LAPORAN KASUS CVD INFARK TROMBOTIK
Oleh: Adi Kurniawan H1A 010 040 Pembimbing: dr. Ilsa Hunaifi, Sp. S
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RSU PROVINSI NTB MATARAM 2016 KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya. Laporan kasus yang berjudul “CVD infark trombotik” ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU Provinsi NTB. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis. 1 2 3 4 5
dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S, selaku pembimbing dr. Ester Sampe, Sp.S, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB dr. Wayan Subagiartha, Sp.S, selaku supervisor dr. Herpan Syafii Harahap, M.Biomed, Sp.S selaku supervisor Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih. Mataram, 17 April 2016 Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1
Stroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan baik karena faktor aliran darah maupun pembuluh darah yang timbul secara tiba-tiba dengan tanda atau gejala yang sesuai di daerah yang terganggu. Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tertinggi setelah penyakit jantung dan kanker di dunia. Pada tahun 2008, jumlah prevalensi stroke di United State sekitar 7.000.000 dengan perkiraan satu pasien akan mengalami kematiansetiap 4 menit. Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua. Jenis stroke yang paling sering terjadi adalah stroke iskemia yaitu Sekitar 65-80%, sedangkan sisanya adalah karena stroke hemoragik.1,2 Penyebab stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke infark atau iskemi dan stroke perdarahan atau hemoragik. Munculnya etiologi stroke iskemia maupun hemoragik karena adanya faktor resiko yang meningkatkan kejadian stroke. Faktor resiko penyebab
stroke
berupa
hipertensi,
diabetes
melitus,
hiperlipidemia,
hiperhomosisteinemia, dan merokok. Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyebab stroke, sehingga penanganan yang baik pada hipertensi dapat menurunkan insiden dan angka kematian akibat stroke. Dengan adanya faktor resiko akan memperparah kondisi pasien apabila faktor resiko tidak dapat diobati atau ditangani dengan baik.3
BAB II LAPORAN KASUS A. IDENTITAS Nama Usia
: Tn. Z : 60 tahun
2
Jenis kelamin Alamat Suku Bangsa Agama Status Pekerjaan No. RM MRS Tanggal pemeriksaan
: Laki-laki : Beleke, Lombok Barat : Sasak : Indonesia : Islam : Menikah : Pensiunan : 57 64 78 : 7 April 2016 : 11 April 2016
B. SUBJECTIVE Keluhan Utama Lemah anggota gerak sebelah kanan Riwayat Penyakit Sekarang Pasien merupakan rujukan dari RSUD Gerung dengan diagnosa suspek stroke non hemoragik. Pasien datang ke IGD RSUP NTB karena dikeluhkan mengalami lemah separuh badan bagian kanan yang tidak bisa digerakkan sama sekali. Keluhan dirasakan mendadak sejak bangun tidur pagi pada tanggal 7 april sekitar jam 5 pagi. Pasien sudah mulai merasakan lemah pada sore hari sebelumnya yaitu pada tanggal 6 april tetapi separuh badan bagian kanan pasien masih bisa digerakkan. Pasien langsung dibawa ke RSUD Gerung pada pagi harinya dan akhirnya dirujuk ke RSUP NTB pada sore harinya. Pasien mengaku mulai bisa menggerakkan anggoota badannya yang bagian kanan setelah dirawat di rumah sakit selama sehari, tidak sampai 24 jam. Pasien tidak pernah mengalami keluhan muntah, nyeri kepala, kejang, penurunan kesadaran, bicara pelo dan pandangan kabur. Kesemutan, rasa tebal atau kebas pada kulit disangkal oleh pasien. Pasien mengaku baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. BAK dan BAB tidak dikeluhkan ada kelainan oleh pasien. Riwayat Penyakit Dahulu
3
Pasien belum pernah mengalami stroke atau mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat penyakit jantung juga disangkal pasien. Riwayat DM disangkal. Kolesterol disangkal. Riwayat trauma kepala disangkal oleh pasien. Pasien mengaku memiliki penyakit hipertensi sejak sudah lama dan sering berobat ke puskesmas setempat. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien saat ini. Riwayat diabetes mellitus, penyakit jantung dalam keluarga juga disangkal. Pasien mengaku banyak dari anggota keluarga pasien yang mengalami hipertensi. Riwayat Alergi Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan tertentu Riwayat Pribadi dan Sosial Pasien merupakan seorang pensiunan, pasien memilik kebiasaan merokok 4-5 batang perhari, pasien mengaku tidak pernah minum-minuman beralkohol.
