MANISFESTASI MANISFESTASI PENYAKIT GINJAL TERHADAP RONGGA MULUT
Oleh :
KELOMPOK 4 1.
Fitra permata putri
(04111004042)
2.
Sanny susanti manurung
(04111004043)
3.
Tiara samapta dewi
(04111004044)
4.
Yosefa adventi
(04111004045)
5.
Annisa indita riami
(04111004047) (04111004047)
6.
Aisyah
(04111004048)
7.
Widya manurung
(04111004049) (04111004049)
8.
Leo saputra
(04111004050)
9.
Adi nugroho
(04111004051) (04111004051)
10. Seftria devita sary
(04111004052)
11. Venny dwijayanti
(04111004054) (04111004054)
12. Ummul fitri
(04111004055) (04111004055)
13. Widya anggraini
(04111004056) (04111004056)
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2013
MANISFESTASI PENYAKIT GINJAL TERHADAP RONGGA MULUT A. Pendahuluan
Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Cystinosis adalah suatu proses penurunan fungsi ginjal berupa kelainan metabolisme sistin herediter; jenis ini merupakan penyakit yang paling sering dijumpai pada anak-anak ditandai dengan osteomalasia, aminoasiduria, fosfaturia dan pengendapan sistin diseluruh jaringan tubuh, yang merupakan salah satu tahap awal timbulnya penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease).1,2 Cystinosis merupakan gangguan ginjal autosomal resesif yang melibatkan transpor sistin oleh lisosom yang memiliki karakteriatik terdepositnya kristal sistin dalam jaringan, sehingga menyebabkan penumpukan pada ginjal. Cystinosis berperan sebanyak 5% dalam menyebabkan penyakit ginjal kronik pada anak.1 Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat juga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.3 Penyakit ginjal menyebabkan berbagai perubahan sistemik pada manusia ,salah satunya perubahan pada rongga mulut. Manifestasi penyakit ginjal didalam rongga mulut dapat berupa xerostomia, pembesaran ginggiva (gingival enlargement), gingivitis, oral malodor, hipoplasia email dan meningkatkan resiko karies sehingga perawatan gigi harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan umum penderita penyakit ginjal. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya perdarahan, pengontrolan dalam penggunaan obat karena turunnya laju filtrasi glomerulus, dan pemakaian profilaksis antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.4 B. Manifestasi Klinis
Cystinosis diwariskan sebagai ciri autosomal-resesif. Ada tiga gambaran klinis pada cystinosis; Gambaran penderita dengan bentuk infantil atau 1
nefropati datang dengan sindrom fanconi pada umur 3-12 bulan. Aminoasiduria menyeluruh ditemukan tanpa dominasi sistin. Kecepatan filtrasi glomerolus menurun secara progresif, dan gagal ginjal kronis berkembang dalam dekade pertama. Kegagalan pertumbuhan dan hipotiroidisme berat menyertai keadaan ini. Gambaran klinis khas yaitu rambut berwarna pirang cerah karena defek pada sintesis melanin dan fotophobia akibat timbunan kristal sistin pada konjungtiva. 5 Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) akan menimbulkan gangguan pada berbagai sistem atau organ tubuh, antara lain :
14
1. Gangguan pada Sistem Gastrointestinal
Gangguan yang dialami dapat berupa: a. Anoreksia, nausea dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan metabolism protein di dalam usus. Gangguan ini juga terjadi karena terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolisme bakteri usus seperti ammonia dan metal guanidine, serta sembabnya mukosa usus. b. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga nafas berbau ammonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis. c.
Cegukan (hiccup), sebabnya yang pasti belum diketahui, dan lainlain.34
2. Gangguan pada Kulit
a. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom serta gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit. Selain itu juga timbul gangguan seperti ekimosis akibat gangguan hematoligik dan timbul bekas-bekas garutan pada kulit akibat garukan karena gatal. 3. Gangguan pada Sistem Hematologik a. Anemia normokrom, normositer
Dapat disebabkan oleh karena berkurangnya produksi eritropoetin sehingga rangsangan pada sumsum tulang menurun, hemolisis, defisiensi besi dan asam folat, perdarahan pada saluran pencernaan dan
2
kulit, serta fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder. b. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
Hal ini disebabkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan ADP (adenosine difosfat). Gangguan ini juga dikarenakan masa perdarahan yang memanjang. c. Gangguan fungsi leukosit.
