Hasil pemeriksaan pada kasus Anamnesis
Demam akut, sakit kepala, common cold. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital : TD
: 110/70mmHg
HR
: 88x/m
RR
: 20x/m
T
: 38,4oC
Ditemukan limfadenopati Pemeriksaan Penunjang
Pada
pemeriksaan
fetal
scan
ditemukan
hydrocephalus
dan
oligohydramnion Pemeriksaan serologi toksoplasma : Ig G : 98 IU/ml, positive range >8 IU Ig M: 44 IU/ml, positive range >10 IU
Berdasarkan
data
di
atas,
karena
pada
pemeriksaan
serologi
toksoplasma ditemukan kadar toksoplasma yang meningkat, maka diagnosisnya adalah toksoplasmosis.
7
IV.
SISTEMATIKA MASALAH Penyakit yang
Wanita 25 tahun
bisa muncul
hamil 24 minggu
pada kehamilan
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Fisik
Penunjang
Sakit Kepala
Demam Akut
Common Cold
Limfadenopati
Pemeriksaan Fetal Scan: - Hydrocephalus - Oligohidramni
Anamnesis
Pemeriksaan Serologi Toksoplasma: - IgG meningkat - IgM meningkat
Diagnosis
Infeksi
Toksoplasmos
Rubella
Cytomegaloviru
-
Definisi
-
Etiologi
-
Epidemiologi
-
Patogenesis
-
Manifestasi Klinis
-
Penegakan Diagnosis
-
Penatalaksanaan
-
Pencegahan
-
Komplikasi
Herpes
8
V.
SASARAN PEMBELAJARAN
1.
Mahasiswa
mampu
memahami
dan
menjelaskan
penyakit
toksoplasmosis 2.
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penyakit rubella
3.
Mahasiswa
mampu
memahami
dan
menjelaskan
penyakit
cytomegalovirus 4.
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penyakit herpes simpleks
VI. VII.
BELAJAR MANDIRI MENGUJI INFORMASI BARU
1.
Mahasiswa
mampu
memahami
dan
menjelaskan
penyakit
toksoplasmosis A. Definisi
Toxoplasmosis merupakan penyakit menular hampir pada semua hewan
termasuk pada manusia (zoonosis). Berbahaya pada
manusia karena dapat menimbulkan keguguran, kematian bayi saat lahir,gangguan
otak,
cacat
fisik
dll.
Penyebabnya
sering
dikelompokkan dengan penyakit virus lainnya yaitu TORCH (Toxoplasmosis-Rubella-Cytomegali-Herpes).
Yang
benar
penyebabnya adalah sebangsa Protozoa yang disebut Toxoplasma gondii. Toxoplasmosis dapat menginfeksi anjing,kucing,babi. B. Epidemiologi
- Penyebaran hampir di seluruh dunia, tetapi infeksi secara klinik tidak nyata. - Prevalensi toxoplasmosis pada kucing 35%-73%, kambing 11%60%, babi 11%-36%, anjing 75%, dan manusia 2%-63%. - Cacing tanah,kecoa dan tikus dapat berperan sebagai sumber penular toxoplasma tanpa kehilangan infektifitasnya. C. Etiologi
- Parasit Toxoplasma gondii
9
- Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler - Terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit) D. Daur Hidup Toxoplasma gondii
Gambar 1. Dauh hidup Toxoplasma gondii (Soeharsono, 2002)
E. Cara Penularan
Jalur infeksi toxoplasma ada beberapa cara: - Tertelannya ookista dari kucing scr langs(feses) atau melalui induk semang antara (lalat, kecoa, tikus) - Memakan daging ternak yg mengandung kista toxoplasma secara mentah/kurang sempurna memasaknya
10
- Ceroboh
dalam
menangani
material
yg
mengandung
toxoplasma, sehingga dapat tertular melalui luka(petugas lab, peneliti, RPH) - Mendapat transfusi darah dari donor penderita toxoplasmosis akut - Memperoleh
transplantasi
organ
dari
donor
penderita
toxoplasmosis - Melalui plasenta ibu kepada janin yang dikandungnya F. Patofisiologi
a. Fase Primer : proliferasi parasit (SRE) b. Fase Sekunder : imunitas humoral c. Fase Tersier : sista
di otot dan jaringan saraf
(sista dapat
menetap/ pecah inflamasi lokal & hipersensitifitas G. Gejala Klinik
Toksoplasmosis akuisita biasanya bersifat asimtomatik. Bila seorang ibu hamil mendapat infeksi primer, kemungkinan 50% bayi yang dilahirkan menderita toksoplasmosis kongenital, yang umumnya hanya bermanifestasi sebagai limfadenopati asimtomatik pada kelenjar getah bening leher bagian belakang, dapat menyebar atau terlokalisasi pada satu nodul di area tertentu. Tanda dan gejala yang sering timbul pad ibu hamil : •
Demam
•
sakit kepala
•
kelelahan
•
tanda
mononucleosis
like
syndrome
(demam,
ruam
makulopapular (Blueberry muffin) yang mirip dengan kelainan kulit pada demam tifoid) Terdapat trias klasik pada toksoplasmosis kongenital berat, yaitu: •
hidrosefalus
•
korioretinitis
•
kalsifikasi intrakranial
11
Pada bayi baru lahir yang bergejala, salah satu atau keseluruhan tanda dari trias klasik mungkin timbul, disertai gejala infeksi lainnya meliputi hepatosplenomegali, ikterus, trombositopenia, limfadenopati, dan kelainan susunan saraf pusat. Lesi pada mata merupakan salah satu manifestasi yang paling sering pada toksoplasmosis
kongenital.