C. OBJEKTIF Pemeriksaan Fisik 1) Status Generalis Keadaan Umum : baik Kesadaran : GCS E4V5M6 Vital Signs : o Tekanan darah : 180/100 mmHg o Nadi : 92 x/menit, regular, kuat angkat o Frekuensi nafas : 20 x/menit
4
o Suhu : 36,7 ºC 2) Status Lokalis a) Kepala Anemis : (-/-) Ikterus : (-/-) Sianosis : (-) Bentuk dan ukuran : normal Rambut : normal. Edema : (-) Malar rash : (-) Hiperpigmentasi : (-) Nyeri tekan kepala : (-) Massa : (-) b) Thorax 1. Inspeksi: Bentuk & ukuran: normal, simetris antara sisi kiri dan kanan Gerakan dinding dada simetris, kelainan bentuk dada (-), ictus
cordis tidak tampak Permukaan dinding dada: jejas (-), papula (-), petechiae (-), purpura
(-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena kolateral (-), massa (-). Penggunaan otot bantu nafas: SCM tidak aktif, tak tampak
hipertrofi SCM, otot bantu napas abdomen tidak aktif Iga dan sela iga: simetris, pelebaran ICS (-) Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: simetris kiri dan
kanan. 2. Palpasi: Pengembangan dinding dada simetris Trakea: deviasi (-) Nyeri tekan (-), benjolan (-), edema (-), krepitasi (-) 3. Perkusi: Paru-paru o Perkusi sonor di semua lapang paru Jantung o Batas kanan → ICS 2 parasternal dekstra o Batas kiri → ICS 5 midklavikula sinistra 4. Auskultasi: Paru-paru:
5
o Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-). Jantung: o S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-). c) Abdomen Inspeksi : distensi (-), jejas (-), massa (-) Auskultasi : bising usus (+) kesan normal Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba. Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen d) Ekstremitas : Akral hangat :
Edema
:
Deformitas
:
CRT <2 detik
+ + -
+ + -
Status Neurologis 1. GCS 2. Kepala
: E4V5M6 : Posisi
normal
Penonjolan (-) Jejas (-) 3. Nervus Cranialis a) N. I (olfaktorius) : Normosmia b) N. II (optikus) OD 3/60 Sesuai dengan permeriksa tde
Ketajaman penglihatan Lapang pandang Funduskopi
OS 3/60 Sesuai dengan permeriksa tde
c) N. III, IV dan VI
Celah kelopak mata Ptosis
: -/-
Exophthalmus
: -/-
Posisi bola mata
: orthoforia ODS 6
Pupil Ukuran/bentuk
: Ø 3/3 mm bulat
Isokor/anisokor
: isokor
Refleks cahaya
: RCL (+/+), RCTL (+/+)
Gerakan bola mata Paresis : tidak ada Nistagmus : tidak ada d) N. V (Trigeminus) Sensibilitas : N. V1 → normal N. V2 → normal N. V3 → normal Motorik : inspeksi/palpasi (istirahat/menggigit) normal Refleks dagu/masseter Refleks kornea e) N. VII (fasialis) Motorik
: normal : normal
m. frontalis
Istirahat Normal Gerakan mimik Normal Pengecapan 2/3 lidah bagian depan: tde f) N. VIII (Auditorius)
Pendengaran
: tde
Tes Rinne/Weber
: tde
Fungsi vestibularis
: tde
m. orbicularis
m. orbikularis
okuli Normal Normal
oris Normal Normal
g) N. IX, X (Glodsofaringeus, Vagus)
Posisi arkus faring (istirahat/ vernet Rideau phenomenon) : Normal, uvula di tengah
Refleks menelan/muntah
: Normal/tde
Pengecap 1/3 lidah bagian posterior
: tde
Suara
: normal 7
Takikardia/bradikardia
: (-)
h) N. XI (Accecorius)
Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan
: normal
Mengangkat bahu
: normal
i) N. XII (Hypoglosus)
Deviasi lidah
: istirahat simetris, menjulurkan lidah simetris
Fasikulasi
: (-)
Atrofi
: (-)
Tremor
: (-)
Ataksia
: (-)
4. Leher
Meningeal Sign
:
o
Kaku kuduk
: (-)
o
Tanda Brudzinski I
: (-)
o
Tanda Brudzinski II
: (-)
o
Kernig’s sign
: (-)
Kelenjar lymphe
Arteri carotis o Palpasi o Auskultasi
: Pembesaran KGB (-)
: frekuensi 92 x/menit, reguler, kuat angkat, thrill (-). : bruit (-)
Kelenjar tiroid : struma (-)
5. Abdomen
Refleks kulit dinding perut : Normal
6. Kolumna Vertebralis
Inspeksi
: Normal
Pergerakan
: Normal
8
Palpasi
Perkusi
: Normal : Normal
7. Ekstremitas Superior Dextra Sinistra Pergerakan Aktif Aktif Kekuatan 4 5 Tonus Otot Normal Normal Bentuk Otot Normal Normal Otot yang terganggu : (-) 8. Refleks Fisiologis Biceps : +2/+2 Triceps : +2/+2 Patella : +2/+2 Achilles : +2/+2 9. Refleks Patologis Hoffman : (-/-) Trommer : (-/-) Babinsky : (-/-) Chaddock : (-/-) Gordon : (-/-) Schaefer : (-/-) Oppenheim : (-/-) 10. Klonus Lutut : (-) Kaki : (-) Motorik
11. Sensibilitas Eksteroseptif
: Nyeri Suhu
Dextra Aktif 4 Normal Normal
Inferior Sinistra Aktif 5 Normal Normal
→ Normal → tde
Raba halus → Normal
Proprioseptif
: Rasa sikap → tde Nyeri dalam → tde
9
Fungsi kortikal
: Diskriminasi→ tde Stereognosis → tde 12. Pergerakan Abnormal yang Spontan : Tic (-), tremor (-) 13. Gangguan Koordinasi Tes jari hidung : Normal Tes pronasi dan supinasi : Normal Tes tumit : Normal 14. Gangguan Keseimbangan : Tde 15. Gait : Tde 16. Pemeriksaan Fungsi Luhur : Kesan Normal
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap Parameter HB RBC HCT MCV MCH MCHC WBC EO BASO
07/04/16 16,3 g/dL 6,78 x 106 /uL 48,1 % 70,9 fL 24,0 pg 33,9 g/dL 11,91 x 103 /uL 1,4 % 0,02 %
Nilai Rujukan 11,5 – 16,5 4,0 – 5,0 37,0 – 45,0 82,0 – 92,0 27,0 – 31,0 32,0 – 37,0 4,0 – 11,0 0–1 0–1
10
NEUT LYMPH MONO PLT
6,23 % 36,6 % 9,5 % 286 x 103 /uL
50 – 70 25 – 33 3–8 150 – 400
Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik Parameter GDP G 2 PP Koleterol total Triglyserida HDL-Kolesterol LDL-Kolesterol Asam Urat
12/04/16 84 mgl/dl 137 mgl/dl 220 mgl/dl 147 mgl/dl 43 mgl/dl 147 mgl/dl 5,1 mgl/dl
Nilai Rujukan 70-106 <160 <200 <200 >45 <130 L:3,5-7,2 Hasil Pemeriksaan CT scan
kepala
tanggal 07/04/2016
E. RESUME Pasien laki-laki usia 60 tahun
dating
dengan
keluhan
lemah
separuh
badan
bagian
kanan mendadak yang
