LAPORAN TUTORIAL BLOK THT SKENARIO 3
KELOMPOK B5
Muhammad Hilmy L
G0012136
ItsnaUlinNuha
G0012098
RosiDwiMulyono
G0012194
DenaliaAurika
G0012054
PurnomoAndimas E
G0012166
RadenRoroAnindya P G0012170
Ariyadi Budi Setyoaji G0012028
KhilyatUlinNur Z.
G0012108
FarisBudiyanto
G0012074
Emillya Sari
G0012070
RisnaAnnisa M
G0012188
ShintaRetno W. G0012210
Tutor : Murkati dr., M.Kes.
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Rongga mulut, rongga hidung, dan tenggorokan merupakan ruangan dalam tengkorak yang saling terhubung satu sama lain, sehingga dalam keadaan patologis pada salah satu ruangan pun bisa berhubungan dengan ruangan yang lainnya serta menimbulkan gejala yang saling berhubungan satu sama lain. Daerah tenggorokan terbagi menjadi dua bagian, yaitu pharynx dan larynx. Pharynx sendiri dibagi menjadi tiga bagian, yaitu nasopharynx, oropharynx, dan laryngopharynx. Penyakit yang terjadi di daerah tenggorokan biasanya memiliki keluhan dan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu, diagnosis banding penyakit pada daerah tenggorokan merupakan sesuatu yang vital untuk dibahas. Berikut skenario yang menunjang pembahasan tentang daerah tenggorokan dan kelainan-kelainannya :
An akku m engeluh t enggorokn ya ser in g sakit sakit
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bersama ibunya datang ke poliklinik THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit untuk menelan. Badan demam disertai suara serak. Keluhan yang sama sering dirasakan sejak usia u sia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi riwayat sesak nafas disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk pilek. Pada pemeriksaan pharing didapatkan : Mukosa pharing terdapat granuloma dan hiperemi, tonsil hipertrofi dan terdapat detritus, plika vokalis oedema dan hiperemis. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan ASTO : (+)
2
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Rongga mulut, rongga hidung, dan tenggorokan merupakan ruangan dalam tengkorak yang saling terhubung satu sama lain, sehingga dalam keadaan patologis pada salah satu ruangan pun bisa berhubungan dengan ruangan yang lainnya serta menimbulkan gejala yang saling berhubungan satu sama lain. Daerah tenggorokan terbagi menjadi dua bagian, yaitu pharynx dan larynx. Pharynx sendiri dibagi menjadi tiga bagian, yaitu nasopharynx, oropharynx, dan laryngopharynx. Penyakit yang terjadi di daerah tenggorokan biasanya memiliki keluhan dan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu, diagnosis banding penyakit pada daerah tenggorokan merupakan sesuatu yang vital untuk dibahas. Berikut skenario yang menunjang pembahasan tentang daerah tenggorokan dan kelainan-kelainannya :
An akku m engeluh t enggorokn ya ser in g sakit sakit
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bersama ibunya datang ke poliklinik THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit untuk menelan. Badan demam disertai suara serak. Keluhan yang sama sering dirasakan sejak usia u sia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi riwayat sesak nafas disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk pilek. Pada pemeriksaan pharing didapatkan : Mukosa pharing terdapat granuloma dan hiperemi, tonsil hipertrofi dan terdapat detritus, plika vokalis oedema dan hiperemis. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan ASTO : (+)
2
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah membahas skenario ke ini, diharapkan mahasiswa mampu : 1. Menjelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi daerah tenggorokan 2. Menjelaskan fisiologi menelan dan bersuara 3. Menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis yang diderita pasien pada skenario ini 4. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit pada daerah tenggorokan 5. Mengetahui diagnosis banding (differential (differential diagnosis) penyakit pada daerah tenggorokan 6. Menjelaskan penatalaksanaan (pengobatan, edukasi) penyakit pada organ daerah tenggorokan 7. Menjelaskan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan . C. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah anatomi,histologi dan fisiologi daerah tenggorokan (larynx, pharynx) ?
2.
Bagaimana fisiologi menelan dan bersuara?
3.
Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis yang diderita pasien ( sakit menelan, badan demam, suara serak ) ?
4.
Bagaimana hubungan riwayat penyakit dahulu (sering batuk pilek) dengan penyakit yang sekarang?
5.
Bagaimana hubungan antara keluhan satu dengan keluhan yang lainnya?
6.
Bagaimana hubungan keluhan dengan usia pasien?
7.
Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan pharing dan laboratorium dalam skenario?
8.
Apa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan oleh pasien?
9.
Apa saja diagnosis banding penyakit pada skenario ini? 3
10. Bagaimana penatalaksanaan yang harus diberikan kepada pasien pada skenario ini? 11. Bagaimana prognosis dan komplikasi penyakit dalam skenario? 12. Bagaimana edukasi yang harus diberikan? D. HIPOTESIS
Berdasarkan skenario tersebut, dapat diambil sebuah hipotesis bahwa pasien menderita tonsillitis bakterial.
4
BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
JUMP I
: Klarifikasi Istilah
1. Odinofagia Merupakan nyeri pada daerah orofaring serta esophagus. Keluhan sering terjadi
karena
kehilangan
berat
badan
yang
tidak
disengaja,
makanan/minuman yang hangat, obat-obatan, ulkus, serta kerusakan mukosa. 2. Suara serak Istilah yang menggambarkan gangguan pembentukan suara ketika penderita berbicara; suara dapat melemah, mendesir, mengaung, dan kualitas suara dapat berubah. 3. Mengorok Adalah getaran yang muncul pada organ respiratoria dan plica vocalis dikarenakan obstruksi aliran udara untuk bernapas ketika tidur, merupakan tanda-tanda dari obstructive sleep apnea. apnea. 4. Mukosa granuloma dan hiperemia Granuloma merupakan agregasi makrofag pada daerah mukosa sebagai tanggap dari sistem imun terhadap zat-zat asing yang masuk ke dalam mukosa (antigen). Sedangkan hiperemia sendiri merupakan peningkatan aliran darah ke dalam jaringan mukus akibat perubahan metabolit dan/atau pengaruh tekanan di sekitarnya. 5. Tonsil hipertrofi Merupakan peningkatan volume jaringan limfoid (tonsil) dikarenakan pembesaran komponen organ. 6. Detritus
5
Merupakan kumpulan sel-sel polimorfonuklear, sisa-sisa makanan, serta bakteri yang telah mati. 7. Oedema plica vocalis Merupakan pengumpulan cairan tubuh secara abnormal pada interstisium yang terjadi tepatnya di plica vocalis. 8.
ASTO (Antistreptolisin-O) Adalah tes darah yang berrtujuan untuk mengetahui dan mengukur antibodi terhadap streptolisin O, zat yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus β hemolyticus grup A.
