SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
LBM 3 Sering Diare dengan Penurunan Berat Badan yang Drastis
Step 1 1. Skrening p24 antigen
2.
y
Pengertian p24 =Kapsid atau pembungkus dari sel
y
Suatu antigen yg mempertahankan mempertahankan factor HIV
HIV
Pemeriksaan ELISA y
singakatan Enzyme-linked immunosorbent Assay
y
Cara
kuantitatif untuk mengukur antigen yang di endapkan pada permukaan
padat dengan menggunakan antibody antibody spesifik yang di ikat enzim kovalen 3.
Pneumonia y
penyakit radang paru paru
y
Gambaran putih pada lapang paru
y
Akibat bakteri
4. Saliva y
Air liur
5. Swab vagina y
Penyekaan untuk mengambil Sampel secret/lendir v agina
6. Radiologi y
Ilmu yang mempelajari efek cahaya dan sinar UV serta radiasi
Step 2 1. Immunodefisiensi y
Definisi
y
Etiologi
y
Gejala
y
Klasifikasi
y
Penyakit yang di timbulkan
y
penatalaksanaan
y
Definisi
y
Klasifikasi
y
Etiologi
y
Pathogenesis
2. HIV
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
y
Penularan
y
Gejala
y
Diagnosis
y
Penatalaksanaan
y
Pencegahan
y
Prognosis
Step 3 1. Immunodefisiensi y
Definisi -
Lemahnya system imun sehingga lebih mudah terkena infeksi proses sembuh lebih lama dan lebih berat
y
y
Klasifikasi -
Spesifik : congenital, fisiologik, AIDS, defisiensi imun yang di dapat/sekunder dapat/sekunder
-
Non spesifik : komplemen, interferon dan Lisozim, sel NK, sy stem fagosit
Penyakit yang di timbulkan
-
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
-
Tumor
2. AIDS y
Definisi -
Human immunodefisiensi virus , virus yang menyerang manusia pada system
kekebalan tubuh (HIV) -
Acquired Immunodeficiency Syndrome, manifestasi stadium akhir dari HIV,
kumpulan gejala dari penurunan system imun yang di peroleh y
Etiologi (struktur and gambar ) -
y
HIV
Pathogenesis
-
Virus masuk ke tubuh helper
T
helper rusak
menyerang sel darah putih yang di serang sel T menyebabkan
tubuh rentan akan infeksi yang
masuksehingga ada gejala-gejala seperti pneumonia dan lain lain y
y
Penularan
-
Transfuse darah
-
Hubungan seksual
-
Injection
Gejala (mayor dan minor ?) -
Mudah terkena infeksi
-
Mudah sakit
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
-
BB turun
-
Diare kronik lebih dari 1 bulan
-
Demam panjang
-
Penurunan kesadaran
-
Gangguan neuroligis
-
GEjala minor : batuk menetap 1 bulan, dermatitis generalisata, adanya herpes zoster, infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
y
Diagnosis -
Pemerikasaan ELISA
-
Western blood
-
PCR
-
Pemeriksaan fisik
y
Penatalaksanaan
y
Pencegahan
y
Prognosis
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Step 4 Maping HIV
Jarum suntik
Hubungan seksual
Ibu Hamil/ASI
Transfusi darah
Sel T Helper/CD4
RNA virus
DNA provirus
Replikasi
Sistem imun
Imunodefisiensi ELISA diagnosis Western Blot PCR
HIV (+) Gejala Mayor
Gejala Minor
Terapi
AIDS Prognosis
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Step 5 Learning Issues 1. Immunodefisiensi y
Definisi
y
Etiologi
y
Gejala
y
Klasifikasi
y
Penyakit yang di timbulkan
y
penatalaksanaan
2. AIDS y
Definisi
y
Etiologi (struktur and gambar )
y
Pathogenesis
y
Penularan
y
Gejala (mayor dan minor ?)
y
Diagsnosis
y
Penatalaksanaan
y
Pencegahan
y
Prognosis
Step 6 Independent learning 1. Immunodefisiensi y
Definisi Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi). http://www.scribd.com/do http://www.scribd.com/doc/30849008/askep-Imunod c/30849008/askep-Imunodefisiensi efisiensi Respon imun berkurang / - tidak mampu melawan infeksi secara adekuat. Adi Brewijaya, SH, S.Kep. 2010.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Patofisiologi. Dr. Tambayong.
y
Etiologi
Patofisiologi. Dr. Tambayong.
y
Gejala
Patologi Robin Kumar edisi ke 7. 2008. 1) Agammaglobulinemia gammaglobulinemia X-Linked Agammaglobulinemia X-linked (agammaglobulinemia Bruton ) hanya menyerang anak laki-laki dan merupakan akibat dari penurunan jumlah atau tidak adanya limfosit B serta sangat rendahnya kadar antibodi karena terdapat kelainan pada kromosom X . Bayi akan menderita infeksi paru-paru, sinus dan tulang , biasanya karena bakteri (misalnya Hemophilus dan Streptococcus) dan bisa terjadi infeksi virus yang tidak biasa di otak . Tetapi
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
infeksi biasanya baru terjadi setelah usia 6 bulan karena sebelumnya bayi memiliki antibodi perlindungan di dalam darahnya yang berasal dari ibunya. Jika tidak mendapatkan vaksinasi polio, anak-anak bisa menderita polio. Mereka juga bisa menderita artritis. Suntikan atau infus immunoglobulin diberikan selama hidup penderita agar penderita memiliki antibodi sehingga bisa membantu mencegah infeksi. Jika terjadi infeksi bakteri diberikan antibiotik. Anak laki-laki penderita agammaglobulinemia Xlinked banyak yang menderita infeksi sinus dan paruparu menahun dan cenderung menderita kanker. 2) Common variable imunodeficiency Immunodefisiensi yang berubah-ubah terjadi pada pria dan wanita pada usia berapapun, tetapi biasanya baru muncul pada usia 10-20 tahun. Penyakit ini terjadi akibat sangat rendahnya kadar antibodi meskipun jumlah limfosit Bnya normal. Pada beberapa penderita limfosit T berfungsi secara normal, sedangkan pada penderita lainnya tidak. Sering terjadi penyakit autoimun, seperti penyakit Addison, tiroiditis dan artritis rematoid . Biasanya terjadi diare dan makanan pada saluran pencernaan tidak diserap dengan baik . Suntikan atau infus immunoglobulin diberikan selama hidup penderita. Jika terjadi infeksi diberikan antibiotik. 3) Kekurangan Anti Bodi Selektif Pada penyakit ini, kadar antibodi total adalah normal, tetapi terdapat kekurangan antibodi jenis tertentu. Yang paling sering terjadi adalah kekurangan IgA. Kadang kekurangan IgA sifatnya diturunkan, tetapi penyakit ini lebih sering terjadi tanpa penyebab yang jelas. Penyakit ini juga bisa timbul akibat pemakaian fenitoin (obat anti kejang). Sebagian besar penderita kekurangan IgA tidak mengalami gangguan atau hanya mengalami gangguan ringan, tetapi penderita lainnya bisa mengalami infeksi pernafasan menahun dan alergi. Jika diberikan transfusi darah, plasma atau immunoglobulin yang mengandung IgA, beberapa penderita menghasilkan antibodi anti-IgA, yang bisa menyebabkan reaksi alergi yang hebat ketika mereka menerima plasma atau immunoglobulin berikutnya. Biasanya tidak ada pengobatan untuk kekurangan IgA. Antibiotik diberikan pada mereka yang mengalami infeksi berulang. 4) Penyakit Imunodesfisiensi Imunodesfisiensi yang berat Penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat merupakan penyakit immunodefisiensi yang paling serius. Terjadi kekurangan limfosit B dan antibodi, disertai kekurangan atau tidak berfungsinya limfosit T, sehingga penderita tidak mampu melawan infeksi secara adekuat. Sebagian besar bayi akan mengalami pneumonia dan thrush (infeksi jamur di mulut ); diare biasanya baru muncul pada usia 3 bulan. Bisa juga terjadi infeksi yang lebih serius, seperti pneumonia pneumokistik pneumokistik . Jika tidak diobati, biasanya anak akan meninggal pada usia 2 tahun. Antibiotik dan immunoglobulin bisa membantu, tetapi tidak menyembuhkan. Pengobatan terbaik adalah pencangkokan sumsum tulang tulang atau darah dari tali pusar. 5) Sindroma Wiskot-Aldrich Sindroma Wiskott-Aldrich hanya menyerang anak laki-laki dan menyebabkan eksim, penurunan jumlah trombosit serta kekurangan limfosit T dan limfosit B yang menyebabkan terjadinya
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
infeksi berulang. Akibat rendahnya jumlah trombosit, maka gejala pertamanya bisa berupa kelainan perdarahan (misalnya diare berdarah ). Kekurangan limfosit T dan limfosit B menyebabkan anak rentan terhadap infeksi bakteri, virus dan jamur. Sering terjadi infeksi saluran pernafasan. Anak yang bertahan sampai usia 10 tahun, kemungkinan akan menderita kanker (misalnya limfoma dan leukemia). Pengangkatan limpa seringkali bisa mengatasi masalah perdarahan, karena penderita memiliki jumlah trombosit yang sedikit dan trombosit dihancurkan di dalam limpa. Antibiotik dan infus immunoglobulin bisa membantu penderita, tetapi pengobatan terbaik adalah dengan pencangkokan sumsum tulang. 6) Ataksia Telangiektasia Ataksia-telangiektasia adalah suatu penyakit keturunan yang menyerang sistem kekebalan dan sistem saraf. Kelainan pada serebelum (bagian otak yang mengendalikan koordinasi) menyebabkan pergerakan yang tidak terkoordinasi (ataksia). Kelainan pergerakan biasanya timbul ketika anak sudah mulai berjalan, tetapi bisa juga baru muncul pada usia 4 tahun. Anak tidak dapat berbicara dengan jelas, otot-ototnya lemah dan kadang terjadi keterbelakangan mental. Telangiektasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pelebaran kapiler (pembuluh darah yang sangat kecil) di kulit dan mata. Telangiektasi terjadi pada usia 1-6 tahun, biasanya paling jelas terlihat di mata, telinga, bagian pinggir hidung dan lengan. Sering terjadi pneumonia, infeksi bronkus dan infeksi sinus yang bisa menyebakan kelainan paru-paru menahun. Kelainan pada sistem endokrin bisa menyebabkan ukuran buah zakar yang kecil, kemandulan dan diabetes. Banyak anak-anak yang menderita kanker, terutama leukemia, kanker otak dan kanker lambung. Antibiotik dan suntikan atau infus immunoglobulin bisa membantu mencegah infeksi tetapi tidak dapat mengatasi kelaianan saraf. Ataksiatelangiektasia biasanya berkembang menjadi kelemahan otot yang semakin memburuk, kelumpuhan, demensia dan kematian. 7) Sindroma Hiper-IgE Sindroma hiper-IgE (sindroma Job-Buckley ) adalah suatu penyakit immunodefisiensi yang ditandai dengan sangat tingginya kadar antibodi IgE dan infeksi bakteri stafilokokus berulang. Infeksi bisa menyerang kulit, paruparu, sendi atau organ lainnya. Banyak penderita yang memiliki tulang yang lemah sehingga sering mengalami patah tulang. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala alergi, seperti eksim, hidung tersumbat dan asma . Antibiotik diberikan secara terus menerus atau ketika terjadi infeksi stafilokokus. Sebagai tindakan pencegahan diberikan antibiotik t rimetoprimsulfametoksazol. 8) Penyakit Granulomatosa Kronis Penyakit granulomatosa kronis kebanyakan menyerang anak laki-laki dan terjadi akibat kela inan pada sel-sel darah putih yang menyebabkan terganggunya kemampuan mereka untuk membunuh bakteri dan jamur tertentu. Sel darah putih tidak menghasilkan hidrogen peroksida, superoksida dan zat kimia lainnya yang membantu melawan infeksi. Gejala biasanya muncul pada masa kanak-kanak awal, tetapi bisa juga baru timbul pada usia belasan tahun . Infeksi kronis terjadi pada kulit, paruparu, kelenjar getah bening, mulut, hidung dan usus. Di sekitar
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
