BAB I LAPORAN KASUS
1.1
Identitas
Nama
: An. YN
Usia
: 6 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Cilaku
Anak ke
: 2 dari 3 saudara
Tanggal masuk RS : 12-08-13 No.RM
1.2
: 595xxx
Anamnesis
Alloanamnesa tanggal 16 Agustus 2013
Keluhan Utama
Jam 11.00
:
Bengkak pada seluruh tubuh sejak 4 minggu
Riwayat Penyakit Sekarang
:
Bengkak pada seluruh tubuh sejak 4 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak diawali pada daerah kelopak mata dan muka sejak 6 minggu yang lalu, terutama pada pagi hari saat bangun tidur, dan bengkak berkurang saat siang dan sore hari yang kemudian menjalar ke daerah kaki sejak 4 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit, bengkak makin bertambah, menyebar ke daerah muka, perut, dan kedua tungkai. Selama bengkak, ibu penderita mengeluh BAK berwarna kuning keruh. Ibu penderita mengaku frekuensi BAK 4 kali dalam sehari. Keluhan Riwayat sering terbangun pada malam hari untuk BAK disangkal. Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak napas saat tidur dan anak masih bisa tidur dengan satu bantal. Anak tidak pernah muntah-muntah, demam, dan kejang. Selama bengkak anak tidak pernah tampak pucat, lemah, lesu atau kehilangan nafsu makan. Anak masih bisa beraktivitas ringan. Riwayat adanya bercak merah diwajah tidak
1
ada. Keluhan ini tidak disertai dengan sesak napas, sakit perut hebat, atau kemerahan pada kulit yang terasa nyeri.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Anak baru pertama kali mengalami sakit seperti ini.
Riwayat Penyakit Keluarga
:
Pada keluarga tidak ada keluhan seperti ini sebelumnya.
Riwayat Pengobatan
:
Ibu penderita membawa berobat ke dokter, diberikan obat (ibu penderita lupa nama obatnya), tetapi tidak ada perubahan, keluhan bengkak makin menjalar.
Riwayat Alergi
:
Alergi terhadap obat-obatan, makanan, cuaca tertentu disangkal.
Riwayat Psikososial
:
Anak masih bisa beraktivas ringan dirumah. Anak makan 3 kali sehari dengan sayur dan lauk pauk. Anak tidak tampak lebih kecil dibanding teman sebayanya. Tetapi akhir-akhir ini anak merasa malu karena badannya bengkak.
Riwayat Kehamilan Ibu
:
Ibu selalu rutin dalam memeriksakan kehamilan ke bidan sebulan sekali pada awal kehamilan dan 2 kali sebulan pada akhir kehamilan.
Riwayat Kelahiran
:
Lahir spontan di rumah ditolong bidan. Tidak ada penyulit. BB 2700 gram. PB 48 cm. Anak langsung menangis.
2
Riwayat Pemberian Makan
:
Ibu memberikan hanya ASI sampai umur 10 bulan, lalu dilanjutkan susu formula setelah umur 10 bulan dan bubur susu dengan bubur tim setelah umur 14 bulan, dilanjutkan nasi umur 18 bulan sampai sekarang.
Riwayat Imunisasi
:
Hepatitis B
1x
Polio 3x
BCG
1x
Campak 1x
DPT
3x
Kesan
: Imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat Tumbuh Kembang
:
Anak sekarang Sekolah SD kelas 1. Menurut ibu penderita anaknya tidak ada masalah di sekolah. Mengangkat kepala
3 bulan
Duduk
6 bulan
Berdiri
10 bulan
Kesan
1.3
: Tumbuh Kembang anak sesuai dengan umur.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital 0
Suhu
: 36,4 C
Tek. Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 88 kali per menit
Pernafasan
: 30 kali per menit
Antropometri BB skr
: 19 kg
BB dulu
: 17 kg 3
TB
: 108 cm
LP
: 57 cm
LLA
: 15 cm
BBI
: 20 kg
LPT
: √19x108 = 0,75 3600
Status Gizi BB/U
: 19/20 x 100% = 95%
TB/U
: 103/115 x 100% = 89%
BB/TB
: 18/20 x 100% = 90%
Kesan
: Status gizi tidak dapat dihitung karena ada edema
Status Generalis Kepala
: Normocephali. Ubun-ubun besar menutup. Muka sembab (+)
Mata
: Conjungtiva anemis -/-. Sklera ikterik -/-. Refleks pupil +/+ isokor. Edema palpebra +/+.