JUMP 2
: Mengajukan masalah
1. Mengapa pasien mengeluh sakit saat menelan? 2. Adakah hubungan antara suara serak dengan sakit menelan? 3. Adakah hubungan pasien demam serta keluhan? 4. Mengapa pasien mengorok dengan sangkalan sesak napas? 5. Bagaimanakah hubungan antara batuk dan pilek dengan keluhan (sakit menelan dan sulit makan)? 6. Mengapa plica vocalis oedema? 7. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan faring dan laboratorium? 8. Bagaimanakah terapi dari keluhan? 9. Bagaimanakah hubungan antara keluhan dengan usia? 10. Apa saja pemeriksaan penunjangnya? 11. Bagaimana diagnosis bandingnya? 12. Apa saja komplikasinya dan prognosisnya? 13. Apa yang menyebabkan keluhan terus berulang? 14. Bagaimanakah hubungan mengorok dengan sakit menelan?
6
JUMP 3
:
Menganalisis
Permasalahan
dan
Membuat
Pernyataan
Sementara atas Permasalahan 1. ANATOMI FARING, LARING, SERTA TONSIL
1. Anatomi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
7
Gambar 1. Anatomi Faring Atlas of Human Anato my 4thEdition
fausium, sedangkan laring di sebelah bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bu kofaringeal Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot. Faring terdiri atas : A. Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.
B. Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
8
C. Laringofaring (Hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” ( pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Ruang Faringal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring ( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot – otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat – serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan 9
dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis .
2. Anatomi Laring
Gambar 1. Anatomi Laring Atlas of Human Anatomy 4thEdition
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
10
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laringatau disebut juga Adam’s apple atau jakun.Batas batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid. Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroid di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. os hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot. A. . KARTILAGO. Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : a. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
kartilago tiroidea, 1 buah
kartilago krikoidea, 1 buah
kartilago aritenoidea, 2 buah
b. Kartilago minor, terdiri dari :
kartilago kornikulata santorini, 2 buah
kartilago kuneiforme wrisberg, 2 buah
kartilago epiglotis, 1 buah
B. LIGAMENTUM DAN MEMBRANA Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu a. Ligamentum ekstrinsik, terdiri dari :
11
Membran tirohioid
Ligamentum tirohioid
Ligamentum tiroepiglotis
Ligamentum hioepiglotis
Ligamentum krikotrakeal
b. Ligamentum intrinsik, terdiri dari :
Membran quadrangularis
Ligamentum vestibular
Konus elastikus
Ligamentum krikotiroid media
Ligamentum vokalis
Membrana laring dari posterior (Kartilago Ariteoid kanan digeser ke lateral)
C. OTOT - OTOT Otot – otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. a. Otot-otot ekstrinsik. Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan. Terbagi atas : 1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu : - M. stilohioideus - M. milohioideus - M. geniohioideus - M. digastrikus - M. genioglosus - M. hioglosus 2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu : - M. omohioideus - M. sternokleidomastoideus - M. tirohioideus
12
Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossus C2 dan C3 dan penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi. b. Otot-otot intrinsik Menghubungkan
kartilago
satu
dengan
yang
lainnya.
Berfungsi
menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m. interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan adduksi pita suara. Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah : 1. Otot-otot adduktor :
Mm. interaritenoidei transversales dan oblikui
M. krikotiroideus
M. krikotiroideus lateral.
Berfungsi untuk menutup pita suara. 2. Otot-otot abduktor :
M. krikoaritenoideus posterior
Berfungsi untuk membuka pita suara. 3. Otot-otot tensor :
Tensor Internus : M. tiroaritenoideus dan M. vokalis
Tensor Eksternus : M. krikotiroideus
Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak. 3. Anatomi tonsil
13
Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin waldeyer dari jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara pilar anterior dan posterior faussium. Tonsil faussium terdapat satu buah pada tiap sisi orofaring adalah jaringan limfoid yang dibungkus oleh kapsul fibrosa yang jelas. Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas kedalam kripta yang membuka kepermukaan tonsil. Kripta pada tonsil berjumlah 8-20, biasa tubular dan hampir selalu memanjang dari dalam tonsil sampai kekapsul pada permukaan luarnya.Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior, sehingga tertekan setiap kali menelan. m. palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampai mencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan limphoid. Struktur di sekitar tonsil: 1. Anterior : pada bagian anterior tonsilla palatina terdapat arcus palatoglossus, dapat meluas dibawahnya untuk jarak pendek. 2. Posterior : di posterior terdapat arcus palatopharyngeus. 3. Superior : di bagian superior terapat palatum molle. Disini tonsilla bergabung dengan jaringan limfoid pada permukaan bawah palatum molle. 4. Inferior : di inferior merupakan sepertiga posterior lidah. Di sini, tonsilla palatina menyatu dengan tonsilla lingualis. 5. Medial : di bagian medial merupakan ruang oropharynx. 6. Lateral : di sebelah lateral terdapat capsula yang dipisahkan dari m.constristor pharyngis superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina externa berjalan turun dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini, untuk bergabung dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap m.constrictor pharynges superior terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis. A. Carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsilla. Tonsilla palatina
14
mendapat vascularisasi dari : ramus tonsillaris yang merupakan cabang dari arteri facialis; cabang-cabang a. Lingualis; a. Palatina ascendens; a. Pharyngea ascendens. Sedangkan innervasinya, diperoleh dari N. Glossopharyngeus dan nervus palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl. Cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakangangulus mandibulae.Tonsila disusun oleh jaringan limfoid yang meliputi epitel skuamosa yang berisi beberapa kripta. Celah di atas tonsila merupakan sisa darin endodermal muara arkus bronkial kedua, di mana fistula bronkial/ sinus internal bermuara.. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfa yang mengandung banyak kelenjar limfoid dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi epitel respiratory. Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual.Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60 % dari limfosit tonsilar. Limfosit T pada tonsil 40 % dan 3 % lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Imunoglobulin G, A, M, D, komplemen-komplemen, interferon, losozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk differensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi yaitu : menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
2. HISTOLOGI
Bentuk mukosa faring brevariasi, tergantung pada letaknya (Soepardi, 2014). Pada nasofaring karena dekat dengan saluran respirasi, maka mukosanya bersilia dan epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian orofaring dan laringofaring, epitelnya skuamous kompleks non kornifikasi dan tidak bersilia karena
15
termasuk saluran pencernaan. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid. Sedangkan pada laring didapatkan variasi bentuk epitel karena letaknya (Isdaryanto, 2014). Pada epiglottis pars lingualis, epitelnya skuamous kompleks non kornifikasi. Pada pars pharingeal yang menyusun adalah epitel respirasi, yaitu pseudokompleks kolumner. Lalu, terkadang didapatkan epitel kolumner kompleks pada area transisi antara pars lingualis dan pharingeal. Limfosit dan nodus limfatikus banyak terdapat pada ventriculus laryngis. Berbagai kartilago menyusun struktur laring. Cartilago hialin menyusun cartilago thyroidea, cricoidea, dan arytenoidea. Sedangkan cartilago elastis menyusun cartilago epiglottica.