Gambaran
lesi
toksoplasmosis
okular ialah adanya fokus nekrosis pada retina. Pada fase akut, lesi ini timbul sebagai bercak putih kekuningan di fundus dan biasanya berhubungan dengan ruam pada vitreus. Gejala yang timbul pada infeksi mata antara lain penglihatan kabur, fotofobia, nistagmus, strabismus epifora, dan katarak. Manifestasi neurologik pada anak menunjukkan gejala-gejala neurologik
termasuk
kalsifikasi
intrakranial,
hidrosefalus,
epilepsi, retardasi mental, dan mikrosefalus. Fungsi intelektual anak yang terinfeksi juga mengalami penurunan. Sekuele
yang
didapatkan
pada
bayi
baru
lahir
dapat
dikategorikan atas sekuele ringan dan berat. Pada sekuele ringan, ditemukan sikatriks korioretinal tanpa gangguan visus atau
adanya
kalsifikasi
serebral
tanpa
diikuti
kelainan
neurologik. Pada sekuele berat, terjadi kematian janin intrauterin atau neonatal, adanya sikatriks korioretinal dengan gangguan visus berat atau kelainan neurologik. H. Diagnosis Diagnosis toksoplasmosis pada kehamilan ditegakkan berdasarkan, antara lain: a. Kehamilan dengan imun seropositif, yaitu ditemukan adanya antibodi IgG anti- toksoplasma dengan titer 1/20 – 1/1000 b. Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik dengan titer tinggi (biasanya disertai juga hasil positif uji Sabin-Feldman), yang menunjukkan bahwa ibu hamil dengan seropositif
12
mengalami reinfeksi. Keadaan ini sering juga disebut kehamilan dengan toksoplasmosis eksaserbasi akut. c. Kehamilan
dengan
seronegatif,
yaitu
darah
ibu
tidak
mengandung antibodi spesifik. Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan untuk mengulangi uji serologik (cukup lateks aglutinasi) tiap trimester. d. Kehamilan dengan serokonversi, yaitu adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif selama kehamilan. Penderita memiliki risiko tinggi transmisi vertikal dari maternal ke janin serta
mengakibatkan
toksoplasmosis
kongenital.
Hal
ini
merupakan indikasi pengobatan antiparasit selama kehamilan. Remington (1974) menetapkan kriteria toksoplasmosis akuta sebagai berikut: limfadenopati pada daerah tertentu (merupakan ciri toksoplasmosis akuta), uji warna Sabin-Feldman dengan titer tinggi (≥ 300 IU), dan adanya IgM positif. Pemeriksaan laboratorium yang lazim dilakukan ialah IgG dan IgM antitoksoplasma,
serta
aviditas
anti-toksoplasma
IgG.
Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada yang diduga terinfeksi T. gondii, ibu-ibu sebelum atau selama masa kehamilan (bila hasil negatif perlu diulang sebulan sekali, khususnya pada trimester pertama kehamilan, dan selanjutnya tiap trimester), serta pada bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi T. gondii. Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan para dokter dan tenaga medis untuk menginterpretasikan hasil tes serologi IgM anti-toksoplasma dengan cermat. Para dokter tidak boleh menegakkan diagnosis toksplasmosis hanya berdasarkan satu jenis pemeriksaan, karena pada beberapa tes dapat terjadi hasil positif palsu. Apabila dicurigai seorang ibu hamil mengalami infeksi akut, darah pasien harus diperiksa kembali untuk IgM dan IgG spesifik anti-toksoplasma. Keputusan
13
pemilihan
terapi
atau
intervensi
tindakan
medis
untuk
terminasi(Martineli, 2007).
Diagnosis prenatal Dengan menyadari besarnya dampak toksoplasmosis kongenital pada janin, bayi, dan anak-anak, serta kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin prenatal pada ibu hamil, maka para klinisi/ahli kebidanan memperkenalkan metode baru yang merupakan
koreksi
atas
konsep
dasar
pengobatan
toksoplasmosis kongenital yang lampau. Diagnosis prenatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14 27 minggu (trimester II) dan dapat ditegakkan melalui pemeriksaan-pemeriksaan di bawah ini: a. Kordosintesis, yaitu pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat (1,5-3 ml) atau b. Amniosentesis (aspirasi cairan ketuban 15-20 ml) dengan tuntunan ultrasonografi. c. Biakan darah janin atau cairan ketuban dalam kultur fibroblas, atau diinokulasikan ke rongga peritoneum tikus, diikuti isolasi parasit, yang ditujukan untuk mendeteksi adanya parasit. d. Pemeriksaan PCR untuk identifikasi DNA T. gondii pada darah janin atau cairan ketuban. e. Pemeriksaan ELISA pada darah janin untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik. f. Petanda nonspesifik darah fetus yang terinfeksi seperti hitung trombosit, hitung eritrosit, fetal IgM, eosinofil, dan enzimenzim hati.
Diagnosis toksoplasmosis kongenital ditegakkan dengan adanya IgM dan IgA spesifik dari darah janin, ditemukannya parasit
14
dari hasil kultur atau inokulasi pada tikus, dan adanya DNA T. gondii pada pemeriksaan PCR darah janin atau cairan ketuban(Martineli, 2007).
Tabel Intepretasi hasil pemeriksaan serologi Toksoplasmosis
I. Penatalaksanaan
Efektififitas
pengobatan
pada
toxoplasmosis
tergantung
dipengaruhi oleh usia kehamilan, waktu terinfeksi, janin terinfeksi atau tidak dan saya tahan tubuh. Pengobatan yang dapat dilakukan antara lain (Hamdan, 2010): Kombinasi : a. Sulfonamide/ sulfadiazin 1000 mg / hari b. Pirimethamin (Daraprim) 25 mg / hari c. Asam Folat 10 mg / hari Selama 4 mgg, diulang interval 4 minggu, maksimal. 3X. Diberikan setelah 20 minggu. Spiramisin Spiramisin diberikan 4 X 1 gram selama 4 minggu (9 juta unit). Diulang tiap 4 minggu.
15
Isoprinosine Isoprinosine diberikan 3 X 500 mg / hari (3 hari/minggu dalam 1 bln) J. Pencegahan -
Hal‐hal
yang
paling
penting
dalam
pencegahan
toksoplasmosis ialah higiene, mencuci tangan setelah menyentuh daging mentah dan menghindari feses kucing. Hindari makanan yang terkontaminasi dan masak daging dengan tepat. Pencegahan sekunder terdiri dari diagnosis awal pada ibu, fetus dan bayi baru lahir dan menghindari tindakan yang dapat menyebabkan transmisi parasit secara transplasental, melalui intervensi terapi pada ibu hamil dan anak‐anak yang memperlihatkan infeksi akut. Pencegahan tersier berkonsentrasi pada diagnosis awal melalui kadar antibodi spesifik IgA dan IgM dalam darah yang diambil dari bayi baru lahir, memperkenankan pelaksanaan rezim terapi untuk mencegah atau mengurangi risiko sekuale (Hamdan, 2010). K. Komplikasi
Beberapa
komplikasi
dapat
terjadi
pada
orang
dengan
toksoplasmosis kongenital, termasuk keterbelakangan mental, kejang, ketulian, dan kebutaan (Hokelek, 2016). L. Prognosis
Prognosis pada pasien yang mengalami toxoplasmosis tergantung diagnosis, pengobatan serta daya tahan tubuh atau imun pasien. Pasien imunokompeten memiliki prognosis yang sangat baik, dan limfadenopati dan gejala lain umumnya sembuh dalam beberapa minggu
setelah
infeksi.
