Laporan Kasus
DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN SYOK TERKOMPENSASI
Oleh: Shanaz Tasha Lamonda Aodah 10101032 Pembimbing: dr. H. Wilson, Sp.A M.Biomed
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB RSUD TENGKU RAFIAN SIAK 2016
0
DAFTAR ISI
Daftar Isi.........................................................................................................
1
BAB I Pendahuluan......................................................................................
2
BAB II Tinjauan Pustaka............................................................................
4
II.1 Definisi....................................................................................................
4
II.2 Epidemiologi............................................................................................
4
II.3 Etiologi....................................................................................................
6
II.4 Patofisiologi.............................................................................................
8
II.5 Patogenesis..............................................................................................
13
II.6 Manifestasi Klinis....................................................................................
16
II.7 Diagnosis.................................................................................................
22
II.8 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................
25
II.9 Diagnosis Banding...................................................................................
29
II.10 Komplikasi dan Penatalaksanannnya....................................................
30
II.11 Penatalaksanaan.....................................................................................
31
II. 12 Prognosis...............................................................................................
40
II.13 Pencegahan............................................................................................
40
BAB III Status Pasien..................................................................................
43
BAB IV Kesimpulan.....................................................................................
54
Daftar Pustaka................................................................................................
55
1
BAB I PENDAHULUAN
Penyakit virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tipe I, II III dan IV golongan arthropod borne virus group B (arbovirus) yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpitus. Sejak tahun 1968 penyakit ini ditemukan di Surabaya dan Jakarta, selanjutnya sering terjadi kejadian luar biasa dan meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang awalnya banyak menyerang anak tetapi akhir-akhir ini menunjukkan pergeseran menyerang dewasa. Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong (Dengue Shock Syndrome / DSS). Sampai saat ini masih sering dijumpai penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang semula tidak tampak berat secara klinis dan laboratoris, namun mendadak syok sampai meninggal dunia. Sebaliknya banyak pula penderita DBD yang klinis maupun laboratoris nampak berat namun ternyata selamat dan sembuh dari penyakitnya. Kenyataan di atas membuktikan bahwa sesungguhnya masih banyak misteri di dalam imunopatogenesis infeksi dengue yang belum terungkap. Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung meningkat, mulai 0,05 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968 menjadi 35,19 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1998, dan pada saat ini DBD di banyak negara kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan
2
anak di rumah sakit. Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut endemis di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi Demam
dengue/DF dan
demam berdarah
dengue/DBD
(dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.12 II.2 Epidemiologi Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991.8
4
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,
kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.8
Gambar 1. Negara dengan resiko transmisi dengue15
Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air, 5
manejemen sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism, peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam berdarah dengue. Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam dengue dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor, tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat serotipe, dan tersebar di seluruh area.8 Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum mencapai target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk.1
Gambar 2. Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia1
II.3 Etiologi Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus
6
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106,8,12.
Gambar 3. Virus Dengue7
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.8,12 Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, 7
berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter.6
Gambar 4. Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus15
II.4. Patofisiologi
8
a. Volume Plasma Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema.8 Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan
9
dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator
farmakologis yang bekerja secara cepat.
Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.8 b. Trombositopenia Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah.