3. FISIOLOGI
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :
a. Fungsi Fonasi. Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nadadengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk : Teori Myoelastik – Aerodinamik: 16
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
b. Fungsi Proteksi. Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otototot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
c. Fungsi Respirasi.
17
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga
dada
dan
M.
Krikoaritenoideus
Posterior
terangsang
sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang
pembukaan
rima
glotis.
Hiperkapnia
dan
obstruksi
laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
d. Fungsi Sirkulasi. Pembukaan peninggian
tekanan
dan
penutupan
intratorakal
laring
menyebabkan
yang berpengaruh
penurunan
pada venous
dan
return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. laringeus rekurens dan ramus komunikans N. laringeus superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
e. Fungsi Fiksasi. Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
f. Fungsi Menelan. Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu : 1. Fase oral
18
Terjadi secara volunter makanan yang telah dikunyah dan bercapur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah. Kontraksi musculus levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian superior dari dinding posterior faring akan terangkat. Bolus terdorong ke posterior, dan nasofaring tertutup. Selanjutnya terjadi kontraksi musculus palatoglossus sehingga isthmus fausium tertutup, lalu kontraksi musculus palatopharingeus mencegah terjadinya refluks makanan ke cavum oris. 2. Fase faringeal Terjadi secara refeks akibat adanya bolus makanan. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi musculus sylopharingeus, musculus salpingopharyngeus, musculus tyrohyoideus dan musculus palatopharyngeus. Aditus laryngis tertutup oleh epiglottis. Bersamaan dengan ini juga terjadi penghentian aliran udara ke laring. Selanjutnya bolus makanan meluncur ke esofagus. 3. Fase esofageal Terjadi perpindahan bolus makanan dari esofagus ke gaster. Adanya rangsangan bolus makanan, terjadi relaksasi musculus criocopharyngeus, sehingga jalan masuk ke esofagus terbuka dan bolus makanan bisa masuk. Setelah bolus lewat, sphincter superior berkontraksi lebih kuat sehingga bolus makanan tidak kembali ke faring. Gerak bolus makanan di superior esofagus dipengaruhi oleh kontraksi musculus constrictor pharyngeus inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus didorong ke arah distal esofagus oleh gerakan peristaltik. Pada akhir fase ini, sphincter gaster-esophageal akan terbuka secara refleks.
g. Fungsi Batuk.
19
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
h. Fungsi Ekspektorasi. Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.
i. Fungsi Emosi. Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan. 3. Adakah hubungan pasien demam serta keluhan? Hubungan demam dengan tonsilitis pada pasien dalam skenario
Pada kejadian tonsilitis kronik maupun akut, pasien akan mengalami demam. Hal ini dikarenakan mediator-mediator inflamasi yang dibawa oleh tubuh untuk merespon adanya bakteri yang masuk dalam tubuh. Zat yang dapat menyebabkan efek perangsangan terhadap pusat pengaturan suhu sehingga menyebabkan demam disebut pirogen. Zat pirogen ini dapat berupa protein, pecahan protein, dan zat lain, terutama toksin polisakarida, yang dilepas oleh bakteri toksik atau pirogen yang dihasilkan dari degenerasi jaringan tubuh. Mekanisme demam dimulai dengan timbulnya reaksi tubuh terhadap pirogen dalam hal ini, pirogen yang dimaksud pada pasien tonsilitis adalah streptococcus beta hemoliticus. Pada mekanisme ini, bakteri atau pecahan jaringan akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula besar.
20
Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin-1(IL-1) ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga zat pirogen leukosit atau pirogen endogen. Interleukin-1 ketika sampai di hipotalamus akan menimbulkan demam dengan cara meningkatkan temperature tubuh dalam waktu
8 – 10
menit.
Sedikitnya
sepersepuluh
juta
gram
endoroksin
lipopolisakarida dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh dapat menyebabkan demam. Jumlah Interleukin-1. Yang di bentuk sebagai respon terhadap lipopolisakarida
untuk
menyebabkan
demam
hanya
beberapa
nanogram.Interleukin-1 menyebabkan demam, pertama-tama dengan menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin E2 , atau zat yang mirip dan selanjutnya bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam.
4. Mengapa pasien mengorok dengan sangkalan sesak napas? Secara umum, anak yang mendengkur dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok besar yaitu occasional snoring (mendengkur sesekali saja) dan habitual snoring (sering mendengkur). Anak dikategorikan mengalami habitual snoring apabila mendengkur >3 kali seminggu, sedangkan disebut occasional snoring apabila mendengkur <3 kali perminggu. Apabila sudah mengalami habitual snoring maka seringkali terjadi apa yang disebut sebagai obstructive sleep apnea syndrome (OSAS). OSAS adalah suatu sindrom obstruksi komplit atau parsial jalan napas yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Adanya OSAS ditandai dengan timbulnya henti napas sewaktu tidur ( sleep apnea) yang berlangsung paling sedikit selama 10 detik. Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, dan obesitas. Penyakit yang berhubungan dengan
21
alergi seperti rinitis alergi, asma dan sinusitis juga seringkali dikatakan berkorelasi dengan OSAS pada anak. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang paling sering menyebabkanOSAS pada anak. Pada pasien dewasa obesitas merupakan faktor risiko utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai faktor risiko utama. Anak yang menderita OSAS terutama yang berat akan mengalami gejala siang dan malam hari. Pada malam hari (night-time symptoms), anak tidur dengan mulut terbuka, mengorok dan seringkali mengalami henti napas. Akibatnya anak sering terbangun dari tidurnya karena gelagepan dan mengalami kekurangan oksigen (hipoksia). Anak dengan OSAS yang berat juga sering mengalami enuresis. Sebagai akibat dari gejala dan gangguan pada saat tidur malamnya, pada siang hari timbul gejala yang disebut day-time syndrome, berupa sering tertidur dalam kelas, kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran tertentu seperti matematika dan sains serta gangguan kognitif lainnya sehingga terjadi penurunan prestasi akademik. Perubahan perilaku menjadi mudah marah serta adanya gagal tumbuh juga seringkali dilaporkan berhubungan dengan OSAS. Kondisi hipoksia yang berlangsung lama pada anak OSASdengan AHI (apneu/hypopnea index) yang tinggi dapat menyebabkan cor-pulmonale dan hipertensi pulmonal. Penegakan diagnosis OSAS pada anak merupakan besaran masalah tersendiri,
mengingat
diagnosis
definitif
ditegakkan
dengan
pemeriksaan
polisomnografi pada saat tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi keadaannya setelah operasi. Pemeriksaan polisomnografi akan merekam aktivitas anak selama tidur dengan menilai frekuensi dan lama mendengkur, henti napas, aktivitas listrik jantung,
saturasi
oksigen
dan
aktivitas
listrik
otak.
