3
Presentasi Kasus
Sindrom Nefrotik Relaps Sering
Disusun oleh:
dr. Ichwan Zuanto
Pembimbing Kasus:
dr. H. Asviandri, SpA M.Biomed
Program Internship Dokter Indonesia
RSUD Sungai Dareh
Kabupaten Dharmasraya
2015/2016
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum wr. wb.
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa, atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas dalam Program Internship Dokter Indonesia di RSUD Sungai Dareh periode 8 Juni 2015 – 7 Juni 2016.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Asviandri, SpA. M.Biomed selaku konsultan yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan makalah presentasi kasus ini.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih untuk pendamping internship saya, dr. Nurafdaliza dan dr. Sujito atas bimbingan dalam setiap kegiatan.
Saya sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah yang saya buat ini.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan khususnya bagi praktisi kedokteran.
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Dharmasraya, Maret 2016
Penyusun,
dr. Ichwan Zuanto
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................
2
DAFTAR ISI ...................................................................................................
3
BAB I. PENDAHULUAN ..............................................................................
4
Latar Belakang .................................................................................
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……........................................................
5
II.1. Definisi ………………………………………………………........
5
II.2. Epidemiologi ………………………………………………...........
6
II.3. Etiologi …………………………………………............................
6
II.4. Patofisiologi ……………………………………………………...
7
II.5. Manifestasi Klinis ...........................................................................
9
II.6. Penegakan Diagnosis ......................................................................
10
II.7. Diagnosis Banding dan Komplikasi ................................................
10
II.8. Penatalaksanaan ..............................................................................
11
II.9. Prognosis .........................................................................................
13
BAB III. ILUSTRASI KASUS .................................................................
14
III.1. Anamnesis………………………………………………………...
14
III.2. Pemeriksaan Fisik……….…...…………………………..............
16
III.3. Pemeriksaan Penunjang………………………………………...
17
III.5. Diagnosis ………………………………………………………...
18
III.6. Penatalaksanaan ….………………………………………………
18
III.7. Prognosis …………………………………………………………
18
III.8. Follow up ………………………………………………………
19
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ………………………….
20
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
28
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan.1 Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.1,2 Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. 1,2,3
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi kelainan minimal (SNKM).4 Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%.1,5
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.6
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.1 Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).7
Secara umum, sekitar 70% pasien SN mengalami relaps. Relaps dalam pengobatan jika didapatkan proteinuria 3+ atau lebih setelah remisi untuk 3 hari berturut-turut atau lebih saat terapi steroid full dose selama 4 minggu. Sedangkan relaps sering yaitu jika didapatkan 2 kali relaps dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun.8
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologinya, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya terhadap pengobatan.4
Sindrom nefrotik relaps sering memiliki frekuensi yang signifikan dengan prognosis ad sanationam dan functionam yang jelek.8 Untuk itu, penulis mengangkat sebuah ilustrasi kasus sindrom nefrotik relaps sering yang ditemukan di ruang rawat anak RSUD Sungai Dareh disertai dengan tinjauan pustaka dan pembahasannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala:1
Proteinuria massif (> 40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik > 2+)
Hipoalbuminemia < 2,5 g/dl
Edema
Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN:1
Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps: proteinuria > 2+ (proteinuria > 40 mg/m2 LPB/jam 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps jarang: relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengobatan.
Relaps sering (frequent relaps): relaps terjadi > 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 1 tahun.
Dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
Gambar II.a. Batasan/definisi Sindrom Nefrotik
II.2. Epidemiologi
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,1dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak.2 Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita.9
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa, 93% pasien SNKM merespon terhadap steroid, 25–50% pasien dengan MPD atau GSFS juga merespon terhadap steroid.7
Sementara itu, pasien SN yang merespon dengan steroid mempunyai kemungkinan relaps sebesar 80–90%.6 Risiko relaps sering atau dependen-steroid meningkat sejalan dengan jarak pertama relaps, jumlah relaps dalam 6 bulan pertama setelah pengobatan, usia yang lebih muda saat serangan pertama, waktu yang dibutuhkan untuk remisi, infeksi pada relaps yang pertama, dan hematuria saat awal serangan.10
II.3. Etiologi
Etiologi SN di bagi menjadi 3 yaitu:1
Kongenital yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyebab utama kelainan ini adalah sindrom nefrotik kongenital finnish type, suatu penyakit yang diturunkan secara autosomal resesif. Pada sindrom nefrotik kongenital tipe ini telah ditemukan adanya mutasi gen NPHS1 yang berlokasi pada kromosom 19q13.1 gen ini mengkode protein nephrin, yaitu komponen protein utama pada slit diaphragma di lapisan epitel glomerulus yang berpartisipasi dalam pembentukan anion. Sindrom nefrotik kongenital dapat juga disebabkan oleh sifilis kongenital, toksoplasmosis dan infeksi sitomegalovirus.
Primer/idiopatik, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak, yaitu meliputi 90% dari seluruh sindrom nefrotik pada anak. Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik didominasi oleh tipe GSFS.
Sekunder mengikuti penyakit sistemik atausebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah SLE, purpura Henoch Schonlein, diabetes mellitus, amiloidosis, hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS, tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal, logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
II.4. Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.4
Gambar II.b. Proses Filtrasi Ginjal Normal
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.5
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Gambar II.c. Patofisiologi Penurunan Tekanan Onkotik-Koloid
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3
Gambar II.d. Teori Underfill Gambar II.e. Teori Overfill
II.5. Manifestasi Klinik
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia), kemudian menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).6
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.6
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik akibat hepatomegali atau kemungkinan terjadinya peritonitis. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid.
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, gangguan pernapasan sering terjadi. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.6 Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.1
II.6. Penegakan Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema palpebra, extrimitas (pitting edema), skrotum/labia, atau adanya asites dan efusi pleura. Kadang-kadang ditemukan hipertensi, atau tanda komplikasi seperti syok hipovolemik, peritonitis, atau sepsis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:1
Urinalisis dan bila perlu biakan urin; pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria.
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, dan LED); dapat ditemukan leukositosis dan LED yang meningkat
Kadar albumin dan kolesterol plasma, didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan rasio albumin/globulin terbalik.
Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin.
Kadar komplemen C3; bila dicurigai SLE pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
II.7. Diagnosis Banding dan Komplikasi
Diagnosis banding SN diantaranya:
Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, KEP dengan edema, edema hepatal
Glomerulonefritis akut.
Lupus sistemik eritematosus.
Komplikasi
Syok akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
Infeksi
Hambatan pertumbuhan
Gagal ginjal akut atau kronik
Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku.
II.8. Penatalaksanaan
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberculosis diberikan obat anti tuberculosis (OAT).
Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.1
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap kontra indikasi karena akan menambah beban gromerulus untuk mengeluarkan sisa metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sclerosis gromerulus. Cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.1
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironalokton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium).1
Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin <1 g/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kBB. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.1
Antibiotik
Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotic. Biasanya diberikan antibiotik jenis amoksisilin, eritromisin, atau sefaleksin.1
Imunisasi
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu steroid dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati. Setelah 6 minggu penghentian steroid, dapat diberikan vaksin hidup.1
Di Indonesia pemberian imunisasi terhadap Streptococcus pneumonia belum dianjurkan karena efektivitasnya belum jelas. Anak diharapkan menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak, diberikan profilaksis dengan immunoglobulin varicella- zoster, dalam waktu kurang dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan immunoglobulin intravena. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan obat asiklovir dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.1
Terapi Steroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan utama, kecuali bila ada kontraindikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.1
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi 3 dosis untuk menginduksi remisi.
Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2LPB/hari atau 2/3 dosis awal secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Terapi Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria
Pada SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik, dan siklosporin (tidak mampu beli), dapat diberikan diuretik (bila ada edema), dikombinasikan dengan ACE inhibitor untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat yang biasa dipakai adalah kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 kali sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis.1
Sebuah penelitian secara random dengan pemberian enalapril 0,2 mg/kgBB/hari dan 0,6mg/kgBB/hari selama 8 minggu dapat menurunkan proteinuria 33% dan 52%.1
Indikasi Biposi Ginjal
Indikasi biopsi ginjal pada SN anak adalah:1
SN dengan hematuria yang nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
SN resisten steroid
SN dependen steroid
II.9. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:7
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N.G.
