1.
TERAPI FARMAKOLOGI
Algoritma terapi pada pasien PCOS dapat dijelaskan dengan gambar berikut (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011);
Gambar 6.1 Algoritma Terapi pada Pasien Polycystic Pasien Polycystic Ovary Syndrome (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011).
Gangguan hormonal yang terjadi pada wanita dengan PCOS dapat mempengaruhi ovulasi, sehingga lebih sulit bagiwanita dengan PCOS untuk hamil secara alami. Terapi farmakologi dapat digunakan untuk menginduksi ovulasi tetapi umumnya terapi ini merupakan lini kedua setelah terapi gaya hidup intensif pada wanita yang kelebihan berat badan dengan PCOS. Beberapa obat yang digunakan dalam menangani wanita dengan PCOS adalah sebagai berikut (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011); a.
Clomiphene Citrate Clomiphene citrate merupakan obat golongan selektif estrogen reseptor modulator dengan bahan estrogenik maupun anti-estrogenik. Obat ini pertama kali disetujui sebagai terapi pada wanita dengan PCOS pada tahun 1967 dan telah digunakan sebagai terapi lini pertama untuk menginduksi ovulasi selama lebih dari 40 tahun. Bekerja sebagai anti-estrogenik, clomiphene citrate secara kompetitif menghambat ikatan estradiol dengan reseptornya di hipotalamus dan pituitari sehingga kerjanya menjadi berlawanan dengan estrogen endogen termasuk estradiol. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi gonadotropin-releasing hormone dari hipotalamus yang berakibat pada peningkatan produksi dan sekresi FSH dan LH dari kelenjar pituitari (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011). Pada prakteknya, penggunaan standar dari clomiphene citrate (CC) adalah selama 5 hari, dimulai padasiklus menstruasihari ke-2 sampai ke-5, dengan dosis pemberian awal 50 mg/hari dan dapat ditingkatkan hingga 150 mg/hari. Apabila tidak terjadi ovulasi setelah pemberian clomiphene citrate hingga dosis 150 mg/hari, maka terjadi resistensi terhadap clomiphene citrate. Apabila pasien tidak mengalami kehamilan setelah 6 siklus ovulasi pada pemberian clomiphene citrate, maka pasien dinyatakan gagal oleh terapi clomiphene citrate (Australian Goverment National Healt h and Medical Research Council Article, 2011). Wanita yang tidak resisten terhadap penggunaan CC diperkirakan sebanyak 15%. Dikarenakan adanya efek anti-estrogenik pada CC, dapat mengakibatkan terjadinya proliferasi endometrium yang tidak baik sehingga menurukan kemungkinan gagalnya implantasi embrio ((Melo et al, 2015). Studi mengenai clomiphene citrate menunjukkan kejadian ovulasi pada pasien sebesar 60-85% dan kejadian kehamilan pada pasien sebesar 30-50% setelah pemberian terapi selama 6 siklus ovulasi. Perbedaan yang dangat terlihat antara tingkat ovulasi yang baik dan tingkat kehamilan yang rendah telah dikaitkan dengan efekantiestrogenik dari clomiphene citrate pada endometrium dan mukosas erviks. Tingkat kehamilan kembar dua dan kembar tiga dengan clomiphene citrate adalah 5-7%
dan0,3%. Sedangkan tingkat kejadian ovarian hyperstimulation syndrome yakni kurang dari 1%. Berdasarkan beberapa studi yang telah ada, diketahui bahwa batas maksimal terapi clomiphene citrate adalah hingga 12 siklus ovulasi, karena apabila lebih dari 12 siklus ovulasi maka akan meningkatkan resiko tumor ovarium (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011).
b.
Metformin Wanita yang memiliki kompensasi hiperinsulinemia dapat mempengaruhi kondisi pasien dengan PCOS pada 65-80% pasien. Hiperinsulinemia menyebabkan peningkatan biosintesis androgen pada ovarium setelah diuji secara in vivo dan in vitro, menurunkan sintesis SHBG dari hati, dan meningkatkan bioavailabilitas dari androgen bebas. Kelebihan produksi ovarium androgen lokal ini menyebabkan atresia folikel dini dan anovulasi(Jean-Hailes, 2011). Metformin diketahui merupakan obat golongan insulin-sensitizing yang digunakan dalam upaya menginduksi ovulasi dan meningkatkan kehamilan. Metf ormin adalah
biguanida
yang
digunakan
sebagai
agen
antihyperglycemic
yang
diadministrasikan melalui mulut dalam pengobatan DM tipe 2. Laporan pertama kali yang disetujui pada penggunaan metformin sebagai pengobatan untuk PCOS adalah pada tahun 1994. Suatu studi baru menyatakan bahwa penggunaan metformin pada sistem reproduksi pada wanita dengan PCOS menunjukkan peningkatan hasil namun kebanyakan studi tersebut hanya dalam sampel yang kecil (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011). Metformin terdapat di pasaran dalam dua formulasi yakni sediaan lepas segera dan sediaan lepas lambat. Regimen terapi dari metformin pada pasien PCOS tidak memiliki standar dalam praktek klinisnya, dan beberapa protokol telah menggunakan berdasarkan studi klinis yang ada pada literatur berupa dosis sebesar 1500 hingga 2500 mg/hari (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011). c.