anus, di dalam tulang dan otak bisa terjadi abses. Kelenjar getah bening cenderung membesar dan mengering. Hati dan limpa membesar. Pertumbuhan anak menjadi lambat. Antibiotik bisa membantu mencegah terjadinya infeksi. Suntikan gamma interferon setiap minggu bisa menurunkan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, pencangkokan sumsum tulang berhasi menyembuhkan penyakit ini. 9) Hipogammaglobulin ipogammaglobulin sementara pada bayi Pada penyakit ini, bayi memiliki kadar antibodi yang rendah, yang mulai terjadi pada usia 3-6 bulan. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang lahir prematur karena selama dalam kandungan, mereka menerima antibodi ibunya dalam jumlah yang lebih sedikit. Penyakit ini tidak diturunkan, dan menyerang anak laki-laki dan anak perempuan. Biasanya hanya berlangsung selama 6-18 bulan. Sebagian bayi mampu membuat antibodi dan tidak memiliki masalah dengan infeksi, sehingga tidak diperlukan pengobatan. Beberapa bayi (terutama bayi prematur) sering mengalami infeksi. Pemberian immunoglobulin sangat efektif untuk mencegah dan membantu mengobati infeksi. Biasanya diberikan selama 3-6 bulan. Jika perlu, bisa diberikan antibiotik. 10) Anomali DiGeorge Anomali DiGeorge terjadi akibat adanya kelainan pada perkembangan janin. Keadaan ini tidak diturunkan dan bisa menyerang anak laki-laki maupun anak perempuan. Anak-anak tidak memiliki kelenjar thymus, yang merupakan kelenjar yang penting untuk perkembangan limfosit T yang normal. Tanpa limfosit T, penderita tidak dapat melawan infeksi dengan baik. Segera setelah lahir, akan terjadi infeksi berulang. Beratnya gangguan kekebalan sangat bervariasi. Kadang kelainannya kelainannya bersifat parsial dan fungsi limfosit T akan membaik dengan sendirinya. Anak-anak memiliki kelainan jantung dan gambaran wajah yang tidak biasa (telinganya lebih renadh, tulang rahangnya kecil dan menonjol serta jarak antara kedua matanya lebih lebar ). Penderita juga tidak memiliki kelenjar paratiroid , sehingga kadar kalium darahnya rendah dan segera setelah lahir seringkali mengalami kejang. Jika keadaannya sangat berat, berat, dilakukan pencangkokan pencangkokan sumsum s umsum tulang. Bisa juga dilakukan pencangkokan kelenjar thymus dari janin atau bayi baru lahir (janin yang mengalami keguguran). Kadang kelainan jantungnya lebih berat daripada kelainan kekebalan sehingga perlu dilakukan pembedahan jantung untuk mencegah gagal jantung yang berat dan kematian. Juga dilakukan tindakan untuk mengatasi rendahnya kadar kalsium dalam darah. 11) Kandidiasis Mukokantaneus Kronis Kandidiasi mukokutaneus kronis terjadi akibat buruknya fungsi sel darah putih, yang andida yang menetap pada bayi atau dewasa muda. menyebabkan terjadinya infeksi jamur C andida Jamur bisa menyebabkan infeksi mulut (thrush ) , infeksi pada kulit kepala, kulit dan kuku. Penyakit ini agak lebih sering ditemukan pada anak perempuan dan beratnya bervariasi. Beberapa penderita mengalami hepatitis dan penyakit paru-paru menahun. Penderita lainnya memiliki kelainan endokrin (seperti hipoparatiroidisme). andida jarang terjadi. Biasanya infeksi bisa diobati dengan obat anti-jamur Infeksi internal oleh C andida nistatin atau klotrimazol. Infeksi yang lebih berat memerlukan obat anti-jamur yang lebih kuat
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
(misalnya ketokonazol per-oral atau amfoterisin B intravena). Kadang dilakukan pencangkokan sumsum tulang. 12) AIDS. Stikes Mataram. 2010-2011. y
Klasifikasi
Patofisiologi. Dr. Tambayong.
y
Penyakit yang di timbulkan
Patofisiologi. Dr. Tambayong.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
y
Penatalaksanaan
2. AIDS y
Definisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan. (Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta: EMS.)
y
Etiologi (struktur and gambar ) HIV (Human Immunodeficiency Virus), famili: retroviridae, genus: lentivirus. Besarnya sekitar 120 nm dalam diameter (seper 120 milyar meter, kira-kira 60 kali lebih kecil dari sel darah merah) dan kasarnya "spherical"
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi oleh salah satu dari 2 jenis virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit, menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan penyakit lainnya sebagai akibat dari gangguan kekebalan tubuh.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Terdapat 2 jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia dan Afrika Tengah, Selatan dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. Unesa.2007
Inggris)"Thyroid hormone: a "prime suspect" in human immunodeficiency virus 1. ^ (Inggris)
(HIV/AIDS) patients?". Department of Human Physiology,
C ollege ollege
of Medical Sciences,
University of Jos; Amadi K, Sabo AM, et al.. Diakses pada 31 Maret 2010. Inggris)"The 2. ^ (Inggris)
Circulating
Laboratory . Diakses
y
Recombinant
pada 2 April 2010.
Pathogenesis
Forms
(CRFs)". Los
Alamos
National
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
a. Virologi
Virion HIV berbentuk bulat dengan membran lipid yang dilapisi oleh protein matriks dan ditempeli oleh tonjolan glikoprotein (gp) 120 dan 41. Membran ini mengelilingi inti protein berbentuk kerucut yang mengandung dua salinan (kopi) genom ssRNA dan enzim vir us.
Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel
CD4
yang
memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya
CCR5
atau
CXCR4).
Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Ini merupakan proses yang sangat berpotensi mengalami kesalahan.
Selanjutnya
DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara
acak di dalam genom sel pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada
aktivasi sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan
selanjutnya translasi menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein
prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim
(misalnya RT dan protease) dan protein struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan me mbran sel pejamu. Virus
infeksius baru (virion) selajutnya dapat menginfeksi sel yang belum
terinfeksi dan dan mengulang mengulang proses tersebut. tersebut. Terdapat
tiga grup (hampir semua infeksi adalah grup M) dan 10 subtipe
(grup B dominan di Eropa) untuk HIV-1. *Tiga
grup
dari
HIV-1
telah
diidentifikasi
berdasarkan
ekspresi genom viral yang disebut env, yaitu: M, N dan O. Grup env M merupakan genom yang paling banyak ditemukan dengan 8 perbedaan subtipe
yang
dipengaruhi
faktor
geografis,
antara
lain:
B
(di Amerika dan Eropa), A dan D (di Afrika), C (di Afrika dan Asia). b. Imunologi
Selama perjalanan infeksi HIV terdapat penurunan bertahap dalam hitung sel CD4 yang bersirkulasi, yang berbanding terbalik dengan viral v iral load plasma. Mekanisme pasti yang mendasari penurunan ini tidak sepenuhnya dimengerti.
Karena sel
CD4
penting dalam respons imun, maka berapa pun
penurunan hitung akan menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
opotunistik dan tumor yang terkait virus onkogenik onkogenik (oncogenic (oncogenic virusrelated tumour) (contoh ada di pembahasan tentang gejala )
Jaringan limfatik (limpa, kelenjar getah bening, tonsil/adenoid, dll) berperan sebagai reservoir utama infeksi HIV. Virus dapat menginfeksi sistem saraf secara langsung. (Mandal, dkk. 2006. Lecture notes penyakit infeksi. Edisi keenam. Jakarta:
EMS.)
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
http://www.odhaindonesia http://www.odhaindonesia.org/content/2007/03/03 .org/content/2007/03/03/siklus-hidup-hiv /siklus-hidup-hiv (C:\Documents and Settings\dell)
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Supaya terjadi infeksi,
virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun: a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi. b. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. c. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi. Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7 Pada
saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. Unesa.2007 Tahapan infeksi HIV??
Patologi Robin Kumar edisi ke 7. 2008.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
http://www.docstoc.com/docs/26649306/Apakah-HIV-itu y
Penularan
Melalui cairan tubuh seperti darah, cairan genetalia, dan ASI. Virus juga terdapat pada saliva, air mata, dan urin (sangat rendah). Pria yang sudah disunat memiliki risiko HIV lebih kecil dibandingkan dengan pria yang sudah disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui: a. Ibu hamil
Secara intrauterin, intrapartum, dan post partum (ASI)
b. Jarum suntik
Penyalahgunaan
Jarum suntik yang dipakai d ipakai bersama-sama.
obat
c. Transfusi darah
Risiko penularan 90%
d. Hubungan seksual.
(Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta: EMS.)
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
y
Gejala (mayor dan minor ?)
a. Gejala mayor: -
Kehilangan BB > 10%
-
Diare kronik > 1 bulan
-
Demam > 1 bulan
b. Gejala minor: -
Batuk menetap > 1 bulan
-
Dermatitis pruritis (gatal)
-
Herpes zoster berulang
-
Kandidiasis orofaring
-
Herpes simpleks yang meluas dan berat
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
-
Limfadenopati Limfadenopati yang meluas Tanda lainnya adalah: sarkoma kaposi yang meluas, meningitis kritokokal.
Gejala klinis:
Masa inkubasi inkubasi 6 bulan bulan - 5 tahun
Window period selama 6 8 minggu, adalah waktu saat tubuh sudah terinfeksi HIV tetapi belum terdeteksi oleh o leh pemeriksaan laboratorium.
Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika tidak diobati, maka penyakit ini akan bermanifestasi se bagai AIDS.
Gejala klinis muncul sebagai penyakit yang tidak khas seperti: Diare kronis Kandidiasis mulut yang luas Pneumocystis carinii Pneumonia interstisialis limfositik
Ensefalopati Ensefalopati kronik (Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta: EMS.) Inggris)"Thyroid hormone: a "prime suspect" in human immunodeficiency virus 1. ^ (Inggris)
(HIV/AIDS) patients?". Department of Human Physiology,
C ollege ollege
of Medical Sciences,
University of Jos; Amadi K, Sabo AM, et al.. Diakses pada 31 Maret 2010. Inggris)"The 2. ^ (Inggris)
Circulating
Laboratory . Diakses
y
y
Recombinant
Forms
(CRFs)". Los
Alamos
National
pada 2 April 2010.
Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS: Thrush. Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul. Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal. Pneumonia pneumokistik. Pneumonia karena jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS. Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
y
y
y
y
y
y
y
Toksoplasmosis. Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi se jak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS. Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak. Tuberkulosis. Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan. Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut. Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan. Infeksi saluran pencernaan. Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar. Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan. Leukoensefalopati Leukoensefalopati multifokal progresif. Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita. Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan. Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal. Infeksi oleh sitomegalovirus. Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan. Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus. Sarkoma Kaposi. Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit. Tumor ini terutama sering ditemukan ditemukan pada pria homoseksual.
Kanker. Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam. Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks. Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum. Unesa.2007
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
y
Diagnosis Minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat atau bila terdapat salah satu saja dari tanda lain. Metode untuk menegakkan diagnosis: a. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay): sensitivitas tinggi, yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. b. Western blot: spesifitas tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaan cukup sulit, dan mahal, membutuhkan waktu sekitar 24 j am. c.
PCR (Polymerase Chain Reaction): digunakan untuk:
Tes HIV bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan tubuh untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan kepada bayi melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolaholah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. (note: px HIV sering merupakan deteksi dari zat anti-HIV, bukan deteksi HIV-nya sendiri)
Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi.
Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum s ebelum terjadi serokonversi.
Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2.
(Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta: EMS.)
y
Penatalaksanaan Pengobatan pada penderita HIV/AIDS antara lain:
Pengobatan suportif
Penanggulangan penyakit oportunistik
Pemberian obat antivirus:
a. Didanosin (ddl): dosis 2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg), 2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB > 60 kg) b. Zidovudin (ZDV): dosis 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100 mg, pada saat penderita tidak tidur. c. Lamivudin (3TC) d. Stavudin (d4T)
Penanggulangan dampak
psikososial.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
3.
(Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta: EMS.) y
Pencegahan
a. Menghindari hubungan seksual dengan penderita AIDS
atau dengan
tersangka penderita AIDS. b. Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang mempunyai banyak pasangan. c. Menghindari hubungan seksual dengan pecandu narkotika obat suntik d. Melarang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok berisiko tinggi untuk melakukan donor darah. e. Memberikan transfusi darah hanya untuk pasien yang benar-benar memerlukan. f. Memastikan sterilitas alat suntik. (Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta: EMS.) y
Prognosis
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal, sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian.
Penelitian
melaporkan ada 5% kasus
pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis. (Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta: EMS.)
Tidak ada obat untuk infeksi HIV. Sebelum kita memiliki pengobatan apapun untuk virus, v irus, penderita AIDS hidup hanya untuk beberapa tahun. Untungnya, obat telah secara substansial meningkatkan tingkat prospek dan kelangsungan hidup. Upaya pencegahan telah tajam mengurangi infeksi HIV pada anak muda dan memiliki potensi untuk membatasi tajam infeksi baru pada populasi lainnya. y
y
Obat-obatan telah memperpanjang harapan hidup rata-rata, dan banyak orang dengan HIV dapat berharap untuk hidup selama puluhan tahun dengan pengobatan yang tepat. Semakin banyak memiliki harapan hidup normal jika mereka mengikuti hati-hati untuk rejimen pengobatan.
Obat-obatan membantu sistem kekebalan tubuh pulih dan melawan infeksi dan mencegah kanker dari terjadi. Akhirnya, virus bisa menjadi resisten terhadap obat yang tersedia, dan manifestasi AIDS bisa terjadi.
SGD 7
y
y
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Obat yang digunakan untuk mengobati HIV dan AIDS tidak menghilangkan infeksi. Hal ini penting bagi orang untuk mengingat bahwa dia masih menular bahkan ketika menerima pengobatan yang efektif.
upaya penelitian intensif sedang berfokus pada pengembangan pengobatan baru dan lebih baik. Meskipun saat ini tidak ada vaksin menjanjikan, bekerja terus di bagian depan ini. http://www.emedicinehealth.com/hivaids/page9_em.htm
Tanpa pengobatan, waktu hidup bersih rata-rata setelah terinfeksi HIV diperkirakan 9 sampai 11 tahun, tergantung pada subtipe HIV, Di daerah-daerah dimana banyak tersedia, pengembangan ART sebagai terapi efektif untuk infeksi HIV dan AIDS mengurangi kematian Tingkat dari penyakit dengan 80%, dan meningkatkan harapan hidup bagi orang yang didiagnosis terinfeksi HIV-baru sekitar 20 tahun. Sebagai pengobatan baru terus dikembangkan dan karena HIV terus berevolusi resistensi terhadap perawatan, perkiraan waktu bertahan kemungkinan akan terus berubah. Tanpa terapi antiretroviral, kematian biasanya terjadi dalam waktu satu tahun. Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antara individu dan telah terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan host dan fungsi kekebalan tubuh http://www.news-medical.net/health/AIDS-Prognosis.aspx
TAMBAHAN Infeksi HIV/AIDS (Human (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) Syndrome ) pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual, sedangkan pada anak tahun 1983. Enam tahun kemudian (1989), AIDS sudah merupakan penyakit yang mengancam kesehatan anak di Amerika. Di seluruh dunia, AIDS menyebabkan kematian pada lebih dari 8,000 orang setiap hari saat ini, yang berarti 1 orang setiap 10 detik. Karena itu infeksi HIV dianggap sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius. 1.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubinstein dan Amman pada tahun 1983 di Amerika Serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember 1989 di Amerika telah dilaporkan 1995 anak yang berumur kurang dari 13 tahun yang menderita AIDS dan pada bulan Maret 1993 terdapat 4.480 kasus. Jumlah ini merupakan l,5 % dari seluruh jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
sampai tahun 1988 terdapat 356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa maupun anak-anak tertinggi di dunia adalah di Afrika terutama negara-negara Afrika SubSahara. Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah mematikan lebih dari 25 juta orang; orang; lebih dari 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya akibat AIDS. Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS; 500,000 diantaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun. Setiap tahun pula terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di negara terbelakang dan berkembang; 700,000 diantaranya terjadi pada anak-anak. Dengan angka transmisi sebesar ini maka dari 37.8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat 2.1 juta anak-anak di bawah 15 tahun.
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human ( Human Immunodeficiency Virus). Virus ). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.
Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya ( mother-to-child transmission (MTCT ). ). Namun demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di negara berkembang atau terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV) untuk anak dan bayi yang terinfeksi karenanya menjadi satu jalan untuk menanggulangi pandemi HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah penularan infeksi HIV pada anak dan bayi. Di RSCM hingga tahun 2006 terdapat 150 pasien terinfeksi HIV/AIDS pada anak < 15 tahun, dan 100 anak yang terpapar HIV tetapi tidak tertulari. Pada orang dewasa sampai dengan September 2005 terdapat 8,169 pengidap infeksi HIV. Penderita pria lebih banyak 3 kali lipat dari wanita. Sebagian besar pengidap usia dewasa ini adalah pada usia subur. Dengan kemampuan reproduksi penderita dewasa, akan lahir anak-anak yang mungkin tertular HIV. Bila tidak dilakukan intervensi, dari setiap 100 wanita dewasa pengidap HIV yang hamil dan melahirkan, sebanyak 40- 45 anak-anak ini akan tertulari.
ETIOLOGI Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang tergolong ke dalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus, seperti virus Visna pada biri-biri, sapi, dan feline serta Simian Immunodeficiency Virus (SIV).
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Lentivirus
mampu menyebabkan efek sitopatik yang singkat dan infeksi laten dalam jangka panjang, juga
menyebabkan penyakit progresif dan fatal termasuk
w asting asting
syndrom dan degenerasi susunan saraf pusat.
Virus ini pertama kali ditemukan ole h Montagnier dari Perancis pada tahun 1983 dan oleh Gallo dari Amerika pada tahun 1984. Terdapat 2 tipe HIV yang sangat mirip, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang walaupun berbeda struktur genomik dan antigenesitasnya akan tetapi manifestasi klinisnya tidak dapat dibedakan. Kedua tipe HIV tersebut diketahui membentuk antibodi yang dapat saling bereaksi silang.
Secara epidemiologis, HIV-l terdapat pada AIDS di Afrika Tengah, Haiti, Eropa Barat dan Amerika; sedangkan HIV-2 prevalensinya lebih rendah dan terdapat secara endemis di Afrika Barat. Secara sporadis HIV-2 juga ditemukan di Inggris, beberapa negara Eropa, Brazil, dan baru-baru ini di Amerika.
Dinamakan retrovirus karena virus ini mempunyai kemampuan dapat membentuk DNA dari RNA sebab mempunyai enzim transkiptase reversi . Enzim ini dapat menggunakan RNA virus sebagai template untuk membentuk DNA, yang kemudian berintegrasi ke dalam kromosom pejamu dan selanjutnya bekerja sebagai dasar untuk proses replikasi HIV.
Struktur HIV
HIV mempunyai inti (nukleoid) berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung 2 rangkaian genom RNA diploid, dengan masing-masing rangkaian memiliki enzim transkriptase reversi (RT), dan int egrase. se. Selain itu di dalam inti juga terdapat enzim protease yang tidak melekat pada rangkaian RNA. P artikel yang membentuk inti silindri s ini adalah protein kapsid (P24); yang
menutupi komponen nukl eoid tersebut sehingga membentuk struktur nukl eokapsid. Protein matriks p17 merupakan bagian dalam sampul virus HIV. Bagian paling luar adalah lapisan membran fosfoli pid yang berasal dari membran plasma sel pejamu. Pada membran permukaan virion
terdapat
ton jolan
yang
terdiri
atas
molekul
glikop rotein
( gp120)
dengan
bagian
transmembran yang merupakan gp4l yang keduanya dibentuk oleh virus.
Genom HIV Rangkaian genom RNA HIV panjangnya lebih kurang 9.2 kilo basa dan susunan dasar urutan asam nukleat sama seperti retrovirus lain yang sudah diketahui. Segmen
LTR
( Long Terminal Repeat ) pada ujung
rangkaian setiap genom berfungsi untuk mengatur integrasi virus ke genom pejamu, ek spresi gen virus, dan replikasi. Rangkaian gagmengkode gagmengkode protein struktur inti, sedangkan rangkaian env mengkode env mengkode glikoprotein amplop gp120 dan gp41 yang diperlukan untuk memulai infeksi virus. Rangkaian pol mengkode mengkode enzim transkriptase reversi, integrase, dan enzim protease untuk replikasi. Terdapat rangkaian pengatur lain yaitu rangkaian tat, rev, vif, nef, vpr dan vpr dan vpudengan vpudengan fungsi seperti Gambar 32-2.
Siklus hidu p HIV
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu. Perlekatan ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang env yang terdiri dari 3 pasang molekul gp120 dan molekul transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik membran virion dengan membran sel target. Pertama-tama terbentuk ikatan antara satu subunit gp 120 dengan molekul CD4 sel pejamu. Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion melekuk agar gp120 kedua dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada koreseptor kemokin (CXCR4, CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi perubahan konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion) untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu, (karena mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi) dan kemudian menyisipkan diri ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran sel HIV dengan membran sel pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu (lihat Gambar 32-3). Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam kompleks nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi DNA oleh enzim transkriptase reversi ( RT= Reverse Transcriptase). Transcriptase). DNA HIV yang terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu bereplikasi karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang sudah berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA provirus ini dapat dormant , atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulanbulan atau bertahun-tahun tanpa adanya protein baru atau virion. Transkripsi gen proviral DNA yang s udah terintegrasi diatur oleh:
y
LTR
y
Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk memperkuat transkripsi.
LTR
, bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus
mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan dalam bentuk kotak TATA dan
tempat ikatan/ binding untuk 2 faktor transkripsi transkripsi pejamu (NF-kB dan SP1). Awal transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen atau sitokin lain. Sebagai contoh, aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, I L-2, TNF dan limfotoksin akan menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu I L-1, IL-3, I L-6, TNF, limfotoksin, IFN- dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel T yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi respons normal terhadap mikroba lain. Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu berakhirnya infeksi laten dan dimulainya produksi virus. Infeksi multipel yang dialami penderita HIV akan menstimulasi produksi HIV untuk selanjutnya menginfeksi sel lainnya Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal untuk memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar disintesis. Hal itu terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA mamalia tidak efisien dan kompleks polimer biasanya berhenti ditranskripsi sebelum mRNA lengkap.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Protein Tat terikat Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada DNA virus. Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga beberapa ratus kali lipat, dan mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil akhir RNA messenger (mRNA) (mRNA) HIV yang fungsional. mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal genom lengkap yang telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda. Ekspresi gen HIV dapat dibagi ke dalam stadium awal saat gen regulator dibentuk dan stadium akhir dimana gen struktur diekspresikan dan helai tunggal genom lengkap dibuat.
Protein Rev, Tat, Nev adalah Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA yang tersambung sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi protein di sitoplasma segera sesudah infeksi satu sel. Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang pol yang mengkode komponen struktur virus dan diterjemahkan dari RNA tunggal tunggal yang sudah maupun maupun belum tersambung. Protein Protein Rev memulai Rev memulai penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir dengan cara cara mempromosikan ekspor RNA ke luar inti sel. RNA ini yang belum tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti. Produk gen pol gen pol adalah adalah protein prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk enzim transkriptase riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein berukuran 55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi polipeptida p24, p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah protein inti yang diperlukan untuk membentuk partikel infeksius virus. Gen env memproduksi env memproduksi terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya dipotong oleh protease sel di retikulum endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang diperlukan untuk menempelnya HIV pada sel. Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di sitoplasma pejamu. Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu kompleks nukleoprotein, termasuk gag dan pol dan pol yang yang diperlukan untuk integrase siklus berikutnya. Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses ´ b udding´ udding´ dari membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel pejamu.