Toksoplasmosis
pada
pasien
imunodefisiensi sering kambuh jika pengobatan dihentikan. Pemulihan kekebalan secara signifikan mengurangi risiko infeksi berulang.
Ensefalitis
toksoplasma
dan
abses
otak
dapat
16
mengakibatkan gejala sisa neurologis permanen, tergantung pada lokasi lesi, tingkat kerusakan lokal dan peradangan (Hokelek, 2016).
2.
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penyakit rubella A. Definisi
Rubella atau Campak Jerman merupakan penyakit yang disebabkan oleh
virus
rubella
limfadenopati
dengan
tanda
pascaoksipital,
yaitu
ruam
retroaurikuler,
pada
dan
kulit,
servikalis
posterior, dan demam. B. Etiologi
Rubella virus yang merupakan family dari Togavirus. Virus ini termasuk tipe RNA virus One antigenic yang dapat inaktif karena lipid solvents, trypsin, formalin, ultraviolet light, low pH, heat, and amantadine C. Patogenesis
Transmisi pada respirasi dari virus nasopharynx dan limfanodi regional setelah paparan
Infeksi
Virus bereplikasi di
Viremia
5 sampai 7 hari
Transplacental pada janin selama
viremia D. Gejala klinis -
Masa inkubasi 14 hari (range 12 sampai 23 hari)
-
Prodromal.
Pada
anak
berbahaya,
pada
dewasa
akan
menimbulkan demam ringan -
Maculopapular rash 14 sampai 17 hari setelah paparan.
-
Limfadenopati muncul sebelum rashdan bertahan beberapa minggu.
-
Pada Congenital Rubella Syndrome: Infeksi pada banyak organ, prematur atau fetal death, Up to 85% of infants affected if infected during first trimester, Deafness, Kelainan mata,
17
kelainan jantung, microcephaly, retardasi mental, kelainan tulang, kerusakan liver dan limpa (CDC, 2001). E. Penegakkan diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik a. Infeksi
bersifat
akut
yang
ditandai
oleh
adanya
ruam
makulopapular, b. Suhu tubuh > 37 oC c. Atrhalgia/artrhitis, limfadenopati, konjungtivitis
Pemeriksaan Penunjang a. CVS (chorionoc villus sampling)
Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin. Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS.
Gambar Interpretasi pemeriksaan IgG dan IgM pada rubella (Kadek, 2007) b. PCR (Polymerase Chain Reaction) -
Amniosintesis dan fetal blood testing
-
Dilakukan pada minggu keenam sampai minggu kedelapan setelah infeksi dan harus dilakukan pada umur kehamilan 22 minggu
18
-
Pemeriksaan ini hanya untuk adanya infeksi pada ibu dan janin dan tidak dapat menentukan tingkat kematian dari janin akibat dari infeksi tersebut.
Gambar Jenis pemeriksaan specimen (Kadek, 2007)
Gambar 3 Pedoman diagnosis rubella pada kehamilan (Kadek, 2007)
3. Mahasiswa
mampu
memahami
dan
menjelaskan
penyakit
cytomegalovirus A. Definisi
Cytomegalovirus (CMV) merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh virus herpes DNA yang ditemukan dimanamana dan dapat menginfeksi sebagian besar orang. Infeksi
19
virus ini pada umumnya terjadi pada daerah dengan sosial ekonomi
yang
rendah,
kebersihan
lingkungan
kurang
memenuhi syarat dan juga dapat disebabkan karena daya tahan tubuh individu yang tidak mampu menolaknya B. Epidemiologi
Di Negara-negara maju cytomegalovirus (CMV) adalah penyebab infeksi kongenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3-2% dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa 10-15% bayi lahir yang terinfeksi secara congenital adalah simptomatis
yakni
dengan
manifestasi
klinik
akibat
terserangnya susunan saraf pusat dan berbagai organ lainya. Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20-30% serta timbulnya cacat neurologik berat lebih dari 90% pada kelahiran. Sebanyak 10-15% bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala serta tampak normal waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan memperoleh cacatneurolgis seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran dan pengelihatanyang diperkirakan 1-2 tahun kemudian. Dengan alasan ini sebenarnya infeksi CMV adalah penyebab utama kerusakan system saraf pusat pada anak-anak. C. Etiologi
Cytomegalovirus adalah anggota kelompok virus herpes beta dan mengandung DNA double-stranded, kapsul protein, dan selubung lipoprotein. Seperti anggota kelompok virus herpes lainya, cytomegalovirus memiliki gambaran ikoshedral yang simetris, bereplikasi dalam sel nucleus dan dapat menyebabkan infeksi lisis dan produktif atau infeksi laten. Virus ini dapat menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga sel tampak terlihat membesar (cytomegali) dan tampak seperti gambaran mata burung hantu. Virus ini dapat ditularkan secara:
20
1. Horizontal, yaitu melalui infeksi percikan ludah (droplet), kontak air ludah dan urin 2. Vertikal, yaitu proses infeksi dari ibu ke janin 3. Hubungan seksual Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena transmisi transplasenta selama kehamilan sedangkan infeksi selama masa peripartum timbul akibat pemaparan terhadap sekresi serviks yang telah terinfeksi melaluiair susu ibu dan tindakan transfusi darah D. Patogenesis
Infeksi sitomegalovirus yang terjadi karena pemaparan pertama kaliatas individu tersebut sebagai infeksi primer. Infeksi primer ini berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis, dimana virus ini akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas, selanjutnya virus ini akan masuk ke dalam sel sel dari berbagai jaringan, proses ini disebut sebagai infeksi laten. Pada keadaan tertentu seperti, individu yang mengalami supresi imun akibat infeksi HIV, penderita transplant-resipien yang mengkonsumsi obat-obatan ataupun penderita keganasan dapat terjadi eksaserbasi yang disertai dengan multiplikasi virus Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) timbul akibat penyakit-penyakit tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenic, hal ini disebabkan karena keadaaan tersebut dapat menekan respon sel limfosit T sehingga timbulstimulasi antigenic yang kronis. Dengan demikian terjadilah reaktivasi virusdari periode laten yang disertai dengan berbagai gejala E. Manifestasi Klinis
1. Wanita normal asimptomatik atau subklinik. 2. Gejala :
Mononukleosis-like syndrome
Sindroma post transfuse
21
Penyakit sistemik luas
Hepatitis anikterik.