dirasakan
sejak tanggal 7
11
april sekitar jam 5 pagi. Bicara pelo (-), penglihatan kabur (-), nyeri kepala (-), mual atau muntah (-), riwayat pingsan dan kejang (-), kesemutan, rasa tebal atau kebas pada kulit (-). Pasien memiliki riwayat hipertensi. Dikeluarga pasien juga mempunyai riwayat hipertensi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, GCS E4V5M6, tekanan darah 180/100 mmHg. Nadi 92x/menit, laju pernapasan 20x/menit, suhu aksila 36,7oC. Pada pemeriksaan neurologi untuk kekuatan motorik didapatkan pada ekstremitas atas 4/5 dan pada esktremitas bawah 4/5. Untuk refleks fisiologis +2 pada biceps, triceps, patella dan achilles. Tidak ditemukan adanya refleks patologis. Untuk pemeriksaan sensori masih dalam batas normal. F. ASSESSMENT 1. Diagnosis klinis Hemiparese dextra akut 2. Diagnosis topis Oklusi pada pangkal arteri serebri media pada subkorteks 3. Diagnosis etiologi Stroke infark trombotik 4. Diagnosis sekunder Hipertensi
G. PLANNING 1. Diagnostik CT Scan kepala: sudah dilakukan 2. Terapi Farmakologi - IVFD RL 20 tpm - Inj. Piracetam 3 gr/ 8 jam (iv)
12
-
Inj. Citicoline 500 mg/ 8 jam (iv) CPG 1 x 70 mg (po) Aspilet 1 x 80 mg (po) Valsartan 1 x 80 mg (po)
Non farmakologi -
Tirah baring Kepala pasien diposisikan pada posisi 30 derajat Oksigen nasal canul 2 liter/menit
H. Monitoring Keluhan, tanda vital, GCS (glasgow coma scale), status neurologis I. Prognosis
Ad vitam Ad functionam
: dubia ad malam : dubia ad bonam
J. Pembahasan dan Clinical Reasoning Stroke didefinisikan sebagai disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark serebri fokal, spinal atau retina, berdasarkan patologi, imaging atau bukti obyektif adanya iskemia serebri, medulla spinalis atau retina sesuai distribusi vaskuler dan dengan gejala yang menetap ≥ 24 jam atau sampai meninggal dan penyebab lainnya telah disingkirkan. Pada kasus ini pasien memenuhi kriteria stroke berdasarkan definisi tersebut, dimana pasien mengalami disfungsi neurologis berupa kelemahan anggota gerak yang berlangsung < 24 jam tetapi sudah terbukti dengan adannya hasil CT-Scan.
13
Keluhan berupa lemahnya bagian tubuh yang terjadi secara tiba-tiba menandakan adanya suatu defisit neurologis yang bisa disebabkan oleh adanya sumbatan atau perdarahan. Pada kasus ini keluhan muncul tiba-tiba ketika pasien bangun tidur tanpa didahului oleh gejala nyeri kepala hebat sehingga gangguan defisit neurologis akibat infark lebih cenderung terjadi pada pasien ini. Diagnosis klinis stroke dapat ditentukan dengan skor Siriraj atau skor Gajah mada apabila kita berada di fasilitas yang tidak memadai untuk dilakukan pemeriksaan penunjang lengkap. Contoh pada kasus: Berdasarkan SKOR Stroke Siriraj
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
diastolik) – (3 x penanda ateroma) – 12 (2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0,1 x 100) - (3 x 1) – 12 0 + 0 + 0 + 10 – 3 – 12 = Interpretasi: SS <-5 = Stroke Non Hemoragik
Berdasarkan Algoritma Gajah Mada
Penurunan kesadaran Nyeri kepala Babinski Interpretasi
: (-) : (-) : (-) : Stroke iskemik akut atau stroke infark
Pada pasien ini lebih mengarah ke stroke infark atau stroke iskemik akut. Kemungkinan yang masih ada yaitu stroke infark trombotik dan stroke infark emboli. Pada kasus ini tidak didapatkan adanya kelainan pada jantung pasien, sehingga bukan mengarah ke stroke infark emboli. Pasien ini memiliki riwayat hipertensi dan merokok sehingga pada pasien ini mengarah pada stroke infark trombotik. 14
Berdasarkan sistem TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment), terdapat 5 subtipe stroke iskemik dimana hal tersebut lebih didasarkan pada gejala klinis. 1 2 3 4 5
Arterosklerosis arteri besar Infark Kardioembolic Oklusi arteri kecil / lacunar infarc Stroke akibat penyebab lain yang dapat ditentukan Stroke akibat penyebab lain yang tidak dapat ditentukan Pada pasien ini, dari anamnesis didapatkan bahwa tidak ada gejala gangguan
fungsi serebral atau brain stem seperti gangguan kognisi, aphasi, neglect, atau restricted motor involvment, pada pemeriksaan fisik juga tidak didapatkannya bruit pada arteri karotis, sehingga kemungkinan arterosklerosis arteri besar dapat disingkirkan. Pada pasien ini, juga tidak didapatkan adanya kelainan pada jantung pasien, seperti atrial fibrilasi, mitral stenosis, infark miokard, infeksi endokarditis dan lainlain. Sehingga dengan ini dapat menyingkirkan infark kardiemboli. Pada pasien ini didapatkan gejala motorik yaitu hemiparese dekstra dengan derajat yang sama dan terdapat gangguan lakuner sindrom yaitu hipertensi sehingga dapat disimpulkan kemungkinan pada pasien ini oklusi pembuluh darah terjadi pada arteri kecil/lakunar. Karena derajat parese sama antara lengan dan tungkai maka kemungkinan yang menyalurkan impuls untuk gerakan lengan dan tungkai diperdarahi oleh satu arteri yang sama, yang hal tersebut dapat terjadi di subkorteks yaitu kapsula interna, disana terdapat pangkal dari arteri cerebri media dan arteri cerbri anterior yang memberikan suplai darah ke korteks motorik yang disebut arteri lentikulostriata. Tatalaksana pada penderita stroke dibedakan menjadi terapi umum dan terapi khusus yang tergantung apakah pasien mengalami stroke hemoragik ataupun stroke iskemik. Terapi umum yang diberikan pada pasien berupa pemberian O2 2 lliter/menit, head up 300, pemasangan kateter, pemberian nutrisi dan rehabilitasi medik, menghindari terjadinya dikubitus dan kontraktur.