Tidak
tersedianya
polisomnografi dapat diatasi dengan melakukan anamnesis pengisian kuesioner dan/atau membuat video rekaman anak selama tidur.
22
Mengingat hipertrofi adenoid dan tonsil yang merupakan faktor risiko tertinggi timbulnya OSAS pada anak, maka tonsiloadenoidektomi merupakan upaya yang efektif untuk mengatasi masalah OSAS pada anak. Seringkali orangtua atau kalangan awam mempercayai bahwa tindakan tonsiloadenoidektomi pada anak-anak dapat meningkatkan performa atau prestasi akademik. Kemungkinan ini dapat terjadi pada anak dengan OSAS yang mengalami gangguan belajar. Tindakan tonsiloadenoidektomi pada anak OSAS juga mempunyai risiko komplikasi yang cukup banyak, mulai dari tindakan anestesi, serta komplikasi pasca operasi yang kekerapannya lebih tinggi pada anak dengan OSAS dibandingkan dengan pada anak tanpa OSAS. Komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi supraglotis, desaturasi, perdarahan, dan lain-lain. Pasien anak dengan OSAS yang menjalani tonsiloadenoidektomi perlu dirawat inap minimal satu hari untuk mengobservasi kemungkinan timbulnya komplikasi tersebut. Namun demikian, pada beberapa kasus ternyata tindakan operatif tidak bisa mengatasi OSAS. Bila demikian maka diperlukan evaluasi lebih lanjut dan mendalam mengenai penyulit-penyulit pada kasus tersebut serta pertimbangan untuk pemasangan CPAP (continuous positive airway pressure). (Kaswandani, 2010).
JUMP 4
:
Menginventarisasikan
permasalahan-permasalahan
secara
sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-permasalahan pada langkah 3.
23
Sakit menelan Suara serak Laki-laki
Demam
Usia 5 tahun
Mendengkur ketika tidur tanpa sesak napas Keluhan berulang sejak usia 3 tahun
Riwayat batuk pilek Imunitas masih dalam tahap perkembangan dan belum sempurna
Pemeriksaan fisik:
-
Granuloma dan hiperemi pada Timbulnya granuloma dan
mukosa pharynx
-
Detritus dan hipertopi pada tonsil
-
Edema dan hiperemi pada plica
hiperemi pada mukosa pharynx menyebabkan sakit ketika menelan
vocalis
Infeksi pada pernapasan atas yang menyebabkan penimbunan bakteri pada tonsil hingga terjadi detritus.
Positif terjadi infeksi oleh bakteri
Penebalan pada plica
Streptococcus β heolitikus tipe A
vocalis menyebabkan suara serak.
Diagnosis Differensial: Tonsilitis, Pharyngitis, Laryngistis, dan Hipertrofi Adenoid
Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis, Terapi dan Edukasi, Prognosis, serta Komplikasi 24
JUMP 5
: Merumuskan Tujuan Pembelajaran
1. Fungsi bangunan penting pada pharynx dan larynx (torus tubarius, torus levatorius, dll) 2.
Patofisiologi sakit saat menelan (odinofagia)
3.
Hubungan suara serak dengan sakit saat menelan
4.
Hubungan batuk pilek dengan keluhan sakit saat menelan dan suara serak
5.
Patofisiologi oedem pada plica vocalis
6.
Mengapa keluhan sakit saat menelan dan suara serak berulang?
7.
Hubungan keluhan dengan usia pasien
8.
Interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium
9.
Pemeriksaan penunjang, DDx, terapi, komplikasi, dan prognosis.
JUMP 6
: Mengumpulkan Informasi Baru
Pada langkah keenam ini, mahasiswa dapat mencari sumber referensi yang dipercaya untuk disampaikan dalam pertemuan kedua tutorial. Sumber-sumber tersebut dapat berasal dari jurnal, konsultasi pakar, buku teks, dan literatur lainnya. JUMP 7
: Melaporkan, Membahas, dan Menata Informasi-Informasi yang
Sudah Dicari
1.
Fungsi bangunan penting pada pharynx dan larynx (torus tubarius, torus
levatorius, dll)
25
1. Ostium Pharyng eum tuba auditiva muara dari tuba auditiva 2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium pharyng eum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva, berfungsi membantu menyeimbangkan tekanan udara luar dengan tekanan di auris media 3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium pharyng eum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini. Berfungsi dalam menyokong otototot penyusun palatum molle. 4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius 5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium pharyng eum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan. 6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Nasopharingeal Carcinoma. 7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior naso pharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis. 8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus. 9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincter palatopharingeus. 10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raphe pharingei 11. Dinding posterior pharynx, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik pharynx, abses retro pharynx, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. 12. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. 13. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dan ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil pharynxeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel
26
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan. 14. Vallecula epiglottica berfungsi untuk menampung benda-benda tumpul 15. Epiglottis, berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
2.
Patofisiologi sakit saat menelan (odinofagia) Odinofagia berawal ketika bolus bergerak dari rongga mulut ke orofaring
akan menyebabkan iritasi saat mengangkat palatum molle karena adanya peradangan di daerah faring, laring, serta tonsilla palatina. Nyeri menelan dapat disertai dengan disfagia atau tidak.
3. Hubungan suara serak dengan sakit saat menelan Dysfonia
Merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik bersifat organik maupun fungsional, ( Gangguan suara / dysfonia dapat berupa suara parau, suara lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suarah tegang (spastik), suara yang terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri pada saat bersuara (odinofonia), atau ketidak mampuan untuk mencapai nada dan intensitas tertentu. Setiap keadaan yang menimbulan gangguan dalam getaran, gangguan dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri dankanan akan menimbulkan disfonia. Penyebab disfonia dapat bermacam – macam, yang pada prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya. Etiologi ini dapat berupa radang, neoplasma, paralisis otot-otot laring, kelainan laring seperti sikatrik pasca operasi, fiksasi pada sendi krikoaritenoid, dan lain-lain. Disfonia pada umumnya merujuk pada gangguan vibrasi plica vocalis, sehingga dpat menimbulkan efek pada satu atau seluruh subsistem penghasil suara. 27
1). Sistem tekanan udara ( Air Pressure System) Bila paru-paru mengalami kelainan yang menyebabkan sulitnya udara untuk dikeluarkan dari paru-paru, maka aliran udara yang dihasilkan lemah dan tidak efisien untuk dapat menggetarkan plica vocalis. Akibatnya sura yang dihasilkan sangat lemah dan terhambat oleh nafas yang pendek. Contoh : pada pasien asma, kanker paru dan emfisema. 2). Vibratory System Gangguan vibrasi pada plica vocalis yang menyebabkan suara terengar serak (parau) Contoh: pada pasien yang mengalami kekakuan pada pita suara akibat suatu pembengkakan yang disebabkan oleh flu . 3) Resonating System / Vocal Tract Resonating system/Vocal tract terdiri dari faring, rongga mulut, dan rongga hidung. Fungsi dari resonating system/vocal tract pada proses dihasilkannya suara ialah sebagai amplifikasi dan modifikasi dari suara dasar yang dihasilkan oleh getaran plica vocalis, seblum nantinya mengalami artikulasi oleh lidah, palatum mole dan bibir sehingga terciptanya bunyi kononan dan vokal. Apabila resonating system/vocal tract mengalami gangguan, maka akan mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan, Contoh : saluran pernafasan yang bengkak akibat inflamasi selama terjadinya flu akan menyebabkan gangguan suara. Jika dihubungkan dengan skenario, suara serak yang dialami pasien disebabkan oleh adanya gangguan pada vibratory sytem dan resonating system/vocal tract. Hal tersebut disebabkan oleh adanya peradangan pada tonsil pasien (tonsilitis), dimana dari hasil pemeriksaan pharing didapatkan tonsil hipertrofi disertai detritus.