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis a. Infeksi Maternal :
Demam
Malaise
Myalgia
b. Infeksi Primer
Demam
Kelelahan
Limfadenopati
2. Pemeriksaan Fisik
Splenomegali
Ptekie
Jaundice
a. Infeksi bawaan terjadi pada bayi sekitar 10 – 15 % :
Jaundice
Splenomegali
Ptekie
Gangguan Pernapasan
Keterlibatan Neurologis yang mungkin termasuk
mikrosefali, retardasi motor, kalsifikasi serebral, lesu dan kejang.
3. Pemeriksaan Penunjang 1. CMV biasanya diisolasi dari urin dan air liur, tetapi dapat diisolasidari cairan tubuh lainnya, termasuk susu payudara, sekresi leher rahim,cairan ketuban, sel-sel
22
darah
putih,
cairan
serebrospinal,
sampel
tinja
danbiopsi. 2. Tes terbaik untuk diagnosis infeksi bawaan atau perinatal adalah isolasi virus atau demonstrasi reaksi berantai materi CMV genetik (PCR)dari urin atau air liur bayi baru lahir Sensitivitas PCR dengan spesimen urin adalah 89% dan spesifisitas 96%. Sampel urine dapat didinginkan(4c) tetapi tidak boleh beku dan disimpan pada suhu kamar. Peningkatan titer IgG empat kali lipat di dalam sera pasangan atau anti-CMV IgM yang positif kuat berguna mendiagnosis infeksi, tes serologis tidak dianjurkan untuk diagnosis infeksi pada bayi baru lahir G. Penatalaksanaan
1. Ganciclovir dengan dosis 5 mg/kg BB bolus IV setiap 12 jam selama 14-21 hari, untuk dosis pemeliharaan diberikan 3,75 mg/kgBB/hari IV selama 5hari setiap minggu 2. Foscarnet Diberikan 20mg/kgBB Bolus IV, kemudian 120 mg/kg intravena setiap 8 jam selama 2 minggu, untuk dosis pemeliharaan diberikan 60mg/kgBB/hari IV selama 5 hari setiap minggu
3. Cidofivir Diberikan 5mg/kg IV setiap minggu selama 2 minggu-
4. Valaciclovir Diberikan dengan dosis 900mg oral 2x1 selama 3 minggu, untuk dosispemeliharaan diberikan dosis pemeliharaan 900mg 1x1.
H. Pencegahan
23
Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan globulin dikemukakan telah memberi beberapa keberhasilan untuk mencegah infeksi primer dan dapat diberikan kepada penderita yang akan menjalani 31 cangkok organ.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penyakit herpes simplek A. Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari individu yang terinfeksi (Marquez & Straus, 2008) Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis merupakan salah satu infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam kandungan dan pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan timbulnya resistensi virus (Daili, 2002).
B. Etiologi Herpes simplex virus (HSV) tergolong anggota virus herpes yang primer menimbulkan penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) dan HSV-2 termasuk sub family alphaherpesvirinae dengan
ciri-ciri
spektrum
sel pejamu
bervariasi, siklus replikasi yang relatif cepat, mudahnya infeksi menyebar di biakan sel, menimbulkan kerusakan sel yang cepat, dan kemampuan menimbulkan infeksi laten khususnya pada ganglion sensorik (Sjahjurachman, 2002). Struktur, Komposisi, dan Sifat
24
Virus herpes berukuran besar dibandingkan dengan virus lain. Struktur virus herpes dari dalam ke luar terdiri dari genom DNA untai ganda liniar berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen, dan selubung.
Dari selubung keluar tonjolan-
tonjolan ( spike), tersusun atas glikoprotein. Terdapat 10 glikoprotein untuk HSV-1 yaitu glikoprotein (g)B, gC, gD, gE, gH, gI, gK, gL, dan M. Glikoprotein D dan glikoprotein B merupakan
bagian
penting
untuk
infektivitas
virus.
Glikoprotein G HSV-1 berbeda dengan HSV-2 sehingga antibodi terhadapnya dapat dipakai untuk membedakan kedua spesies tersebut. Virus herpes humanus relatif tidak stabil pada suhu kamar dan dapat dirusakkan dengan perebusan , alkohol, dan pelarut lipid seperti eter atau kloroform (Sjajurachman, 2002).
Gambar Virus Herpes Simplex
Replikasi virus
25
Virus masuk
ke dalam sel melalui fusi antara glikoprotein
selubung virus dengan reseptornya yang terdapat di membran plasma. Selanjutnya nukleokapsid pindah dari sitoplasma ke inti sel. Setelah kapsid rusak, genom virus dilepas di dalam inti sel, berubah dari liniar menjadi sirkular. Sebagian gen langsung ditranskripsikan dan
produk
RNA-nya
dipindahkan
ke
sitoplasma. Pada tahap akhir, dengan bantuan protein beta, terjadi transkripsi dan translasi late genes
menjadi protein
gamma (Sjajurachman, 2002; Pertel & Spear, 2007). Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel dengan bantuan enzim RNA polimerase sel pejamu dan protein virus lain. Transkrip dalam bentuk DNA virus selanjutnya dirakit menjadi virion pada membran inti sel. Virion selanjutnya dilepaskan ke luar inti sel melalui proses eksositosis. Satu kali siklus replikasi berlangsung sekitar 18 jam untuk herpes simpleks (Sjajurachman, 2002). Replikasi HSV di dalam sel akan menghambat sintesis DNA dan protein selular sejak fase dini replikasi. Virus baru yang terbentuk akan dilepaskan dari sel dan menginfeksi sel lain (Sjajurachman, 2002; Pertel & Spear, 2007).
Gambar Replikasi HSV
26
Infeksi Laten Infeksi laten oleh sel virus merupakan infeksi yang tidak disertai pembentukan virion. Infeksi dimulai pada epitel orolabial atau genital, selanjutnya infeksi menyebar ke akson terminal syaraf sensorik dan terjadi translokasi retrograd virus ke akson. Pada sel neuron, infeksi dapat bersifat produktif maupun laten (Sjajurachman, 2002) Latensi tersering terjadi pada ganglion trigeminus. Jika ada stimulus, infeksi laten pada neuron berubah menjadi infeksi produksi terbatas dan selanjutnya menyebar ke jaringan yang dipersyarafinya (Sjajurachman, 2002).