PERJALANAN PENYAKIT Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV.
Tahap-tahap dan patogenesis infeksi HIV Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4 + dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari +
+
tempat masuknya virus, sel T CD4 dan monosit di darah, atau sel T CD4 dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4
+
melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau Thelper T helper , makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama. Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period ). ). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4 + dalam jaringan limfoid terus berlangsung +
dan jumlah sel T CD4 yang bersirkulasi semakin berkurang. 12
10
Lebih
dari 90% sel T yang berjumlah 9
+
terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 10 sel T CD4 per hari. +
Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4 yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4 + di jaringan limfoid dan sirkulasi. Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, sep erti antigen dan sitokin. Sitokin (m isalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi +
3
seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4 dalam darah kurang dari 200 sel/mm , dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia ( HIV syndrome), syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV). Manifestasi
klinis infeksi HIV.
Fase penyakit
Manifestasi klinis
Penyakit HIV akut
Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis, limfadenopati generalisata, eritema
w asting asting
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
+
Masa laten klinis
Berkurangnya jumlah sel T CD4
AIDS
Infeksi
oportunistik
Protozoa ( Pneumocystis carinii, Cryptosporidium) Cryptosporidium) Bakteri (Toxoplasma, ( Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella) Salmonella) Jamur
(Candida, (Candida,
Cryptococcus
neoformans,
Coccidioides
immitis,
Histoplasma
capsulatum) capsulatum) Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster )
Tumor
Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV) EBV)
Sarkoma Kaposi
Karsinoma servikal
Ensefalopati Wasting syndrome
Mekanisme
imunodef isiensi
Infeksi HIV menyebabkan terganggunya fungsi sistem imun alamiah dan didapat. Gangguan yang paling jelas adalah pada imunitas selular, dan dilakukan melalui berbagai mekanisme yaitu efek sitopatik langsung dan tidak langsung. Penyebab terpenting kurangnya sel T CD4
+
pada pasien HIV adalah efek sitopatik +
langsung. Beberapa efek sitopatik langsung dari HIV terhadap sel T CD4 antara lain: y
Pada produksi virus HIV terjadi ekspresi gp41 di membran plasma dan budding partikel virus, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membran plasma dan masuknya sejumlah besar kalsium yang akan menginduksi apoptosis atau lisis osmotik akibat masuknya air. Produksi virus dapat mengganggu sintesis dan ekspresi protein dalam sel sehingga menyebabkan kematian sel.
y
DNA virus yang terdapat bebas di sitoplasma dan RNA virus dalam jumlah besar bersifat toksik terhadap sel tersebut.
y
+
Membran plasma sel T yang terinfeksi HIV akan bergabung dengan sel T CD4 yang belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4, dan akan membentuk multinucleated giant cells atau syncytia. syncytia. Proses ini menyebabkan kematian sel-sel T yang bergabung tersebut. Fenomena ini banyak diteliti in vitro, dan syncytia jarang ditemukan pada pasien AIDS (Gambar 32-4).
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Pembentukan sel sin sitia. ikasi dari RR Redf ield, DS Burke, 1989 ) (Dikuti p dengan modif ika
Selain efek sitopatik langsung, terdapat beberapa mekanisme tidak langsung yang mengakibatkan gangguan jumlah dan fungsi sel T y aitu:
y
Sel yang tidak terinfeksi HIV akan teraktivasi secara kronik oleh infeksi lain yang mengenai pasien HIV dan oleh sitokin yang terbentuk pada infeksi lain tersebut. Aktivasi ini diikuti apoptosis yang disebut dengan activation-induced cell death. death. Mekanisme ini menjelaskan terjadinya kematian sel T yang jumlahnya jauh melebihi sel terinfeksi HIV.
y
Sel T sitotoksik yang spesifik HIV terdapat pada banyak pasien AIDS. Sel ini dapat membunuh sel T +
CD4 yang terinfeksi HIV. y
+
Antibodi terhadap protein envelope HIV dapat berikatan dengan sel T CD4 yang terinfeksi dan menyebabkan anti body-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC). cytotoxicity (ADCC).
y
Penempelan gp120 pada CD4 intrasel yang baru disintesis akan mengganggu pemrosesan protein di retikulum endoplasma dan menghambat ekspresi CD4 di permukaan sel, sehingga tidak dapat merespons stimulasi antigen.
y
+
Terjadi gangguan maturasi sel T CD4 di timus. +
Pentingnya peranan berbagai mekanisme tidak langsung ini terhadap kurangnya sel T CD4 pada pasien HIV masih belum jelas dan k ontroversial. Gangguan sistem imun pada pasien HIV dapat dideteksi bahkan sebelum terjadi kekurangan sel T +
CD4 yang signifikan. Gangguan ini mencakup penurunan respons sel T memori terhadap antigen, penurunan respons sel T sitotoksik terhadap infeksi virus, dan lemahnya respons imun humoral terhadap antigen walaupun kadar IgE total mungkin meningkat. Disregulasi produksi sitokin pada infeksi HIV juga akan mengakibatkan aktivasi sel T CD4 cenderung ke arah aktivasi sel T H2, yaitu aktivasi imunitas humoral (sel B). Terjadi aktivasi sel B poliklonal sehingga kadar imunoglobulin serum meningkat, yang dapat mengakibatkan pula produksi autoantibodi dengan akibat timbulnya penyakit autoimun seperti purpura trombositopenik idiopatik dan neutropenia imun. Aktivasi poliklonal sel B ini juga dapat membuat sel B menjadi refrakter sehingga tidak dapat bereaksi dengan antigen baru. Mekanisme terjadinya gangguan ini masih belum jelas. Dikatakan bahwa gangguan ini akibat efek langsung HIV terhadap sel T CD4 + dan efek gp120 yang berikatan dengan sel yang tidak terinfeksi. CD4 yang berikatan dengan gp120 tidak dapat berinteraksi dengan MHC kelas II pada APC, sehingga respons sel T terhadap antigen dihambat. Selain itu, penempelan gp120 pada CD4 ini akan mengeluarkan sinyal untuk menurunkan fungsi sel T. Beberapa studi menunjukkan bahwa proporsi sel T H1 (mensekresi IL-2 dan IFN-) menurun dan proporsi sel T H 2-like (mensekresi IL-4 dan IL-10) meningkat pada pasien HIV. Perubahan ini H 2-like dapat menjelaskan kerentanan pasien HIV terhadap infeksi mikroba intraselular karena IFN- berperan untuk aktivasi, sedangkan I L-4 dan I L-10 untuk menghambat pemusnahan mikroba oleh makrofag.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Protein Tat berperan pada patogenesis imunodefisiensi akibat HIV. Di dalam sel T, Tat berinteraksi Tat berinteraksi dengan berbagai protein regulator seperti p300 koaktivator transkripsi, yang akan mengganggu fungsi sel T misalnya sintesis sitokin. Tat tidak Tat tidak hanya dapat masuk ke nukleus, namun dapat pula melewati membran plasma dan memasuki sel di dekatnya. Makrofag, sel dendrit, dan sel dendrit folikular juga berperan penting dalam infeksi HIV dan progresifitas imunodefisiensi.
y
Makrofag mengekspresikan CD4 jauh lebih sedikit dibandingkan sel T H, tetapi mengekspresikan koreseptor CCR5 sehingga rentan terhadap infeksi HIV. Beberapa strain HIV cenderung menginfeksi makrofag karena predileksi ikatan dengan koreseptor CCR5 di makrofag daripada koreseptor CXCR4 pada sel T. Makrofag relatif resisten terhadap efek sitopatik HIV, mungkin karena diperlukan ekspresi CD4 yang tinggi untuk terjadinya virus-induced cytotoxicity . Makrofag juga terinfeksi melalui fagositosis sel terinfeksi atau endositosis virion HIV yang diselubungi antibodi. Karena makrofag dapat terinfeksi namun sulit dibunuh oleh virus, makrofag menjadi reservoir HIV. Makrofag yang terinfeksi HIV akan terganggu fungsinya dalam hal presentasi antigen dan sekresi sitokin.
y
Seperti makrofag, sel dendrit tidak secara langsung dirusak oleh infeksi HIV. Sel dendrit dan makrofag dapat menginfeksi sel T naif selama proses presentasi antigen sehingga dianggap sebagai jalur yang penting dalam kerusakan sel T.
y
Sel dendrit folikular (FDC) di kelenjar getah bening dan limpa menangkap HIV dalam jumlah besar di permukaannya, sebagian melalui ikatan virus dan antibodi. Meskipun FDC tidak terinfeksi secara efisien berkontribusi dalam patogenesis efisiensi imun melalui virus HIV yang terikat terikat di permukaan selnya dan mampu menginfeksi makrofag dan sel T CD4 di kelenjar getah bening.
y
Sel ini turut berperan pada imunodefisiensi akibat HIV melalui 2 cara. Pertama, permukaan sel ini +
merupakan reservoir HIV sehingga dapat menginfeksi makrofag dan sel T CD4 di kelenjar getah bening. Kedua, fungsi sel ini dalam respons imun terganggu sehingga pada akhirnya sel ini juga akan dihancurkan oleh HIV. Replikasi virus tersebut akan mempergunakan komponen pejamu yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah dan struktur sitokin yang akan diproduksi sel pejamu. Replikasi HIV di dalam sel makrofag membuat sel makrofag menjadi reservoir HIV hingga dapat ditranspor oleh monosit ke organ lain seperti paru dan otak.
Adanya gangguan produksi sitokin oleh sel makrofag dan monosit akan menghambat maturasi sel prekursor T CD4 sehjngga jumlah sel T CD4 perifer berkurang.
Di samping itu, meskipun jumlah sel T CD4 belum banyak menurun, fungsinya sudah terganggu. Hal ini disebabkan karena antara lain sel AP C (antigen ( antigen presenting cell ) yang sudah terinfeksi HIV tidak dapat mempresentasikan antigen lagi sehingga sel T CD4 tidak terstimulasi.
Lagipula,
molekul gpl20 dan gp41
virus mempunyai struktur yang homolog dengan domain molekul MHC kelas II, akibatnya antibodi yang
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
terbentuk terhadap molekul gp120 dan gp41 virus akan bereaksi silang dengan molekul MHC kelas II yang terdapat pada sel APC, sehingga sel APC tidak dapat mempresentasikan antigen dan sel T CD4 tidak terstimulasi.
Respons imun terhada p HIV Pada pasien HIV terjadi respons i mun humoral dan selular terhadap produk gen HIV. Respons awal terhadap infeksi HIV serupa dengan pada infeksi virus lainnya dan dapat menghancurkan sebagian besar virus di dalam darah dan sel T yang bersirkulasi. Kendati demikian, respons imun ini gagal untuk menghilangkan semua virus, dan selanjutnya infeksi HIV mengalahkan sistem imun pada sebagian besar individu.
