ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS
I Gede Andre Putra Rio Deyanta
(H1A014030)
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Nusa Tenggara Barat
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag.1
Secara garis besar pathogenesis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada tiga abnormalitas utama, yaitu ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih dini, respon sumsum tulang karena respon eritropoetin yang terganggu atau menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi.1
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk menentukan defisiensi besi akan menemui kesulitan bila berkaitan dengan anemia penyakit kronis. Pemeriksaan khusus seperti pengecatan sumsum tulang untuk menentukan cadangan besi dengan pewarnaan Prussian Blue bersifat invasif, oleh karena itu diperlukan metode untuk menentukan parameter besi lain yang praktis dengan nilai diagnostik yang tinggi guna membedakannya.1
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Anemia adalah penurunan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen yang biasanya diakibatkan oleh penurunan massa sel darah merah (SDM) total dalam sirkulasi sampai dibawah normal. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi hematokrit (Ht) dan Hemoglobin (Hb) yang rendah. Dengan demikian, anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium.2
Anemia terjadi akibat perdarahan, peningkatan destruksi ataupun berkurangnya produksi dari SDM. Klasifikasi anemia didasarkan oleh morfologi SDM dan juga mekanisme terbentuknya.2
Anemia yang terjadi pada penyakit kronis, tidak semua dapat digolongkan sebagai anemia akibat penyakit kronis, walaupun beberapa penyakit kronis seringkali disertai dengan anemia. Anemia pada penyakit kronis merupakan anemia yang dijumpai pada keadaan penyakit kronis tertentu, yang khas ditandai dengan adanya gangguan metabolisme besi sehingga dalam pemeriksaan darah tampak hipoferemia dan menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia peyakit kronis memiliki gambaran klinis sebagai berikut :3
Indeks dan morfologi eritrosit normositik normokromik atau hipokrom ringan dengan MCV jarang <75 fl.
Anemia bersifat ringan atau tidak progresif, kadar haemoglobin pada pasien jarang ditemukan kurang dari 9,0 g/dl, namun perlu dicatat bahwa beratnya anemia tergantung dari penyakit yang mendasari terjadinya anemia tersebut.
Kadar TIBC yang menurun dengan kadar sTfR yang normal.
Kadar feritin serum yang normal maupun adanya peningkatan.
Kadar besi cadangan di sumsum tulang masih normal, sedangkan kadar besi dalam eritroblas berkurang.
Etiologi
Laporan dan data yang didapat dari penyakit tuberculosis, abses paru, endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV telah membuktikan bahwa anemia berkaitan dengan hampir semua infeksi supuratif kronis. Untuk terjadinya anemia, diperlukan waktu sekitar satu hingga dua bulan setelah infeksi terjadi pada pasien. Derajat anemia yang diderita sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan, dan debilitas umum.4
Epidemiologi
Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia hipokromik mikrositer yang paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi, jadi anemia pada penyakit kronik tergolong anemia yang cukup sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Penyakit yang paling sering menyebabkannya adalah cronic kidney disease (CKD), Human Immunodeficiency Virus (HIV), Inflammatory Bowel Disease (IBD), Rheumatoid Arthritis (RA), dan Congestive Heart Failure. 4
Dilaporkan pada suatu studi bahwa telah ditemukan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu 77% laki laki tua dan 68% perempuan tua dengan kanker menderita anemia. Studi lain menunjukkan anemia terjadi pada 41% pasien tumor solid. Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, penyebab tersering anemia pada penyakit kronik adalah tuberkulosis paru. Data epidemiologis anemia pada penyakit kronik di Indonesia memang belum banyak dipublikasikan.1
Patogenesis
Terdapat tiga abnormalitas utama pada patogenesis terjadinya anemia pada penyakit kronis, yaitu : menurunnya umur eritrosit, adanya penurunan produksi eritrosit akibat produksi eritropoitin yang menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi.1
Derajat anemia sebanding dengan berat ringanya gejala, seperti demam , penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.5
Berikut adalah patogenesis secara umum penyebab terjadinya anemia penyakit kronis:4
Pemendekan masa hidup eritrosit
Anemia yang terjadi diduga merupakan bagian dari sindrom stress hematologic, adalah keadaan dimana terjadinya produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuetrasi makrofag sehingga mangikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 manjadi T3, menyebabkan hipotirod fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis eritropetin-pun akhirnya berkurang.
Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari eritrosit.
Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi.
Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb.
Fungsi sumsum tulang.
Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendakan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan atau menurunya respon terhadap eritropoetin.