No. RM : 107839
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Sikabau, Dharmasraya
Pendidikan : Pelajar
Status Pasien : JKN
Masuk Rawat inap : 8 Februari 2016
IDENTITAS ORANG TUA
AYAH
IBU
Nama
Tn. A
Ny. E
Umur
26 tahun
25 tahun
Pendidikan
SMK
SMA
Agama
Islam
Islam
Pekerjaan
Wiraswasta
Ibu rumah tangga
Riwayat penyakit
-
-
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 18 Februari 2016
Keluhan utama
Sembab seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki, umur 6 tahun, dibawa dengan keluhan sembab seluruh tubuh sejak 2 hari SMRS. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada kemaluan dan buah zakar sejak 3 hari yang lalu tanpa disertai nyeri atau gangguan berkemih, kemudian saat bangun tidur keesokan harinya, pasien terlihat sembab seluruh tubuh. Keluhan sembab ini disertai dengan perut yang membuncit.
Satu minggu sebelumnya, pasien mengalami batuk-batuk dengan frekuensi yang jarang dan tidak berdahak, keluhan pilek disangkal, keluhan nyeri tenggorokan disangkal, keluhan demam disangkal. Keluhan batuk ini belum diobati.
Saat ini pasien tidak mengeluh sesak, nyeri perut, atau diare. BAK pasien tidak nyeri dan tidak merah, tetapi frekuensinya berkurang. Keluhan mual dan muntah disangkal. Selama sakit, nafsu makan pasien sama seperti biasa saat tidak sakit. Pasien juga terlihat aktif seperti biasa. Keluhan pucat dan lemas disangkal.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan nyeri sendi disertai demam dan ruam di kulit dan pipi yang berbentuk kupu-kupu sebelumnya. Pasien tidak pernah mengalami sakit demam dengan ruam bintik merah di tubuh sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat keluhan yang sama berulang 3 kali sejak pertama kali 2 tahun yang lalu, terakhir kambuh sekitar 6 bulan yang lalu, dari jarak setahun sudah 3 kali berulang. Riwayat penyakit jantung bawaan disangkal. Riwayat penyakit asma disangkal, riwayat alergi (obat, makanan, debu, udara) disangkal. Riwayat penyakit paru dengan pengobatan lama disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga yang mempunyai keluhan sama dengan pasien disangkal. Riwayat keluarga serumah yang mempunyai penyakit paru dengan pengobatan lama disangkal.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan Ibu
Ibu pasien tidak pernah sakit demam, atau keputihan saat hamil. Pasien lahir dengan cara spontan ditolong oleh bidan, dengan masa kehamilan 9 bulan. Berat lahir 2900 gram dan panjang lahir 47 cm. Keadaan bayi langsung menangis dan tidak ada kebiruan.
Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengaku bahwa pasien telah mendapatkan imunisasi lengkap di Posyandu. Imunisasi terakhir yang didapatkan pasien yaitu imunisasi campak pada usia 9 bulan. Bekas suntik di lengan atas ada.
Riwayat Tumbuh Kembang
Pasien saat ini telah bersekolah di TK. Pasien dapat menggambar objek, berhitung penjumlahan sederhana, aktif bermain dengan teman sebayanya. Pasien mulai tengkurap dan mengangkat kepala usia 3 bulan, berbicara satu dua kata usia 12 bulan, berjalan usia 16 bulan. Kesan perkembangan normal sesuai dengan usia.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Februari 2016
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak sembab
Kesadaran : Compos Mentis
Data Antropometri
Berat/ Tinggi Badan : 24 kg/ 110 cm
Keadaan klinis : edema (+), organomegali (-), wasting (-), iga gambang (-).