Terdapat 3 karakteristik respons imun terhadap HIV. Pertama, respons imun dapat berbahaya terhadap pejamu, misalnya dengan menstimulasi uptake virus yang teropsonisasi kepada sel yang tidak terinfeksi melalui endositosis yang diperantarai Fc reseptor atau melalui eradikasi sel T CD4
+
yang mengekspresi
+
antigen virus oleh sel T sitotoksik CD8 . Kedua, antibodi terhadap HIV merupakan petanda infeksi HIV yang digunakan secara luas untuk uji tapis tetapi sedikit yang memiliki efek netralisasi. Ketiga, pembuatan vaksin HIV memerlukan pengetahuan tentang epitop virus yang paling mungkin menstimulasi imunitas protektif. Respons imun awal terhadap infeksi HIV mempunyai karakteristik ekspansi masif sel T sitotoksik +
CD8 yang spesifik terhadap protein HIV. Respons antibodi terhadap berbagai antigen HIV dapat dideteksi dalam 6-9 minggu setelah infeksi, namun hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa antibodi mempunyai efek yang bermanfaat untuk mengontrol infeksi. Molekul HIV yang menimbulkan respons antibodi terbesar adalah glikoprotein envelope, envelope, sehingga terdapat titer anti-gp120 dan anti-gp41 yang tinggi pada sebagian besar pasien HIV. Antibodi anti-envelopemerupakan anti-envelopemerupakan inhibitor yang buruk terhadap infektivitas virus atau efek sitopatik. Terdapat antibodi netralisasi dengan titer rendah pada pasien HIV. Antibodi netralisasi ini dapat menginaktivasi HIV in vitro. Terdapat pula antibodi yang memperantarai ADCC. Semua antibodi ini spesifik terhadap gp120. Belum ditemukan korelasi antara titer antibodi dengan keadaan klinis. Uji tapis standar untuk HIV menggunakan imunofluoresensi atau enzyme-linked immunoassay untuk immunoassay untuk mendeteksi antibodi anti-HIV pada serum. Setelah dilakukan uji tapis dengan hasil yang positif, sering dilanjutkan dengan Western
blot atau lot atau
radioimmunoassay untuk radioimmunoassay untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap
protein virus tertentu. Mekanisme
penghindaran imun oleh HIV
Kegagalan respons imun selular dan humoral untuk mengatasi infeksi HIV disebabkan berbagai faktor. +
Karena gangguan dalam hal jumlah dan fungsi sel T CD4 , respons imun tidak mampu mengeliminasi virus. Selain itu, HIV mempunyai berbagai cara utuk menghindari imunitas tubuh. y
HIV mempunyai tingkat mutasi yang sangat tinggi sehingga HIV dapat menghindari deteksi oleh antibodi atau sel T yang terbentuk. Diperkirakan pada seseorang yang terinfeksi, mutasi titik ( point mutation) mutation) pada genom virus dapat terjadi setiap hari. Satu area protein pada molekul gp120 yang
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
disebut V3 loop mampu mengubah komponen antigeniknya, dan dapat bervariasi walaupun bahannya diambil dari individu yang sama pada waktu yang berbeda. y
Sel terinfeksi HIV dapat menghindari sel T sitotoksik dengan cara dow n-regulation n-regulation ekspresi molekul MHC kelas I. Protein HIV Nef menghambat Nef menghambat ekspresi molekul MHC kelas I, khususnya H LA-A dan HLA-B, dengan cara meningkatkan internalisasi molekul- molekul tersebut.
y
Infeksi HIV dapat menghambat imunitas selular. Sel T H2 yang spesifik untuk HIV dan mikroba lain dapat meningkat secara relatif terhadap sel T H1. Karena sitokin T H2 menghambat imunitas selular, hasil dari ketidakseimbangan ini adalah disregulasi (disebut juga deviasi imun) yang meningkatkan kerentanan pejamu terhadap infeksi mikroba intraselular, termasuk HIV itu sendiri.
CARA
PENULARAN
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan. Penularan lain yang juga penting adalah dari transfusi produk darah yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang buktinya sangat sedikit.
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan cairan tubuh pengidap HIV seperti air ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau kontak sosial seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah merupakan cara untuk penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.
Ibu hamil dengan HIV (+) Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke b ayi yang dikandungnya.
Cara
transmisi ini dina makan juga tran smisi secara vertikal. T ransmisi dapat ter jadi melalui plasenta
(intrauterin) intrapartu m, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung HIVse lama proses kelahiran, dan post partum melalui AS I. Transmisi dapat
terjadi pada 20-50% kasus.
Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar
Limfosit
T CD4 dan jumlah virus pada tubuh
ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. P roses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasif pada bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka
transmisi HIV pada bayi.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan antigen. WHO menganjurkan untuk negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu k e bayinya belum pernah dilaporkan.
Transf usi Penularan dapat ter jadi melalui transf usi darah yang mengandung HIV atau produk darah yang berasal dari dono r yang mengandung HIV. Dengan sudah dilakukannya skrining darah donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara i ni menjadi jauh berkurang.
Jarum suntik yang tercem ar HIV Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat intravena yang menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya melalui hubungan seksual. Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di banyak negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba dengan membagikan jarum suntik steril pada pemakai.
Hubungan seksual dengan pengidap HIV Penularan cara ini ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti pasangan seksual, atau korban perkosaan, atau prostitusi anak. Penderita AIDS yang berumur 20-an mendapat infeksi HIV pada masa remaja.
FAKTOR RISIKO Dari cara penularan tersebut di atas maka faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah, 1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, 2) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena, 4) bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang, 5) anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.
SGD 7
MAS A
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
INKUBASI
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-tahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunistik sudah dapat dilihat ketika usia 2 bulan.
GAMBARAN KLINIS Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak.
Lima
puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82%
berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena paru
karena
mikobakterium
atipik,
atau
toksoplasmosis
otak.
Bila
P neumocystis neumocystis
anak
carinii , radang
terserang Mycobacterium
tuberculosis, erculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang. Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia,
sesak
napas,
jari
tabuh,
dan
limfadenopati.
Secara
radiologis
terlihat
adanya
infiltrat
retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Secara khusus dilakukan klasifikasi manifestasi klinis ini oleh CDC Amerika Serikat (1994) dan WHO (tahun 2006). Penggunaan klasifikasi ini untuk membantu dalam menentukan diagnosis, tatalaksana dan prognosis. Klasifikasi klinis yang mengarahkan ke pengambilan keputusan dilakukannya pemeriksaan laboratorium dikenal dengan nama AIDS nama AIDS Defining Illness Klasifikasi klinis menurut CDC adalah N, A, B dan C (AIDS) dengan tambahan prefix E pada semua anak yang terpapar pada HIV dari orangtuanya. Klasifikasi klinis menurut WHO dapat dilihat pada tabel berikut.
ikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV Tabel 32-2. Klasif ika K lasifikasi lasifikasi
Stadium klinis WHO
Asimtomatik
1
Ringan
2
Sedang
3
Berat
4
Lebih
jelasnya dapat dilihat pada lampiran
PEMERIKS AAN LABORATORIUM Pemeriksaan assay antibodi assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti: y
assay untuk assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma
y
assay untuk assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma
y
assay untuk assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD) Dissociated (ICD)
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang. Real time P CR) CR)
P CR(RTCR(RT-
mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih
murah dari sebelumnya. Assay sebelumnya. Assay ICD ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap ( w hole hole
blood )
yang sulit diambil pada bayi kecil,
saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian. Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat ( rapidtest ) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa. Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam pe nentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat i nfeksi oportunistik.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B menurun.
DIAGNOS IS Anak yang berumur kurang dari 18 bulan Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat ter cakup.
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%. Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus d ipastikan kehandalan laboratorium penguji.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.
Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang m endapat ASI Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui.
Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala da n tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji viro logik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV.
Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus di ulang pada usia 18 bulan.
Diagnosis infeksi HIV setelah ibu atau bayi mendapat Anti Retroviral (ARV) untuk program pencegahan (PMTCT=Prevention of Mother To Child Transmission) Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA assay DNA dapat mulai diperiksa pada usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi hasilnya. DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA assay RNA HIVnya tidak terdeteksi. Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen assay antigen ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat ARV.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Diagnosis infeksi bila ibu minum ARV Belum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui bayinya dapat mempengaruhi deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak terpengaruh.
Anak yang berumur lebih dari 18 bulan Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda.
Diagnosis klinis presumtif infe ksi HIV Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik untuk mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme klinis jarang yang mencapai sensitifitas 70% dan bervariasi menurut umur; bahkan tidak dapat diandalkan unutk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 12 bulan. Uji antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test ) dan peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu dokter membuat algoritme diagnostik yang lebih baik. Dalam situasi sulit diperbolehkan menggunakan dasar klinis untuk memulai pengobatan ARV pada anak kurang dari 18 bulan dan terpapar HIV yang berada dalam kondisi sakit berat. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan CD4 atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai alat diagnosis infeksi HIV.
Anak yang berumur kurang dari 18 bulan Untuk bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat dimana uji virologik tidak mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif infeksi HIV, diagnosis presumtif ineksi HIV secara klinis dapat dibuat. Diagnosis infeksi ini dapat menjadi dasar untuk menilai apakah diperlukan pemberian ARV segera.
Anak yang berumur lebih dari 18 bulan Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan dengan gejala dan tanda sugestif infeksi HIV, dapat digunakan pemeriksaan antibodi untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis presumtif pada kondisi ini tidak dianjurkan karena pemeriksaan antibodi saja dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Beberapa kondisi seperti pneumonia pneumositis, kandidiasis esofagus, meningitis kriptokokus jarang terjadi pada anak yang tidak terinfeksi HIV. Karenanya kondisi klinis seperti ini menjadi faktor penentu untuk pemeriksaan antibodi anti HIV.
SGD 7
Met ode
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
Metode
Rekomendasi
Tingkat
Uji virologik( DNA, RNA, ICD) ICD)
Untuk mendiagnosis infeksi pada bayi < A(I) A(I)
rekomendasi/bukti
18 bulan ; uji inisial direkomendasi mulai umur 6-8 minggu Untuk mendiagnosis infeksi HIV pada A(I) A(I)
Uji antibodi anti HIV
ibu atau identifikasi paparan pada bayi Untuk
mendiagnosis
infeksi
pada
anak > 18 bulan Untuk
pada
mengidentifikasi umur
<
18
infeksi
HIV
bulan
dengan
kemungkinan besar HIV positif*
A(IV) A(IV)
*
Anak kurang dari 18
benar-benar
b ulan
dengan hasil uji anti bodi positif termasuk di antaranya adalah anak yang
terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih mem b aw a anti bodi maternal.
PENGOBATAN Tatalaksana pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa, tatalaksana psikologis dan penanganan sisi social yang akan berperan dalam kepatuhan program pemantauan dan terapi. Pemberian imunisasi harus mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta panduan yang berlaku. Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV adalah, selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk vaksin hidup. Tetapi bila simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan BCG sebaiknya dihindari.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi.
Langkah
diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang t idak.
Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada penderita. Untuk ini banyak panduan yang cukup ba ik dijadikan bahan bacaan.
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada homo log manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berev olusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan untuk menyembuhkan; bila digunakan dengan benar berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup penderita.Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang terinfeksi, (2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, (3) menjaga, menguatkan dan memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan replikasi virus HIV dan mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obat-obat ini pada dasarnya terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya, yaitu NRTI (Nucleoside ( Nucleoside Reverse Transcriptase Inhi bitor ), ), NNRTI (Non( Nonbitor ), Nucleoside Reverse Transcriptase Inhi bitor ), ), PI ( protease Inhi ), Fusion Inhi bitor , dan Anti-Integrase dan Anti-Integrase..
Pemakaian kombinasi NRTI dengan NNRTI dan PI ini saat ini dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART). Therapy (HAART). Penamaan ini didasarkan atas peningkatan survival , pengurangan kemungkinan infeksi oportunistik dan komplikasi lain, perbaikan pertumbuhan dan fugnsi neurokognitif dan peningkatan kualitas hidup penderita HIV.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4
+
yang terinfeksi dan sebagian kecil oleh sel lain yang
terinfeksi. Terapi obat dikembangkan untuk menghambat semua produksi HIV yang terdeteksi untuk beberapa tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi dalam 3 fase. Fase pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat dengan waktu paruh kurang dari 1 hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa virus diproduksi oleh sel yang hanya hidup sebentar ( short-lived ) yaitu sel T +
CD4 yang merupakan reservoir utama (93 ± 97% dari seluruh sel T) dan sumber v irus. Fase kedua penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu menyebabkan jumlah virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang deteksi. Hal ini menunjukkan berkurangnya reservoir virus reservoir virus dalam makrofag. Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di sel T memori yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang dari sel memori, diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan reservoir virus reservoir virus ini.