C. Patogenesis Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang rentan. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan cara meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel. Virus juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian ditransportasi ke inti sel neuron di ganglia sensorik (Sarsito, 2002; Makes 2002). Virion
dalam
neuron
yang
terinfeksi
akan
bereplikasi
menghasilkan progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus progeni ke lokasi kulit tempat dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel epitel yang berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran virus dan jejas sel.Infeksi
oleh
HSV-1
dan
HSV-2
akan
menginduksi
glikoprotein yang berhubungan pada permukaan sel- sel yang terinfeksi. Setelah terjadi infeksi, sistem imunitas humoral dan selular akan terangsang oleh glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respon imun. Respon imun dapat membatasi
27
replikasi virus sehingga infeksi akut dapat membaik. Respon ini tidak dapat mengeliminasi infeksi laten yang menetap dalam ganglia seumur hidup pejamu. Latensi semata tidak menimbulkan penyakit, namun infeksi laten dapat mengalami reaktivasi sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens atau pelepasan virus asimtomatik (Makes, 2002). Reaktivasi HSV-1 sering terjadi dari
ganglion
trigeminus, sedangkan HSV-2 dari ganglion
sakralis (Marquez & Straus, 2008) Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar ultra violet, trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan seksual, stres emosional dan keadaan
imunokompromised
(Marquez
&
Straus,
2008;
Fatahzadeh & Schwartz, 2007). Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung dengan lesi atau saliva yang mengandung virus. Penularan lesi genital dimulai bila sel epitel mukosa saluran genital pejamu yang rentan terpajan virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi. Walaupun herpes orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan herpes genitalis terutama disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2 dapat mengakibatkan lesi-lesi oral, demikian pula HSV1 dapat menyebabkan lesi genital. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas seksual secara orogenital (Sarsito, 2002). Semua individu seropositif HSV-2 secara intermiten akan mereaktivasi HSV di saluran
genitourin selama
hidupnya,
baik sebagai infeksi simtomatik, infeksi simtomatik namun tidak dikenal sebagai herpes, atau sebagai infeksi subklinis (Makes, 2002).
28
D. Manifestasi Klinis a. Herpes Orofasial Infeksi primer
Infeksi primer dapat bersifat subklinis, tetapi pada beberapa keadaan menimbulkan manifestasi berat di daerah oral disebut gingivostomatitis herpetika primer. Gingivostomatitis herpetika adalah manifestasi infeksi HSV-1 orofasial primer yang tersering, ditandai lesi khas vesikoulseratif oral dan atau perioral, kebanyakan mengenai anak-anak umur 1-5 tahun (Marquez & Straus, 2008; Fatahzadeh & Schwartz, 2007). Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, nausea, dan muntah-muntah disertai rasa tidak nyaman di mulut. Satu sampai dua hari setelah gejala prodromal, timbul lesi-lesi lokal
berupa
vesikel kecil (Fatahzadeh & Schwartz, 2007). berkelompok di
mukosa
mulut,
berdinding
tipis dikelilingi oleh
peradangan. Vesikel cepat pecah meninggalkan ulkus dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga mulut. Lesi dapat mengenai seluruh bagian mukosa mulut. Selama perlangsungan penyakit, vesikel dapat bersatu menjadi lesi yang lebih besar dengan tepi tidak teratur. Gambaran khas adalah ginggivitis marginalis akut, generalisata, edema, dan eritema ginggiva, kadang-kadang disertai beberapa ulkus pada gingiva. Pada pemeriksaan, faring posterior akan tampak kemerahan dengan pembesaran kelenjar getah bening submandibular dan servikal (Sarsito, 2002). Gejala ekstra oral berupa vesikel berkelompok pada bibir dan kulit di sekitar sirkum oral. Setelah beberapa hari lesi akan ditutupi krusta kekuningan. Stomatitis herpetika akut pada anak-anak yang sehat bersifat swasirna. Demam biasanya akan hilang dalam 3-4 hari dan lesi akan sembuh
29
dalam 10 hari, walaupun dalam waktu 1 bulan masih dapat ditemukan virus dalam saliva (Sarsito, 2002). Infeksi rekuren
Herpes simpleks labialis (cold sore/fever blisters) adalah bentuk herpes orofasial rekuren yang paling sering terjadi, berupa vesikel-vesikel pada batas luar vermilion dan kulit sekitarnya. Gejala dimulai dengan rasa perih diikuti oleh timbulnya vesikel berkelompok dalam 24 jam, pecah, terjadi erosi superfisial, kemudian akan ditutupi krusta. Nyeri dan rasa tidak nyaman terjadi pada beberapa hari pertama; lesi sembuh dalam waktu kurang dari 2 minggu tanpa jaringan parut. Pelepasan virus terus berlansung 3 – 5 hari setelah lesi sembuh. Herpes labialis rekuren terjadi pada 50-75% individu-individu yang terkena infeksi HSV di mulut, terjadi tiga kali lebih sering pada pasien dengan demam dibandingkan pasien tanpa demam (Fatahzadeh & Schwartz, 2007). Herpes intra oral rekuren merupakan bentuk rekuren berupa lesi pada intra oral khususnya daerah mukosa yang berkeratin. Predileksi pada palatum durum regio premolar dan molar, dapat juga timbul pada bagian fasial dan bukal gingiva. Vesikel mudah pecah, terletak unilateral, tidak melewati garis tengah ( Fatahzadeh & Schwartz, 2007).
30
Gambar Herpes Orofasial
b. Herpes Genitalis Herpes genitalis primer episode pertama
Episode
pertama akan
tampak
secara
klinis
dalam
waktu 2-21 hari setelah inokulasi. Bila seseorang belum pernah terpajan HSV sebelumnya (seronegatif) maka akan disebut sebagai infeksi primer. Episode pertama seringkali disertai gejala-gejala sistemik, lesi dan pelepasan virus yang berlangsung lama, mengenai banyak tempat di genital maupun di luar genital. Pasien dengan infeksi primer (infeksi pertama kali dengan HSV-2
maupun HSV-1) umumnya
mengalami penyakit yang lebih parah dibandingkan pasien yang telah mengalami infeksi HSV-1 sebelumnya (Makes, 2002). Infeksi primer HSV-2 dan HSV-1 genital ditandai dengan gejala sitemik
dan lokal yang lama. Gejala sistemik
muncul dini berupa demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia. Gejala lokal utama berupa nyeri, gatal, rasa terbakar, disuria, duh tubuh, vagina atau uretra serta pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening inguinal. Lesi kulit berbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritem di labia minora, introitus, meatus uretra, serviks pada wanita; batang dan glans penis pada pria atau perineum, paha, dan bokong pada pria dan wanita (Fatahzadeh & Schwartz, 2007). Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Masa pelepasan virus berlangsung kurang lebih 12 hari. Tanpa
infeksi
sekunder,
penyembuhan
terjadi
secara
bertahap dalam waktu kurang lebih 18 sampai 20 hari, tetapi bila ada infeksi sekunder penyembuhan memerlukan waktu
31
lebih lama dan meninggalkan jaringan parut (Leone, 2007).