Gonadotropin Terapi dengan gonadotropin biasanya digunakan sebagai terapi lini kedua pada wanita dengan PCOS yang mengalami kegagalan terapi atau resistensi dengan clomiphene citrate, namun sensitivitas terhadap terapi gonadotropin meningkat pada PCOSdengan peningkatan perkembangan beberapa folikel dan pembatalan siklus. Gonadotropin juga dapat meningkatkan resiko kehamilan ganda dan
ovarian
hyperstimulation syndrome. Regimen terapi dari gonadotropin diawali dengan dosis 50 hingga 75 IU/hari dari FSH selama 7 hingga 10 hari dan ditingkatkan dosisnya sebesar 37,5 IU setiap minggu apabila perkembangan folikel tidak meningkat hingga ≥12mm. Regimen terapi ‘step-down’ juga dapat digunakan yakni dengan diawali pemberian dosis sebesar 150 IU dari FSH hingga perkembangan folikel dominan dan selanjutnya diturunkan dosisnya hingga terjadi ovluasi oleh human chorionic gonadotrophin ((Melo et al, 2015).
d.
Aromastase Inhibitor Obat golongan aromastase inhibitor disetujui sebagai obat oral yang dapat menginduksi ovulasi pada wanita dengan PCOS (yang memiliki respon tidak adekuat dengan terapi clomphene citrate) pada tahun 2001. Obat golongan aromastase inhibitor yang paling sering digunakan untuk menginduksi ovulasi adalah letrozole dan anastrazole. Enzim aromastase merupakan bagian dari sitokrom P450 hemoprotein yang berisi enzim kompleks super family dan mengkatalisis konversi dari androgen menjadi estrogen, terutama konversi testosteron dan androstenedione menjadi estradiol dan estrone dalam ovarium. Sedangkan, aromastase inhibitor menghambat biosintesis estrogen dengan cara memberikan respon estrogenik negatif dan meningkatkan sekresi FSH dari pituitari. Hal ini menyebabkan ovarium menerima stimulasi FSH yang berlebihan, sehingga pertumbuhan dan perkembangan folikular menjadi meningkat. Di lain sisi terjadi pula penumpukan androgen yang biasanya dikonversi menjadi estrogen di ovarium dan androgen ini akan meningkatkan sensitivitas folikel terhadap FSH (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011). Letrozole adalah obat golongan aromastase yang lebih sering digunakan dibanding anastrazole. Letrozole biasanya diberikan pada hari ke-3 sampai ke-7 pada siklus menstruasi dengan dosis 2,5-7,5 mg/hari. Efek samping yang ditimbulkan adalah gangguan pencernaan, asthenia, rasa terbakar di tenggorokan, sakit kepala dan nyeri punggung. Potensi efek teratogenik letrozole untuk pengobatan wanita dengan PCOS pertama kali dikemukakan pada pertemuan American Society for Reproductive Medicine pada tahun 2005 dimana dikatakan bahwa penggunaan letrozole untuk pengobatan wanita dengan PCOS dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi pada penyakit bawaan jantung dan malformasi tulang pada bayi yang baru lahir. Tetapi, beberapa studi juga menyatakan bahwa penggunaan letrozole untuk menginduksi ovulasi tidak terkait dengan peningkatan risiko yang signifikan pada anomali fetal,
dimana anomali kongenital yang ditemukan pada grup pengguna letrozole adalah sebesar 0%; 2,4%; 0% dan 1 %, sedangkan pada grup pengguna clomiphene citrate adalah sebesar 2,6%; 4,8%, 2% dan 0,3% (Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article, 2011).
Dapus Australian Goverment National Health and Medical Research Council Article. Evidence-based Guideline for the Assessment and Management of Polycystic Ovary Syndrome. Centre for Research Excellent in Polycistic Ovary Syndrome, 2011 : 91-103.