Prinsip ARV ARV adalah bagian dari pelayanan HIV komprehensif. Sebelum memutuskan untuk memberi ARV perlu diperhatikan bahwa:
y
Jangan mulai memberi ARV terlalu dini ketika hitung CD4 masih normal, atau terlambat ketika sistim imun sudah terlanjur rusak
y
Pemilihan jenis obat harus memperhitungkan bukti efikasi, sedikit efek samping dan kemudahan pemberian
y
Pertimbangkan kemampuan daya beli dan ketersediaan obat
y
Harus ada pemantauan dan dukungan pada pasien dan keluarganya untuk meningkatkan kepatuhan berobat (adherence (adherence))
Kelemahan dari ARV adalah karena digunakan obat multipel, juga dengan obat bukan ARV, maka bahaya interaksi obat dan resistensi akan menurunkan potensi ARV. Selain itu mungkin timbul reaksi simpang serius. Karena dirancang untuk digunakan seumur hidup, maka kepatuhan berobat (95% jumlah obat yang diminum) akan menghalangi timbulnya resistensi, dan ini penting ditekankan pada keluarga pasien.
Kapan mulai pengobatan ARV Keputusan untuk memulai terapi ARV pada bayi dan anak bergantung pada penilaian klinis dan imunologis, serta penilaian situasi sosial seperti siapa yang akan menjadi pemberi obat, asupan nutrisi, dan kelompok pendukung keluarga, bila seandainya si pemberi obat yang bertanggung jawab lalai. Dalam hal penilaian klinis memungkinkan ARV diberikan pada anak yang didiagnosis secara presumtif melalui gejala klinis. Bila mungkin digunakan parameter nilai hitung CD4 sebelum mempertimbangkan pengobatan, terutama pada
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
anak yang sakitnya lebih ringan. Beberapa patokan berikut dapat membantu memutuskan apakah pengobatan ARV diperlukan: y
Bila ada data PCR RNA, kadar virus mendekati 100,000 kopi/m L
y
Hitung absolut atau persentase CD4 menurun dengan cepat ke ambang defisiensi imun berat
y
Munculnya gejala klinis
y
Kemampuan orangtua atau pengasuh untuk mematuhi ketentuan pemberian A RV
Berdasarkan penilaian klinis Klasifikasi klinis HIV Pediatrik WHO yang di luncurkan tahun 2006 adalah sebagai berikut:
y
Asimtomatik = Stadium klinis 1
y
Ringan = Stadium klinis 2
y
Sedang = Stadium klinis 3
y
Berat = Stadium klinis 4
Stadium klinis ditetapkan setelah infeksi ditegakkan melalui bukti serologis atau virologis. Penggunaan stadium ini berguna sebagai data dasar dan untuk digunakan sebagai penuntun apakah obat profilaksis infeksi oportunistik perlu diberikan pada anak yang berumur lebih dari 1 tahun. Sedangkan pada anak kurang dari 1 tahun yang teri nfeksi atau terpapar HIV harus mendapatkan profilaksis ini.
Bila digunakan sebagai dasar untuk memulai pengobatan ARV, prinsip umum yang bisa digunakan sebagai patokan adalah:
1.
Terapi ARV direkomendasikan untuk bayi < 12 b ulan yang memiliki gejala infeksi HI V(klasifikasi A, B, C menurut CDC atau II, III dan IV menurut WHO), tanpa melihat stadium klinis, jumlah virus maupun nilai CD4
2.
Terapi ARV juga direkomendasikan untuk bayi < 12 bulan yang tergolong stadium klinis N atau I yang memiliki kadar CD4 < 25%
Terapi ARV dipertimbangkan untuk bayi < 12 bulan yang asimtomatik dan memiliki kadar CD4 > 25%.
Berdasarkan penilaian imunologis anak yang terinfeksi HIV Parameter imunologis digunakan untuk menilai imunodefisiensi, untuk memulai pemberian ARV, dan penggunaannya harus bersamaan dengan penilaian klinis. Hitung absolut CD4 dan total limfosit pada bayi sehat jauh lebih tinggi dari orang dewasa, dan menurun sampai mencapai nilai orang dewasa pada usia 6 tahun. Tetapi persentase CD4 hampir tidak berubah pada usia berapapun, dan hal ini digunakan sebagai dasar penilaian imunologis pada anak yang kurang dari 5 tahun (lihat tabel).
ikasi WHO tentang imunodef isiensi HIV menggunakan CD4+ Tabel 32-4. Klasif ika
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
I munodefisiensi
Nilai
CD4+ menurut umur
< 11 bulan
12-35 bulan
36-59 bulan
> 5 tahun
(%)
(%)
(%)
(sel/mm )
Tidak ada
> 35
> 30
> 25
> 500
Ringan
30 ± 35
25 ± 30
20 ± 25
350í499
Sedang
25 ± 30
20í25
15í20
200í349
Berat
<25
<20
<15
<200 atau <15%
3
Nilai absolut CD4 dapat naik atau turun bergantung pada penyakit yang sedang diderita, perubahan fisiologis atau variabilitas tes. Pengukuran serial lebih informatif daripada informasi tunggal. Seperti juga status klinis, perbaikan imunologis terjadi dengan pemberian ARV. Bila mungkin ada 2 kali pengukuran di bawah ambang batas sebelum mulai pemberian ARV, terutama pada stadium klinis 1 dan 2. Hasil CD4 juga berguna untuk memantau respons terhadap terapi.
Tabel 32-5 meringkas rekomendasi kapan memulai ARV pada anak yang positif terinfeksi menurut kriteria klinis dan parameter laboratorum menurut WHO (2006).
Tabel 32-5. Rekomenda si untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak HIV positif sesuai stadium klinis dan ketersediaan pemeriksaan imun ologis Stadium klinis Ada pediatrik
tidaknya Rekomendasi terapi menurut u mur [A (II)] (II)]* *
pengukuran CD4
hitung <12 bulan
12 bulan
SGD 7
4
a
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
CD4
b
Semua diobati
Tanpa CD4
3
a
CD4
Semua diobati, bergantung nilai CD4 c
pada anak yang terinfeksi TB, LIP, Semua diobati
OHL, trombositopenia
b
c
Tanpa CD4
Semua diobati d
CD4
2
Bergantung nilai CD4
b
1
d
Tanpa CD4
Bergantung nilai limfosit total
CD4
Bergantung nilai CD4
d
b
Tanpa CD4
LI P
Jangan diobati
L- Oral hairy leukoplakia; TB ± tuberculosis ± lymphocytic interstitial pneumonia; OH
* Kekuatan rekomendasi/Tingkat kepercayaan
Catatan:
1.
Obati infeksi oportunistik sebelum mulai memberi ARV.
2.
Data awal CD4 berguna untuk memantau ARV meskipun tidak diperlukan untuk membuat keputusan memulai terapi ARV.
3.
Pada anak yang terinfeksi TB paru atau kelenjar, kelenjar, CD4 dan status klinis digunakan untuk memantau dan memulai terapi klinis sesuai panduan terapi TB
4.
Nilai CD4 dan limfosit total dilihat di tabel terpisah
Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4, pemeriksaan hitung total limfosit dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV. Kriteria total limfosit ini sebaiknya digunakan pada stadium klinis 2. Hitung total limfosit tidak dapat digunakan u ntuk memantau keberhasilan pemberian ARV
Tabel 32-6. Kriteria limfosit total Petanda
[C (II)] (II)]* *
TLC
imunologis
Rekomendasi pemberian ARV menurut umur 11 bulan
<4000 sel/mm
3
12 bulan-
36 bulan-
35 bulan
59 bulan
<3000 sel/mm
3
5 ± 8 tahun
3
<2500 sel/mm
<2000 3
sel/mm
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Pengukuran viral load (dengan load (dengan menggunakan PCR RNA) belum diperlukan menjadi standar penilaian memulai ARV. Bila mungkin dilakukan maka kriteria CDC akan lebih tepat digunakan.
Berdasarkan diagnosis klinis presumtif infeksi HIV berat. Penegakan diagnosis presumtif hanya dilakukan oleh dokter yang sudah terlatih dalam penanganan HIV.
Diagnosis presumtif infeksi HIV:
y
Pemeriksaan antibodi menunjukkan hasil positif DAN
y
Ditegakkan diagnosis penyakit klinis yang memenuhi kriteria AIDS, ATAU
y
Bayi memiliki dua gejala baik itu kandidiasis oral, pneumonia berat atau sepsis be rat.
Faktor lain yang mendukung ditegakkannya diagnosis presumtif adalah apabila terdapat kematian ibu karena HIV atau ibu menderita AIDS dengan hitung CD4 < 20%.
Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV memungkinkan seorang dokter memberi tata laksana penyakit akut secara memadai, merawat pasien yang diduga HIV, dan menjadi dasar memulai pemberian ARV. Penggunaan cara ini pada anak usia < 18 bulan harus disertai upaya menegakkan diagnosis HIV, dan dilakukan pemantauan dengan ketat. Bila terdapat bukti baru bahwa ternyata bayi atau anak ini terbukti negatif, maka ARV harus dihentikan.
PILIHAN OBAT ARV Antiretroviral untuk anak harus memenuhi syarat farmakokinetik, formulasi yang tepat untuk anak dan pembuatan dosis yang tepat menurut umur. Selain itu juga faktor yang berpengaruh dalam pemberian ARV adalah potensi obat, kompleksitas pemberian (frekuensi dosis, hubungannya dengan makanan dan minuman), dan efek samping. Terdapat 5 kelas obat ARV hingga saat ini, yaitu yang tergolong Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI), Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), Protease Inhibitor (PI), Antiintegrase, dan Fusion Entry Inhibitor. Umumnya rekomendasi pemakaian ARV untuk anak didasarkan pada studi efikasi pada orang dewasa, dan didukung oleh data penelitian keamanan dan farmakokinetik tahap I dan II.
Pemberian ARV terpilih untuk anak adalah penggunaan paling tidak 3 obat, dan minimal digunakan 2 kelas obat yang berbeda. Kombinasi ARV yang sudah dicobakan pada anak bermacam-macam, tetapi
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
untuk negara berkembang dibuat panduan yang memudahkan dokter untuk memilih ARV. Panduan yang banyak dianut adalah WHO, meskipun di dunia banyak panduan pengobatan yang dibuat oleh masingmasing tempat penelitian. Hal ini diambil karena di negara berkembang pengambilan keputusan yang didukung data laboratorium lengkap adalah langka.
Pengambil kebijakan memerlukan pertimbangan opsi pilihan di masa depan, termasuk potensi munculnya resistensi terhadap obat. Penggantian obat yang dilakukan terlalu cepat dapat membahayakan pilihan dan harus dihindari kecuali bila diperlukan. Saat ini rekomendasi CDC dan WHO lini pertama adalah menggunakan 2 kelas obat: 2 NRTI yang dikombinasikan dengan satu NNRTI atau PI.
Lebih
lengkapnya
rekomendasi ini berbunyi:
y
Anak > 3 tahun, Pilihan pertama 2 NRTI + Efavirenz Pilihan kedua 2 NRTI NRTI + Nevirapin
y
Anak < 3 tahun, 2 NRTI + Nevirapin
Pemantauan sela ma pemberian ARV Bila terapi ARV sudah dimulai maka pemantauan berkala pada kepatuhan berobat, indikator laboratorium dan kondisi klinis harus dilakukan. Pada setiap kesempatan pengasuh atau orangtua pasien perlu ditanya mengenai aktivitas pemberian obat, penerimaan obat oleh anak, hambatan dalam pemberian obat tepat waktu dan melakukan konsultasi secara rutin. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dipantau adalah terutama darah tepi, enzim transaminase hati, dan kadar CD4 yang dilakukan paling tidak 3 bulan sekali. Bila perlu ditambahkan pemeriksaan kadar RNA virus, pemeriksaan spesimen infeksi dan pemeriksaan pencitraan. Pemantauan klinis perlu dilakukan untuk mencari adakah infeksi oportunistik baru yang muncul atau kemungkinan penyakit pulih imun (immune ( immune reconstitution disease). disease). Kegagalan pemberian ARV perlu dipikirkan bila pada pemantauan didapatkan tidak ada penurunan kadar virus dalam plasma, tidak ada peningkatan jumlah dan persentase CD4, gejala klinis bertambah atau memburuk, timbul toksisitas atau intoleransi ARV, disertai masalah tidak patuh berobat.
