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma
Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur: juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel, atau cedera hati. (Dongoes, 1999)
H. Penatalaksanaan Penatalaksanaan di tempat kejadian: a. Airway Inspeksi jalan nafas klien apakah ada sumbatan atau tidak,biasanya klien dengan trauma dan fraktur mengalami obstruksi jalan nafas,jadi mungkin untuk menanganinya gunakan head till,chin lift,mungkin hindari teknik jaw trust karena klien mengalami trauma. b. Breathing Inspeksi dan auskultasi pernafasan klien,klien dengan trauma atau fraktur biasanya timbul pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi c. Circulation Sirkulasi perifer atau TD klien juga harus di perhatikan,TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
1) Penatalaksanaan kedaruratan di tempat kejadian Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing)
dan
sirkulasi
(circulation),
apakah
terjadi
syok
atau
tidak.fiksasi daerah fraktur sampai ambulan datang dan di bawa ke RS. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto. Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada
cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Penatalaksanaan di RS: a. Airway Inspeksi jalan nafas klien apakah ada sumbatan atau tidak,biasanya klien dengan trauma dan fraktur mengalami obstruksi jalan nafas,jadi mungkin untuk menanganinya gunakan head till,chin lift,mungkin hindari teknik jaw trust karena klien mengalami trauma. b. Breathing Inspeksi dan auskultasi pernafasan klien,klien dengan trauma atau fraktur biasanya timbul pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi c. Circulation Sirkulasi perifer atau TD klien juga harus di perhatikan,TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2) Penatalaksanaan bedah ortopedi Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi
meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan : •
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah
•
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin logam
•
Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit.
•
Amputasi : penghilangan bagian tubuh
•
Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
•
Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
•
Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis
•
Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan logam atau sintetis
•
Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
•
Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi kontraktur fasia. (Ramadhan, 2008)
3) Terapi Medis Pengobatan dan Terapi Medis a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot d. Bedrest, Fisioterapi (Ramadhan, 2008)
4) Prinsip 4 R pada Fraktur Menurut (Price,1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. a. Rekognisi (Pengenalan ) Riwayat
kecelakaan,
derajat
keparahan,
harus
jelas
untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. b. Reduksi (manipulasi/ reposisi) Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002). c. Retensi (Immobilisasi) Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000). d. Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus
segera
mempertahankan
dimulai kekuatan
melakukan anggota
latihan-latihan tubuh
dan
untuk
mobilisasi
(Mansjoer, 2000).
5) Patah Tulang Anak Pada anak sering ditemukan patah tulang dahan hijau. Reposisi umumnya tidak sukar dan biasanya cepat sembuh serta cepat kuat. Jarang dibutuhkan reposisi atau imobilisasi dengan fiksasi bedah. Untuk reposisi dapat digunakan traksi kulit dan jarang ditemukan kekakuan sendi. Pada penanganan harus diperhatikan bahwa fragmen harus searah sumbu, tetapi dislokasi ad latitudinem tidak penting sehingga reposisi ujung ke ujung tidak diharuskan. Penyembuhan dan pemugaran akan memperbaiki dislokasi ini tanpa meninggalkan bekas. Akan tetapi, rotasi, yaitu dislokasi ad periperam harus dihindari. Angulasi atau dislokasi ad aksim dapat dibiarkan bila fraktur terjadi di dekat epifisis pada anak muda. Dislokasi dengan kontraksi patah tulang diafisis menguntungkan karena akan terjadi swapugar karena hiperemia sehingga anggota yang bersangkutan tumbuh
lebih cepat daripada anggota gerak sisi lain. Pertautan sisi kena sisi berlangsung cepat dan pemugaran akan terjadi lebih cepat. Fraktur terbuka baik karena cedera dari luar maupun karena tembusnya ujung patah tulang dari dalam, terancam bahaya infeksi dan osteomilitis. Seperti biasanya penanganan terdiri atas pembilasan luka, pengeluaran benda asing, fragmen tulang yang terlepas, dan nekrosis. Luka kemudian dirawat secara terbuka dengan anggota yang bersangkutan diletakkan tinggi. Kontusio kulit diperhatikan betul karena mengakibatkan nekrosis. Bila ujung patahan tulang terletak berjauhan akibat kehilangan pecahan tulang, kedua ujung ini harus dipertemukan agar tetap bersentuhan. Yang paling sering ditemukan pada anak ialah patah tulang klavikula, humerus, suprakondiler, dan antebrakius. (Sjamsuhidajat, 2004)
I. Komplikasi Komplikasi fraktur menurut (Smeltzer dan Bare ,2001) antara lain: 1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis. a. Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra. b. Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak pada aliran darah. c. Sindroma Kompartement Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di
daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko terjadinya sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi. (Corwin,2009) d. Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. e. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. f. Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001). 2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan non union. a. Malunion Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.
Conyoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah gibs dibung ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya untuk berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan. Gibs yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-fragmen tulang yang patah dn bergeser sesudah direduksi harus diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan tindakan operasi. b. Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. c. Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran darah dimana tulang yang
patah tersebut dapat merusak suplai darah ke satu atau lebih fragmen tulang.
J. Penyembuhan Fraktur Jika satu tulang sudah patah, maka jaringan lunak di sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut, bekuan akan membentuk jaringan granulasi, dimana sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblas. Kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mensekresi fosfat yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) di sekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen satunya dan menyatu. Fusi dari kedua fragmen (penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur. Persatuan (union) tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re medolling di mana osteoblas akan membentuk tulang baru sementara osteoklas akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang menyerupai keadaan tulang aslinya. (Price, 1995)
BAB III ASKEP GAWAT DARURAT FRAKTUR
A. Pengkajian 1. Pengkajian primer a. Airway Inspeksi jalan nafas klien apakah ada sumbatan atau tidak,biasanya klien dengan trauma dan fraktur mengalami obstruksi jalan nafas,jadi mungkin untuk menanganinya gunakan head till,chin lift,mungkin hindari teknik jaw trust karena klien mengalami trauma. b. Breathing Inspeksi dan auskultasi pernafasan klien,klien dengan trauma atau fraktur biasanya timbul pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi c. Circulation Sirkulasi perifer atau TD klien juga harus di perhatikan,TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut. 2. Pengkajian sekunder a. Aktivitas/istirahat kehilangan fungsi pada bagian yang terkena Keterbatasan mobilitas b. Sirkulasi 1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas) 2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah) 3) Tachikardi 4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera 5) Cailary refil melambat 6) Pucat pada bagian yang terkena 7) Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori 1) Kesemutan 2) Deformitas, krepitasi, pemendekan 3) Kelemahan d. Kenyamanan 1) nyeri tiba-tiba saat cidera 2) spasme/ kram otot e. Keamanan 1) laserasi kulit 2) perdarahan 3) perubahan warna 4) pembengkakan local
B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut 2. Gangguan mobilitas fisik 3. Resiko defisit volume cairan 4. Defisit perawatan diri 5. Kerusakan intregitas jaringan 6. Resiko tinggi infeksi
C. Intervensi 1. Nyeri akut. (KH dan NOC)
Melaporkan gejala nyeri terkontrol
Melaporkan kenyamanan fisik dan psikologis
Mengenali factor yang menyebabkan nyeri
Melaporkan nyeri terkontrol (skala nyeri)
Tidak menunjukkan respon non verbal adanya nyeri
Tanda vital dalam rentang yang diharapkan
(NIC ) 1. Manajemen nyeri 2. Kaji tingkat nyeri yang komprehensif : lokasi, durasi, karakteristi k, frekuensi, intensitas, factor pencetus, sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan. 3. Monitor skala nyeri dan observasi tanda non verbal dari ketidaknyamanan 4. Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum menjadi berat 5. Kelola nyeri pasca operasi dengan pemberian analgesik tiap 4 jam, dan monitor keefektifan tindakan mengontrol nyeri 6. Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien terhadap ketidaknyamanan : suhu ruangan, cahaya, kegaduhan. 7. Ajarkan tehnik non farmakologis kepada klien dan keluarga : relaksasi, distraksi, terapi musik, terapi bermain,terapi aktivitas, akupresur, kompres panas/ dingin, masase. imajinasi terbimbing (guided imagery),hipnosis ( hipnoterapy ) dan pengaturan posisi. 8. Informasikan kepada klien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri : misal klien cemas, kurang tidur, posisi tidak rileks. 9. Kolaborasi medis untuk pemberian analgetik, fisioterapis/ akupungturis.
2. Gangguan mobilitas fisik (KH dan NOC) Mampu mandiri total
Membutuhkan alat bantu
Membutuhkan bantuan orang lain dan alat
Penampilan posisi tubuh yang benar
Pergerakan sendi dan otot Melakukan perpindahan/ ambulasi : miring kanan-kiri, berjalan, kursi roda
(NIC) 1. Latihan Kekuatan 2. Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program latihan secara rutin 3. Latihan untuk ambulasi
4. Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan keluarga. 5. Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker 6. Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman. 7. Latihan mobilisasi dengan kursi roda 8. Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & c ara berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya. 9. Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh 10. Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda 11. Latihan Keseimbangan 12. Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara mandiri dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari hari. 13. Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar 14. Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg benar untuk menghindari kelelahan, keram & cedera. 15. Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latih.
