TRI DI UM MENGENAL CL OSTRI
TETANI PADA
TETANUS NEONATORUM (F.2)
Oleh:
dr. Oktania Putri Kusnawan
Anggota:
dr. Rizki Trya Permata dr. Merry Susanti dr. Syifa Andini Suparman dr. Astri Kania
Pendamping:
dr. Dorlina Panjaitan
PROGRAM DOKTER INTERNSIP PPSDM KEMENTRIAN KESEHATAN RI DAN KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA PUSKESMAS GUNUNG ALAM KABUPATEN ARGAMAKMUR BENGKULU UTARA 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulisan laporan ini dapat diselesaikan. Laporan ini disusun sebagai laporan tugas Puskesmas Formula 2 dokter internsip. Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik berupa bimbingan, hasil diskusi kelompok, buku-buku referensi serta hal lainnya. Oleh karena itu penulis berdoa mudah-mudahan segala bantuan yang telah diberikan selama ini akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat pendamping kami yang telah banyak memberikan bimbingan. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian penyelesaian laporan ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik membangun membangun agar dapat memberikan yang lebih baik di kemudian hari. Akhir kata, mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Arga Makmur, Mei 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulisan laporan ini dapat diselesaikan. Laporan ini disusun sebagai laporan tugas Puskesmas Formula 2 dokter internsip. Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik berupa bimbingan, hasil diskusi kelompok, buku-buku referensi serta hal lainnya. Oleh karena itu penulis berdoa mudah-mudahan segala bantuan yang telah diberikan selama ini akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat pendamping kami yang telah banyak memberikan bimbingan. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian penyelesaian laporan ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik membangun membangun agar dapat memberikan yang lebih baik di kemudian hari. Akhir kata, mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Arga Makmur, Mei 2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.
Tetanus neonatorum terjadi pada neonatus (bayi berusia 0-28 hari) dan menyerupai tipe tetanus generalisata. Spora dari kuman Clostridium tetani tetani masuk melalui pintu masuk satu-satunya ke tubuh bayi baru lahir, yaitu tali pusat. Peristiwa tersebut dapat terjadi pada pemotongan tali pusat ketika bayi baru lahir maupun perawatan perawatan sebelum lepas tali pusat. Tetanus dapat mengakibatkan kesulitan menetek dan menangis berlebihan disusul kesulitan menelan, kekakuan tubuh dan spasme. Opistotonus dapat terjadi sangat hebat atau tidak timbul sama sekali. Di negara-negara berkembang angka kejadian tetanus neonatorum 85% dengan mortalitas akibat tetanus neonatorum akan mendekati 100% terutama kasusdengan masa inkubasi pendek.
Kasus tetanus banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah. Data organisasi kesehatan dunia WHO menununjukkan kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proseskelahiran. Menurut laporan kerja WHO pada bulan April 1994, dari 8,1 juta kematian bayi didunia, sekitar 42% kematian neonatal disebabkan oleh infeksi tetanus neonatorum, sedangkan angka kejadian tetanus neonatorum di Indonesia, pada tahun 1992 sebanyak 760 kasus,meninggal 478 dengan CFR 72,42%. Pada tahun 1995 sebanyak 806 kasus, meninggal 475kasus dengan CFR 58,93%. Tahun 1996 terdapat 816 kasus, meninggal 499 dengan CFR61,15%. Dan pada tahun 1997 terdapat 570 kasus, meninggal 106 dengan CFR 18,6%.Sejak
tahun
1989,WHO
memang
mentargetkan
eliminasi
tetanus
neonatorum.Sebanyak 104 dari 161 negara berkembang telah mencapai keberhasilan tersebut. Tetapi, karena tetanus neonatorum masih merupakan persoalan signifikan di 57 negara berkembang lain, maka UNICEF ,WHO dan UNFPA pada Desember 1999 setuju mengulur eliminasi hingga 2005. Secara umum faktor-faktor risiko yang dipandang mempengaruhi kejadian dan kematian pada tetanus neonatorum adalah status imunisasi ibu dan higienitas yang kurang selama dan setelah persalinan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PERMASALAHAN
2.1. Tetanus Neonatorum 2.1.1 Definisi
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman , bermanisfestasi tetani
Clostridium
dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh
badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka. Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat. Tetanus neonatorum
merupakan penyebab
kejang yang sering dijumpai pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatan yang tidak aseptik. Penyakit tetanus merupakan salah satu yang berbahaya karena mempengaruhi sistem saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan
trismus
(lockjaw),
spasme
otot
umum,
melengkungnya
punggung
(opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.