BB/U : 24/19 x 100% = 126,3%
TB/U : 110/115 x 100% = 95,7%
BB/TB : 24/21 x 100% = 114,3%
Kesan status gizi : gizi lebih (dengan edema)
Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Pernafasan : 24 x/menit, retraksi (-)
Nadi : 108 x/menit, reguler, isi cukup
Suhu : 36,50 C
Status Generalis
Kepala : Normocephali, deformitas
Wajah : Edema (+)
Mata : Edema palpebra +/+, konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : Sekret -/-, konka edema -/-, hiperemis -/-
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, serumen minimal AD/AS
Mulut : Edema labium oris (+), caries dentis (+)
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T2-T2 hiperemis (-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Jantung : BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-)
Paru : Perkusi sonor, Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Tampak distensi, Bising usus (+) normal, shifting dullness (+)
Ekstremitas : Akral hangat di keempat ekstremitas, pitting edema ++/++, CRT<3"
Genital : Edema skrotum dan penis (+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal
08/02/16
(IGD)
09/02/10
(R. Anak)
Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin
11,7 g/dl
10,5-12,9 g/dL
Leukosit
11.000/ul
5,0-10,0 ribu/uL
Kimia klinik
Fungsi hati
Protein total
3,04
6,6-8,7 g/dL
Albumin
1,38
3,8-5,1 gr/dL
Globulin
1,66
2,5-3 gr/dL
Kolesterol
Kolesterol total
730
< 260 mg
Fungsi ginjal
Ureum
36
10-50 mg/dL
Kreatinin
0,8
0,5-1,1 mg/dL
Urinalisa
Reduksi
Negatif
Protein urin
4+
Negatif
Eritrosit
0-1/LP
0-5/ LP
Bilirubin
Negatif
Leukosit
2+
0-5/ LP
Epitel
1-3/LP
0-5/ LP
Foto Rontgen Thorax AP (9/2/2016)
Kontras foto terlalu tajam, posisi vertebrae tidak tepat di tengah. Jaringan subkutis tidak terdapat emfisema/ massa. Jaringan tulang intak. Sudut costophrenicus kanan kiri lancip. Corakan bronkovaskular kanan kiri meningkat, pelebaran hillus (+) perihilar bilateral, bat wing appearance (-). Infiltrat (-). Cor CTR 50%. Kesan: efusi pleura (-)
Kontras foto terlalu tajam, posisi vertebrae tidak tepat di tengah.
Jaringan subkutis tidak terdapat emfisema/ massa.
Jaringan tulang intak.
Sudut costophrenicus kanan kiri lancip.
Corakan bronkovaskular kanan kiri meningkat, pelebaran hillus (+) perihilar bilateral, bat wing appearance (-). Infiltrat (-).
Cor CTR 50%.
Kesan: efusi pleura (-)
DIAGNOSIS
Sindrom Nefrotik Relaps Sering
Infeksi Saluran Kemih
PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
Diet nefrotik 1500 kkal
Garam 1 gr/hr
Protein 40 mg.hr
Balance cairan negatif
Medikamentosa
IVFD D5% 4 tpm
Prednison 3x15 mg (3-3-3)
Furosemid 1x20 mg
Spironolakton 2x25 mg
Captopril 3x6,25 mg
Calcium lactate 3x1/2tab
Amoxicillin 3x250 mg
PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad sanasionam : Dubia ad malam
Ad fungsionam : Dubia ad malam
FOLLOW UP
Tanggal 9-2-16
Tanggal 13-2-16
Tanggal 19-2-16
Tanggal 22-2-16
Tanggal 23-2-16
Tanggal 1-3-16
S
Sembab seluruh tubuh, urin berkurang
Sembab di wajah, kemaluan, dan kaki.