Herpes genitalis non-primer episode pertama
Sebagian besar populasi
pernah terpajan oleh HSV-1
maupun HSV-2 sebelumnya. Individu demikian telah seropositif pada saat episode pertama, sehingga disebut non-primer. Diagnosis klinis episode pertama non-primer sukar dibedakan dengan episode rekuren. Secara umum, episode pertama non- primer menyerupai rekurensi yaitu lebih ringan daripada infeksi primer, dengan masa tunas yang lebih panjang (Makes, 2002).
Gambar Herpes Genital
Herpes genitalis rekuren
Tingkat rekurensi bervariasi diantara individu. Rekurensi cenderung lebih sering terjadi pada bulan pertama atau tahun pertama setelah infeksi awal. Lesi rekuren biasanya terbatas pada satu sisi dan gejala klinis yang ringan. Lamanya pelepasan virus berlangsung kurang dari 5 hari, penyembuhan juga lebih cepat (Fatahzadeh & Schwartz, 2007).
32
Herpes genitalis atipikal
Manifestasi herpes genital atipikal sering dijumpai, berupa fisura, furunkel, ekskoriasi, dan eritema vulva nonspesifik disetai rasa nyeri dan gatal pada wanita. Pada pasien pria berupa fisura linier pada preputium, dan bercak merah pada glans penis. Lesi ekstragenital umumnya mengenai bokong, sela paha, dan paha (Makes, 2002).
Reaktivasi subklinis/asimtomatik HSV
Pelepasan virus (viral shedding ) subklinis menjadi masalah serius pada herpes genitalis karena berpotensi tinggi dalam transmisi
virus.
Lokasi
viral
shedding pada keadaan
asimtomatik umumnya di kulit penis, uretra, perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks, serta perineum pada wanita (Fatahzadeh & Schwartz, 2007).
E. Penegakan Diagnosis Anamnesis (Smith, 2009) a. Herpes Orofasial Infeksi Primer -
Biasanya pasien mengeluh demam dan nyeri kepala.
-
Nyeri pada daerah sekitar vesikel.
-
Gejala prodromal : malaise, nausea, dan muntah-muntah disertai rasa tidak nyaman di mulut.
Infeksi Rekuren -
Rasa perih disekitar vesikel.
- Nyeri dan tidak nyaman. -
Mengeluh demam.
b. Herpes Genitalis -
Demam, nyeri kepala, malaise, dan myalgia. Nyeri, gatal, rasa terbakar, dysuria.
33
Pemeriksaan Fisik (Makes, 2002) a. Herpes Orofasial Infeksi Primer -
ditandai lesi khas vesikoulseratif oral dan atau perioral, kebanyakan mengenai anak-anak umur 1-5 tahun.
-
Satu sampai dua hari setelah gejala prodromal, timbul lesi-lesi lokal berupa vesikel kecil berkelompok di mukosa
mulut,
berdinding
tipis dikelilingi oleh
peradangan. -
Vesikel cepat pecah meninggalkan ulkus dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga mulut. Lesi dapat mengenai seluruh bagian mukosa mulut.
-
Selama perlangsungan penyakit, vesikel dapat bersatu menjadi lesi yang lebih besar dengan tepi tidak teratur.
-
Gambaran khas
adalah ginggivitis marginalis akut,
generalisata, edema, dan eritema ginggiva, kadangkadang disertai beberapa ulkus pada gingiva. -
Pemeriksaan, faring posterior akan tampak kemerahan dengan
pembesaran
kelenjar
getah
bening
submandibular dan servikal. -
Gejala ekstra oral berupa vesikel berkelompok pada bibir dan kulit di sekitar sirkum
oral.
Setelah
beberapa hari lesi akan ditutupi krusta kekuningan. -
Demam biasanya akan hilang dalam 3-4 hari dan lesi akan sembuh dalam 10 hari, walaupun dalam waktu 1 bulan masih dapat ditemukan virus dalam saliva.
Infeksi Rekuren -
Vesikel-vesikel pada batas luar vermilion dan kulit sekitarnya.
34
-
Gejala dimulai dengan rasa perih diikuti oleh timbulnya vesikel berkelompok dalam 24 jam, pecah, terjadi erosi superfisial, kemudian akan ditutupi krusta.
-
lesi sembuh dalam waktu kurang dari 2 minggu tanpa jaringan parut.
Pelepasan virus terus berlansung 3 – 5
hari setelah lesi sembuh. -
Herpes intra oral rekuren merupakan bentuk rekuren berupa lesi pada intra oral khususnya daerah mukosa yang berkeratin. Predileksi pada palatum durum regio premolar dan molar, dapat juga timbul pada bagian fasial dan bukal gingiva. Vesikel mudah pecah, terletak unilateral, tidak melewati garis tengah.
b. Herpes Genitalis Herpes genitalis primer episode pertama -
Episode
pertama
seringkali
disertai
gejala-gejala
sistemik, lesi dan pelepasan virus yang berlangsung lama, mengenai banyak tempat di genital maupun di luar genital. -
Gejala sistemik muncul dini berupa demam, nyeri kepala, malaise, dan myalgia.
-
Gejala lokal utama berupa nyeri, gatal, rasa terbakar, disuria, duh tubuh, vagina atau uretra serta pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening inguinal.
-
Lesi kulit berbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritem di labia minora, introitus, meatus uretra, serviks pada wanita; batang dan glans penis pada pria atau perineum, paha, dan bokong pada pria dan wanita.
-
Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Masa pelepasan virus berlangsung kurang lebih 12 hari. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi
35
secara bertahap dalam waktu kurang lebih 18 sampai 20 hari, tetapi bila ada infeksi sekunder penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.
Herpes genitalis non-primer episode pertama -
Episode
pertama
non- primer menyerupai rekurensi
yaitu lebih ringan daripada infeksi primer, dengan masa tunas yang lebih panjang.
Herpes genitalis rekuren -
Rekurensi cenderung lebih sering terjadi pada bulan pertama atau tahun pertama setelah infeksi awal.