28
4.
Hubungan batuk pilek dengan keluhan sakit saat menelan dan suara serak Pada skenario, dikatakan bahwa pasien mempunyai riwayat sering batuk dan
pilek. Hal ini menunjukkan bahwa tonsil sering terpapar dengan kuman dan bekerja ekstra untuk melakukan fungsi proteksi. Pada suatu ketika, fungsi tonsil mengalami penurunan dan tidak lagi mampu melawan infeksi yang terjadi secara berulang. Akibatnya, akut tonsil berubah menjadi kronis. Tonsil yang tadinya berfungsi sebagai pertahanan tubuh, berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Sehingga pada saat keadaan umum tubuh menurun, kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh, terutama secara limfogen. 5.
Patofisiologi oedem pada plica vocalis Plica vocalis yang edem menyebabkan kekakuan untuk membuka-menutup,
sehingga menganggu siklus vibrasi. Akibatnya, jumlah siklus vibrasi sedikit (frekuensi suara rendah). Suara yang dihasilkan oleh plica vocalis selanjutnya mengalami amplifikasi dan modifikasi di vocal tract resonators yang terdiri dari rongga mulut, faring serta rongga hidung. Peradangan pada tonsil yang menyebabkan hipertofi tonsil serta gangguan pada faring otomatis menyebabkan ganguan pada resonating system sehingga menyebabkan suara yang dihasilkan terdengar serak (hoarseness) . 6.
Mengapa keluhan sakit saat menelan dan suara serak berulang? (Lihat
Penjelasan nomor 3,4, dan 5) 7.
Hubungan keluhan dengan usia pasien Faringitis lebih sering disebabkan oleh virus (rhinovirus atau adenovirus) dan bakteri (Streptococcus pyogenes). Puncak insidensinya adalah pada usia 4-7 tahun dan apabila disebabkan oleh Streptococcus grup A jarang terjadi pada usia di bawah 3 tahun (Acerra, 2013). 29
Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun. Sedangkan, tonsillitis yang disebabkan Streptococcus banyak terjadi pada usia 5-15 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh virus lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih muda (Shah, 2013). 8.
Interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium Pada pemeriksaan pharing didapatkan mukosa pharing terdapat granuloma
dan hiperemi, tonsil hipertrofi dan terdapat detritus, plika vokalis oedema dan hiperemis. Ketika bakteri streptococcus β hemolyticus group A masuk ke tubuh, sistem imun tubuh akan aktif melawan bakteri tersebut. Toksin ekstraseluler yang dikeluarkan oleh bakteri kemudian akan dilisiskan oleh komplemen C3a tubuh. Reaksi ini menyebabkan degranulasi pada sel mast sehingga mengundang mediator inflamasi yang berakibat pada ekstravasi limfosit dan neutrofil disertai dengan sitolin dan vasodilator. Sel-sel yang terkena radang akan lisis dan menyebabkan cairan sel keluar membentuk eksudat radang dan proliferasi jaringan, gambaranya hampir sama dengan jaringan granulasi. Jaringan granulasi yang berlebihan akan membentuk suatu tonjolan yang disebut granuloma yaitu suatu masa seperti tumor yang tersir atas jaringan granulasi. Vasodilator yang datang akibat reaksi imun terhadap bakteri menyebabkan peningkatan vascularisasi pada mukosa sehingga berwarna kemerahan (hiperemi). Setiap antigen yang masuk akan ditampung dan dibawa ke tonsil untuk dilisiskan karena tonsil merupakan alat pertahanan tubuh. Antigen dari bakteri streptococcus yang banyak menyebabkan tonsil menjadi hipertrofi karena kerjanya sebagai alat pertahanan tubuh menjadi semakin berat, reaksi imun terhadap antigen bakteri streptococcus menyebabkan keluarnya sel-sel limfosit dan leukosit PMN. Kumpulan sel-sel leukosit PMN yang memfagosit antigen bakteri menempel di tonsil membentuk detritus.
30
Infeksi bakteri ini bisa meluas ke daerah di sekitar tonsil yaitu plica vocalis. Plica vocalis menjadi oedema dan hiperemis akibat reaksi peradangan terhadap antigen bakteri streptococcus yang menyebabkan degranulasi sel mast dan keluarnya sitokin-sitokin, vasodilator dan sel-sel leukosit PMN. PEMERIKSAAN ANTISTREPTOLISIN-O
Penetapan ASTO umumnya hanya memberi petunjuk bahwa telah terjadi infeksi oleh streptokokus. Streptolisin O bersifat sebagai hemolisin dan pemeriksaan ASTO umumnya berdasarkan sifat ini (Soetarto & Latu, 1981). Streptokokus grup A (streptokokus beta hemolitik) dapat menghasilkan berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi. Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak memiliki daya perlindungan, tetapi adanya antibodi tersebut dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja terdapat Streptokokus yang aktif. Antibodiyang terbentuk adalah Antistreptolisin O, Antihialuronidase (AH), antistreptokinase (Anti-SK), anti-desoksiribonuklease B (AND-B), dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase(anti-NADase).Demam rematik merupakan penyakit vascular kolagen multisystem yang terjadi setelah infeksi Streptokokus grup A pada individu yang memiliki faktor predisposisi. Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung didapat (acquired heart disease)pada anak dan dewasa muda di banyak negara terutama Negara berkembang. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh adanya inflamasi endokardium dan mmiokardium melalui suatu proses autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringan.Serangan pertama demam reumatik akut terjadi paling sering antara umur 5 – 15 tahun.Demam reumatik jarang menyerang anak dibawah umur lima tahun. Demam reumatik akut menyertai faringitis Streptokokus beta hemolitik grup A yang tidak diobati. Pengobatan yang tuntas terhadap
faringitis
akut
hampir
meniadakan
risiko
terjadinya
demam
reumatik.Diperkirakan hanya 3 % dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptokokus 31
yang tidak diobati.ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling banyak dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi Streptokokus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik menunjukan peningkatan titer antibodi terhadap streptokokus. Penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki rekativitas bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat streptokokus dan glikoprotein katup, diantaranya membran protoplasma streptokokus dan jaringan saraf subtalamus serta nuclei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilagoartikular. Ada dua prinsip dasar penetuan ASTO, yaitu: 1.