Leher
: Pembesaran KGB (-)
Thoraks
: Bentuk dan gerak simetris. Pernapasan Vesikuler antara kanan dan kiri. Ronki -/-, Wheezing -/-. Bunyi Jantung I dan II murni regular. Retraksi ICS (-)
Abdomen
: Perut supel, distensi abdomen (-), Bising usus (+) normal, heparlien tidak teraba, asites (+), suara timpani di seluruh lapang abdomen.
Urogenital
: Tidak tampak kelainan
Ekstremitas
1.4
Atas
: Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema -/-, pitting edema -
Bawah
: Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema +/+, pitting edema +
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium tgl 13/08/13 jam 08.17
Hematologi rutin 4
Hemoglobin
13,8
11,5-15,5 g/dL
Hematokrit
40,8
32-42%
Eritrosit
5,20
4-5,2 10 /ul
Leukosit
16,8
4,5-10,5 10 /ul
Trombosit
144
150-450 10 /ul
Kolesterol total
697
< 200 mg/dl
Protein total
3,83
6,7-7,8 g/dl
Albumin
1,73
3,5-5,0 g/dl
Globulin
2,1
1,5-3,0 g/dl
Urine rutin Warna
Jingga
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
Berat jenis
1,015
1,013-1,030
pH
6,5
4,6-8,0
Nitrit
-
-
Protein urin
500mg/dl / 4+
-
Glukosa (reduksi)
Normal
-
Keton
50mg/dl / 3+
-
Urobilinogen
Normal
Normal
Bilirubin
-
-
Eritrosit
50/ul / 3+
-
Leukosit
-
-
Leukosit
3-4
1-4 /LPB
Eritrosit
4-5
0-1 /LPB
Epitel
3-4
Kristal
-
-
Silinder
-
-
Lain-lain
-
-
5
1.5
Resume
Anamnesis : Bengkak pada seluruh tubuh sejak 4 minggu yang lalu. BAK berwarna keruh. Frekuensi normal. Pem.Fisik : Tanda vital normal. Puffy face (+). Edema palpebra (+). Asites (+). Edema pd ekstremitas bawah (+/+). Pitting edema (+). Hasil lab
:
leukositosis,
trombositopenia,
hiperlipidemia,
hipoprotein,
hipoalbuminemia, protein urin 500mg/dl / 4+
1.6
Diagnosis
Diagnosa banding : Oedem anasarka e.c Sindrom nefrotik Oedem anasarka e.c Glomerulonefritis Akut
Diagnosa Kerja
:
Sindrom Nefrotik
1.7
Penatalaksaanaan
Rencana Pemeriksaan Lanjutan : Pemeriksaan darah rutin dan urin lengkap/ 24 jam Tampung Urin output/ 24 jam Asupan cairan input/ 24 jam Observasi tanda vital/ 8 jam
Terapi : -
Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)
-
Pembatasan garam 1-2 gram/hari.
-
Diet rendah kolesterol <600 mg/ hari
-
Kortikosteroid : prednisone 60 mg/m LPB/hari (selama 4 minggu)
2
-
Prednisone 60 x 0,75 = 45 mg/ hari 3-3-3
Vipalbumin 500 mg 3 kali sehari
6
1.8
Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad functionam
: dubia ad bonam
Ad sanatiam
: dubia ad bonam
FOLLOW UP Tanggal 13-08-2013
Catatan
Instruksi
Bengkak pada tungkai dan kelopak Diet rendah garam mata (+)
Prednisone 3x2 tab
0
S : 36,5 C P : 28 x/mnt N : 80x/mnt 14-08-2013
Bengkak pada tungkai dan kelopak Diet rendah garam mata (+)
Prednisone 3x2 tab
0
S : 36,6 C P : 24 x/mnt N : 88x/mnt 15-08-2013
Vipalbumin 3x1
Vipalbumin 3x1
Bengkak pada tungkai dan kelopak Diet rendah garam mata (+)
Prednisone 3x2 tab
0
S : 36,3 C P : 26 x/mnt N : 90x/mnt
Vipalbumin 3x1 Periksa ulang urine
16-08-2013
Bengkak
berkurang,
bengkak
pada Diet rendah garam
kelopak mata (-)
Prednisone 3x2 tab
0
S : 36,5 C P : 28 x/mnt N : 80x/mnt
Vipalbumin 3x1 Periksa ulang urine
17-08-2013
Bengkak
berkurang,
bengkak
pada Diet rendah garam
kelopak mata (-)
Prednisone 3x2 tab
0
S : 36,5 C P : 28 x/mnt N : 80x/mnt
Vipalbumin 3x1 Periksa ulang urine
19-08-2013
Bengkak
berkurang,
bengkak
pada Diet rendah garam
kelopak mata (-) 0
S : 36,5 C P : 28 x/mnt N : 80x/mnt
Prednisone 3x2 tab Vipalbumin 3x1 Periksa ulang urine
20-08-2013
Bengkak berkurang 0
S : 36,3 C P : 30 x/mnt N : 80x/mnt
Diet rendah garam Prednisone 3x2 tab 7
Vipalbumin 3x1 Amoxicillin 3x1¼ cth 21-08-2013
Bengkak berkurang
Diet rendah garam
0
S : 36,5 C P : 29 x/mnt N : 80x/mnt
Prednisone 3x2 tab Vipalbumin 3x1 Amoxicillin 3x1¼ cth Periksa ulang urin
22-03-2013
Bengkak berkurang
Diet rendah garam
0
S : 36,4 C P : 28 x/mnt N : 80x/mnt
Prednisone 3x2 tab Vipalbumin 3x1 Amoxicillin 3x1¼ cth Periksa ulang urin
Hasil Laboratorium 22-08-2013 jam 09.49
Urine rutin Warna
kuning
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
Berat jenis
1,020
1,013-1,030
pH
6,0
4,6-8,0
Nitrit
-
-
Protein urin
75mg/dl / 2+
-
Glukosa (reduksi)
Normal
-
Keton
-
-
Urobilinogen
Normal
Normal
Bilirubin
-
-
Eritrosit
-
-
Leukosit
-
-
Leukosit
0-2
1-4 /LPB
Eritrosit
-
0-1 /LPB
8
Epitel
0-2
Kristal
-
-
Silinder
-
-
Lain-lain
-
-
9
BAB II PENDAHULUAN
2.1
Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria
massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL). Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia dibawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, sedangkan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 19952000. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3 yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sistemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk. Pada tulisan ini akan dibicarakan aplikasi klinis dari sindrom nefrotik idiopatik pada pasien anak yang dirawat di RSUD Cianjur.
10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria
massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL). Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara lain : 2
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m LBP/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. 2.
Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m 2 LBP/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan. 4. Relaps sering ( frequent relapse),
yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun. 5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut. 6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
3.2
Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 8590% pasien dibawah umur 6 tahun dan paling; di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang 11
dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal. Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.
3.3
Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : 1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik) Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital , salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun. Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis :sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative (mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat m ewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
Klasifikasi
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan matriksnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya negatif, dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid.
12
Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation) Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop elektron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.
Glomerulosklerosis fokal segmental (Focal segmental glomerulosclerosis/FSGS) Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada kebanyakan pasien.
Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP) Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler
perifer, menyebabkan reduplikasi membrane basalis (“jejak -trem” atau kontur lengkap). Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. Ada MPGN tipe I dan tipe II.
13
Glomerulopati membranosa (GM) Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang ditemukan pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus, sedangkan yang lain masih normal. Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrane basalis yang terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron.
2. Sindrom nefrotik sekunder Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS
Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular
Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis
3.4
Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal
Patofisiologi
Protenuria Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai
mekanisme
penghalang
untuk
mencegah
kebocoran
protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada SN kedua mekanisme 14
penghalang tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
Hipoalbuminemia Hipoalbuminemi
disebabkan
oleh
hilangnya
albumin
melalui
urin
dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
Edema Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma
terjadi
hipovolemia
dan
ginjal
melakukan
kompensasi
dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya sistem Reninangiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi 15
kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
Hiperlipidemia Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.
3.5
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari. Anak biasanya dating dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya terjadi di sekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari ke hari. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein. Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva. 16
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal atau rendah, namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi rennin berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC (Internasional Study of Kidney Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat bersementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis. Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated Renal
Disorders,
Focal
Segmental
Glomerulosclerosis,
Glomerulonephritis
akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.
3.6
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/ kreatinin pada urin pertama pagi hari
Pemeriksaan darah antara lain o
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)
o
Kadar albumin dan kolesterol plasma
o
Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz
o
Titer ASTO
17
o
Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus Sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Ana nuclear antibody) dan anti ds-DNA
Indikasi biopsi ginjal : - Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun - Sindrom Nefrotik resisten steroid - Sindrom Nefrotik dependen steroid
3.7
Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberculosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA ( Recommended Daily Allowances) yaitu 2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energy protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edema. a. Pengobatan Inisial Sesuai dengan anjuran ISKDC ( International Study on Kidney Diseases in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian 2
prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m LPB/hari (maksimal 80mg/hari), 18
dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednisone dalam dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan 2
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m
LPB/hari (2/3 dosis awal)
secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. (Gambar 1)
b. Pengobatan Relaps Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednisone dosis alternating selama 4 minggu.
Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednisone, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi, diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian antibiotic kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal
ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
19
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu : 1. Tidak ada relaps sama sekali (30%) 2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%) 3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%) 4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4 pilihan, yaitu : 1. Pemberian steroid jangka panjang 2. Pemberian Levamisol 3. Pengobatan dengan sitostatik 4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)
Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di gigi atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan 20
relaps yaitu antara 0,1-0,5mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednisone 0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgBB secara alternating.
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 2
minggu), dialnjutkan dengan prednisone alternating 40 mg/m LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 2
minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m
LPB diberikan melalui infuse 1x sebulan selama 6 bulan berturut-turut dan 2
prednisone alternating 40 mg/m LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
21
Atau prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 2
12 minggu dan prednisone alternating 40 mg/m LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
d. Pengobatan Sindrom Neftrotik Resisten Steroid 1. Siklofosfamid Sebagai
alkylating
agent ,
siklofosfamid
bersifat
sitotoksik
dan
imunosupresif. Siklofosfamid menunjukan kemampuan memperpanjang masa remisi dan mencegah kambuh sering. Indikasi penggunaan siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi prednisone tanpa menyebabkan keracunan steroid. Siklofosfamid diberikan 3 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal selama 12 minggu.
Terapi
prednisone
selang
sehari
tetap
diberikan
selama
penggunaan siklofosfamid ini. Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek samping yang mungkin terjadi antara lain : leucopenia, gangguan gastrointestinal, infeksi varicella
disseminate,
sistisis
hemoragik,
alopesia,
keganasan,
azoospermia, dan infertilitas. Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar leukosit perlu diperiksa setiap minggu, dan pengobatan perlu dihentikan
dahulu bila kadar leukosit menjadi ≤ 5000/mm3. 2. Klorambusil Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh sering. Dosis yang umumnya digunakan adalah 0,2 mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu.
22
3. Levamisol Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini juga mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4-12 bulan.
4. Siklosporin Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hari. Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol karena memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat menyebabkan kelainan histologist bahkan pada penderita yang ginjalnya normal sekalipun. Efek samping lain yang sering ditemukan yaitu hipertrikosis, hyperplasia gusi, gejala gastrointestinal, dan hipertensi.
e. Penderita lama (pengobatan relaps)
Relaps tidak frekuen : prednisone 2mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, diberikan 3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis intermitten dibagi dalam 3 dosis selama 4 minggu.
Relaps frekuen : berikan prednisone dosis penuh sampai remisi, kemudian dilanjutkan sitostatika atau imunosupresen, siklofosfamid atau klorampusil bersama-sama dengan prednisone dosis intermiten selama 8 minggu.
f.
Penderita rawat jalan
Pemeriksaan
fisik
dilakukan
dengan
menimbang
berat
badan,
mengukur tinggi badan, tekanan darah, dan pemeriksaan tanda-tanda lainnya
23
Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin, darah tepi, kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali tergantung pada situasi Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain remisi
total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1+ tanpa obat, proteinuria +/++ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan antibiotika (ampisillin atau amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuria maka dian ggap sebagai relaps.
g. Pengobatan tambahan
Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid 12mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma 1020 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1 mg/kgBB/kali
Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia (1,5g/dL) berikan albumin atau plasma darah
3.8
Komplikasi
1.
Infeksi Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi bacterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK) diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian immunoglobulin G intravena.
Untuk
mencegah
infeksi
digunakan
vaksin
pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu sefalosporin generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 ha ri. 2. Hiperlipidemia Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa) 24
sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak. 3. Hipokalsemia Terjadi hipokalsemia karena :
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena. 4. Hipovolemia Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut. Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.
3.9
Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan hanya 45% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18. 2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381426 3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J (on line) (20) : screens. Available from : URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. akses : on September 8, 2009 4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18
th
ed.
Saunders. Philadelpia. 5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h.50-54 6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta 7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia Kedokteran No. 134. Jakarta, h.32-37 8. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. (on line) (1) : screens. Available from : URL:http//www.pediatrik.com. Akses : 8 september 2009 10. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar:Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah; 2000. h.159-162 11. Cohen Eric P. Nephrotic Syndrome: Differential Diagnoses & Workup. Update: Aug 25, 2009 12. Garna, Herry dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. h.601606
26