2.1.2
Etiologi
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan
saraf perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh Clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium
tetani sangat
tahan
terhadap
desinfektan
kimia,
pemanasan
dan
pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
Gambar Mikroskopik Clostr idi um
. tetani
Faktor predisposisi pada tetanus, antara lain: 1. Umur tua atau anak-anak 2. Luka yang dalam dan kotor 3. Belum terimunisasi
2.1.3
Faktor Resiko
Terdapat 5 faktor resiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu: a. Faktor Resiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting bukan saja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain. b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang
dimana
bidan-bidan
yang
melakukan
pertolongan
persalinan
masih
menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir. c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum.
d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat penting. Tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan saja berisiko untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang akan dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril. e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus dapat membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko infeksi Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah mendapatkan imunisasi TT. 2.1.4
Patofisiologi
Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berproliferasi dapat disebabkan berbagai keadaan antara lain : 1) Luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng, pisau, cangkul dan lain-lain. 2) Luka karena kecelakaan kerja (kena parang, kecelakaan lalu lintas). 3) Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, teli nga dan tonsil.
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat (SSP) dan sistim saraf perifer. Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian bagian tubuh terganggu. Ketegangan otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan leher. Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan mulai timbul kejang. Jika toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistem saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan, perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi, gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis) merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut timbul.
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut : 1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otototot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat. 2. Penyebaran melalui sistem limfatik Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik. 3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat. 4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP) Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin :
Tetanus lokal Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibodi terhadap toksin tetanus yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di sekitar luka. Tetanus sefal Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis. Ascending Tetanus Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP. Tetanus umum Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf. Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik.
Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut. 2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas. Cara kerja toksin
Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen , sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik. Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari
Gram positif anaerob,
Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, diphteri, botulisme). Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
Gambar Patofisiologi Tetanus
2.1.5
Tanda dan Gejala pada Tetanus
1) Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari 2)
Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
3)
Kesukaran membuka mulut (trismus)
4) Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang 5) Saat kejang tonik tampak risus sardonikus
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan perilaku seperti menangis dan menyusui seperti bayi yang normal pada dua hari yang pertama. Pada hari ke3, gejala-gejala tetanus mula kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis.
Gambar Epistotonus pada Tetanus Neonatorum
Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin panjang masa inkubasi. Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum adalah: a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar membuka mulut. Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut sehingga bayi tak dapat menetek. b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik ke samping dan ke bawah. c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur tulang vertebra. d. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding perut teraba seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung lebih dari 5 hari, perlu dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
e. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kekakuan yang terusmenerus dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospamin dapat menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun (bradikardia), atau kadar denyut jantung meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului dengan ketgangan otot terutama pada rahang dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus) karena spsme otot massater. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk (opistotonus) dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Bila serangan kejang tonik sedang berlangsung serimng tampak risus sardonikus karena spsme otot muka dengan gambaran aksi tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. Gambaran umum yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam ekstrensi lengan kaku dan tangan mengapal biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul proksimal, dapat dicetus oleh rangsangan suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul spontan. Karena kontraksi otot sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak). Kadang dijumpai demam yang ringan dan biasanya pada stadium akhir. Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus, antara lain : 1) Badan kaku dengan epistotonus 2) Tungkai dalam ekstensi 3) Lengan kaku dan tangan mengepal 4) Biasanya keasadaran tetap baik 5) Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.
Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit menelan.
2.1.6
Klasifikasi
Menurut Ablett’s Tingkat I : tanpa dysfagia dan ganggguan respirasi Tingkat II: spastisitas nyata, gangguan menelan (disfagia) dan gangguan respirasi. Tingkat III a: dengan spastisitas berat disertai spasme berat Tingkat IIIb: Sama dengan tingkat IIIa disertai adanya aktivitas simpatis berlebihan (disotonomia)
Menurut Patel and Joag •
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
•
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
•
Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
•
Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Tingkatan penyakit:
Tingkat I: Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0 %
Tingkat II: Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10 %.