Netralisasi/penghambat hemolisis Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari sel darah merah, akan tetapi
bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu dengan serum penderita yang mengandung cukup anti streptolisin O sebelum di tambahkan pada sel darah merah, maka streptolisin O tersebut akan di netralkan oleh ASO sehingga tidak dapat menibulkan hemolisis lagi. Pada tes ini serum penderita di encerkan secara serial dan di tambahkan sejumlah streptolisin O yang tetap (streptolisin O diawetkan dengan sodium thioglycolate). Kemudian ditambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan terjadi pada pengenceran serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup untuk menghambat hemolisis tidak terjadi pada pengencaran serum yang mengandung titer ASO yang tinggi. 2.
Aglutinasi pasif Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar dapatmenyebabkan
aglutinasi dengan ASO. Maka streptolisin O perlu disalutkan pada partikel-partikel tertentu. Partikel yang sering dipakai yaitu partikel lateks. Sejumlah tertentu streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml ASO) di tambahkan pada serum penderita sehingga terjadi ikatan streptolisin O – anti streptolisin O (SO – ASO).
32
Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml, maka sisa ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan menyebabkan aglutinasi dari streptolisin O yang disalurkan pada partikel – partikel latex . Bila kadar ASO dalam serum penderita kurang dari 200 IU / ml , maka tidak ada sisa ASO bebas yang dapat menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada partikel – partikel latex. Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup baik , sedangkan tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes aglutinasi latex hanya dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200 IU/ml. Nilai normal ASTO pada anak 6 bulan – 2 tahun = 50 Todd unit/ ml 2-4 tahun = 160 Todd unit/ml 5-12 tahun = 170 Todd unit/ml Dewasa = 160 Todd unit/ml
Titer ASTO akan meningkat 75-80% pada kasus glumerulonefritis akut pasca streptokokus. 9.
Pemeriksaan penunjang, DDx, terapi, komplikasi, dan prognosis.
FARINGITIS
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakeri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Rusmardjono & So epardi, 2007). 1. Faringitis Akut a. Faringitis Viral Gejala dan Tanda Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxzachievirus dan cytomegalovirus tidak menimbulkan eksudat. Coxzachievirus dapat menimbulkan lesi vasikular di orofaring 33
dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak selain faringitis. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis disertai eksudat yang banyak, pembesaran kelenjar limfe, terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Rusmardjono & Soepardi, 2007). Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam, faring tampak hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher, dan pasien tampak lemah (Rusmardjono & Soepardi, 2007). Terapi Istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat, analgetika jika perlu dan tablet isap. Dapat diberi juga antivirus metisoprinol (Rusmardjono & Soepardi, 2007). b. Faringitis Bakterial Infeksi grup A Streptococcus β hemolitikus penyebab faringitis akut pada dewasa (15%) dan anak (30%) (Rusmardjono & Soepardi, 2007). Gejala dan Tanda Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi, jarang disertai batuk. Tonsil tampak membesar, faring dan tonsil hiperemis terdapat eksudat. Kemudian timbul petechiae pada palatum dan dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan (Rusmardjono & Soepardi, 2007). Terapi Antibiotik
penicillin,
amoksisilin,
atau
eritromisin.
Kortikosteroid
dexamethason, analgetika, dan kumur dengan air hangat atau antiseptic (Rusmardjono & Soepardi, 2007).
34
2. Faringitis Kronik Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring, dan debu. a. Faringitis kronik hiperplastik Terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring . tampak kelenjar limpa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular. Gejala Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang beriak. Terapi Pengobatan simtomatis dengan obat kumur atau tablet hisap. Jika perlu dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. b. Faringitis kronik atrofi Sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan Tanda Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Tampak mukosa faring ditutupi lendir kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
35
Terapi Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofi dan untuk faringitisnya ditambahkan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut. LARINGITIS
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi baik akut maupun kronik.Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Penyebab dari laringitis akut dan kronis dapat bermacam-macam bisa disebabkan karena kelelahan yang berhubungan dengan pekerjaan maupun infeksi virus. Pita suara adalah suatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot, dan membran mukus yang membentuk pintu masuk dari trakea. Biasanya pita suara akan membuka dan menutup dengan lancar, membentuk suara melalui pergerakan. Bila terjadi laringitis, makan pita suara akan mengalami proses peradangan, pita suara tersebut akan membengkak, menyebabkan perubahan suara. Akibatnya suara akan terdengar lebih serak. Berdasarkan hasil studi laringitis terutama menyerang pada usia 18-40 tahun untuk dewasa sedangkan pada anak-anak umumnya terkena pada usia diatas 3 tahun. Etiologi
36
Hampir setiap orang dapat terkena laringitis baik akut maupun kronis. Laringitis biasanya berkaitan dengan infeksi virus pada traktus respiratorius bagian atas. Patogenesis
Bila jaringan cedera karena terinfeksi oleh kuman, maka pada jaringan ini akan
terjadi
rangkaian
reaksi
yang
menyebabkan
musnahnya
agen
yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen ini menyebar lebih luas. Reaksireaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki. Rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini dinamakan radang. Laringitis akut merupakan proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Bila etiologi dari laringitis akut disebabkan oleh adanya suatu infeksi, maka sel darah putih akan bekerja membunuh mikroorganisme selama proses penyembuhan. Pita suara kemudian akan menjadi tampak edema, dan proses vibrasi juga umumnya ikut mengalami gangguan. Hal ini juga dapat memicu timbulnya suara yang parau disebabkan oleh gangguan fonasi. Membran yang meliputi pita suara juga terlihat berwarna kemerahan dan membengkak. Laringitis kronis merupakan suatu proses inflamasi yang menunjukkan adanya peradangan pada mukosa laring yang berlangsung lama. Pada laringitis kronis proses peradangan dapat tetap terjadi meskipun faktor penyebabnya sudah tidak ada. Proses inflamasi akan menyebabkan kerusakan pada epitel bersilia pada laring, terutama pada dinding belakang laring. Hal ini akan menyebabkan gangguan dalam pengeluaran sekret dari traktus trakeobronkial. Bila hal ini terjadi, sekret akan berada tetap pada dinding posterior laring dan sekitar pita suara menimbulkan reaksi
37
timbulnya batuk. Adanya sekret pada daerah pita suara dapat menimbulkan laringospasme. Perubahan yang berarti juga dapat terjadi pada epitel dari pita suara berupa hiperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis dan akantosis. Laringitis Akut
Penyalahgunaan suara, inhalasi uap toksik, dan infeksi menimbulkan laringitis akut. Infeksi biasanya tidak terbatas pada laring, namun merupakan suatu pan-infeksi yang melibatkan sinus, telinga, laring dan tuba bronkus. Virus influenza, adenovirus dan streptokokus merupakan organisme penyebab yang tersering. Difteri harus selalu dicurigai pada laringitis, terutama bila ditemukan suatu membran atau tidak adanya riwayat imunisasi. Pemeriksaan dengan cermin biasannya memperlihatkan suatu eritema laring yang difus. Biakan tenggorokan sebaiknya diambil. Laringitis Kronis
Laringitis kronis adalah inflamasi dari membran mukosa laring yang berlokasi di saluran nafas atas, bila terjadi kurang dari 3 minggu dinamakan akut dan disebut kronis bila terjadi lebih dari 3 minggu Beberapa pasien mungkin telah mengalami serangan laringitis akut berulang, terpapar debu atau asap iritatif atau menggunakan suara tidak tepat dalam konteks neuromuskular. Merokok dapat menyebabkan edema dan eritema laring. Laringitis Kronis Spesifik
Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah laringitis tuberkulosis dan laringitis luetika 1. Laringitis tuberkulosis
38
Penyakit ini hampir selalu akibat tuberkulosis paru. Biasanya pasca pengobatan, tuberkulosis paru sembun tetapi laringitis tuberkulosis menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang melekat p ada kartilago serta vaskularisasinya yang tidak sebaik paru sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago maka tatalaksananya dapat berlangsung lama. Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu :
Stadium infiltrasi, mukosa laring posterior membengkak dan hiperemis, dapat mengenai pita suara. Terbentuk tuberkel pada submukosa sehingga tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel membesar dan beberapa tuberkel berdekatan bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang sehingga suatu saat akan pecah dan terbentuk ulkus
Stadium ulserasi, ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus diangkat, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri.