Pengaruh dari sitokin proinflamasi, IL-1, dan TNFalfa terhadap proses eritripoiesis dapat menyebabkan perubahan-perubahan diatas. Gangguan pelepasan besi ke plasma menyebabkan berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis yang berakibat pada gangguan pembentukan hemoglobin sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositer.6
Diagnosis
Anemia tersebut disebut sebagai anemia pada penyakit kronis hanya apabila anemia yang terjadi adalah :4
anemia sedang
selularitas sumsum tulang normal
kadar besi serum rendah
TIBC (Total Iron Binding Capacity) rendah
kadar besi dalam makrofag dan sumsum tulang normal ataupun meningkat
feritin serum yang meningkat
Apabila kriteria tersebut tidak terpenuhi maka anemia tersebut tidak dapat dikatakan sebagai anemia pada penyakit kronis, meskipun banyak pasien dengan infeksi kronis, inflamasi dan keganasan menderita anemia.
Karena anemia yang terjadi umumnya dengan derajat yang ringan dan sedang, gejalanya seringkali tertutup oleh gejala dari penyakit dasarnya dan kadar Hb sekitar 7-11 gr/dL juga umumnya asimtomatik. Meskipun demikian, apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya.4
Pada pemeriksaan fisik, biasanya hanya ditemukan konjungtiva yang pucat tanpa adanya kelainan yang khas dari anemia dan diagnosis biasanya hanya bergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.4
Penatalaksanaan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah dengan mengobati penyakit dasarnya. Terdapat juga beberapa pilihan untuk menangani anemia pada penyakit kronis, diantaranya yaitu : 4
Transfusi
Transfusi merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai dengan dengan gangguan hemodinamik. Beberapa literature menyebutkan bahwa pasien anemia pada penyakit kronik yang disertai infark miokard, transfusi dapat mengurangi resiko kematian secara bermakna. Tidak ada batasan yang pasti pemberian transfusi harus dilakukan pada kadar hemoglobin berapa, namun sebaiknya kadar hemoglobin pada pasien dipertahankan pada 10-11 gr/dL.
Eritropoietin
Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian eritropoietin juga mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:
Mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi dari TNF-α dan interferon-γ.
Pemberian eritropoetin juga akan menambah proliferasi dari sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
Saat ini telah terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing - masing eritropoietin ini berbeda struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor serta waktu paruhnya sehingga memungkinkan untuk memilih mana yang lebih tepat dalam menangani suatu kasus.
BAB III
PENUTUP
Anemia akibat penyakit kronik ditandai dengan gambaran darah tepi hipokrom mikrositer atau bisa juga normositer dan biasanya anemia ini terdapat pada penyakit kronik khusus4. Anemia akibat penyakit kronik biasanya tidak terlihat diakibatkan karena ditutupi oleh penyakit dasarnya. Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi. Sebagian besar penyebab anemia pada penyakit kronis adalah akibat adanya sitokin yang menghambat produksi eritropoietin, menghambat sintesis sel darah merah, dan meningkatkan produksi hepcidin. Sitokin ini berasal dari inflamasi yang biasa terjadi pada penyakit yang mendasari anemia pada penyakit kronik ini. Untuk mendiagnosis ACD, dilakukanlah pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah hitung darah lengkap. Dari pemeriksaan hitung darah lengkap, dapat diketahui kadar feritin, penanda inflamasi, serum besi dan lainnya.4
Untuk dapat memperoleh prognosis yang baik adalah dengan cara menyingkirkan terlebih dahulu penyakit yang mendasari terjadinya anemia, jika tidak ditangani dengan baik maka anemia jenis ini dapat mengarah ke kematian dengan cepat, tergantung dari jenis penyakit yang mendasarinya.Oleh karena itu penatalaksanaan anemia akibat penyakit kronik ini diobati penyakit dasarnya terlebih dahulu dengan baik.5
Daftar Pustaka
Muhammad A, Sianipar O. 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis Menggunakan Peran Indeks sTRfR-F. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005. Diakses melalui: http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf pada 14 April 2016.
Kumar, Cotran, Robbins. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Buku Ajar Patologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,2007;h.463
A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss, Ahli bahasa : dr. Lyana Setiawan. Buku Kapita Selekta Hematologi Edisi IV. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2013.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
H. Bambang Permono, Sutaryo, IDG. Ugrasena, Endang Windiastuti, Maria Abdulsalam. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak Edisi Ketiga. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012.
Bakta, Made.hematologi klinik ringkas.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC,2007; h.39.