Sembab berkurang, BAK lancar banyak
Sembab berkurang
Sembab berkurang
Sembab (-),
Perut buncit (+)
O
HD stabil
Edema anasarka,
Asites
Edema (+),
Asites (+)
Edema (+) ,
Asites (+) minimal
Edema (+) ,
Asites (+) minimal
Edema (+) ,
Asites (+) minimal
Edema (-),
Shifting dullness (-)
A
Sindrom Nefretik Relaps,
ISK
Sindrom Nefretik Relaps,
ISK
Sindrom Nefretik Relaps,
ISK
Sindrom Nefretik Relaps,
ISK
Sindrom Nefretik Relaps,
ISK
Sindrom Nefretik,
gizi kurang
P
IVFD D5% 4 tpm
Prednison 3x15 mg (3-3-3)
Furosemid 1x20 mg
Spironolakton 2x25 mg
Captopril 3x6,25 mg
Calcium lactate 3x1/2tab
Amoxicillin 3x250 mg
Albumin 200cc
Terapi lanjut
Albumin 240cc
Terapi lanjut
Lasix injeksi ganti furosemide oral
Terapi lanjut
Terapi lanjut
Spironolakton aff
Pulang
Kontrol Poli
BB: 16 kg
TB: 110 cm
BB/TB 76,2%
Pdx
Protein total, albumin, globulin, ureum
Cholesterol 517
Protein total 4,18
Albumin 3,6
Ureum 22
Cratinin 0,5
Protein total 3,76
Albumin 2,12
Globulin 1,64
Ureum 24
Cratinin 0,9
Protein urin 3+
Leucosit urin (-)
Protein urin (-)
BAB IV
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN
Pasien anak laki-laki, umur 6 tahun, dibawa dengan keluhan sembab pada seluruh tubuh sejak 2 hari SMRS disertai perut yang membuncit. Nyeri perut, mual muntah, atau diare (-). Batuk tidak berdahak 1 minggu SMRS. Sesak (-), Frekuensi BAK berkurang 2 hari SMRS. Keluhan ini sudah berulang 3 kali dalam setahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, BB/TB 114,3% gizi baik (dengan edema), status hemodinamik stabil, hipertensi (-), status generalis didapatkan THT dalam batas normal, cor/pulmo dalam batas normal, edema anasarka, dan asites.
Hasil pemeriksaan penunjang yang diperoleh proteinuria 4+, leukosituria 2+, hematuri (-), hipoalbuminemia 1,38 gr/dL, hipoproteinemia 3,04 mg/dL, rasio albumin/globulin terbalik, hiperkolesterolemia 730 mg/dL. Foto thorax kesan efusi pleura (-), cor dalam batas normal.
Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi pemeriksaan penunjang di atas, penulis menyimpulkan bahwa pasien mengalami sindrom nefrotik relaps sering dan infeksi saluran kemih. Penulis tidak mendapatkan tanda-tanda komplikasi pada pasien ini. Kesimpulan ini diambil dari 4 gejala klinis utama pada sindrom nefrotik yaitu edema, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan hipercholesterolemia.1 selain tanda tersebut, hasil urinalisa menunjukkan adanya ISK (leukosituria 2+). Sedangkan diagnosis SN relaps sering didasari oleh kekambuhan 3 kali dalam setahun.
Keluhan batuk kering pada pasien dialami selama kurang lebih 1 minggu, tapi dalam pemeriksaan tidak ditemukan demam, faring/tonsil hiperemis, tanda dan gejala rhinitis, pembesaran KGB, atau suara napas abnormal. Dari pemeriksaan penunjang, hasil laboratorium menunjukkan leukositosis relatif (11.000 mg/dL) dan hasil foto rontgen menunjukkan pelebaran perihiler bilateral tanpa infiltrat. Penulis curiga batuk tidak berdahak pada pasien ini terjadi akibat adanya ekstravasasi cairan minimal ke interstitial paru dan merangsang reseptor batuk yang ada disepanjang saluran napas dengan kemungkinan lain seperti infeksi saluran napas akibat virus.
Menurut Kliegman dalam Nelson Textbook of Pediatrics ed.18 tahun 2007, pasien SN seringkali mempunyai faktor predisposisi infeksi, biasanya pasien SN diawalai gejala infeksi virus atau infeksi saluran kemih.9 Dalam kasus ini, penulis menduga infeksi saluran kemih menjadi salah satu faktor kekambuhan pasien.
Faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan pasien adalah kejadian relaps pada pasien dan kondisi histopatologis ginjal nefrotik pasien. Dalam literatur disebutkan bahwa sekitar 50% pasien SNSS (Sindrom Nefrotik Steroid-Sensitif ) yang mengalami relaps akan menjadi SN relaps sering atau SN steroid dependen.12 selain itu, dalam literatur juga disebutkan bahwa Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).1,4 Dari pernyatan tersebut di atas, penulis menduga bahwa pasien ini mengalami SN tipe bukan kelainan minimal, baik itu GSFS atau MPD. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan biopsi ginjal jika ditemukan indikasi klinis resisten/dependen steroid.11
Terapi pada pasien ini yaitu: terapi non-medikamentosa antara lain diet nefrotik 1500 kkal; dengan diit garam 1 gr/hr, dan diit protein 40 mg.hr, serta balance cairan negatif. Sedangkan terapi medikamentosa antara lain IVFD D5% 4 tpm, prednison 3x15 mg (3-3-3) po, furosemid 1x20 mg (iv), spironolakton 2x25 mg (po), captopril 3x6,25 mg (po), calcium lactate 3x1/2tab (po), amoxicillin 3x250 mg (po), dan albumin 200cc.
Berdasarkan teori1 diit nefrotik yang diberikan pada pasien ini meliputi diit protein normal yaitu 2 g/kgBB/hari karena diit tinggi protein akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Sedangkan diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein dan hambatan pertumbuhan anak. Karena terdapat edema tubuh, perlu restriksigaram yaitu diberikan 1-2 gr/hari.
Selain itu perlu dilakukan penghitungan balance cairan berdasarkan input dan output. Balance cairan yang diharapkan tidak melebihi -10 cc/kgBB (balans cairan negatif), dengan perhitungan IWL (30 – usia) x kgBB.
Untuk mengatasi kondisi hiperkolesterolemia, dianjurkan untuk makan makanan rendah kolesterol dengan jumlah lemak < 30% dari kalori total dan asam lemak jenuh 10% dari seluruh kalori.7 Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.11,14
Pada SN sensitif steroid, peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak.10 Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).11
Untuk mengatasi edema, dapat diberikan furosemid yang dikombinasi dengan
spironolakton untuk mencegah hipokalemia akibat penggunaan furosemid.1
Gambar IV.1. Algoritma Pemberian Diuretik
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Pada pasien ini diberikan kombinasi loop diuretic, furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, dosis 1x20 mg/hari, dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari, dosis 2x25 mg/hari. Kombinasi ini dimaksudkan untuk mencegah hipokalemia. Selain itu, pada pasien ini juga diberikan infus albumin 20% selang sehari dengan kebutuhan berdasarkan rumus: albumin x BB x 0,8 (dalam gram) x 20% atau 25% (dalam cc). Berdasarkan perhitungan didapatkan hasil 200cc.
Pemeriksaan anjuran pada pasien ini adalah tes mantoux yang dilakukan sebelum pengobatan steroid dimulai. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis 5. INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT). Pada pasien ini uji mantoux tidak dilakukan dengan alasan klinis. Pada pemeriksaan penunjang foto rontgen AP juga tidak ditemukan adanya gambaran tuberkuloma.
Pada pasien ini didapatkan tanda infeksi berupa leukosituria 2+, dan curiga infeksi saluran napas dengan gejala batuk yang biasa disebakan oleh virus. Oleh karena itu, pasien ini diberikan terapi empiris antibiotik spektrum luas golongan penicilin yaitu amoxicillin 7,5-15 mg/kgBB/x dengan dosis 3x250mg. Infeksi lain yang mungkin pada pasien SN adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia, dan kebocoran metabolit vitamin D. Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Pada pasien ini telah diberikan calcium 3x250mg per oral.
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal (ACE-I), losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal (ARB). Pada pasien ini diberikan captopril 3x6,25mg per oral.