10
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.8 c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan
memanjang,
masa
pembekuan
normal,
masa
tromboplastin parsial yang teraktivasi memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen. Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa8: 1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis 2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan
11
mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. 3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. 4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang8 d. Sistem Komplemen Penelitian
sistem
komplemen
pada
DBD
memperlihatkan
penurunan kadar C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini
12
menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF), interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1).8 Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.8 Respon Leukosit Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T.8
13
II.5 Patogenenis Mekanisme
sebenarnya
tentang
patofisiologi,
hemodinamika,
dan
biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.2,8
Gambar 5. Hipotesis secondary heterologus infections10
14
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.10,11
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.11 Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu8: 1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus 2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
15
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menimbulkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut8: a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen. c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah terinfeksi d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon α dan γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue, Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon α. Interferon α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.8
16
II.6 Manifestasi Klinis Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu3: 1. Silent dengue atau Undifferentiated fever Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan dari infeksi virus lainnya. Bercak maculopapular biasanya mengiringi demam. Biasanya juga muncul gejala saluran pernafasan atas dan gejala gastrointestinal.15 2. Demam dengue klasik Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik lebih sering pada anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum, manifestasi berupa demam akut, terkadang demam bifasik disertai dengan gejala
nyeri
kepala,
mialgia,
atralgia,
rash,
leukopenia,
dan
trombositopenia. Adakalanya, secara tidak biasa muncul perdarahan gastrointestinal, hipermenorea, dan epistaksis masif. Pada daerah yang endemis, insidensi jarang muncul pada penduduk lokal.15 3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever) Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia kurang dari 15 tahun pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan dengan infeksi virus dengue berulang. Demam berdarah dengue memiliki karakteristik onset akut demam yang sangat tinggi, disertai dengan tanda dan gejala yang sama dengan demam dengue. Gejala perdarahan yang muncul dapat berupa tes torniquet yang positif, ptekie, perdarahan gastrointestinal yang
17
masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi untuk berkembang menjadi keadaan syok hipovolemik oleh karena adanya plasma leakage.15 Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri abdomen, letargi, oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok. Kelainan hemostasis dan adanya plasma leakage merupakan tanda utama dari demam berdarah dengue. Trombositopenia dan peningkatan hematokrit harus segera ditemukan sebelum muncul adanya tanda syok. Demam berdarah dengue biasa terjadi pada anak dengan infeksi sekunder virus dengue yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus dengue DEN-1 dan DEN-3.15 4. Dengue Shock Syndrome (DSS) Manifestasi yang tidak lazim melibatakn berbagai organ misalnya hepar, ginjal, otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah dilaporkan meningkat pada berbagai kasus yang tidak memiliki bukti terjadinya plasma leakage. Manifestasi tersebut dikaitkan dengan syok yang berkepanjangan.15
Gambar 6. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue13
18
Demam Dengue Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala konstitusional dan nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise.15 Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam/rash.8
: suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan
Demam
demam bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.15
Ruam kulit
: kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di
dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 612 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.8 Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang patognomonik.8 Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra demam dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eusinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat
pada
periode
memuncaknya
penyakit
dengan
terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.8
19
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000 cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan angka prediksi 70 – 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan15:
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni hingga periode demam berakhir
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme pembekuaan
darah.
Pada
beberapa
epidemi
biasanya
terjadi
trombositopeni
Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin meningkat.
Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan dengan demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan pembekuan darah.
Demam Berdarah Dengue Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi.8 Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan
20
dengan keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.8 Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.8 Dengue Shock Syndrome Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien tampak gelisah.
21
Gambar 7. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD
22
Gambar 8. Manifestasi Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
II.7 Diagnosis Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue: a. Kriteria Klinis 1. Demam
23
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik (saddleback).
Gambar 9. Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue
2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung: a. Uji torniket (+) b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura c. perdarahan
mukosa
traktus
gastrointestinal,
epistaksis,
perdarahan gusi d. hematemesis dan melena 3. Hepatomegali 4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat dan lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun sampai tidak terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20 mmHg), capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah. b. Kriteria Laboratoris 1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul) 24
2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20% setelah mendapat terapi cairan). Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria klinis ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit. Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah14: a. Derajat I Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar. b. Derajat II Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain. c. Derajat III Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan penderita gelisah. d. Derajat IV Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.
25
Tabel 1. Pembagian derajat Infeksi Virus Dengue DD/DBD Grade Demam Dengue
DBD
I
DBD
II
DBD (DSS)
III
DBD (DSS)
IV
Tanda dan Gejala Demam disertai 2 keadaan berikut : - Nyeri Kepala - Nyeri retro-orbita - Mialgia - Rash - Atralgia/Nyeri tulang - Manifestasi perdarahan - Tanpa disertai adanya plasma Leakage Demam disertai manifestasi perdarahan (torniquet tes + ) dan adanya plasma leakage Grade I ditambah perdarahan spontan Grade I atau II ditambah adanya kegagalan sirkulasi : - pulsasi nadi yang lemah, - hipotensi, - perbedaan sistole dan diastole yang sempit - kondisi umum gelisah Grade III ditambah dengan syok berat serta nadi dan tekanan darah yang tidak terukur
Laboratorium - Leukopenia ( < 5000 sel/mm3 ) - Trombositopenia ( < 150.000 sel/mm3 ) - Peningkatan Hematokrit ( 5 – 10 % ) - Tidak ditemukan kebocoran plasma Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3 ) Hematokrit Meningkat ( > 20 % ) Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3 ) Hematokrit Meningkat ( > 20 % ) Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3 ) Hematokrit Meningkat ( > 20 % )
Trombositopenia ( < 100.000 sel/mm3 ) Hematokrit Meningkat ( > 20 % )
II.8 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang 26
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. b. Pencitraan Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica felea. c. Pemeriksaan Rumple leed test Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya
27
sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit (petechiae). Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi. d. Pemeriksaan lainnya : Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi virus dengue yaitu15: -
Isolasi Virus Karakteristik serotypic/genotypic
-
Deteksi Asam Nukleat Virus Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain Reaction)
-
Deteksi Antigen Virus Deteksi antigen NS1.