Gangguan ini dapat berupa hipersegmentasi leukosit, fagositosis dan kemotaksis berkurang. Terjadi penurunan fungsi limfosit sehingga tingkat imunitas menurun.
4. Gangguan pada Sistem Saraf dan Otot a. Restless leg syndrome. Penderita merasa pegal di tungkai bawah dan
selalu menggerakkan kakinya. b. Burning feat syndrome. Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama di
telapak kaki. c. Ensefalopati metabolik. Badan lemas, tidak bisa tidur, gangguan
konsentrasi, tremor dan kejang-kejang. 5. Gangguan pada Sistem Kardiovaskular
Gangguan yang timbul berupa hipertensi, nyeri dada serta sesak nafas. Gangguan irama jantung juga terjadi akibat aterisklerosis dini serta edema akibat penimbunan cairan. 6. Gangguan pada Sistem Endokrin
Gangguan pada sistem ini berupa gangguan seksual seperti libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun, sedangkan pada wanita timbul gangguan menstruasi dan gangguan ovulasi. Gangguan lain dapat berupa gangguan toleransi glukosa, metabolisme lemak dan metabolisme vitamin D. 7. Gangguan Cairan dan Natrium
Kekurangan air (dehidrasi) dan kekurangan garam (penurunan volume cairan ekstraseluler) adalah dua kelainan utama dan sering terjadi pada GGK. Kelainan
3
ini bersifat reversible dan apabila koreksi tidak segera dilaksanakan akan merupakan tahap pertama dari rangkaian kelainan yang akan menurunkan faal ginjal. Hidrasi dapat dipertahankan dengan pemberian 3 liter air, sehingga urin yang terbentuk sekitar 2 - 2,5 liter. Natrium perlu dibatasi, karena natrium dipertahankan dalam tubuh walaupun faal ginjal sudah menurun. C. Patogenesis
Penyebabnya belum diketahui. Peningkatan ambilan sistin seluler mengakibatkan timbunan di dalam lisosom, di mana sistin ini tidak dapat dipertahankan dalam bentuk tereduksi. Sistin ini juga menampakkan bahwa ada kegagalan dalam pelepasan asam amino ini dari lisosom. Defek enzim tertentu belum teidentifikasi. Kadar sistin jaringan tidak berkorelasi dengan derajat disfungsi tubulus ginjal; karenanya, pengaruh toksin sistin sederhana pada tubulus bukan merupakan penyebab sindrom Fanconi pada sistinosis.5 Sistin ditimbun dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam limpa, hati, limfonodi, dan sumsum tulang, tetapi tidak dalam otot atau otak. Penimbunan terjadi di dalam sel tubulus ginjal, kornea, dan konjungtiva. Sistin juga berakumulasi di dalam leukosit darah perifer dan fibroblast. Perubahan ginjal awal mirip dengan perubahan yang terjadi pada sindrom Fanconi primer; lesi “leher angsa: khas terdiri dari atrofi dan pemendekan tubulus proksimal tepat di bawah glomerulus. Kristal sistin refraktif ganda dapat ditemukan dalam jaringan intertsisial dan jarang dalam sel tubulus; Kristal ini kadang-kadang hanya dapat dikenali dalam mikroskopis elektron. Pada gagal ginjal yang lanjut, ginjal menjadi mengkerut dan kontraksi, dengan sklerosis glomerulus dan fibrosis interstisial.5
D. Manifestasi Oral
Apabila aspek fungsional ginjal terganggu pada tahap terminal, maka fungsi ginjal hampir tidak ada sehingga glomerulus filtration rate terus menurun dan retensi dari berbagai produk buangan sistemik akan
4
memberikan gambaran penyakit ginjal kronis pada rongga mulut apabila kondisi tubuh dari azotemik menjadi uremik. Berikut merupakan manifestasi penyakit ginjal kronis pada rongga mulut, yaitu : a. Oral Malodor / Bau Mulut Tidak Sedap Gejala yang paling sering muncul dan paling awal terjadi apabila ginjal gagal berfungsi adalah oral malodor atau timbulnya rasa kecap logam akibat alterasi sensasi pengecapan, terutama pada pagi hari. Rasa kecap logam ini berupa bau ammonia, dan kondisi ini sering dialami oleh penderita yang menjalani hemodialisis. Uremic fetor atau ammoniacal odor ini terjadi karena konsentrasi urea yang tinggi dalam rongga mulut, dan pecah menjadi ammonia pada penderita dengan gejala uremia.
