BAB 2 Tinjuan Teori 2.1 Lansia 2.1.1
Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap terakhir dari perkembangan pada daur kehidupan manusia. Menurut UU No.13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014).
Individu yang berusia lanjut adalah individu yang mengalami proses menurunnya kemampuan jaringan tubuh dengan perlahan - lahan untuk memperbaiki atau mempertahankan fungsi tubuh (sunaryo, et al, 2015).
Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan
yang bertahap
dalam
jangka
waktu
beberapa
dekade
(Notoadmojo, 2010 ) 2.1.2
Batasan Lansia
Menurut WHO (dalam Sunaryo, et al, 2015), lansia dikelompokkan menjadi :
Usia pertengahan (middle (middle age), age), yaitu yaitu kelompok kelompok yang yang berusia 45 sampai 59 tahun.
Lanjut usia (elderly (elderly),yaitu ),yaitu kelompok yang berusia antara 60 sampai 74 tahun.
Lanjut usia tua (old (old ), ), yaitu kelompok yang berusia antar 75 sampai 90 tahun.
Usia sangat tua (very (very old ), ), yaitu kelompok yang berusia di atas 90 tahun.
Sedangkan menurut UU No. 13 Tahun 1998 (dalam Dewi, 2014), lansia dikelompokkan menjadi :
Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45 – 45 – 59 59 tahun.
Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih / seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan memiliki masalah kesehatan.
Lansia potensial, lansia yang masih mampu untuk melakukan pekerjaan dan / atau melakukan suatu kegiatan yang dapat menghasilkan barang / jasa.Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya lagi untuk mencari nafkah, sehingga kehidupannya tergantung pada bantuan orang lain.
2.1.3
Perubahan – Perubahan yang Terjadi pada Lansia
a. Perubahan fisik pada lansia diantaranya : (1). Perubahan penglihatan, dikarenakan adanya kehilangan kemampuan akomodatif pada mata. (2). Perubahan pendengaran, dikarenakan erat kaitannya dengan hilangnya kemampuan pendengaran pada teling bagian dalam, terutama pada nada – nada yang tinggi suara yang tidak jelas, dan kata – kata yang sulit dimengerti.
(3). Perubahan pada sistem integumen, dimana kulit pada
lansia terlihat kendur, kering, berkerut dan tidak elastis. Perubahan kulit pada lansia ini sering dipengaruhi oleh angin dan sinar ultraviolet. (4). Sistem muskuloskeletal, seperti adanya perubahan kolagen sehingga dapat menimbulkan nyeri, penurunan kemampuan dalam rangka meningkatkan kekuatan otot, dan melakukan kegiatan sehari – hari menjadi terhambat. Adanya perubahan kartilago dapat mengakibatkan terjadinya peradangan pada sendi, kekakuan pada sendi, nyeri pada sendi, keterbatasan gerak sendi, dan terganggunya dalam melakukan aktivitas sehari – hari. (5). Sistem kardiovaskuler dan respiratori, pada sistem kardiovaskuler mengalami perubahan dimana arteri menjadi kehilangan elatisitasnya. Pada sistem respiratori, terjadi perubahan otot, kartilago dan sendi toraks yang
mengakibatkan
gerakan
pernapasan
menjadi
terganggu
dan
mengurangi kemampuan peregangan toraks. (6). Sistem pencernaan dan metabolisme, seperti terjadinya perubahan pada sensitivitas lapar menjadi menurun, asam lambung mengalami penurunan, peristaltik melemah, serta ukuran hati mengecil. Kehilangan gigi juga sering terjadi pada lansia. (7). Sistem perkemihan, kemunduran dalam laju filtrasi, eksresi dan reabsorbsi oleh ginjal, inkontinensia urin juga meningkat terjadi pada lansia. (8). Sistem saraf, seperti lansia mengalami penurunan kemampuan dalam beraktivias, penurunan persepsi sensori dan motorik pada susunan saraf pusat.(8). Sistem reproduksi, terjadi atrofi pada payudara lansia wanita,
selaput lendir vagina menurun, sekresi berkurang. Testis pada lansia masaih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun terjadi penurunan secara berangsur – angsur (Azizah, 2011). b
Perubahan
kognitif,
seperti
penurunan
daya
ingat,
sulit
mengungkapkan kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya (Azizah, 2011). c
Perubahan spiritual, seperti lansia masih tetap berintegrasi baik dengan agama atau kepercayaan. Lansia juga cenderung tidak terlalu takut terhadap konsep dan realitas kematian (Azizah, 2011).
d
Perubahan psikosoial, seperti mengalami masa pensiun sehingga lansia mengalami berbagai rasa kehilangan seperti kehilangan teman, kehilangan kegiatan, kehilangan finasial, kehilangan status. Lansia juga mengalami perubahan peran sosial dalam masyarakat, hal ini dapat menimbulkan perasaan keterasingan pada lansia (Azizah, 2011).
e
Perubahan pola tidur dan istrirahat. Penurunan aliran darah dan perubahan
dalam
mekanisme
neurotransmitter
dan
sinapsis
memainkan peran penting dalam perubahan tidur dan terjaga yang dikaitkan dengan faktor pertambahan usia. Faktor ekstrinsik, seperti pensiun, juga dapat menyebabkan perubahan yang tiba – tiba pada kebutuhan untuk beraktivitas dan kebutuhan energi sehari – hari serta mengarah pada perubahan kebutuhan tidur. Faktor kehilangan dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya depresi pada lansia, yang kemudian dapat mempengaruhi pola tidur – terjaga lansia (Maas, 2011).