-
Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutinationinhibition (HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test
28
(NT), Ig M capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA), danpemeriksaan Ig G ELISA indirect Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu muncul pada 2 – 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7 hari saat sakit. Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi. Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig M dapat terdeteksi pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu, dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 – 3 bulan. Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama, meningkat kemudian, dan menetap hingga bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue, titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada level tinggi, pada saat fase inisial, dan menetap hingga beberapa bulan. Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut infeksi sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2.15
29
Gambar 1.10 Deteksi jumlah Ig M dan Ig G pada Demam Berdarah Dengue
II.9 Diagnosis Banding Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas16: a. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok. b. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP. c. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat 30
anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma. 2.10 Komplikasi dan Penatalaksanaan Komplikasi5,14 a.
Ensefalopati Terjadi edema otak dan alkalosis, maka jika syok telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandun HCO3- dan jumlah cairan segera dikurangi. Larutan RL segera ditukar NaCl 0,9% : glukosa 5%.
b.
Syok ireversibel
Anak yang masih syok dan menunjukkan tanda kelebihan cairan yang berat sangat sulit untuk ditangani dan berada pada risiko kematian yang tinggi. Rujuk segera.
Jika syok sudah pulih namun anak masih sukar bernapas atau bernapas cepat dan mengalami efusi luas, berikan obat minum atau furosemid intravena 1 mg/kgBB/dosis sekali atau dua kali sehari selama 24 jam dan terapi oksigen.
c.
Edema paru Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila
31
cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.
2.11 Penatalaksanaan Pengobatan
DBD
bersifat
suportif
simptomatik
dengan
tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain – lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39 0
C dengan dosis 10 – 15 mg/KgBB/kali. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam
tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4 – 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan
32
cairan rumatan 80 – 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama masih demam. Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok. Cairan intravena diperlukan apabila : 1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral 2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12 – 24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut – turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil,
33
tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam 24 – 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/KgBB/jam. Bila terdapat asidosis, ¼ dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9 % + glukosa ditambah ¼ Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 – 8 %) seperti tertera pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 – 8 %) Berat Waktu Masuk (Kg) < 7 Kg 7 – 11 Kg 12 – 18 Kg > 18 Kg
Jumlah Cairan tiap hari 220 ml/KgBB/hari 165 ml/KgBB/hari 132 ml/KgBB/hari 88 ml/KgBB/hari
Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, 34
tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam 30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan bersama koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula darah. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 – 20 ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 – 6 jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah. Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan
35
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 – 20 ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak. Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC). Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
36
Gambar 1.12. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.
37
Gambar 1.13. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.
38
Gambar 1.14 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.
39
Gambar 1.15. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS. Kriteria memulangkan pasien antara lain5: 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 2. Nafsu makan membaik 3. Tampak perbaikan secara klinis
40
4. Hematokrit stabil 5. Tiga hari setelah syok teratasi 6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat 7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).
II.12 Prognosis Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki – laki. Penyebab kematian tersebut antara lain 6: 1. Syok lama 2. Overhidrasi 3. Perdarahan masif 4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak syok
II.13 Pencegahan Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus dengue. Pengendalian vektor bertujuan 4: 1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit.
41
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektorpatogen. Pengendalian vektor dapat berupa4: 1.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga, b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2.
Foging Focus dan Foging Masal a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1 minggu b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka waktu 1 bulan c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan Swing Fog
3.
Penyelidikan Epidemiologi a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah menerima laporan kasus
42
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus 4.
Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5.
Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan tingkat II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidika epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko penularan.8 Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi adalah membunuh larva dengan butir – butir abate sand granule (SG) 1 % pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter 100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk.8
43
BAB III STATUS PASIEN KONFIDENSIAL RAHASIA MR : 001439
BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN ANAK PSPD UNIVERSITAS ABDURRAB RSUD TENGKU RAFIAN
Nama pasien
: An. DFY
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: tahun
Alamat
: Kwalian
Tanggal masuk
: 14/07/ 2016
Tanggal diperiksa
: 18/07/2016
44
Nama lengkap: An. AIN
No. rekam medis
00
14
39
1. Data identitas lengkap harap ditanyakan ulang dengan melihat lembar identitas rawat jalan ANAMNESIS Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada ibu pasien KELUHAN UTAMA : demam sejak 4 hari yang lalu SMRS RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG : Demam sejak 4 hari yang lalu, demam tinggi dan naik turun. Sebelumnya sudah diberi obat tapi demam hanya turun sebentar, selain itu, pasien juga muntah saat hari pertama demam sebanyak 2x dengan volume 200 ml, muntah berisi air dan makanan yang dimakan. Nafsu makan, ASI dan susu formula menurun sejak 2 hari SMRS, kemudian pasien dibawa berobat ke Puskesmas dan diberi obat syrup dan puyer. 1 hari SMRS pasien mencret 2x, warna kuning, ampas (+), terdapat bintik merah dilengan bawah, kaki dan di wajah sejak hari pertama demam, mimisan (-), BAB hitam (-), gusi berdarah (-), hematuria (-). RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : 1. Riwayat menderita keluhan yang sama disangkal RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA :
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan keluhan yang sama
RIWAYAT
PEKERJAAN,
SOSIAL
EKONOMI,
KEJIWAAN
&
KEBIASAAN: Kebiasaan :
Pasien tinggal di lingkungan tidak padat penduduk Sumber air minum : Galon isi ulang Pekarangan : bersih Sampah : dikubur dan dibuang tempat pembuangan sampah
Kesan: higiene dan sanitasi lingkungan baik
RIWAYAT KEHAMILAN IBU:
45
Penyakit Pemeriksaan Kehamilan Tindakan selama kehamilan Lama hamil Riwayat Persalinan Kelainan Bawaan
: tidak ada : ANC rutin tiap bulan di bidan : USG 1X saat usia kehamilan 8 bulan : 37-38 minggu : SC : tidak ada
RIWAYAT IMUNISASI Hepatitis B : Saat lahir Polio : lupa BCG : lupa DPT : lupa Campak : tidak ada Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap menurut ibu pasien RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Riwayat tumbuh kembang Tertawa
Umur
Riwayat tumbuh kembang
Umur
3 bulan
Lari
Lupa
Miring
Lupa
Gigi pertama tumbuh
Lupa
Tengkurap
3 bulan
Bicara
Lupa
Duduk
6 bulan
Membaca
-
Merangkak
8 bulan
Sekolah
-
Berdiri
10 bulan
Kesan : tumbuh kembang sesuai umur
Umur (bulan) 0–2 2–4 4–6 6–8 8 – 10
ASI/PASI ASI ASI ASI ASI+bubur susu ASI+nasi saring
10 – 12
ASI+ nasi biasa 46
PEMERIKSAAN JASMANI PEMERIKSAAN UMUM: KU
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Composmentis
Berat Badan
: 7 kg
Tinggi Badan
: 80 cm
tidak kuat angkat
TB/U
: 97,5 %
Suhu
: 36oC
BB/U
: 61,4 %
Pernafasan
: 52 x/mnt
BB/TB
: 70 %
Edema
: tidak ada
Status Gizi
: Gizi kurang
Ikterus
: tidak ada
Tekanan darah: 100/p mmHg Nadi
: 145 x/menit, nadi halus,
PEMERIKSAAN FISIK: Kepala
: Normocephal
Kulit dan wajah
: Tidak sembab, petekie (+)
Mata
: Conjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor, Refleks cahaya kiri/kanan (+/+)
Mulut
: Kering (-), sianosis (-)
Lidah
: Tidak kotor
Leher
: Trachea medial, tidak ada pembesaran KGB, tidak ada Peningkatan JVP (JVP 5-2 cm H2O)
Thoraks : Paru :
Inspeksi