4,6,7
b. Xerostomia Xerostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan penderita yang menjalani hemodialisis, gejala ini sangat sering dan signifikan. Hal ini sering teradi sebagai hasil dari manifestasi beberapa faktor seperti inflamasi kimia, dehidrasi, pernafasan melalui mulut ( Kussmaul’s respiration) dan keterlibatan langsung kelenjar salivarius, retriksi konsumsi cairan, dan efek samping dari obat. 4 Xerostomia cenderung menambah kerentanan penderita terhadap karies dan inflamasi gusi, kandidiasis, serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan retensi gigi palsu, kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman.6 c. Plak, Kalkulus dan Karies Terdapat berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari penyakit ginjal kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Dalam satu penelitian, xerostomia akan meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies karena retensi produk urea serta pengaliran dan produksi saliva yang sedikit. Proses dialisis dapat memperburuk kondisi rongga mulut dimana jumlah kalkulus meningkat, dan banyaknya dijumpai lesi karies. Deposit kalkulus dapat bertambah akibat dari hemodialisis. 9
5
Namun
menurut
beberapa
penelitian,
hidrolisis
urea
akan
menghasilkan konsentrasi ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa pada penderita penyakit ginjal kronis sehingga meningkatkan substansi fosfat dan ammonia dalam saliva dan hasilnya kapasitas buffer yang tinggi disertai risiko karies menurun. Hal ini turut didukung oleh peneliti, dimana hidrolisis urea mampu meningkatkan kapasitas antibakteri akibat peningkatan urea nitrogen dalam saliva. Kebenaran teori ini terus diperkuat terutama pada anak anak walaupun konsumsi gula yang tinggi dan kurang penjagaan kesehatan rongga mulut, risiko karies tetap rendah dan terkontrol.3,4 Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan erat dengan gangguan homeostatis kalsium fosfor. Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong oleh pH yang buruk pada penderita penyakit ginjal kronis karena hidrolisis urea saliva menjadi ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi basa. Secara langsung, retensi urea
akan
pembentukan
menfasilitasi kalkulus
alkanisasi terutama
plak
pada
gigi,
dan
penderita
meningkatkan
yang
menjalani
hemodialisis. Selain itu, penderita yang menjalani hemodialisis memiliki jumlah magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita yang menjalani hemodialisis mengandung oksalat, dan pada kondisi uremia turut menyebabkan retensi oksalat. 5 d. Pembesaran Gusi Pembesaran gusi sekunder akibat penggunaan obat adalah manifestasi oral pada penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh cyclosporin dan/atau calcium channel blockers. Prinsipnya mempengaruhi papilla interdental labia, walaupun kadang dapat menjadi lebih luas, yaitu dengan melibatkan tepi gusi dan lidah serta permukaan palatum. (i). Pembesaran gusi akibat cyclosporin
6
Prevalensi pembesaran gusi pada orang yang mengkonsumsi cyclosporin masih belum jelas, dan dilaporkan memiliki rentang yang luas dari 6 – 85%. Hal ini dapat terlihat pada pemakaian cyclosporin dalam 3 bulan. Anak-anak dan remaja mungkin lebih rentan terkena pembesaran gusi akibat cyclosporin dibandingkan dengan dewasa. Jika higienitas mulut jelek, orang yang lebih tua juga rentan terkena pembesaran gusi. 6 Perbaikan
pada
higienitas
mulut
dan
pembersihan
secara
professional menghasilkan pengurangan pembesaran gusi berhubungan dengan cyclosporin. Akan tetapi, ini mungkin dikarenakan berkurangnya peradangan dengan berhubungan dengan plak bukan karena pembesaran gusi yang berhubungan dengan obat. 10
(ii) Pembesaran gusi akibat calcium channel-blocker Prevalensi yang dilaporkan pembesaran gusi akibat penggunaan nifedipin bervariasi dan terjadi pada 10 – 83% pada yang mengkonsumsi obat ini. Tidak ada data penelitian mengenai frekuensi pembesaran gusi yang diakibatkan oleh calcium channel blocker lainnya. Keberadaan plak gigi mungkin mungkin merupakan predisposisi terjadinya pembesaran gusi akibat nifedipine. Tetapi itu tidak sangat berpengaruh dalam perkembangannya. Dosis dan durasi pengobatan tidak berkaitan dengan prevalensi
terjadinya
pembesaran
gusi.