-
Lesi rekuren biasanya terbatas pada satu sisi dan gejala klinis yang ringan.
-
Lamanya pelepasan virus berlangsung kurang dari 5 hari, penyembuhan juga lebih cepat.
Herpes genitalis atipikal -
fisura, furunkel, ekskoriasi,
dan
eritema
vulva
nonspesifik disetai rasa nyeri dan gatal pada wanita. -
Pasien pria berupa fisura linier pada preputium, dan bercak merah pada glans penis.
-
Lesi ekstragenital umumnya mengenai bokong, sela paha, dan paha.
Reaktivasi subklinis/asimtomatik HSV Lokasi
pelepasan
virus
( viral
shedding) pada
keadaan asimtomatik umumnya di kulit penis, uretra, perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks, serta perineum pada wanita.
36
Pemeriksaan penunjang a. Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, terlihat sel raksasa berinti banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifisik. b. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah dan menurun dengan cepat saat lesi menyembuh. c. Deteksi DNA HSV dengan Polymerase chain reaction (PCR), lebih sensitif dibandingkan kultur virus. d. Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi setelah 4 – 7 hari infeksi, mencapai puncak setelah 2 – 4 minggu, dan menetap selama 2 – 3 bulan, bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan, IgG baru dapat dideteksi setelah 2 – 3 minggu infeksi, mencapai puncak setelah 4 – 6 minggu, dan menetap lama, bahkan dapat seumur hidup.
F. Penatalaksanaan (Gillespie, 2007)
Pada infeksi primer, penatalaksanaannya adalah sebagai berikut: 1. Obat untuk mengurangi keluhan (simptomatis), misalnya: analgesik untuk meredakan nyeri. 2. Antivirus: -
Acyclovir, diminum 5 x 200 mg per hari selama 7-10 hari.
-
Valacyclovir, diminum 2 x 500 mg per hari selama 7-10 hari.
-
Famcyclovir, diminum 3 x 250 mg per hari selama 7-10 hari.
Pada infeksi kambuhan (rekuren): Infeksi ringan, cukup dengan menggunakan obat untuk meredakan keluhan (simptomatis) dan obat antivirus topikal
37
(salep, cream), misalnya acyclovir cream, dioleskan 5 kali sehari atau setiap 4 jam, selama 5-10 hari.
Pada infeksi berat: -
Acyclovir, diminum 5 x 200 mg per hari selama 5 hari.
-
Acyclovir, diminum 3 x 400 mg per hari selama 5 hari.
-
Acyclovir, diminum 2 x 800 mg per hari selama 5 hari.
-
Valacyclovir, diminum 2 x 500 mg per hari selama 5 hari.
-
Famcyclovir, diminum 2 x 125 mg per hari selama 5 hari. Jika kekambuhan (rekuren) terjadi lebih 8 kali dalam setahun, maka perlu dilakukan terapi supresif selama 6 bulan, menggunakan:
-
Acyclovir, diminum 2 x 800 mg per hari selama 5 hari.
-
Valacyclovir, diminum 2 x 500 mg per hari selama 5 hari
Wanita
hamil
yang
terinfeksi
Herpes
genitalis
dapat
menularkan penyakit melalui plasenta (transplasental) kepada janin yang dikandungnya dengan berbagai resiko pada janin. Penularan pada trimester (tiga bulan) pertama kehamilan beresiko terjadinya abortus, sedangkan pada trimester kedua beresiko terjadinya kelahiran prematur. Ahli kandungan biasanya melakukan secio caesaria (operasi caesar) jika pada saat melahirkan mendapati si ibu terinfeksi Herpes
simplex
genitalis
untuk
menghindari
penularan
terhadap janin melalui jalan lahir.
38
Tabel Rekomendasi Dosis Obat Antiviral Untuk Terapi Herpes Dalam Kehamilan
(CDC, 2006).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada orang yang terinfeksi HSVII adalah: a. Infeksi sekunder oleh bakteri. b. Kekambuhan penyakit (sering terjadi). c. Komplikasi pada daerah genital seperti: genital neuralgia (terjadi pada beberapa remaja), striktur uretra, fusi dari labium, limpatik supuratif. d. Transverse myelopathy (mengganggu penyampaian melalui korda spinalis). e. Inkontinensia. f. Tekanan psikologis yang berupa ketakutan dan depresi, terutama bila terjadi salah penanganan pada penderita. g. Pada wanita dengan infeksi HSV-II primer dapat terjadi aseptik meningitis, encefalitis (jarang). h. Pada wanita hamil, virus dapat melalui plasenta dan masuk ke
dalam
peredaran
darah
janin
sehingga
dapat
mengakibatkan kerusakan atau kematian pada janin. Hal ini
39
penting supaya wanita menghindari menderita herpes genital selama kehamilan. Infeksi ini mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup menderita cacat neurologik, atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada
bayi
dapat
berupa encephalitis, meningitis
herpetic, viremia herpetic, erupsi kulit kronis (berupa vesikel
herpetiformis),
keratokonjungtivitis,
koroidoretinitis, microcephali, atau hepatitis. Beberapa ahli menganjurkan melakukan sectio caesarea pada ibu yang terinfeksi HSV-II aktif. Angka kejadian infeksi pada bayi dari wanita yang mengidap infeksi herpes jarang, di AS frekuensi herpes neonatal adalah 1 per 7500 kelahiran hidup. Sedangkan apabila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intra partum atau paska partum. 1,2,9 i. Pada
orang
tua:
hepatitis,
meningitis,
ensefalitis,
hipersensitifitas terhadap virus, sehingga timbul reaksi pada kulit berupa eritema eksudativum multiforme. j. Penyebaran virus ke organ-organ lain pada individu imunokompromis. Infeksi herpes dapat menjadi berat pada orang-orang dengan supresi sistem imun. 4,5 k. Herpes memainkan peran pada penyebaran HIV, virus yang dapat menyebabkan AIDS. Herpes dapat membuat orang lebih rentan terinfeksi HIV, dan dapat membuat individu yang terinfeksi HIV lebih infeksius.
H. Pencegahan
Selama ini metode yang paling efektif dalam mencegah infeksi adalah menghindari kontak atau menggunakan barier yang impermeable. Penggunaan kondom lateks yang benar dan konsisten dapat mengurangi resiko herpes genital hanya jika
40
area yang terinfeksi atau tempat yang potensial terpajan dapat terlindungi. Kondom wanita telah diuji dan memperlihatkan kesuksesan dalam mengurangi transmisi virus. Kondom dari bahan
lateks
adalah
barier
yang
lebih
efektif.