Kegagalan supresi virus dapat bersifat komplit atau parsial. Untuk melihat apakah terapi ARV berhasil diperlukan waktu 6 bulan. Kegagalan supresi ini mungkin memiliki pola (1) jumlah virus yang tidak bisa diturunkan, atau (2) virus yang kembali bertambah banyak setelah sebelumnya berhasil ditekan ( viral rebound ) Kegagalan supresi imun adalah tidak tercapainya jumlah CD4 normal menurut umur. Kriteria kenormalan menurut umur umur ini
mutlak karena secara fisiologis parameter CD4 menurut menurut umur akan
menurun. Tetapi persentase CD4 variasinya sedikit, karena itu nilai persentasenya dipakai untuk penilaian keberhasilan terapi ARV.
Lama
penilaian keberhasilan terapi ini juga 6 bulan, dan bila terdapat hasil
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
pemeriksaan CD4 sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang paling tidak 1 minggu sesudahnya untuk konfirmasi sebelum menyimpulkan terdapat respons imun suboptimal. Kondisi klinis harus selalu dihubungkand engan respon imun dan virologik terhadap pemberian ARV. Pada pasien yang parameter imun dan virologiknya stabil, terdapatnya gejala simtomatik HIV yang baru tidak berarti ARV perlu diganti. Tetapi bila timbul pada infeksi oportunistik baru pada kasus imunosupresi berat pada awal pemberian terapi ARV, maka hal tersebut menunjukkan disfungsi imun presisten meskipun jumlah virus sudah berkurang. Kemungkinan sindrom pulih imun juga harus dipikirkan sebelum satu infeksi oportunistik baru dikategorikan sebagai kegagalan klinis. Kegagalan klinis juga harus dipikirkan bila tidak ada perbaikan perkembangan neurologik meskipun terapi adekuat sudah diberikan.
Kadang-kadang timbul ketidaksinambungan antara keberhasilan klinis dan imunologis pada kasus yang tidak memiliki efek supresi virologik yang diharapkan. Di negara maju, bila ditemukan kondisi ini maka uji resistensi terhadap golongan ARV tertentu per lu dilakukan.
Penggantian ke lini kedua Bila terdapat kondisi yang mengarah ke kegagalan terapi ARV lini pertama, maka diperlukan evaluasi ke arah kepatuhan berobat, dosis dan infeksi oportunistik yang belum berhasil diatasi. Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh dan diputuskan untuk melakukan penggantian obat, maka opsi pilihan lini kedua dipertimbangkan.
Faktor yang harus diperhatikan adalah bahwa resistensi silang dalam kelas ART yang sama terjadi pada mereka yang mengalami kegagalan terapi (berdasarkan penilaian klinis atau CD4+). Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam pengobatan ART. Jika kegagalan terapi terjadi dengan rejimen NNRTI atau 3TC (lihat pengkoean obat), hampir pasti terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Memilih meneruskan NNRTI pada kondisi ini tidak ada gunanya, tetapi meneruskan pemberian 3TC mungkin dapat menurunkan ketahanan virus HIV.AZT dan d4T hampir selalu bereaksi silang dan mempunyai pola resistensi yang sama, seh ingga tidak dianjurkan mengganti satu dengan yang l ainnya.
Prinsip pemilihan rejimen lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin. Bila kelas yang sama akan digunakan, pilih obat yang sama sekali belum dipakai sebelumnya. Tujuan pemberian rejimen lini kedua adalah untuk mencapai respons klinis dan imunologis (CD4+), tetapi responsnya tidak sebaik pada rejimen lini pertama karena sudah terjadi resistensi silang di antara obat ARV.
Sebelum pindah ke rejimen lini kedua, kepatuhan berobat harus benar-benar dinilai. Anak yang dengan rejimen lini kedua pun gagal, terapi penyelamatan yang efektif masih sulit dilakukan. Konsultasi dengan
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
panel ahli diperlukan. Untuk rejimen berbasisritonavirberbasis ritonavir-boosted PI, oosted PI, pemeriksaan lipid (trigliserida dan kolesterol, jika mungkin LDL dan HDL) dilakukan setiap 6-12 bulan.
Rekomenda si bila lini pertama adalah 2 NRTI + 1 NNRTI = 2 NRTI baru + 1 PI
2 NRTI
NR TI TI
lini pertama
NR TI TI
lini kedua
AZT atau d4T + 3TC
ddI + ABC
ABC + 3TC
ddI + AZT
*Meneruskan
penggunaan 3TC pada rejimen lini kedua dapat dipertimbangkan karena 3TC dihubungkan
dengan berkurangnya ketahanan virus HIV
1 PI
PI
terpilih
Lopinavir/ritonavirLPV/r
K euntungan euntungan
-
Efikasi sangat baik, khususnya anak yang belum -
pernah mendapat PI -
K erugian erugian
Membutuhkan
penyimpanan
dalam
lemari pendingin
Ambang terhadap resistensi tinggi karena kadar obat - Kapsul gel ukurannya besar
tinggi dengan penambahanritonavir penambahanritonavir -
Tersedia dalam bentuk sirup, pil dan tablet
- Harganya mahal
-
Dosis anak sudah tersedia
- Rasa tidak enak
-
Sirup mengandung 43% alkohol, dan
kapsul mengandung 12% alkohol
- Tidak bisa dibagi
Saquinavir/
- Dapat digunakan bersama ritonavir boosting
- Untuk anak > 25 kg dan mampu menelan menelan
Ritonavir SQV/r
- Efiaksi baik
kapsul -
Ukuran kapsul besar dan memerlukan
penyimpanan di lemari pendingin
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
- Beban pil banyak
-
Sering ditemukan efek samping saluran
cerna
PI
alternatif
K euntungan euntungan
NFV
K erugian erugian
- Data jangka panjang menunjukkan efikasi dan keamanan - Pada orang dewasa data efikasi lebih yang baik -
Sedikit
rendah dari boosted P I dan EFV sekali
menimbulkan
hiperlipidemia
dan - Beban pil banyak
lipodistrofi dibandingkan ritonavir -boosted PI PI -
Sering ditemukan efek samping saluran
cerna
Rejimen lini pertama
Rejimen lini kedua
AZT atau d4T + 3TC + ABC
ddI + EFV atau NVP + 1 PI (paling baik LPV/r atau SQV/r. Alternatif lain NFV) NFV)
PROGNOSIS
Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan terutama persentase CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum tercapainya stadium ADIS pada anak lebih cepat pada orang dewasa. Bila pada orang dewasa ada sejumlah pengidap HIV yang dapat tetap sehat dengan hitung CD4 tetap normal bertahun-tahun lamanya, maka pada anak belum didapatkan studi kohort dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan anak-anak yang hingga usia paling tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung CD4nya normal, meskipun HIV seropositif. Studi awal menunjukkan bahwa pada anak-anak yang tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih baik dan aktivitas sel
Limfosit
sitotoksik
terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-anak terinfeksi HIV yang sebelum usia 1 tahun pun sudah memerlukan terapi ARV. Dengan perkembangan riset obat ARV pada anak dan keberhasilan pencegahan transmisi dari ibu pengidap HIV ke anaknya, diharapkan angka keberhasilan hidup anak pengidap HIV lebih tinggi di masa yang akan datang.
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
a, b LAMPIRAN A. Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV
Stadium klinis 1
Asimtomatik Limfadenopati generalisata persisten Stadium klinis 2 a
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular
cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3 a
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap terapi standar Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )
a
o
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5 C intermiten atau konstan, > 1 bulan) bulan) Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan )
Oral hairy leukoplakia
a
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
3
3
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm ) atau trombositopenia (<50 000/ mm ) Stadium klinis 4
Malnutrisi,
b
wasting dan asting dan stunting stunting berat berat
a
yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standar
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia) pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun )
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru) paru )
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus) neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CM (CMV), retinitis atau infeksi CM CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea) diarea)
Isosporiasis kronik
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy Catatan:
a. Tidak dapat dijelaskan ebrarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh sebab yang lain
b. Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada kategori ini
LAMPIRAN B. Fo rmulasi dan Dosis Anti Retroviral Untuk Anak
Nama
obat
Formulasi
Data farmakokinetik Umur (berat badan), dosis dan Lain-lain frekuensi
eoside anal og og ue reverse transcriptase inhibitors ( Nucl eoside NRTI) Zidovudine
(AZT)
- Sirup: 10 mg/ml
Semua umur
- Kapsul: 100 mg, 250 mg
-
< 4 minggu: 4 mg/kg/dosis, -
2x/hari -
- Tablet: 300 mg
4
menyebabkan volume terlalu be minggu
to
2
180-240 mg/m /dosis, -
Untuk anak cukup besar pe
Dosis
13
tahun: harus disimpan dalam botol gela
2x/hari
-
Dapat diminum bersama mak
-
Dosis 600 mg/m /dosis per h
-
Kapsul dapat dibuka, tabl
maksimal:
13 tahun: 300 mg/dosis, 2x/hari
2
dengan makanan atau sedikit ruangan) ruangan)
-
Lamivudine (3TC)
- Sirup: 10 mg/ml - Tablet: 150 mg
Semua umur
-
< 30 hari: 2 mg/kg/dosis, 2x/hari -
-
30 hari atau < 60 kg: -
4 mg/kg/dosis, 2x/hari
Tidak boleh diberikan bersa
Toleransi baik Dapat diberi bersama makan
SGD 7
Nama
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
obat
Formulasi
Data farmakokinetik Umur (berat badan), dosis dan Lain-lain frekuensi
-
Dosis
maksimal: -
> 60 kg: 150 mg/dosis,
2x/hari
Sirup stabil dalam suhu r
setelah tutup dibuka
-
Dapat dibuat puyer dan cam
diminumkan
K ombinasi ombinasi
tetap AZT plus - Tidak ada bentuk sirup
3TC (Duviral)
Remaja dan dewasa
Dosis maksimal:
-
Sebaiknya tablet tidak dibela
> 13 tahun atau > 60 kg: 1 -
Tablet dapat dihaluskan sege
- Tablet: 300 mg AZT plus 150
-
mg 3TC
tablet/dosis, 2x/hari (tidak untuk -
berat badan <30 kg) kg)
Bila berat <30 kg, AZT dan
tepat dalam sediaan tablet
Stavudine (d4 T)
- Sirup: 1 mg/m (tidak ada di Semua umur
-
<
30
Indonesia) Indonesia)
mg/kg/dosis,
- Kapsul: 30 mg, 40 mg
-
kg:
2x/hari
30-60
mg/dosis,
-
kg:
tetap d4 T plus - Tidak ada sediaan sirup (tdk Remaja dan dewasa
3TC
Didanosine
Dosis
dideoxyinosine)
-
- Tablet: d4T 30 mg plus 3TC
based , 2x/hari
150 mg; d4T 40 mg plus 3TC
-
150 mg
based , 2x/hari
-
Sirup harus disimpan di kul
30 botol gelas, perlu dikocok.