Beberapa
penelitian
telah
melaporkan penurunan pembesaran gusi setelah penggantian nifedipin
7
dengan calcium channel-blocker lain, tetapi obat-obat ini juga sebagian masih dapat menyebabkan pembesaran gusi. 9,11 e. Lesi Mukosa Spektrum lesi mukosa yang luas dapat timbul pada rongga mulut tetapi lebih cenderung terjadi plak atau ulserasi keputih-putihan, yang sering didapat pada penderita yang menjalani transplantasi dan hemodialisis (Tabel 1). Plak ini disebut uremic frost (Gambar 2). Dan terjadi apabila sisa Kristal urea terdeposit pada permukaan epitel dari evaporasi respirasi, juga karena aliran saliva yang berkurang. Penyakit lichenoid juga dapat terjadi akibat efek dari terapi obat, dan oral hairy leukoplakia yang juga dapat
bermanifestasi
sekunder
dari
efek
imunosupresi
obat. 4,6,12
8
Sumber : Scott S.DeRossi D,S. Garry Cohen D.Renal Disease. In: Martin S. Greenberg D, Michael Glick D,editors. Burkett’s Oral Medicine. 11th ed. Ontario : BC Decker Inc;2008.p.407-28
9
Stomatitis uremik perlu diperhatikan dan dapat muncul sebagai daerah berpigmentasi putih, merah maupun keabuan pada mukosa oral. Pada stomatitis uremik tipe eritematous, suatu lapisan pseudomembran keabuan yang akan melapisi lesi eritema dan lesi ini selalu menyakitkan. Stomatitis uremik tipe ulseratif memiliki gambaran merah dan ditutupi lapisan yang pultaceous. Secara umum, gambaran stomatitis uremik amat luas tetapi unik dan tidak parallel secara klinis. Manifestasi klinis ini dapat terjadi akibat peningkatan nitrogen yang membentuk trauma kimia secara langsung akibat gagal ginjal. 4,6,9
Gambar 3. Hairy tongue Leukoplakia
10
Gambar 4. Papilloma
Gambar 5. Ulserasi
Gambar 6. Lichen Planus
11
f. Perubahan Warna Mukosa Mukosa rongga mulut penderita gagal ginjal serig terlihat lebih pucat. Hal ini disebabkan karena pengaruh anemia dari penderita tersebut dan kondisi ini disebut pallor. Gejala lain yang sering terlihat adalah warna kemerahan pada mukosa akibat deposit beta-karotin.6,9 g. Keganasan Rongga Mulut Risiko karsinoma sel skuamosa pada mulut pada pasien yang menerima hemodialisis adalah sama dengan risiko pada populasi orang yang sehat, walaupun telah ada laporan yang menunjukkan bahwa terapi yang menyertai transplantasi ginjal merupakan predisposisi kejadian displasia epithelial dan karsinoma pada bibir. Mungkin, Sarkoma Kaposi dapat muncul pada mulut resipien transplantasi ginjal yang mengalami imunosupresi. Ada beberapa laporan kejadian karsinoma sel skuamosa di daerah pembengkakan gusi yang disebabkan penggunaan cyclosporin. Tiap peningkatan risiko keganasan mulut pada pasien gagal ginjal kronis mungkin
menunjukkan
efek
imunosupresan
iatrogenik,
yang
meningkatkan kejadian tumor yang berhubungan dengan virus seperti sarcoma Kaposi atau limfoma Non Hodgkin. Perkembangan tumor juga bisa berkaitan erat dengan penderita AIDS yang menderita penyakit ginjal kronis, sebagai faktor risiko primer maupun sekunder. 6 h. Infeksi Rongga Mulut Infeksi rongga mulut pada penyakit ginjal kronis biasa lebih banyak terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal akibat menurunnya imunitas tubuh
oleh
obat-obatan
imunosupresan,
juga
pada
beberapa
pasien
hemodialisis. Infeksi yang sering terjadi adalah infeksi jamur dan virus. Angular cheilitis merupakan salah satu manifestasi infeksi jamur dan terjadi 4% pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal dan hemodialisis yang dilaporkan pada suatu penelitian, dan juga lesi jamur lainnya pada rongga mulut, seperti pseudomembranous (1,9%), erythemoatous (3,8%), dan chronic atrophic candidiosis (3,8%).3,12 Sedangkan infeksi virus pada penyakit ginjal
12
kronis biasanya berupa infeksi herpes yang pernah dilaporkan pada pasien yang menerima transplantasi ginjal, tetapi sekarang ini penggunaan rejimen anti herpes telah mengurangi frekuensi kejadian tersebut. 6
i.