Stadium perikondritis, ulkus makin dalam sehingga mengenai kartuilago laring terutama kartilago aritenoid dan epiglotis sehingga terjadi kerusakan tulang rawan.
Stadium pembentukan tumor, terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan subglotik.
2. Laringitis luetika Radang menahun ini jarang dijumpai Dalam 4 stadium lues yang paling berhubungan dengan laringitis kronis ialah lues stadium tersier dimana terjadi pembentukan gumma yang kadang menyerupai keganasan laring. Apabila guma pecah akan timbul ulkus yang khas yaitu ulkus sangat dalam, bertepi dengan dasar keras, merah tua dengan eksudat kekuningan. Ulkus ini tidak nyeri tetapi menjalar cepat
39
Diagnosis
Diagnosis laringitis akut dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemerinksaan penunjang. Pada anamnesis biasanya didapatkan gejala demam, malaise, batuk, nyeri telan, ngorok saat tidur, yang dapat berlangsung selama 3 minggu, dan dapat keadaan berat didapatkan sesak nafas, dan anak dapat biru-biru. Pada pemeriksaan fisik, anak tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak 1
sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama dibagian atas dan bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin tidak memberikan hasil yang khas, namun biasanya ditemui leukositosis. pemeriksaan usapan sekret tenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk mengetahui kuman penyebab, namun pada anak seringkali tidak ditemukan kuman patogen 1
penyebab
Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus, sehingga perlu dilakukan 1
pemeriksaan foto.
Pada laringitis kronis diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada gambaran makroskopi nampak permukaan selaput lendir kering dan berbenjol-benol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebaldan opaque, serbukan sel radang menahun pada lapisan submukosa.
40
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah, kultur sputum, hapusan mukosa laring, serologik marker. Pada laringitis kronis juga dapat dilakukan foto radiologi untuk melihat apabila terdepat pembengkakan. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan berupa uji tes alergi. Penatalaksanaan
Terapi pada laringitis akut berupa mengistirahatkan pita suara, antibiotik, menambah kelembaban, dan menekan batuk. Obat-obatan dengan efek samping yang menyebabkan kekeringan harus dihindari. Penyanyi dan para profesional yang mengandalkan suara perlu dinasihati agar membiarkan proses radang mereda sebelum melanjutkan karier mereka. Usaha bernyanyi selama proses radang berlangsung dapat mengakibatkan perdarahan pada laring dan perkembangan nodul korda vokalis selanjutnya. Terapi pada laringitis kronis terdiri dari menghilangkan penyebab, koreksi gangguan yang dapat diatasi, dan latihan kembali kebiasaan menggunakan vokal dengan terapi bicara. Antibiotik dan terapi singkat steroid dapat mengurangi proses radang untuk sementara waktu, namun tidak bermanfaat untuk rehabilitasi jangka panjang. Eliminasi obat-obat dengan efek samping juga dapat membantu. Pada pasien dengan gastroenteriris refluks dapat diberikan reseptor H2 antagonis, pompa proton inhibitor. Juga diberikan hidrasi, meningkatkan kelembaban, menghindari polutan. Terapi pembedahan bila terdapat sekuester dan trakeostomi bila terjadi sumbatan laring. Laringitis kronis yang berlangsung lebih dari beberapa minggu dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik, sebagian besar berhubungan dengan pemajanan rekuren dari iritan. Asap rokok merupakan iritan inhalasi yang paling 41
sering memicu laringitis kronis tetapi laringitis juga dapat terjadi akibat menghisap kanabis atau inhalasi asap lainnya. Pada kasus ini, pasien sebaiknya dijauhkan dari faktor pemicunya seperti dengan menghentikan kebiasaan merokok. HIPERTROFI ADENOID Hipertropi adenoid Tonsila pharygea atau lebih sering disebut dengan adenoid merupakan salah satu jaringan limfoid dalam rangakaian annulus waldeyer yang terletak pada dinding posterior nasofaring .Secara fisiologi, adenoid akan membesar pada usia 3 tahun
dan dapat
menghilang setelah berumur 14 tahun. Pembesaran adenoid dapat dikarenakan oleh infeksi bakteri atau kuman yang berulang dan kadang pembesaran tetap menetap walaupun pasien sudah tidak sakit Gejala: Pembesaran adenoid dapat menyebabkan penutupan koana dan tuba eustachii. Akibat sumbatan pada koana, maka pasien mengkompensasi kebutuhan oksigen dengan bernafas dengan mulut.Bernafas dengan mulut dapat ditandai dengan pernafasan yang buruk, bibir pecah-pecah, mulut kering dan kongesti hidung yang persisten.Penutupan saluran pernafasan dapat juga mengalami gangguan saat tidur, yaitu nafas pendek, mengorok dan sleep apnea. Sumbatan pada tuba eustachii dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada telinga tengah atau otitis media. Diagnosis Diagnosis ditegakkanberdasarkan tanda dan gejala klinis.Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat tahanan gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi, sedangkan pada pemeriksaan rinoskopi posterior sulit terlihat pada anak. Pemeriksaan digital berfungsi untuk meraba adanya adenoid. Pemeriksaan radiologi dengan foto toraks lateral lebih sering digunakan pada pasien yang masih kecil. Terapi
42
Terapi bedah (adenoidektomi) dapat dilakukkan dengan cara curetase memakai adenotom. Indikasi dilakukan adenoidektomi: 1. Sumbatan
Sumbatan hidung yang menyebabkan pernafasan melalui mulut
Sleep apnea
Gangguan menelan
Gangguan berbicara
Kelainan bentuk wajah
2. Infeksi
Adenoditis berulang
Otitis media efusi berulang atau kronik dan otitis media akut berulang.