Krim
spermatisida dapat menghancurkan virus tapi tidak 100% efektif, sabun dan air mungkin dapat menghancurkan virus dalam beberapa menit pertama setelah kontak. Cara ini dapat digunakan pada permukaan kulit tapi tidak dapat digunakan pada vagina dan serviks. Phenol, alcohol, iodine, dan klorofom, dapat menghancurkan virus di ekstraseluler tapi tidak praktis digunakan rutin pada kulit atau mukosa. Seseorang dengan herpes harus berpantang dari aktifitas seksual dengan pasangan yang tidak terinfeksi ketika lesi atau simptom herpes muncul. Hal ini penting untuk diketahui bahwa ketika seseorang tidak memiliki simptom, dia masih dapat menginfeksi pasangan seks. Pasangan-pasangan seks harus dinasehati bahwa mereka dapat terinfeksi. Pasangan seks dapat mencoba tes untuk menentukan jika mereka terinfeksi HSV. Tes darah HSV-II (+) sangat mungkin mengindikasikan infeksi herpes genital. Herpes dapat menyebar dari 1 bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain selama perjangkitan. Pasien disarankan untuk tidak menyentuh mata atau mulut setelah menyentuh vesikel atau ulkus. Selama perjangkitan, pasien supaya selalu mencuci tangan dengan cermat. Baju yang kontak dengan ulkus supaya tidak dicampur dengan baju yang lain. Pasangan harus mempertimbangkan
semua
kontak
seksual,
termasuk
berciuman. Wanita hamil dengan infeksi herpes simpleks harus melaksanakan kultur virus tiap minggu dari serviks dan genitalia eksterna sebagai jalan lahir. Persalinan secara sectio
41
caesaria direkomendasikan untuk mencegah infeksi bayi baru lahir.
42
KESIMPULAN
Wanita usia 25 tahun yang sedang hamil 24 minggu ini mengalami toksoplasmosis. Toksoplasmosis adalah infeksi parasit dari spesies Toxoplasma gondii yang hidup di hospes definitifnya terdapat di kucing dan hospes perantaranya terdapat di mamalia termasuk manusia. Siklus hidupnya sendiri diawali dari ookista yang keluar bersama dengan tinja kucing yang nantinya akan masuk ke hospes perantaranya yaitumamalia, termasuk manusia. Ookista yang tertelan kemudian akan pecah dan menyebabkan sporozoit yang ada didalam kista tersebut keluar dan menginfeksi sel. Sporozoit tersebut akhirnya berubah menjadi tropozoit yang selanjutnya akan menjadi takizoid dan bradizoit. Saat parasit terus berada dalam sel maka bentukannya adalah bradizoit, dimana akan membuat infeksi laten. Sedangkan, ketika parasit keluaar dari sel, bentukannya adalah takizot, dimana akan menyebabkan infeksi akut. Toksoplasmosis sendiri memiliki trias gejala yaitu hydrocephalus, korioretinitis dan kalsifikasi intrakranial. Dari pemeriksaan penunjang akan didapatkan IgG (+) dan IgM (+) bila infeksi sedang akut. Penatalaksanaannya dapat diberikan spiramisin, kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin, serta asam folat untuk ibu. Untuk bayi dapat diberikan kombinasi sulfadiazin, pirimetamin dan asam folat.
43
HAMBATAN DAN SARAN
A.
Hambatan: 1. Mahasiswa belum dapat berpikir kritis dalam menganalisis masalah 2. Mahasiswa belum dapat berpikir kritis dalam menanggapi pendapat anggota lain. 3. Mahasiswa belum dapat mengutarakan pendapat 4. Mahasiswa kurang mendapatkan referensi untuk menjawab analisis masalah yang ada
B.
Saran 1. Mahasiswa harus lebih giat lagi dalam mencari sumber pustaka dalam setiap pertemuan. 2. Mahasiswa dapat lebih aktif dalam menganalisis masalah dan menanggapai pendapat anggota lain.
44
DAFTAR PUSTAKA
CDC. 2001. Control and prevention of rubella: evaluation and management of suspected outbreaks, rubella in pregnant women, and surveillance for congenital rubella syndrome. MMWR 50(No. RR-12):1 – 30.
CDC. 2006. Sexually transmitted diseases. Treatment guidelines 2006. MMWR 2006; 16-20 (RR-11)
De Jong, Wim dan Sjamsuhidat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Fatahzadeh M, Schwartz RA. 2007. Human herpes simplex virus infections: epidemiology,
pathogenesis,
symptomatology,
diagnosis,
and
management. J Am Acad Dermatol 57: 737-63
FK UNRI. 2009. Hidrosepalus. Riau: Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Gillespie S. dan Bamford K., 2007. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi Edisi Ketiga.Jakarta : Erlangga
Ginsberg, Lionel., 2008. Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Erlangga
Hamdan, Abdullah B. 2010. Toxoplasmosis Dalam Kehamilan. Bali: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Hidayat, Aziz Alimul.2008. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita.Jakarta:EGC
Hokelek, Murat. 2016. Toxoplasmosis, Medscape Reference. Department of Clinical Microbiology, Istanbul University Cerrahpasa Medical Faculty,
45
Turkey. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/229969overview#showall [Accessed 23 November 2016].
Kadek, S. Darmadi. 2007. Gejala Rubela Bawaan (Kongenital) Berdasarkan Pemeriksaan Serologis dan RNA Virus. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Labolatory, 13 [2]. P: 63-71
Lanni M, Loveless E. 2007. Oligohydramnios at term: A case report: Mana gement of oligohydramnios. Journal of Midwifery Women’s Health; 52(1): 73-6.
Leone P. 2007. Genital herpes. Dalam: Klausner JD, Hook EW. Current diagnosis and treatment . Sexually transmitted diseases. New York: McGraw Hill International Edition; 84-91
Makes WI. 2002. Herpes genitalis pada pasien imunokompeten. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 7488.
Marques AR, Straus SE. 2008. Herpes simplex. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc-Graw Hill Companies ; 1873-85.
Martinelli Praquale, Agangi Annalisa. 2007. Screening for Toxoplasmosis in Pregnancy. The Lancet, Academic Researh Library, p 823.
Pertel PE, Spear PG. 2002. Biology of Herpesviruses. Dalam : Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Core L. eds. Sexually transmitted diseases, edisi ke-4. New York:Mc Graw Hill. Hal. 381 – 97 pp. S3 – S28, 2002.
46