3. Defisit perawatan diri (KH dan NOC)
Melakukan ADL mandiri : mandi, hygiene mulut ,kuku, penis/vulva, rambut, berpakaian, toileting, makan-minum, ambulasi
Mandi sendiri atau dengan bantuan tanpa kecemasan
Terbebas dari bau badan dan mempertahankan kulit utuh
Mempertahankan kebersihan area perineal dan anus
Makan dan minum sendiri, meminta bantuan bila perlu
(NIC) 1. Bantuan Perawatan Diri: Mandi, higiene mulut, penil/vulva, rambut, kulit 2. Kaji kebersihan kulit, kuku, rambut, gigi, mulut, perineal, anus 3. Bantu klien untuk mandi, tawarkan pemakaian lotion, perawatan kuku, rambut, gigi dan mulut, perineal dan anus, sesuai kondisi
4. Anjurkan klien dan keluarga untuk melakukan oral hygiene sesudah makan dan bila perlu 5. Kolaborasi dgn Tim Medis / dokter gigi bila ada lesi, iritasi, kekeringan mukosa mulut, dan gangguan integritas kulit. 6. Bantuan perawatan diri : berpakaian 7. Kaji dan dukung kemampuan klien untuk berpakaian s endiri 8. Ganti pakaian klien setelah personal hygiene, dan pakaikan pada ektremitas yang sakit/ terbatas terlebih dahulu, Gunakan pakaian yang longgar 9. Berikan terapi untuk mengurangi nyeri sebelum melakukan aktivitas berpakaian sesuai indikasi 10. Bantuan perawatan diri : Makan-minum 11. Kaji kemampuan klien untuk makan : mengunyah dan menelan makanan 12. fasilitasi alat bantu yg mudah digunakan klien 13. Dampingi dan dorong keluarga untuk membantu klien saat makan 14. Bantuan Perawatan Diri: Toileting 15. Kaji kemampuan toileting: defisit sensorik (inkontinensia),kognitif(menahan untuk toileting), fisik (kelemahan fungsi/ aktivitas) 16. Ciptakan lingkungan yang aman(tersedia pegangan dinding/ bel), n yaman dan jaga privasi selama toileting 17. Sediakan alat bantu (pispot, urinal) di tempat yang mudah dijangkau 18. Ajarkan pada klien dan keluarga untuk melakukan toileting secara teratur
4. Resiko tinggi kerusakan integritas jaringan (KH: dan NOC)
Pertahanan perfusi jaringan dan mukosa baik (sensasi, elastisitas, temperature, hidrasi)
Tidak ada lesi, iritasi kulit / decubitus
Klien mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit
Proses penyembuhan luka baik
1. Perawatan Klien dengan tirah baring total
2. Pasang kasur dekubitus bila diperlukan 3. Hindari kerutan / lipatan alat tenun 4. Mobilisasi / ubah posisi tidur klien tiap 2 jam sesuai jadwal 5. Pencegahan Luka Karena Tekanan 6. Kaji factor resiko kerusakan integritas kulit 7. Jaga kebersihan kulit klien agar tetap bersih dan kering 8. Berikan / oleskan lotion pada daerah yang tertekan 9. Lakukan massage sesuai indikasi 10. Berikan cairan dan nutrisi yang adekuat sesuai kondisi 11. Pengawasan kulit 12. Monitor aktivitas, mobilisasi klien dan adanya kemerahan pada kulit 13. Libatkan keluarga dalam mobilisasi klien dan personal hygiene 14. Ajarkan perubahan posisi kpd klien & keluarga 5. Resiko tinggi infeksi (KH dan NOC)
Klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi
Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 – 10.000)
Pengetahuan :
1. pengendalian infeksi 2. Ajarkan pada klien & keluarga cara menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh dari infeksi : cara mencuci tangan yang benar. 3. Anjurkan kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang klien 4. Jelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi 5. Ajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan penyimpanan makanan / susu kpd klien & keluarga. 6. Pengendalian resiko infeksi
7. Pantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan kondisi luka, sekresi, penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan malaise. 8. Pertahankan tehnik aseptik pada klien yang beresiko 9. Bersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan klien 10. Anjurkan kepada klien minum obat antibiotika sesuai 11. Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang cara program 12. Dorong klien untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan penyakit infeksi: transmisi secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak langsung, dan trankutaneus 13. Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi sesuai indikasi, dan pemeriksaan laboratorium yang sesuai
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. Fraktur disebabkan oleh cidera, fraktur patologi, dan fraktur beban. Secara umum fraktur dibedakan menjadi 2 yaitu terbuka dan tertutup. Manifestasi klinis dari fraktur itu sendiri yaitu nyeri, hilangnya fungsi dan deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, Pembengkakan lokal dan Perubahan warna. Penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Sementara diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien fraktur adalah: 1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur. 2. Gangguan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
kerusakan
rangka
neuromuskuler. 3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap fraktur. 4. Resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur. 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan.
B. Saran Walaupun dalam kasus fraktur jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien dengan kasus kegawat daruratan fraktur. Pasien harus mendapatkan pertolongan sesegera mungkin. Untuk itu dibutuhkan perawat yang tanggap dalam menangani pasien gawat darurat, terutama dalam hal ini adalah pasien dengan kegawat daruratan sistem muskuloskeletal, fraktur.