2.2 Jatuh 2.2.1 Pengertian Jatuh
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab yang spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh (Stanley, 2006).
2.2.2 Faktor penyebab
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh (Stanley, 2006). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah gangguan muskuloskeletal misalnya menyebabkan gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan sendi,
sinkope yaitu
kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan pusing (Lumbantobing, 2004). Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya) diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung benda-benda (Nugroho, 2000). Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan yang tidak mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan (Darmojo, 2004). 2.2.3 Akibat Jatuh
Jatuh dapat diakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadiakibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta keruskaan jaringan lunak. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, terbatasnya dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau jatuh (Stenley, 2006).
2.2.4 Komplikasi
Menurut Kane (1996) dikutip oleh Darmojo (2004), berikut komplikasi jatuh yaitu: a) Perlukaan (injury) ‘ Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas. b) Disabilitas Diasbilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak. c) Kematian 2.2.5 Pencegahan
Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari (Darmojo, 2004) ada3 usaha pokok untuk pencegahan yaitu : a) Identifikasi factor risiko Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya factor instrinsik resiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis,
musculoskeletal
dan
penyakit
sistemik
yang
sering
menyebabkan jatuh. Keadaan dari lingkungan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding. b) Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan ( gait ) Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, dan pindah posisi. Evaluasi yang dapat dilakukan salah satunya dengan TUG Tes untuk menilai mobilitas,
keseimbangan dan risiko jatuh. Bila badan tidak stabil saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitas medis, latihan yang bisa dilakukan antara lain Otago Home Exercise Programme yang menitikberatkan pada pelatihan berdasarkan kemampuan fungsional dan Balance Strategy Exercise yang menitikberatkan pada pengaturan postur selama melakukan gerakan. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menampak dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan. c) Mengatur/mengatasi faktor situasional Factor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usiadapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodic. Factor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan, factor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh. Kejadian jatuh pada lansia sering kali menyebabkan cedera pada jaringan lunak dan fraktur pangkal paha atau pergelangan tangan, bahkan apat mengakibatkan kematian. Keadaan tersebut menyebabkan berbagai masalah kesehatan, yaitu : ketidaknyamanan fisik karena rasa nyeri, kelelahan fisik, keterbatasan mobilitas dan proses penyembuhan jaringan yang
lambat
sehingga
klien
akan
mengalami
berbagai
masalah
ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini juga merupakan kekhawatiran utama pada lansia yang memicu timbulnya penarikkan diri mereka dari kegiatan rutin dan kegiatan social, kehilangan kemandirian, rasa tidak percaya diri, dan kahwatir akan hal tersebut
terulang kembali. Menurut Shobha (2005), pencegahan jatuh yang dapat dialkukan oleh klien lansia diuraikan dalam penjelasan berikut : a) Latihan Fisik Tujuan
melakukan
aktivitas
fisik
adalah
meningkatkan
kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi,
dan
meningkatkan
reaksi
terhadap
bahya
lingkungan. Latihan fisik yang dianjurkan adalah latihan isik yang dapat melatih kekuatan tungkai, pergelangan, tidak terlalu berat dan dilakukan sesuai semampunya, latihan berjalan kaki, senam lasia, dan latihan keseimbangan. b) Management Obat-obatan Mengurangi penggunaan obat-obatan yang sifatnya untuk waktu lama misalnya : obat tidur dan melakukan konsultasi terhadap penggunaan obat-obatan yang harus dikonsumsi jangka panjang, missal : obat hipertensi, obat DM, dan lain sebagainya. Gunakan alat bantu berjalan jika diperlukan. c) Modifkasi Lingkungan Modifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan pengaturan suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk menghindari ketidaknyamanan akibat pusing. Selain itu penaruh barnag-barang yang memang sering diperlukan berada dalam jangkuan klien agar tidak harus berjalan jauh dari tempatnya, denganmemanfaatkan karpet antislip dikamar mandi/ menjaga kebersihan lantai agar tidak licin, memasang pegangan tangan pada tempat yang dipelrukan, memfasilitasi penerangan memadai, menyingkirkan barang berserakan di laintai yang mengganggu klien. d) Memperbaiki Kebiasaan Lansia yang Buruk Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau jongkok ke posisi berdiri jangan terlalu cepat, jangan mengangkat barang yang berat sekaligus, dan lakukan pengangkatan barang dengan cara yang benar dari lantai yaitu dengan cara posisi jongkok
dan bukan posisi membungkuk. Hindari aktifitas berolahraga yang berat dan berlebihan, sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar dan datar, jangan berjalan hanya dengan kaos kaki karena sulit untuk menjaga keseimbangan, pakai sepatu antislip dengan alas yang benar. e) Memelihara Fungsi Tubuh Fungsi
penglihatan
penurunan
sehingga
dan
pendengaran
perlu
sudah
memperhatikan
mengalami pemeliharaan
kesehatan fungsi mata dan pendengaran termasuk alat bantu yang digunakan berupa kaca mata, alat bantu pendengaran dan pencahayaan lingkungan tinggal harus diperhatikan dan dipertahankan untuk menghindari kondisi yang memicu risiko jatuh. Pemeliharaan kekuatan tulang harus tetap dijaga untuk mempertahankan kesimbangan dan koordinasi gerakan tubu agar terhindar dari jatuh, klien dianjurkan untuk berhenti merokok dan menghindari konsumsi alcohol, serta edukasi keluarga dan klien untuk mempersiapkan dan mengonsumsi jenis makan-makanan yang bergizi seperti buah-buahan, sayuran yang tidak mengandung gas, dan minum susu rendah lemak untuk memelihara kekuatan tulang.