15
Tatalaksana farmakologis tidak dilakukan trombolitik mengingat onset >3 jam, antiplatelet diberikan untuk menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri kolateral. Neuroprotektor sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang efektif, namun diyakini data dapat menghambat proses kerusakan neuroglia pada area penumbra. Citicolin sampai saat ini masih menjadi pilihan. Prognosis tergantung dari usia, ukuran trombus, dan arteri yang terkena serta penyakit yang menyertai.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.1
16
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid.1 B. Klasifikasi Stroke dapat dibagi menjadi:3 1. Stroke iskemik a. Stroke emboli b. Stroke trombotik i. Thrombosis pembuluh darah besar ii. Thrombosis pembuluh darah kecil/lacunar infark 2. Stroke hemoragik a. Stroke perdarahan intraserebral b. Stroke perdarahan subaraknoid
Berdasarkan system TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment) Sistem TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment) pertama kali dikembangkan kepada terapi stroke iskemik akut pada awal tahun 1990. Sistem ini didasarkan pada sebagian besar fitur klinis namun tetap mempertimbangkan informasi diagnostik dari CT, MRI, transthoracic echocardiography, extracranial carotid ultrasonography, dan jika memungkinkan, cerebral angiography.5 Sistem TOAST membagi stroke menjadi 5 subtipe yaitu, large artery atherosclerosis
(LAAS),
cardiaoembolic
infarct
(CEI),
small
artery
occlusion/lacunar infarct (LAC), stroke of another determined cause/origin (ODE), dan stroke of an undetermined cause/origin (UDE). 5
17
Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan system TOAST 5 1. Aterosklerosis Arteri Besar Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses atero-sklerosis. Gambaran klinis yang dapat terjadi berupa aphasi, neglect, atau restricted motor involvment, disfungsi brain stem, dan serebral. Riwayat terjadinya transient ischemic attecks (TIA, dan terdengar bruit pada arteri karotis juga dapat menegakkan diagnosis. Gambaran CT sken otak MRI menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar. 2. Kardioembolic infarct Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari: a. Resiko tinggi o Prostetik katub mekanik o Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi o Fibrilasi atrial (other than lone atrial fibrillation) o Atrial kiri / atrial appendage thrombus o Sick sinus syndrome o Infark miokard baru (<4 minggu) o Thrombus ventrikel kiri o Kardiomiopati dilatasi o Segmen ventricular kiri akinetik o Atrial myxoma o Infeksi endokarditis b. Resiko sedang o Prolapsus katup mitral 18
o Kalsifikasi annulus mitral o Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial o Turbulensi atrial kiri o Aneurisma septal atrial o Paten foramen ovale o Atrial flutter o Lone atrial fibrillation o Katup kardiak bioprostetik o Trombotik endokarditis nonbacterial o Gagal jantung kongestif o Segmen ventrikuler kiri hipokinetik o Infark Miokard (> 4minggu, < 6 bulan) 3. Oklusi Arteri Kecil Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu gejala gangguan lakunar sindrom dan tidak memiliki bukti bahwa terdapat disfungsi dari kortikal serebral. Riwayat diabetes atau hipertensi dapat membantu penegakan diagnostic. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT Sken/MRI otak normal atau infark lakunar dengan diameter <1,5mm di daerah batang otak atau subkortikal. 4. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang dapat ditentukan (stroke of another determined cause/origin (ODE) a. Non-aterosklerosis Vaskulopati o Noninflamiasi o Inflamasi non infeksi o Infeksi b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi
19
5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan (stroke of an undetermined cause/origin (UDE) C. Epidemiologi Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien stroke dari 28 rumah sakit di Indonesia. Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama pada usia >45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua.1 Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk dan kecacatan;1,6% tidak berubah; 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari.3
D. Faktor Resiko Tabel 1. Faktor Resiko Stroke1,2 20
Bisa dikendalikan Hipertensi Penyakit Jantung Fibrilasi atrium Endokarditis Stenosis mitralis Infark jantung Merokok Dyslipidemia Penggunaan alkohol Inaktifitas fisik Obesitas
Tidak bisa dikendalikan Umur Jenis kelamin Herediter Ras dan etnis Geografi
E. Manifestasi Klinis Gambaran klinis stroke iskemik tergantung pada area otak yang mengalami iskemik.3 Lokasi Oklusi
Gejala dan tanda
Arteri Serebri Anterior
Gejala oklusi arteri serebri anterior antara lain gangguan buang air kecil yang terjadi oleh karena kegagalan penghambatan
refleks
kontraksi
kandung
kemih.