Tingkat III: Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%.
Tingkat IV: Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%.
Tingkat V: mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya adalah tetanus neonatorum maupun puerpurium.
2.1.7
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek. Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.
Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
2.1.8
Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler.
Diagnosis Banding
Meningitis
Demam, sakit kepala, perubahan tingkat kesadaran, tanda iritasi meningen (nuchal rigidity , kernig’s sign positive)
Ensefalitis
Demam
(hiperpireksia),
kesadaran, muntah,
penurunan
kejang-kejang bisa
bersifat umum, fokal atau twitching saja, paresis atau paralisis dan afasia. Tetani karena hipokalsemia Trismus
akibat
proses
Adanya spasme karpopedal lokal
yang Biasanya trismus asimetris
disebabkan supuratif
mastoiditis, kronis
otitis
media
(OMSK),
abses
peritonsilar. Rabies
Dijumpai
gejala
kesukaran
menelan,
hidrofobia pada
dan
anamnesis
terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
2.1.9
Komplikasi
Bronkopneumonia
Asfiksia
Sepsis Neonatorum
2.1.10 Penatalaksanaan
1. Berikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan Nacl fisiologis (4:1) selama 4872 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1.5% dalam perbandingan 4:1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah terlebih dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, mellui infus diberikan tambahan protein dan kalium. 2. Diazepam awal dosis 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kg BB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukkan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara IV perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tambahan diazepam 5 mg/kg BB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kg BB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diturunkan secara
bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara IV. 3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus. Atau dapat diberikan Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG), untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap
imunoglobulin
atau
komponen
human
immunoglobuline
sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM. 4. Ampicilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis IV selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis, pengobatan seperti pasien sepsis linnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis. 5. Tali pusat dibersihkan/dikompres dengan alkohol 70% atau betadine 10%. 6. Perhatikan jalan nafas dan tanda-tanda vital lainnya, bila perlu berikan oksigen.
2.1.11 Prognosa
Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk. Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu :
1) Masa Inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari) 2) Neonatus dan usia tua (lebih dari 5tahun)
3) Frekuensi kejang yang sering 4) Kenaikan suhu badan yang tinggi 5) Pengobatan terlambat 6) Periode trismus dan kejang yang semakin sering 7) Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas
2.1.11 Pencegahan pada Tetanus
Pencegahan penyakit tetanus meliputi : 1) Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan 2) Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X 3) Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat 4)
Pemberian anti tetanus serum.
2.2. Permasalahan
2.2.1 Data Administrasi Pasien
a. Nama / Umur
: By. Ny. S/ 8 hari
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. No. register
:-
d. Status kepegawaian
:-
e. Status sosial
: menengah ke bawah
2.2.2 Data Administrasi Orang Tua Pasien
-
Nama Ayah / Umur
: Tn. P/ 26 tahun
-
Jenis Kelamin
:Laki-laki
-
No. register
:-
-
Status kepegawaian
:-
-
Status sosial
: menengah ke bawah
2.2.3
2.2.4
2.2.5
-
Nama Ibu/ Umur
: Ny. S/ 24 tahun
-
Jenis Kelamin
: Perempuan
-
No. register
:-
-
Status kepegawaian
:-
-
Status sosial
: menengah ke bawah
Data Demografis
a. Alamat