Kelainan Gigi Beberapa kelainan struktur gigi seperti hipoplasia enamel, erosi gigi,
peningkatan mobility gigi, dan maloklusi dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal kronis. Gigi lambat tumbuh dilaporkan pada anak-anak dengan gagal ginjal kronis. Hipoplasia enamel pada gigi susu maupun permanen dengan atau tanpa warnanya berubah menjadi coklat juga dapat timbul akibat dari perubahan metabolism kalsium dan fosfor. Selain itu, pada gigi penderita tampak juga adanya erosi. Menurut beberapa penelitian, erosi yang parah pada gigi tersebut merupakan hasil mual dan muntah setelah menjalani perawatan dialisis.4,6,13 Manifestasi klinis lain termasuk mobility gigi, maloklusi, dan klasifikasi jaringan lunak. Peningkatan mobility dan drifting
pada gigi tanpa
13
pembentukan kantung periodontal yang patologis bisa terjadi dan dapat mengakibatkan pelebaran pada ligamen periodontal. Apabila keadaan ini semakin berlanjut maka dapat terjadi maloklusi. 4,6 j.
Lesi tulang alveolar Beragam jenis kelainan tulang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronis. Ini menunjukkan bermacam jenis kelainan metabolism kalsium, termasuk hidroksilasi dari 1-hidroksikolekalsiferol menjadi vitamin D aktif, penurunan eksresi ion hydrogen (dan asidosis yang diakibatkannya), hiperpospatemia, hipokalsemia, dan hiperparatiroidisme sekunder yang diakibatkan, dan terakhir gangguan biokimiawi pospat oleh proses dialisis. Hiperparatiroidisme sekunder mempengaruhi 92% pasien yang menerima hemodialisis. Hiperparatiroidisme dapat berakibat antara lain menjadi tumor coklat maksila, pembesaran tulang basis skeletal dan mempengaruhi mobilitas gigi. Beberapa kelainan pada tulang yang lain antara lain adalah demineralisasi tulang, fraktur rahang, lesi fibrokistik radioluse, penurunan ketebalan korteks tulang, dan lain-lain. Sedang pada gigi dan jaringan periodonsium antara lain, terlambat tumbuh, hipoplasia enamel, kalsifikasi pulpa, penyempitan pulpa, dan lain-lain.