2.3 Bed Exit Device 2.3.1 Pengertian Bed Exit Device
Bed exit device adalah perangkat yang dirancang untuk mengingatkan staf saat pasien mencoba keluar dari tempat tidur. Jenis alarm yang digunakan adalah sensor tekanan yang sesuai di bawah pasien, baik sebagai bagian integral dari tempat tidur atau sebagai bantalan sensor yang dapat dilepas. (Chpso, 2013).
2.3.2
The Modular Bed Absence Alarm Device
The Modular Bed Absence Alarm Device atau juga di sebut dengan Bed Exit Device terdiri dari pengukur tipis yang terbuat dari bahan fleksibel yang ditempatkan di bawah pasien tepatnya di bawah penutup tempat tidur. Sensor yang digunakan berbeda dari perangkat yang dipasarkan sebelumnya dalam desain modularnya. Sensor terdiri dari tiga panel untuk ditempatkan di sepanjang tempat tidur. Tekanan pada panel tengah akan membungkam alarm, sementara tekanan pada kedua panel samping akan memicu bunyi alarm. Alarm yang keras dan bernada tinggi akan dipicu jika tidak ada tekanan yang diterapkan di tiga panel untuk segera memberi perhatian segera bahwa pasien telah meninggalkan tempat tidur. Sensor bertenaga baterai terhubung secara nirkabel ke receiver berukuran telapak tangan yang dioperasikan dengan baterai, yang dapat dibawa berkeliling oleh perawat saat dia melakukan tugasnya (Subermaniam, 2017). 2.3.3
Manfaat
Menurut subermaniam, 2017 Manfaat dari The Modular Bed Absence Alarm Device: a. Perangkat tersebut dapat mengurangi beban kerja perawat b. Perangkat tersebut dapat digunakan sebagai sarana pencegahan untuk pasien keluar dari tempat tidur (resiko jatuh) c. Perangkat tersebut berguna untuk memperingatkan perawat jika terdapa pasien yang hendak meninggalkan tempat tidur.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L.M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu Cipta Chpso.2013. Patient fall risk associated with bed-exit alarm reset time .retrevied from http://www.chpso.org/post/patient-fall-risk-associated-bed-exit-alarmreset-time Darmojo RB, Mariono, HH (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Darmojo, B. 2011. Buku Ajar Geriatrik: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut, edisi 4 cetakan 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Dewi, S.R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Deepublis Kane, R. L., Ouslander, J. G., & Abrass, I.B. (1994). Instability and Falls: Essentials of clinical geriatrics. New York: Mc Graw Hill Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111122 Maas, L.M. (2011). Asuhan Keperawatan Geriatrik : Diagnosis NANDA, Kriteria Hasil NOC, & Intervensi NiC. Jakarta : EGC Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Nugroho. W. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta. EGC Shobha, S.R. 2005. Prevention of falls in older patients. American Academy of Family Physicians, 72, 81-8, 93-4. Stanley, M. dan Beare, PG. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik (Gerontological Nursing: a Health Promotion Protection Approach ). Jakarta : EGC. Dialih bahasakan Nety J. dan Kurnianingsih.
Stanley. Mickey. (2006). Buku ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC Subermaniam, K., Welfred, R., Subramanian, P., Chinna, K., Ibrahim, F., Mohktar, M. S., & Tan, M. P. (2017). The effectiveness of a wireless modular bed absence sensor device for fall prevention among older inpatients. Frontiers in public health, 4, 292. Suhartati, C. 2014. Perbedaan Risiko Jatuh Pada Lanjut Usia Yang Mengikuti Senam Dengan Yang Tidak Mengikuti Senam Di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur. Yogyakarta : FIK.STIKES AISYIYAH Sunaryo, et al. (2015). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : CV ANDI OFFSET