3. Kecurigaan neoplasma Komplikasi Dapat terjadi pendarahan jika adenoid belum semuanya diangkat. Bila terlalu dalam saat kuretase dapat menyebabkan kerusakan dinding belakang faring dan bila kuretase terlalu ke lateral dapat menyebabkan rusaknya torus tubarius dan menyebabkan oklusi tuba eustachii dan akan timbul tuli konduktif. TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Terdapat beberapa jenis tonsilitis yaitu
tonsilitis akut, membranosa dan
kronik. i. Tonsilis viral Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr .Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan
43
rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. ii. Tonsilitis bakterial Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil
akan
menimbulkan
reaksi
radang
berupa
keluarnya
leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. b. Tonsilitis Membranosa i. Tonsilitis difteri Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. ii. Tonsilitis septik Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi. iii. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa) Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkanpada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. iv. Penyakit kelainan darah Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.
44
Tonsilitis kronik
Faktor predisposisinya ialah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif. Patologi Karena proses peradangan yang berulang maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis , sehingga proses penyembuhan jaringan diganti jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini diisi oleh detritus. Proses berlanjut hingga kapsul, yang akhirnya menimbulkan perlekatan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak, proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Gejala dan Tanda Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tampak tidak rata, kriptus melebar dan beberapa terisi detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasa kering dan napas berbau. Terapi Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap. Komplikasi Komplikasi ke daerah sekitar berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatu. komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dapat timbul endokarditis, artritis, furunkulosis. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
45
Indikasi tonsilektomi *Relatif:
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat.
Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronis atau berulang pada linier Streptokokkus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik
*Mutlak (Absolut)
Pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan tempat yang dicurigai limfoma (keganasan)
Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu tidur.
Pada
penderita
tonsillitis,
terlebih
dahulu
harus
diperhatikan
pernafasan dan status nutrisinya.Jika perbesaran tonsil menutupi jalan nafas, maka perlu dilakukan tonsilektomi, demikian juga jika pembesaran tonsil menyebabkan kesulitan menelan dan nyeri saat menelan, menyebabkan penurunan nafsu makan / anoreksia.Pada penderita tonsillitis yang tidak memerlukan tindakan operatif (tonsilektomi), perlu dilakukan oral hygiene
46
untuk menghindari perluasan infeksi, sedangkan untuk mengubahnya dapat diberikan antibiotic, obat kumur dan vitamin C dan B.
Pemantauan pada penderita pasca tonsilektomi secara kontinu diperlukan
karena
resiko
komplikasi
hemorraghi.Posisi
yang
paling
memberikan kenyamanan adalah kepala dipalingkan kesamping untuk memungkinkan drainage dari mulut dan faring untuk mencegah aspirasi.Jalan nafas oral tidak dilepaskan sampai pasien menunjukkan reflek menelanya telah pulih. Jika pasien memuntahkan banyak darah dengan warna yang berubah atau berwarna merah terang pada interval yang sering, atau bila frekuensi nadi dan pernafasan meningkat dan pasien gelisah, segera beritahu dokter bedah.Perawat harus mempunyai alat yang disiapkan untuk memeriksa temapt operasi terhadap perdarahan, sumber cahaya, cermin, kasa, nemostat lengkung dan basin pembuang.Jika perlu dilakukan tugas, maka pasien dibawa ke ruang operasi, dilakukan anastesi umur untukmenjahit pembuluh yang berdarah.Jika tidak terjadi perdarahan berlanjut beri pasien air dan sesapan es. Pasien diinstruksikan untuk menghindari banyak bicara dan bentuk karena hal ini akan menyebabkan nyeri tengkorak. Setelah dilakukan tonsilektomi, membilas mulut dengan alkalin dan larutan normal salin hangat sangat berguna dalam mengatasi lendir yang kental yang mungkin ada.Diet cairan atau semi cair diberikan selama beberapa hari serbet dan gelatin adalah makanan yang dapat diberikan.Makanan pedas, panas, dingin, asam atau mentah harus dihindari.Susu dan produk lunak (es krim) mungkin dibatasi karena makanan ini cenderung meningkatkan jumlah mucus.
47
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada skenario ini, pasien mengalami tonsilitis kronis dengan penyebab utama Streptococcus β -hemolyticus grup A yang kadang-kadang berubah menjadi dominan bakteri Gram negatif. Hal ini dibuktikan dari pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan ASTO (+). Selain itu, tonsil yang meradang secara kronis akan menimbulkan peradangan di sekitar tonsila palatina, misalnya faringitis. Kadang-kadang batuk dan pilek juga menyertai tonsilitis karena fungsi tonsil yang semula sebagai tempat pertahanan tubuh, berubah menjadi tempat penambatan infeksi dengan petunjuk adanya detritus yang menempel pada kripte-kripte tonsil yang melemahkan sel-sel limfoid. Tonsilektomi adalah satu-satunya terapi untuk menanggulangi infeksi yang terus berulang. B. SARAN
Pasien setelah proses tonsilektomi perlu menjaga kebersihan tubuh, terutama daerah rongga mulut dengan membiasakan sikat gigi sehabis makan. Orang tua pasien sebaiknya menyarankan anaknya untuk menghindari makanan panas, dingin, pedas, susu, serta berlunak. Diskusi tutorial skenario 3 blok THT umumnya berjalan baik, namun kurangnya ketaatan waktu serta ketidaksiapan moderator diskusi menjadi hambatan bagi jalannya diskusi sendiri. Tutor sudah mengarahkan jalannya diskusi dengan baik, sehingga mengurangi terhentinya diskusi di tengah jalan.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, George L; Boies, R. Lawrence; Higler, H. Pieter.1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6 . Jakarta : EGC. 2. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and neck.13th ed. Philadelphia,Lea & Febiger. 1993 3. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993. th
4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11 edition. Singapore: Elsevier Pte Ltd. 2008. 5. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons.Volume 1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966 : 425-456 . 6. Isdaryanto (2014). Slide kuliah histologi cavum nasi, faring, laring . Surakarta: Laboratorium Histologi FK UNS. 7. Kaswandani, Nastitis. 2010. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia IDI. Vol 60 No 7 8. Septianto, Teddy (ed) (2010). Buku Panduan Praktikum Anatomi. Surakarta: Laboratorium Anatomi dan Embriologi Fakultas Kedokteran UNS. 9. Soepardi, Efiaty Arsyad; et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
49
50