: Bentuk dinding dada dan gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi (-)
Palpasi
: Vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
: vesiculer (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-)
47
Jantung :
Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba spatium intercostal V linea midclavicularis sinistra
Perkusi
:
o Batas jantung kanan atas di spatium intercostal II dekstra linea parasternalis dekstra o Batas jantung kanan bawah di spatium intercostal IV dekstra linea parasternalis dekstra o Pinggang jantung di spatium intercostal III sinistra o Batas jantung kiri bawah di spatium intercostal V sinistra 1 jari medial linea midclavicularis sinistra
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi
: Perut datar
Auskultasi
: peristaltik (+) normal 15x/menit
Palpasi
: Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi
: Timpani
Ekstremitas :
Atas
: Akral dingin, petekie (+), CRT > 2 detik
Bawah
: Akral dingin, petekie (+), CRT > 2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG: Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 24 Juli 2016) Hemoglobin : 15,3 gr % Leukosit : 7200 /mm3 Hematokrit : 42,7 % Trombosit : 103.000/mm3 Eritrosit : 6,11 juta/mm3
48
RESUME : Demam sejak 4 hari yang lalu, demam tinggi dan naik turun. muntah saat hari pertama demam Nafsu makan menurun sejak 2 hari SMRS. 1 hari SMRS pasien mencret 2x. Terdapat bintik merah dilengan bawah, kaki dan di wajah sejak hari pertama demam, mimisan (-), BAB hitam (-), gusi berdarah (-), hematuria (-), kaki dan tangan dingin. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan:
Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit Eritrosit
: 15,3 gr % : 7200 /mm3 : 42,7 % : 103.000/mm3 : 6,11 juta/mm3
DIAGNOSIS KERJA -
DHF dengan syok terkompensasi (grade III)
DIAGNOSIS BANDING -
Cikungunya
PENATALAKSANAAN Non Farmakologi : -
Tirah baring Makan makanan lunak 700 KKal
Farmakologi -
Loading cairan RL 200CC kemudian TD=90/60mmHg, HR=160X/m IVFD RL 10 cc/kgbb/jam 20 tpm makro sampai jam 21.00 Paracetamol 1 cc drop (bila demam) Kiddimun syrup 2x1/2 cth
Anjuran -
Cek DPL jam 21.00 cek darah rutin tiap hari pantau vital sign per 3 jam banyak minum
49
FOLLOW UP Tanggal
Perjalanan penyakit
Terapi
50
24-07-16 Jam
S demam (-), mimisan (-), nafsu IVFD RL 10 cc/kgBB/jam
22.30 makan menurun, mual (-) muntah 20 tpm makro.
wib
(-), nyeri ulu hati (-), gusi berdarah PCT syr 3x1 cth
R1D3
(-), Minum sedikit, ASI (+), nafsu Kiddimun syr 2x 1/2 cth makan menurun, BAK dan BAB Diet makanan lunak 700 normal (pakai popok), petekie(+), kkal akral hangat, CRT <2detik.
Monitoring tanda vital tiap
O KU : tampak sakit sedang, jam kesadaran
komposmentis,
TD Pantau tanda perdarahan
100/70 mmHg, nadi : 150x/i (isian kuat, reguler), nafas 30x/i, suhu 36,4ºC HB: 12,5 g/dl, HT: 36,2%, Eritrosit: 4,79 M/Ul, Trombosit: 59
K/Ul,
Leukosit: 5,8 K/uL 25-07-16
A: DHF dengan syok terkompensasi S demam (-), mimisan (-), mual IVFD RL 7 cc/kgBB/jam
06.05 wib
(-) muntah (-), minum (+) nyeri ulu
R2D4
hati (-), gusi berdarah (-), nafsu makan menurun, BAK dan BAB normal (popok), petekie (+), akral O KU : tampak sakit sedang, komposmentis,
makro PCT syr 3x 1cth Kidimun syr 2x 1/2 cth
hangat, CRT <2 detik. kesadaran
16 tpm makro sore 5cc/kg/BB/jam 12tpm
TD
100/70 mmHg, nadi 140x/i (isian
ML 700KKal Monitoring tanda vital Tanda perdarahan
cukup, reguler), nafas 26x/i, suhu 36,9ºC HB: 13,0 g/dl, HT: 38,7%, Eritrosit: 5,08 M/Ul, Trombosit: 31
K/Ul,
Leukosit: 8,6 K/uL A: Hemodinamik stabil 26-07-16
S demam (-), mimisan (-), nyeriIVFD RL 3 cc/kgBB/jam 51
10 tpm makro
06.10 wib
perut (-), mual (-) muntah (-), gusi
R3D5
berdarah (-), BAK dan BAB normal PCT syr 3x1 cth (popok) 3xganti, ASI(+), minum Kidimun syr 2 x 1/2 cth (+), petekie (+), nafsu makan baik, ML 900 KKal akral hangat, CRT <2 detik.