: Gunung Selan
b. Agama
: Islam
c. Suku
: Rejang
d. Pekerjaan
:-
e. Bahasa Ibu
: Bahasa rejang
Data Biologik
a. Panjang Badan
: 50cm
b. Berat Badan
: 2700 gram
c. Status Kelahiran
: BBLC, Aterm, Sesuai Masa Kehamilan
Data Klinis
a. Anamnesis
:
Keluhan Utama : Kejang Riwayat Penyakit Sekarang 2 hari SMRS : Pada pukul 08.00 pasien tiba-tiba demam, tidak terlalu tinggi,
tidak menggigil waktu demam, pasien tidak batuk, tidak pilek, tidak sesak
nafas, tidak mencret, tidak muntah, dan tidak kejang. Pada hari ini ibu mencium bau tidak enak pada tali pusat pasien, kemudian ibu membersihkan tali pusat pasien dengan lap yang dibasahi dengan air dari sumur. Pasien menjadi rewel dan tidak menetek. 1 hari SMRS : pada pukul 20.00 pasien tiba- tiba kejang, yang hilang timbul,
kejang sebanyak 5 kali selama ± 3 menit. Kejang di seluruh tubuh, leher, punggung dan perutnya kaku. Pada saat kejang pasien sadar dan merintih. Saat kejang tidak mengeluarkan busa dan mulut pasien mencucu, dan mulut tidak bisa dibuka. Tali pusat pasien mengeluarkan bau yang busuk dan basah. Demam tinggi, tidak muntah, tidak batuk pilek, tidak mencret. SMRS : pasien datang ke IGD jam 09.45 masih kejang sebanyak 3 kali selama
± 2 menit. Leher, punggung dan perutnya kaku. Mulutnya mencucu. Pasien masih tidak bisa menetek karena mulut tidak dapat dibuka. Tidak ada sesak nafas, BAK lancar, pasien tidak BAB sejak satu hari yang lalu. Riwayat Kehamilan : ibu pasien hanya dua kali melakukan pemeriksaan
kehamilan ke bidan. Pada saat usia kehamilan bulan ke-4 dan ke-7. Dan pasien mengaku tidak melakukan imunisasi. Riwayat Persalinan : pasien lahir dari ibu G1P0A0, lahir spontan dibantu
oleh dukun, cukup bulan, lahir langsung menangis, berat badan dan panjang badan lahir tidak diketahui. Riwayat Pasca Lahir : tali pusat dirawat oleh dukun, ASI keluar dan
langsung bisa menyusui setelah melahirkan Kesan : Kualitas kehamilan, persalinan dan pasca persalinan tidak baik. Riwayat Imunisasi : pasien tidak mendapatkan imunisasi.
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
: Lemah
Kesadaran
: Komposmentis
Tanda-tanda Vital
: FJ : 170x/min reguler, RR : 32x/min, Suhu : 38,6 0Celcius
Pemeriksaan Khusus
:
a. Kepala
: trismus (+), mulut mencucu
b. Leher
: kuduk kaku
c. Thoraks
: Jantung dan Paru-paru dalam batas normal
d. Abdomen
: datar, bising usus (+) normal, timpani, kaku
e. Anogenital
: dalam batas normal
f. Eksterimitas
: dalam batas normal
g. Kulit
: sianosis
Status neurologis : Leher : kuduk kaku (+) Ekstermitas atas dan bawah : hipertoni (+) Saraf Otak : CN VII: tanda Chvostek (+) Refleks Primitif: Refleks Primitif positif, kecuali refleks menghisap negatif. Sensoris : sulit dievaluasi Saraf otonom : BAK (+), BAB (-)
c. Pemeriksaan Penunjang Hb : 19,g mg/dl Leukosit : 12.400 /mm3
Ht : 56,8 % Trombosit : 170.000/mm3 d. Penatalaksanaan : 1.
2.
3.
Terapi Suportif
Bebaskan jalan nafas dari lendir
O2 nasal 1 liter/menit
Kebutuhan cairan : 459cc/hari (infus)
Kebutuhan kalori : 270 kkal/hari
Bersihkan tali pusat : alkohol 70% atau dengan betadine
Isolasi pasien dari berbagai rangsang.
Medikamentosa
Diazepam : 54 mg dalam syrringe pump per 24 jam
Ampicillin : 4x67,5 mg IV selama 10 hari
Gentamicin : 2x 5 mg
ATS :10.000 unit per hari IM selama 2 hari
Prognosis : Dubia ad malam
BAB III PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI
3.1.
Metode Penyuluhan
Metode penyuluhan yang dilakukan untuk mensosialisasikan tentang penyakit tetanus neonatorum dan kaitannya dengan kesehatan lingkungan sehingga kejadian penyakit neonatorum dapat dicegah. Dengan sasaran masyarakat khususnya ibu hamil, ibu yang memiliki bayi balita dan masyarakat. Dilakukan dengan pemberian informasi dan memberikan permahaman, selanjutnya dilakukan diskusi 2 arah mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam membentuk lingkungan yang sehat. 3.2.
Intervensi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita anaknya merupakan infeksi yang disebabkan oleh Clostridium tetani dan bersifat gawat darurat.