Terdapat pula paresis dan hilangnya sensorik pada tungkai kontralateral. Arteri Serebri Media a. Stroke pada devisi Hemiparesis kontralateral yang terjadi pada wajah, superior arteri serebri tangan, lengan namun kaki tidak mengalami paresis. media
Gangguan hemisensorik kontralateral pada daerah distribusi yang sama namun tidak terdapat homonimus hemianopsia. Bila terjadi pada hemisfer dominan terdapat gejala
b. Stroke
pada
afasia broca devisi Homonimus hemianopia, terdapat pula gangguan fungsi
inferior arteri serebri sensorik kortikal seperti graphiestesia, dan stereognosis
21
media
pada kontralateral lesi Gangguan visospasial, termasuk hilangnya kewaspadaan terhadap kelainan yang diderita (anosognosia), neglek dan gangguan untuk mengenal ekstremitas kontralateral, dressing apraxia dan konstruksional apraxia bila yang terlibat adalah hemisfer dominan, afasia wernicke dapat pula terjadi.
Acute confosional state (hemisfer non dominan) c. Oklusi pada bifurcasio Hemiparese kontralateral, gangguan sensorik kontra atau trifurcasio arteri lateral yang mengenai wajah dan lengan lebih berat dari serebri media
pada tungkai, homonym hemianopsia dan bila terkena
pada hemisfer dominan akan terjadi afasia global d. Oklusi pada pangkal Mirip dengan oklusi trifurkasio dengan tambahan infark arteri media
pada
jaras
motorik
pada
kapsula
interna
yang
menghasilkan parese kontra lateral lesi pada wajah, Arteri karotis Interna
lengan, tangan dan tungkai. Transient monocular blindness. Oklusi arteri karotis dapat asimptomatik. Oklusi symptomatik menyebabkan syndrome yang mirip dengan arteri serebri media (hemiplegi kontralateral, defisit hemisensorik dan homonimus
Arteri Serebri posterior
hemianopsia,
afasia
pada
hemisfer
dominan) Homonim hemianopia kontralateral lapangan pandang dengan macular spared, abnormalitas okuler, parese N III, internuklear Opthalamoplegi, deviasi mata ke vertical. Oklusi di lobus occipital terutama pada hemisfer dominan pasien dapat mengalami afasia anomik. Aleksia tanpa agraphia, ataupun agnosia visual. Dapat pula terjadi sindrom diskoneksi korpus kallosum. Infark
kedua
hemisfer
arteri
serebri
posterior 22
menyebabkan kebutaan kortikal, gangguanmemori, prosopagnosia a. Cabang
(gangguan
mengenal
wajah
yang
familiar), juga beberapa gangguan prilaku. pedunkulus Sindroma weber: kelemahan wajah dan ekstremitas
arteri serebri posterior kontralateral, parese N.III ipsilateral proksimal b. Cabang paramedian
tegmntum Parese N III ipsilateral ataksia tungkai kontra lateral, arteri hemiballismus dan choreoathetosis
serebri posterior Cabang arteri basilaris a. Cabang distal arteri Hemiparese kontralateral, parese N XII ipsilateral, vertebralis b. PICA inferior
gangguan sensorik kontralateral (posterior Sindrom Wellenberg: cerebellar Ataksia tungkai ipsilateral, hilangnya rasa eksteroseptif
arteri)
ipsilateral wajah dan kontralateral ekstremitas, sindrom horner ipsilateral, vertigo, nistagmus, suara parau,
c. Arteri
disfagia, hiccup. perforantes Hemiparese kontralateral,
pada pons paramedia
diartia,
kadang
ataksia
kontralateral, ditambah dengan: parese N.VII dan N VIII ipsilateral, gaze paresis (infark inferior) atau parese N VII kontralateral, internuklear opthalmoplegia (infark
d. AICA inferior arteri) e. SCA
superior) (anterior Ataksia ipsilateral, hilangnya sensasi ipsilateral wajah cerebellar dan kontra lateral ekstremitas, vertigo, nistagmus, tuli dan tinnitus, parese N VII, sindroma horner ipsilateral (Superior Ataksia ipsi lateral, diartria, hilangnya sensorik
cerebellar arteri) dan kontralateral, cabang
sindroma
horner
ipsilateral,
choreoathetosis ipsilateral, tuli ipsilateral
sirkumferensial longus F. Diagnosis
23
Secara umum untuk membedakan apakah stroke perdarahan atau strok iskemik dapat dilakukan dengan menghitung siriraj skor berikut: Gejala/tanda Derajat Kesadaran Vomitus Nyeri kepala Tekanan darah Ateroma
Skor Stroke Siriraj Penilaian (0) Kompos mentis 1 Somnolen (2) Sopor/koma (0) Tidak ada 1 Ada (0) Tidak ada 1 Ada Diastolik (0) Tidak ada 1 Salah satu atau lebih: DM, angina, penyakit
Indeks X 2,5 X2 X2 X 0,1 X3
pembuluh darah. Skor >1
: Perdarahan Supratentorial
Skor -1 s.d 1 : perlu CT-Scan Skor < -1
: Infark Serebri
G. Stroke Infark Trombotik Definisi Stroke infark trombotik adalah stroke yang disebabkan oleh karena adanya oklusi pembuluh darah yang disebabkan oleh karena adanya trombosis.3 Etiologi Trombus adalah pembentukan bekuan platelet atau fibrin di dalam darah yang dapat menyumbat pembuluh vena atau arteri dan menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan lokal. Trombus ini bisa terlepas dari dinding pembuluh darah dan disebut tromboemboli. Trombosis dan tromboemboli memegang peranan penting dalam patogenesis stroke iskemik. Lokasi trombosis sangat menentukan jenis gangguan yang ditimbulkannya, misalnya trombosis arteri dapat mengakibatkan infark jantung,
24
stroke,
maupun
claudicatio
intermitten,
sedangkan
trombosis
vena
dapat
menyebabkan emboli paru.6 Trombosis merupakan hasil perubahan dari satu atau lebih komponen utama hemostasis yang meliputi faktor koagulasi, protein plasma, aliran darah, permukaan vaskuler, dan konstituen seluler, terutama platelet dan sel endotel. Trombosis arteri merupakan komplikasi dari aterosklerosis yang terjadi karena adanya plak aterosklerosis yang pecah.6 Trombosis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen dibawahnya. Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena adanya glikoprotein dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian akan merangsang trombosit dan agregasi trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam granula-granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah.6 Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat serangan migrain. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik.6 Patofisiologi Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya adalah aterosklerosis, dengan mekanisme trombosis yang menyumbat arteri besar dan arteri kecil, dan juga melalui mekanisme emboli. Terjadinya ateroskerosis diawali dari terbentuknya fatty streak yang kemudian berkembang progresif sampai terjadi
25