Monitoring tanda vital
O KU : tampak sakit sedang, Tanda perdarahan kesadaran
komposmentis,
TD Cek DPL
100/60 mmHg, nadi : 140x/i (isian kuat, reguler), nafas 26x/i, suhu 28-07-2016 36,8ºC S demam (-), mimisan (-), gusi IVFD RL 3 cc/kgBB/jam HB: 10,4 g/dl, HT: 29,6 Eritrosit: 06.10 berdarah (-), nyeri perut%,(-), BAK 4 tpm makro 4,19 Trombosit: 18 K/Ul, R5D7 dan M/Ul, BAB normal (popok), ASI PCT syr 3x1 cth Leukosit: 7,9 K/uL (+), Minum (+), Nafsu makan ML 900 KKal Diuresis: 1,85 cc/kg/BB baik, mual muntah (-), akral Kidimun syr 2x 1/2 Cth A: Hemodinamik stabil hangat, CRT< 2detik. 27-07-2016 S demam (-), mimisan (-), gusi IVFD RL 3 cc/kgBB/jam O KU : tampak sakit ringan, 06.10 berdarah (-), nyeri perut (-), BAK 10 tpm makro kesadaran komposmentis, TD R4D6 dan BAB normal (popok), ASI (+), PCT syr 3x1 cth 100/60 mmHg, nadi : 98 x/i (isian Minum (+), Nafsu makan baik, mual ML 900 KKal kuat, reguler), nafas 28x/i, suhu muntah (-), petekie (+), akral Kidimun syr 2x 1/2 Cth 36,9ºC. hangat, CRT< 2detik. Monitoring tanda vital HB: 10,2 g/dl, HT: 31,2 %, O KU : tampak sakit ringan, Tanda perdarahan Eritrosit: 4,05 M/Ul, Trombosit: kesadaran komposmentis, TD Cek DPL 78 K/Ul, Leukosit: 8,6 K/uL 130/90 mmHg, nadi : 100 x/i (isian Diuresis: 4,2 cc/kg/BB kuat, reguler), nafas 20x/i, suhu A: hemodinamik stabil 29-07-2016 36ºC. S demam (-), mimisan (-), gusi PBJ HB: 10,5 g/dl, HT: 31,5 Eritrosit: 06.10 berdarah (-), nyeri perut%,(-), BAK 4,10 Trombosit: 11 K/Ul, R6D8 dan M/Ul, BAB normal (popok), ASI Leukosit: 8,4 K/uL (+), Minum (+), nafsu makan Diuresis: 2,8 cc/kg/BB baik, mual muntah (-), petekie A: hemodinamik (+), akral hangat,stabil CRT< 2detik. O KU : tampak sakit ringan, kesadaran
komposmentis,
TD
100/60 mmHg, nadi : 100 x/i (isian kuat, reguler), nafas 26x/i, suhu 36ºC. A: hemodinamik stabil
52
BAB IV KESIMPULAN
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
53
nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopeni, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. Untuk mengurangi kecenderungan penyebarluasan wilayah terjangkit DBD, mengurangi kecenderungan peningkatan jumlah penderita dan mengusahakan agar angka kematian tidak melebihi 3% maka pemerintah terus menyempurnakan program pemberantasan DBD. Strategi pemberantasan DBD lebih ditekankan pada upaya preventif. Peran dokter dalam program pemberantasan DBD adalah penemuan, diagnosis, pengobatan dan perawatan penderita, pelaporan kasus dan penyuluhan.
Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
maka
pengetahuan
patofisiologi, patogenesis, manifestasi klinis/laboratoris DBD, pengenalan vektor dan pemberantasannya adalah sangat penting.
54