Terapi steroid inisial pasien SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh 60 mg/m2LPB/hari, dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis dihitung sesuai dengan berat badan ideal. Prednison dosis penuh diberikan selama 4 minggu. Umumnya kebanyakan anak memberi respon dalam 4 minggu pertama.1
Perhitungan LPB: BB(kg) xTB(cm)/ 3600
Gambar IV.2. Alur Tatalaksana SN Episode Pertama.
Pada pasien ini tergolong dalam kategori sindrom nefrotik relaps sering. Berdasarkan konsensus, terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: Pemberian steroid jangka panjang, Pemberian Levamisol, Pengobatan dengan sitostatik, dan Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil. Pada pasien ini diberikan terapi steroid jangka panjang dengan alasan terapi steroid masih dapat memberikan remisi pada pasien.
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Gambar IV.3. Pengobatan SN relaps sering
Berdasarkan rumus diatas didapatkan dosis prednison 15 mg diberikan 3x sehari dengan dosis 3-3-3 (tablet). Kadar kortisol darah dalam keadaan basal mengalami variasi diurnal, yaitu pagi hari paling tinggi sedangkan malam hari paling rendah. Pemberian dosis steroid pada pasien mengikuti variasi diurnal ini.9
Sebagai evaluasi pemberian prednison selama 4 minggu, dilakukan pemeriksaan ulang urinalisa untuk mengetahui respon penggunaan prednison sehingga pengobatan dapat dilanjutkan. Hampir semua pasien SN dengan kelainan minimal tidak menunjukkan hipertensi sehingga observasi tekanan darah dapat dilakukan ataupun tidak.
Gambar IV.4. Alur Tatalaksana SN relaps sering
SN dengan kelainan minimal > 95% berespons terhadap pemberian steroid, sehingga prognosis ad vitam, fungsionam dan sanactionam pada pasien ini bonam. Selain itu pasien tidak menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun, tidak disertai dengan hipertensi, hematuria, tidak termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder, dan gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.
Prognosis pada pasien ini penulis bagi dalam 3 kategori prognosis, yaitu ad vitam, ad functionam, dan ad sanationam. Prognosis ad vitam bonam karena tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi yang mengancam nyawa seperti hipovolemik, sepsis, atau tromboemboli. Prognosis ad functionam dubia ad bonam berdasarkan indikator fungsi ginjal yang masih baik, sedangkan ad sanationam dubia ad malam.
Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan: pada presentasi awal; awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun, terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar komplemen C3 serum yang rendah, hipertensi menetap, penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia, dan tersangka sindrom nefrotik sekunder. Sedangkan apabila pada keadaan setelah pengobatan inisial; SN resisten steroid, sebelum memulai terapi siklosporin. Pada pasien ini tidak terdapat kriteria yang mengindikasikan untuk dilakukan biopsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas Husein, dkk. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005.
International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159
A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98 : 561.
Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726.
Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426
Alatas Husein, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: IDAI. 2002.
A. Price Sylvia, M. Wilson Lorraine. Patofisiologi konsep klinis proses penyakit. Edisi 6. EGC: Jakarta. 2006.h.931.
Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46.
Kliegman. Nephrotic Syndrome. Dalam: Nelson Textbook of Pediatric 18ed. Saunders 2007 an imprint of Elsevier; chapter 527.
Niaudet P. Steroid sensitive idiopathic nephrotic syndrome in children. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, penyunting, Pediatric Nephrology, edisi ke-5, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2004;h 543-56.
Niaudet P. Steroid resistant idiopathic nephrotic syndrome in children. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, penyunting, Pediatric Nephrology, edisi ke-5, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2004;h 557-74.
KDIGO. KDIGO clinical practice guidelines for glumerulonephritis. Dalam: Kidney International Supplements volume 2. International Society of Nephrology. 2012.
Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Edisi 5. 2007.h.497.
Filler G: Treatment of nephrotic syndrome in children and controlled trials. Nephrol Dial Transplant 2003;18:vi75.
Nayak SS. Nephrotic Syndrome: At a glance. YUVA Journal of Medical Sciences Vol 1 (4). December 2015; pg 56-57