lesi sebagai akibat dari gangguan aliran darah dan atau tebentuknya trombus yang menyebabkan iskemik pada organ target. 7 Kerusakan endotel menyebabkan perubahan permiabilitas endotel, perubahan sel endotel atau perubahan hubungan antara sel endotel dan jaringan ikat dibawahnya. Sel endotel dapat terlepas sehingga terjadi hubungan langsung antara komponen darah dan dinding arteri. Kerusakan endotel akan menyebabkan pelepasan growth factor yang akan merangsang masuknya monosit ke lapisan intima pembuluh darah. Demikian pula halnya lipid akan masuk kedalam pembuluh darah melalui transport aktif dan pasif. Monosit pada dinding pembuluh darah akan berubah menjadi makrofag akan memfagosit kholesterol LDL, sehingga akan terbentuk foam sel. 7 Monosit berubah menjadi makrofag oleh macrophage colony stimulating factor (M-CSF) yang ekspresinya disebabkan oksidasi LDL dan faktor nuclear kappa B (NFkB). Kemampuan M-CSF merangsang pengambilan dan degradasi modified lipoprotein oleh scavenger receptor akan menyebabkan pembentukan sel busa yang akan menjadi fatty streak (prekusor plak aterosclerosis) dan selanjutnya akan menjadi plak fibrosa. Platelet derived Growth Factor (PDGF) yang dihasilkan sel vaskular dan lekosit yang menginfiltrasi akan mempengaruhi migrasi dan proliferasi sel otot polos dari tunika media ke intima. Sel otot polos dengan matrik ekstraseluler akan membentuk kapsula fibrosa yang memisahkan inti lipid dengan aliran darah. Transforming growth factor (TGF)-beta akan menghambat proliferasi sel otot polos dan merangsang produksi matrik ekstraseluler. Pembentukan kapsula fibrosa plak aterosklerosis tergantung keseimbangan kedua hal tersebut. 7 Proses tersebut berlanjut dengan terjadinya sel-sel otot polos arteri dari tunika adventisia ke tunika intima akibat adanya pelepasan platelet derived growth factor (PDGF) oleh makrofag, sel endotel, dan trombosit. Selain itu, sel-sel otot polos tersebut yang kontraktif akan berproliferasi dan berubah menajdi fibrosis. Makrofag, sel endotel, sel otot polos maupun limfosit T (terdapat pada stadium awal plak aterosklerosis) akan mengeluarkan sitokin yang memperkuat interaksi antara sel-sel tersebut. 7 26
Adanya penimbunan kolesterol intra dan eksta seluler disertai adanya fibrosis maka akan terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari plak tersebut, sel-sel lemak dan lainnya akan menjadi nekrosis dan terjadi kalsifikasi. Plak ini akan menginvasi dan menyebar kedalam tunika media dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menebal dan terjadi penyempitan lumen. Degenerasi dan perdarahan pada pembuluh darah yang mengalami akan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah sehingga terjadi perangsangan adhesi, aktifasi dan agregasi trombosit, yang mengawali koagulasi darah dan trombosis. Trombosit akan terangsang dan menempel pada endotel yang rusak, sehingga terbentuk plak aterotrombotik. 7 Tempat tersering terjadinya fatty streak adalah di daerah bifurkasio dengan aliran darah yang turbulen. Arteri serebral plak sering terjadi pada bifurkasio arteri karotis dimana arteri carotis interna berasal. Aterosklerosis pada arteri serebri media (MCA) mempengaruhi bagian pertama (M1 segmen) dimana meluas dari tempat arteri berasal sampai bifurkasio pada fisura sylvian. Pada sistem vertebrobasiler plak sering ditemukan pada tempat asal arteri vertebral dan arteri basilar. Dengan bertambahnya usia fatty streak berubah menjadi plak fibrosa, sering ditemukan pada usia pertengahan dan orang tua. Plak ini terdiri dari inti seluler debris, free ekstraselular lipid, dan krista dari foam cells, otot polos yang berubah, limfosit dan connective tissue. Aterosklerosis berkembang menjadi complicated lesion, dimana terjadi kalsifikasi, deposit hemosiderin, dan gangguan permukaan lumen pembuluh darah.7 Aterosklerosis dapat menyebabkan stroke iskemik dengan cara trombosis yang menyebabkan tersumbatnya arteri-arteri besar terutama a. karotis interna, a. serebri media atau a. basilaris, dapat juga mengenai arteri kecil yang mengakibatkan terjadinya infark lakuner. Sumbatan juga dapat terjadi pada vena-vena atau sinus venosa intra kranial. Dapat juga terjadi emboli, dimana stroke terjadi mendadak karena arteri serebri tersumbat oleh trombus dari jantung, arkus aorta atau arteri besar lainnya.7
27
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah, elektrolit, analisa gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung, prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi maupun hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit ditujukan untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat maupun magnesium.6 Pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis metabolik. Hipoksia dan hiperkapnia juga menyebabkan gangguan neurologis. Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan untuk menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan hematologi lengkap dapat diperoleh data tentang kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan trombositemia esensial adalah kelainan sel darah yang dapat menyebabkan stroke. 3,6,8
CT scan Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk menegakan diagnosis stroke.3,6,8
Magnetic Resonance Imaging (MRI) Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan medulla spinalis. Kelemahan alat 28
ini adalah preosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal.6
Angiografi: dapat dilakukan bila ada kecurigaan stenosis pembuluh darah balik ekstra cranial maupun intracranial
EEG: Dilakukan pada pasien stroke yang dicurigai mengalami kejang.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan Umum Stroke Akut2 A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat 1 Evaluasi Cepat dan Diagnosis Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi: a
Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko
b
stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain). Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan
c
ekstremitas. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale)
(AHA/ASA, Class 1, Level of evidence B). 2. Terapi Umum a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
29
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada
pasien dengan defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP). Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95% (ESO, Class V, GCP). Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence C). Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi
oksigen (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi. b. Stabilisasi Hemodinamik Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik seperti glukosa). Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan
cairan dan nutrisi. Usahakan CVC 5 -12 mmHg. Optimalisasi tekanan darah. Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
30
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence B). Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi
Kardiologi). Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum Tekanan darah Pemeriksaan jantung Pemeriksaan neurologi umum awal: i. Derajat kesadaran ii. Pemeriksaan pupil dan oculomotor iii. Keparahan hemiparesis d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK) Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence B). Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA,
Class V, Level of evidence C). Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg. Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi: i. Tinggikan posisi kepala 200 – 300 ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik iv. Hindari hipertermia v. Jaga normovolernia vi. Osmoterapi atas indikasi: o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, 31
Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi. o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB vii.
i.v. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
viii.
operatif. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot
ix.
sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class
x.
III, Level of evidence A). Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke
xi.
iskemik serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang menimbulkan
efek
masa,
merupakan
tindakan
yang
dapat
menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). e. Penanganan Transformasi Hemoragik Tidak ada anjuran khusus tentang
terapi
transformasi
perdarahan
asimptomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain
32
dengan memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
f. Pengendalian Kejang Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU. Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa
kejang tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C). Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak
ada kejang selama pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C). g. Pengendalian Suhu Tubuh Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C). Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA
Guideline) atau 37,5 oC (ESO Guideline).3 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk
mendeteksi meningitis. Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic (AHA/ASA Guideline).
B. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat2 1. Cairan a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
33
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral). c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas). d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal. e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah. f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia. 2. Nutrisi a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik. b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik. c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi: Karbohidrat 30-40 % dari total kalori Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %) Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari). d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi. e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral. f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin. 3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C).
34
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of evidence A).1 c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai Kasur antidekubitus. d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru. e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence A).5 Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral perlu diperhatikan.6 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B). 4. Penatalaksanaan Medis Lain a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse glukosa 10-20%. b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bisa digunakan. c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi. d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung). e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK. f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil. g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten. h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan indikasi. i. Rehabilitasi. j. Edukasi. k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit). 35
C. Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke Akut2 Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST: International Stroke Trial 2002. Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-shaped relationship) (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun
hemoragik)
dengan
kematian
dan
kecacatan.
Hubungan
tersebut
menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan kecacatan. Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini. a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.
36
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial.
Tekanan
darah
diturunkan
dengan
menggunakan
obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg. d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hatihati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg. f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral. g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas. h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak. i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan
37
ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular. j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin. k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas. l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 1525% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama. D. Penatalaksanaan Stroke Iskemik2 1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut 2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik (AHA/ASA, Level of evidence A). 3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia 4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah secara
karakteristik
dengan
meningkatkan
tekanan
perfusi
tidak
direkomendasikan (grade A). 5. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut 6. Pemberian antikoagulan 38
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke ulang awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). b. Antikoagulasi urgent tidak drekomendasikan pada penderita dengan stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko komplikasi perdarahan intracranial (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dlam jangka waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke iskemik
akut
tidak
bermanfaat.