E. Penatalaksanaan Gigi Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis
Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis memerlukan perawatan gigi yang khusus, bukan hanya karena adanya hubungan antara sistemik dan rongga mulut tetapi karena efek samping dan karakteristik dari perawatan yang diterima harus diperhatikan agar tidak menambah beban dan rasa sakit pada penderita. 8 Perawatan secara klinis yang teratur sangat penting untuk identifikasi dini dari komplikasi rongga mulut dari penyakit ginjal. Perawatan yang diindikasikan adalah perawatan periodontal yang teratur, dan non bedah. Selain itu, meskipun memiliki tingkat kebutuhan untuk perawatan gigi yang tinggi, kehadiran pasien ketempat perawatan gigi tidak lebih baik dibandingkan mereka yang tanpa penyakit ginjal.6,15
14
Dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam, terutama konsultasi dengan nefrologis untuk memberikan informasi mengenai status penyakit, jenis pengobatan, dan waktu yang tepat untuk perawatan gigi, ataupun mengenai komplikasi kesehatan apabila terjadi. Setiap adanya perubahan pengobatan yang digunakan oleh pasien atau aspek lain dari pengobatan yang digunakan oleh pasien atau aspek lain dari pengobatan mereka harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan nefrologis. 6,13 Kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah perdarahan
yang
berlebihan
dan
anemia
pada
penyakit
ginjal
kronis
sehinggadisarankan agar tes hematologi seperti darah rutin dan tes koagulasi dilakukan sebelum perawatan invasive dilakukan. Infeksi rongga mulut harus dieliminasi dan profilaksis antibiotik harus dipertimbangkan apabila risiko endokarditis infektif (pada penderita yang menjalani hemodialisis) dan septimia meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi, perawatan periodontal dan bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat dijadwalkan pada hari setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada tingkat paling minimal. Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah penderita harus diperhatikan dan disarankan untuk mengurangi perasaan cemas pada penderita dengan sedasi.6,13 Kebersihan mulut yang teliti dapat menurunkan plak yang berhubungan dengan penyakit gusi, tetapi mungkin masih ada beberapa penyakit pembesaran gusi yang diakibatkan oleh obat. Penatalaksanaan pembesaran gusi akibat efek obat idealnya adalah dengan mengganti dengan obat lain, tetapi ini tidak selamanya dapat dilakukan, salah satu penelitian melaporkan penggunaan obat kumur antimicrobial seperti metronidazole untuk mengurangi pembesaran gusi, tetapi metronidazole juga dapat meningkatkan konsentrasi cyclosporin dan berpotensial untuk nefrotoksik. Rekuren sering terjadi sehingga disarankan agar melakukan kontrol plak yang efektif dan dapat dibantu dengan pemberian klorheksidin glukonat topical atau triklosan.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrade MRTC, Mendes PCA dan Primo LG. Dental findings in a child with chronic renal failure secondary to cystinosis. Academy General Dentistry. 2012. 16-17 2. Dorland, W.A. Newman. Kamus saku kedokteran Dorland. Jakarta: EGC. 2011 3. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 4. Scott S.DeRossi D,S. Garry Cohen D.Renal Disease. In: Martin S. Greenberg D, Michael Glick D,editors. Burkett’s Oral Medicine. 11th ed. Ontario : BC Decker Inc;2008.p.407-28 5. Beherman,Kliekman dan Arfin. 2000. Ilmu kesehatan anak: Nelson ed. 15. Jakarta:EGC 6. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D, Porter S. Oral and Dental Aspect of Chronic Renal Failure. J dent Res. 2005. 84(3): 199-208 7. Suhardjono. The Development of A Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Program In Indonesia. Perit Dial Int. 2008. 59-62 8. Hamid MJ, Dummer CD, Pinto LS. Systemic Conditions, Oral Findings and Dental Management of Chronic Renal Failure Patients: General Considerations and Case Report. Braz Dent J. 2006. Vol. 17 (2) : 166-170 9. Craig RG, Spittle MA, Levin NW. Importance of Periodontal Disease in The Kidney Patient. Blood Purif. 2002. 20 (1): 113-119 10. Seymour RA, Smith DG. The Effect of Plaque Control Programme on The Incidence and Periodontal Health Status in Patients Undergoing Hemodialysis. J Am Dent Assoc. 2009. Vol 140 (10): 1283-1293
16
11. Westbrook P, Bednarczyk EM, Carlson M, Sheehan H, Bissada NF. Regression of Nifedipine-Induced Gingival Changes 12. De La Rosa Garcia E, Mondragon Padilla A, Aranda Romo S, Bustamante Ramirez MA. Oral Mucosa Symptoms, Signs and Lesions in End Stage Renal Disease and non-end stage Renal Disease Diabetic Patients. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2006. Vol 11. (6): E 467-473 13. Jover Cevero A, Bagan JV, Jimwnwz Soriano Y, Poveda Roda R. Dental Management in Renal Failure: Patients on Dialysis. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2008. Vol. 13 (7): 419-426 14. Chronic Kidney Disease in Children Clinical Presentation.2012.Author: Sanjeev
Gulati,
MBBS,
MD,
DNB(Peds),
DM,
DNB(Neph),
FIPN(Australia), FICN, FRCPC(Canada); Chief Editor: Craig B Langman, MD 15. King GN, Thornhill MH. Dental Attendance Patterns in Renal Transplant Recipients. Oral Dis. 1996. Vol.2 (2): 145-147
17