Menjelaskan tentang penyakit tetanus neonatorum, cara penularan, gejala klinis, dan perjalanan penyakitnya.
Menjelaskan hubungan kejadian tetanus neonatorum dengan kesehatan lingkungan terutama dengan memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, pemotongan tali pusat menggunakan alat yang tidak steril, dan perawatan tali pusat yang tidak bersih.
Menjelaskan kepada pasien mengenai upaya pencegahan primer, sekunder dan terutama tersier agar tidak terjadi komplikasi yang lebih berat.
BAB IV PELAKSANAAN (PROSES INTERVENSI)
4.1.
Strategi Penanganan Masalah
Diagnosis Klinis
: Tetanus Neonatorum
Penanganan masalah :
Promotif : -
Penyuluhan tentang penyakit tetanus neonatorum pengetahuan
bagi
masyarakat
melalui
→ peningkatan
pendekatan
pengendalian
lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. -
Bagi petugas kesehatan diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan menggunakan alat yang steril.
Preventif : -
Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan persalinan perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tidak terjadi kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat dilakukan. Praktik Tiga Bersih perlu diterapkan, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat, dan bersih alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan bidan. Air untuk mandi dan mencuci juga perlu diperhatikan karena dapat menjadi sumber infeksi.
-
Menjelaskan tentang penyakit dan pencegahan tetanus, khususnya tetanus neonatorum,
serta
upaya-upaya
agar
penyakit
tidak
pengoptimalan terapi untuk mencegah komplikasi lanjut.
terjadi
dan
-
Perawatan pasca lahir, tidak boleh mengoleskan atau menabur yang tidak higienis pada tali pusat
-
Vaksinasi pada saat lahir dengan Tetanus Toxoid (TT). Berikan ibunya imunisasi TT 0,5 ml untuk melindungi ibu dan bayi yang dikandung berikutnya dan minta datang kembali satu bulan kemudian untuk pemberian dosis kedua.
Kuratif : -
Diazepam awal dosis 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kg BB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukkan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam).
-
ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
-
Ampicilin 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis IV selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis, pengobatan seperti pasien sepsis lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
-
Tali pusat dibersihkan/dikompres dengan alkohol 70% atau betadin e 10%.
Rehabilitatif : -
Pemberian nutrisi untuk kebutuhan kalori dan meningkatkan daya tahan tubuh.
-
Edukasi pasien mengenai upaya pencegahan morbiditas , antara lain:
Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kekakuan.
Dukungan psikososial dan keluarga
-
Anjuran agar pasien kontrol kembali untuk menilai keefektifan terapi dan upaya mencegah komplikasi.
Gambar Penyuluhan Tetanus Neonatorum
Gambar Penjelasan Mengenai Tetanus Neonatorum
Gambar Peran Pasien dan Petugas Kesehatan Dalam Pencegahan Tetanus Neonatorum
Gambar Peran Pasien dan Keluarga dalam Pengobatan Penyakit Tetanus Neonatorum
BAB V MONITORING DAN EVALUASI 5.1.Monitoring
Monitoring
difokuskan
pada
aspek
promotif
dan
preventif
dengan
mewujudkan kesehatan lingkungan yang dapat mencegah timbulnya penyakit tetanus neonatorum . Peran serta keluarga dan masyarakat merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan, kelangsungan dan kemandirian pembangunan kesehatan, terutama dalam hal ini mengenai pengobatan pasien dan pencegahan penyebaran penyakit tetanus neonatorum. Peran serta keluarga dan masyarakat dalam pencegahan penyakit tetanus neonatorum diwujudkan antara lain dengan menjalankan cara hidup sehat dan penyelenggara berbagai upaya/ pelayanan kesehatan.
5.2.Evaluasi
Upaya yang dilakukan untuk menekan angka kesakitan dan kematian akibat tetanus neonatorum, yaitu melalui program pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar, antara lain: -
Laporan ke instansi kesehatan setempat
-
Isolasi: diperlukan untuk menghindari dari berbagai rangsangan untuk mencegah terjadinya kejang bagi pasien tetanus.
Perawatan di rumah sakit biasanya
dilakukan selama penanganan reaksi obat.
- Imunisasi terhadap bayi dan bagi ibu untuk melindungi bayi pada kehamilan berikutnya.