Namun,
beberapa
ahli
masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi pemberian heparin juga termasuk infark besar >50%, hipertensi yang tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas. 7. Pemberian antiplatelet a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48 jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A). b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah pemberian obat trombolitik tidak dierkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke iskemik akut, tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence 39
C), kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik, misalnya angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave MI, atau recent stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah kejadian (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A). f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). 8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). 9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). 10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut, pemantauan kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan secara ketat. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). 11. Tindakan endarterektomi carotid pada stroke iskemik akut akut dapat mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan. Tindakan endovascular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C). 12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). Namun, citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI secara multisenter, pemberian Plasmin oral 3x500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita stroke akut berupa perbaikan motoric, score MRS dan Barthel index. 13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
40
Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan. Penelitian The International Study On Cerebral Vein And Dural Sinus Thrombosis (ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko terbanyak, antara lain kontrasepsi oral (54,3%), trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%), infeksi dapat berupa infeksi SSP, infeksi organ-organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%), gangguan hematologi seperti anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obatobatan (7,5%), keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk cedera kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST diberikan secara komprehensif, yaitu dengan terapi antitrombotik, terapi simptomatik, dan terapi penyakit dasar. Pemberian terapi UFH atau LMWH direkomendasikan untuk diberikan, walaupun terdapat infark hemoragik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Terapi dilanjutkan dengan antikoagulan oral diberikan selama 3-6 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence C). E. Terapi Spesifik Stroke Akut2 Prosedur Aplikasi Pemberian Terapi Trombolisis rTPA pada Stroke Iskemik Akut. Rekomendasi
pengobatan
stroke
didasarkan
pada
perbedaan
antara
keuntungan dan kerugian dalam tatalaksana yang diberikan. Fibrinolitik dengan rTPA secara umum memberikan keuntungan reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral yang bermakna. Pemberian fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis stroke iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam pemberian intraarterial). 1. Kriteria inklusi a. Usia > 18 tahun b. Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas c. Awitan dapat ditentukan secara jelas (<3 jam, AHA guideline 2007 atau <4,5 jam, ESO 2009) d. Tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT-Scan
41
e. Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan resiko yang mungkin timbul dan harus ada persetujuan secara tertulis dari penderita atau keluarga untuk dilakukan terapi rTPA 2. Kriteria eksklusi a. Usia>80 tahun b. Defisit neurologi yang ringan dan cepat membaik atau perburukan defisit c. d. e. f. g. h. i. j.
neurologi yang berat Gambaran perdarahan intrakranial pada CT Scan Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir Infark multilobar (gambaran hipodens > 1/3 hemisfer serebri Kejang pada saat onset stroke Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis post iktal Riwayat stroke atau cedera kepala berat dalam 3 bulan sebelumnya Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan fisik Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu
sebelumnya k. Riwayat perdarahan gastrointestinal atau traktus urinarius dalam 3 minggu l. m. n. o.
sebelumnya Tekanan darah sistolik > 185 mmHg, diastolik >110 mmHg Glukosa darah <50 mg/dl atau > 400 mg/dl Gejala perdarahan subarachnoid Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau pungsi lumbal
dalam 1 minggu sebelumnya p. Jumlah platelet <100.000/mm3 q. Mendapat terapi heparin dalam 48 jam yang berhubungan dengan r. s. t. u.
peningkatan aPTT Gambaran klinis adanya perikarditis pascainfark miokard Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya Wanita hamil Tidak sedang mengkonsumsi antikoagulan oral atau bila sedang dalam
terapi antikoagulan hendaklah INR < 1,7. 3. Golden hour untuk rencana pemberian rTPA (< 60 menit) a. Pasien tiba di IGD dengan diagnosis stroke b. Evaluasi dan pemeriksaan pasien oleh triage (termasuk anamnesis, permintaan laboratorium dan menilai NIHSS) waktu < 10 menit c. Didiskusikan oleh tim stroke (termasuk keputusan dilakukan pemberian rTPA) waktu < 15 menit d. Dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala, waktu <25 menit 42
e. Hasil pemeriksaan CT-Scan kepala dan laboratorium, waktu < 45 menit f. Pemberian rTPA (bila pasien memenuhi kriteria inklusi), waktu < 60 menit 4. Protokol penggunaan rTPA intravena a. Infus Rtpa 0,9 mg/kg (maksimum 90 mg) dalam 60 menit dengan 10% dosis diberikan sebagai bolus dalam 1 menit b. Masukkkan pasien ke ICU atau unit stroke untuk pemantauan c. Lakukan penilaian neurologi setiap 15 menit selama pemberian infus dalam setiap 30 menit setelahnya selama 6 jam berikutnya, kemudian tiap jam hingga 24 jam setelah terapi d. Bila terdapat nyeri kepala berat, hipertensi akut, mual, atau muntah, hentikan infus (bila rTPA sedang dimasukkan) dan lakukan CT Scan segera e. Ukur tekanan darah setiap 15 menit selama 2 jam pertama dan setaip 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan kemudian setiap jam hingga 24 jam setelah terapi f. Naikkan frekuensi pengukuran tekanan darah bila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau bila diastolik > 105 mmHg; berikan medikasi antihipertensi untuk mempertahankan tekanan darah pada level ini atau level dibawahnya g. Tunda pemasangan pipa nasogastrik, kateter urin atau kateter tekanan intraarterial h. Lakukan CT Scan untuk follow up dalam 24 jam sebelum pemberian antikoagulan atau antiplatelet
43
DAFTAR PUSTAKA 1. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-Juni. 2011. 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke tahun 2011. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2011. 3. Machfoed, Hasan et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University Press. 2011. 4. B.M. Gund, et all. Stroke: A Brain Attack. IOSR Journal of
Pharmacy.
Volume 3, Issue 8 Pp 01-23. 2013. 5. Adam HP, et all. Classification of Subtype of Acute Ischemic Stroke. Available from http://stroke.ahajournals.org. 2012. 6. Jan, S. Trombosis of Cerebral Vein and Sinuses. N Engl J Med. 352:1791-8. 2005. 7. Alireza
Atri.
Ischemic
Stroke:
Pathophysiology
and
Principles
of
Localization, vol. 13. 2009. 8. Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta; p29-31. 2008.
44