-
Kapsul dapat dibuka dan dica
-
Tidak boleh dipakai bersama
maksimal: 2x/hari
Dosis maksimal:
ada di Indonesia) Indonesia)
(ddI, - Suspensi oral pediatrik: 10 Semua umur
Perlu volume yang besar
2x/hari
> 60 kg: 40 mg/dosis,
K ombinasi ombinasi
1-
Sebaiknya tablet tidak dibelah
30-60 kg: 1 tablet 30 mgd4T mgd4T -
60 kg: 1 tablet 40 mg d4T -
<
3
bulan:
50mg/m2/dosis, -
a
mg/ml (tidak ada di Indonesia) Indonesia)
2x/hari
- Tablet kunyah: 25 mg, 50 mg,
-
100 mg, 150 mg, 200 mg
mg/m /dosis,
Suspensi harus disimpan di
kocok merata
3 bulan sampai < 13 th: 90-120 2
Diminum saat perut kosong,
2x/hari atau 240 jam sesudah makan
2
mg/m /dosis, sekali sehari - E nteric nteric-coated
beadlets in
-
Dosis
maksimal: -
Jika tablet dihancurkan dala
capsules: capsules : 125 mg, 200 mg, 250
untuk buffering yang yang adeku 13 thn atau > 60 kg: 200 mg/dosis, larut untuk buffering
mg, 400 mg
2x/hari atau 400 mg, sekali sehari
-
E nteric nteric-coated
beadlets
i
ditaburkan pada makanan Abacavir (ABC)
- Sirup: 20 mg/ml
Umur > 3 bulan
-
< 16 tahun atau < 37.5 kg: 8 -
Dapat dimakan bersama mak
SGD 7
Nama
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
obat
Formulasi
Data farmakokinetik Umur (berat badan), dosis dan Lain-lain frekuensi
- Tablet: 300 mg
mg/kg/dosis, 2x/hari -
-
Dosis
Tablet dapat dihaluskan dan
maksimal: 37.5 kg: 300 -
Hati-hati dengan reaksi alerg
Dosis maksimal:
-
Sebaiknya tablet tidak dibela
-
-
Pada berat < 30 kg, AZT/
> 16 tahun atau mg/dosis, 2x/hari K ombinasi ombinasi
tetap AZT plus - Tidak ada sediaan sirup
3TC plus ABC
Remaja dan dewasa
- Tablet: AZT 300 mg plus 3TC
> 40 kg: 1 tablet/dosis, 2x/hari
150 mg plus ABC 300 mg
dengan tepat dalam sediaan table
- Tidak ada di Indonesia
-
Hati-hati dengan reaksi alerg
15-30 hari: 5 mg/kg/dosis, sekali -
Hindari penggunaan bersama
on- Nucl eoside eoside reverse transcriptase inhibitors ( N on NNRTI) Nevirapine (NVP)
- Sirup: 10 mg/ml
Semua umur
- Tablet: 200 mg
-
sehari 2 minggu, kemudian 120 2
mg/m /dosis,
2x/hari
2
minggu,
2 kemudian 200 mg/m /dosis, 2x/hari -
-
30
hari-13
tahun:
2
120-200
Dapat diberi bersama makan
120
mg/m /dosis, sekali sehari 2 minggu, kemudian
Sirup stabil dalam suhu ruan
2
mg/m /dosis,
-
Dapat dibelah, dipuyerkan,
dinaikkan) dinaikkan)
2x/hari -
Dosis
maksimal:
> 13 tahun: 200 mg/dosis, sekali sehari 2 minggu, lalu 200 mg/dosis, 2x/hari Efavirenz (EFV)
-
Sirup:
30
mg/ml
(sirup Hanya untuk anak > 3 -
Kapsul
(sirup) (sirup): -
Isi kapsul dapat dibuka d
membutuhkan dosis yang lebih tahun atau berat > 10 10-15 kg: 200 mg (270 mg = 9 ml) ml ) manis, tidak boleh diminum s tinggi dari kapsul) kapsul)
kg
sekali sehari
- Kapsul: 50 mg, 100 mg, 200
-
mg
10 ml) ml) sekali sehari
-
berlemak karena absorpsi dapat
15 ± < 20 kg: 250 mg (300 mg = -
20 ± < 25 kg: 300 mg (360 mg =
12 ml) ml) sekali sehari
-
25 ± < 33 kg: 350 mg (450 mg =
15 ml) ml) sekali sehari
-
33 ± < 40 kg: 400 mg (510 mg =
Diminum menjelang tidur, te
mengurangi efek samping susun
SGD 7
Nama
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
obat
Formulasi
Data farmakokinetik Umur (berat badan), dosis dan Lain-lain frekuensi
17 ml) ml) sekalis ehari
-
Dosis
maksimal:
40 kg: 600 mg sekali sehari K ombinasi ombinasi
tetap d4 T plus - Tidak ada sediaan sirup
3TC plus NVP
Remaja dan dewasa
Dosis maksimal:
-
Sebaiknya tablet tidak dibela
30-60 kg: 1 tablet 30 mgd4T mgd4T - -
Pada berat < 30 kg, d4T/
- Tablet: d4T 30 mg plus 3TC
-
150 mg plus NVP 200 mg ; d4T
based , 2x/hari
40 mg plus 3TC 150 mg plus
-
NVP 200 mg
based , 2x/hari
dengan tepat dalam sediaan t
60 kg: 1 tablet 40 mg d4T - inadekuat untuk anak yang lebi 2
harus 150 mg/m , 2x/hari. Do 2x/hari.
- Tidak ada di Indonesia
rotease P rotease
-
Karena mengandung NVP, p
inhibitors
Nelfinavir (NFV)
- Bubuk untuk suspensi oral Semua umur. (dicampur dengan air ): 200 mg Data
-
<
tahun:
50mg/kg/dosis, -
1 tahun ± < 13 tahun: 55-65 jangan menggunakan makanan
tahun, dosis mungkin mg/kg/ dosis, 2x/hari
solusi stabil dalam 6 jam. Kar
- Tablet: 250 mg (dapat dibagi lebih tinggi 2,
dihaluskan,
dicampur
Bubuk terasa manis, namun
farmakokinetik 3x/hari atau 75mg/kg/dosis, 2x/hari segera diaduk jika dicampur
per satu sendok teh (5ml) (50 bervariasi pada bayi < 1 mg/1.25 ml) ml)
1
ke
makanan atau dicampur air )
Lopinavir/ritonavir(LP V/r) - Sirup: 80mg/ml lopinavir plus > 6 bulan
dipilih tablet yang dihancurkan -
Dosis
maksimal: -
Dapat disimpan di suhu ruan
13 tahun: 1250 mg/dosis, 2x sehari
-
>
6
bulan
±
Minum bersama makanan
-
Interaksi obat (lebih jarang di
tahun: -
Sebaiknya disimpan di le
2
20 mg/ml ritonavir (mengandung
225
alkohol 42%) 42%)
mg/m ritonavir, 2x/hari
0
mg/m LPV/57,5 sampai 25 C maksimal 2 bulan; 2
- Kapsul: 133,3 mg lopinavir
13
-
a
atau
cepat -
Sirup rasanya pahit
plus 33,3 mg ritonavir -
7-15 kg: 12mg/kg LPV/3 mg/kg -
ritonavir/dosis,
-
2x/hari
15-40 kg: 10 mg/kg lopinavir/5
mg/kg ritonavir, 2x/hari
-
Dosis
maksimum:
> 40 kg: 400 mg LPV/100 mg
Ukuran kapsul besar, tidak
dimakan bersama makanan
SGD 7
Nama
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
obat
Formulasi
Data farmakokinetik Umur (berat badan), dosis dan Lain-lain frekuensi
ritonavir (3 kapsul atau 5 ml) ml), 2x/hari - Kapsul gel lunak : 200mg
Saquinavir/r
> 25 kg
Dosis
dewasa
yang
dianjurkan Ukuran kapsul besar, tidak b
- Kapsul gel keras: 200 mg dan
adalah:
ditelan bersama makanan
500 mg
SQV1000mg/RTV100mg, 2x/hari Tidak ada dosis untuk anak, tetapi bila > 25 kg dapat digunakan dosis dewasa,
jika
mungkin
dengan
pemantauan kadar obat
LAMPIRAN
C.
ilaksis Infeksi Oportunistik Primer dan Sekund er pada Anak Panduan Untuk Prof ilak
Profilaksis primer
Organisme
K apan apan
PCP
Anak
mulai memberi
Rejimen obat
Kotrimoksazol : suspensi (200 mg SMX SMX,, 40 mg TM TMP), tablet
terpajan H IV
Profilaksis kotrimoksazol diberikan mulai umur pediatrik (100 mg SMX SMX,, 20 mg TM T MP), tablet dewasa (400 mg 4-6
minggu
dan
dihentikan
setelah
risiko SMX, MX, 80 mg TM T MP)
transmisi HIV tidak ada dan infeksi HIV disingkirkan am semingg u ata u tiap Rekomendasi (target minimal 3 hari dal am hari ) U sia Anak
U
terinfeksi H IV
< 6 bulan : suspensi 2,5 ml atau 1 tablet pediatrik atau ¼
tablet dewasa setara dengan 100 mg SMX SMX/20 /20 mg TM TMP
sia < 1 tahun: profilaksis kotrimoksazol U sia 6 bulan-5 tahun : suspensi 5 ml atau 2 tablet pediatrik atau
diberikan tanpa melihat CD4% atau status klinis U sia
½ tablet dewasa setara dengan 200 mg SMX SMX/40 /40 mg TM TMP
1-5 tahun : stadium WHO 2-4 tanpa melihat U sia 6 -14 tahun : suspensi 10 ml atau 4 tablet pediatrik atau 1
CD4%
tablet dewasa U sia > 14 tahun : 1 tablet dewasa (atau ½ tablet
atau
dewasa forte) forte) setara dengan 400 mg SMX SMX/80 /80 mg TM TMP
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
Stadium WHO berapapun dan CD4+% < 25%
U sia
ternatif > 6 tahun : stadium WHO berapapun dan Al ternatif 3
CD4+ < 350 sel/mm
1. Dapsone 2 mg/kg, 1x/hari
atau Stadium WHO 3 atau 4 dan hitung CD4+ atau berapapun 2. Dapsone 4 mg/kg 1x/minggu
TB
Semua anak yang kontak dengan penderita TB Rekomendasi aktif, terutama yang tinggal serumah, tanpa INH (5 mg/kg) mg/kg) (max 300 mg) mg) per hari selama 6-9 bulan melihat
nilai
CD4+
(Untuk
menyingkirkan
penyakit diperlukan pemeriksaan fisis, tuberkulin dan rontgen dada) dada ) MAC
3
CD4+ <50 sel/mm pada > 6 tahun
Rekomendasi
3
1. Klaritromisin 7,5 mg/kg/dosis (max 500 mg) mg), 2x/hari
CD4+ < 75 sel/mm pada umur 2-6 tahun 3
CD4+ < 500 sel/mm pada umur 1-2 tahun atau
3
CD4+ < 750 sel/mm pada bayi < 1 tahun Hentikan bila CD4+ di atas ambang selama > 3
2. Azitromisin 20 mg/kg (max 1200 mg) mg) sekali seminggu
bulan
ternatif Al ternatif
Azitromisin 5 mg/kg (max 250 mg) mg) sekali sehari
Profilaksis sekunder
Jenis
infeksi Saat memberi pengobatan
Rejimen obat
oportunistik
PCP
Anak dengan riwayat PCP harus mendapat Sama seperti profilaksis primer profilaksis
seumur
hidup
untuk
mencegah
rekurensi. Keamanan menghentikan profilaksis sekunder pada pasien ini belum diteliti secara luas TB
Tidak direkomendasi
SGD 7
Jenis
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
infeksi Saat memberi pengobatan
Rejimen obat
oportunistik
MAC
Anak dengan riwayat MAC diseminata harus Rekomendasi mendapat
profilaksis
seumur
hidup
untuk Klaritromisin 7,5 mg/kg/dosis (max 500 mg) mg) 2x/hari
mencegah rekurensi. Keamanan menghentikan mg) per hari profilaksis sekunder pada pasien ini belumditambah etambutol 15 mg/kg/dosis (max 800 mg) diteliti secara luas
ternatif Al ternatif
Azitromisin 5 mg/kg/dosis (max 250 mg) mg)
ditambah etambutol 15 mg/kg/dosis (max 800 mg) mg) per hari
Cryptococcus
Anak dengan riwayat meningitis kripto harus Rekomendasi
neoformans
mendapat
profilaksis
seumur
hidup
untuk Flukonazol 3-6 mg/kg/sekali sehari
mencegah rekurensi. Belum ada data keamanan Coccidiodes immitis
penghentian obat secara luas ternatif Al ternatif
Itrakonazol 2-5 mg/kg sekali sehari
Histoplasma capsulatum Anak dengan riwayat histoplasmosis/peniciliosis Itrakonazol 2-5 mg/kg sekali sehari harus mendapat profilaksis seumur hidup untuk Penicillum marneffei
mencegah rekurensi. Belum ada data keamanan menghentikan obat profilaksis
Toxoplasma gondii
Anak dengan riwayat toksoplasmosis serebral Rekomendasi harus mendapat profilaksis seumur hidup untuk Sulfadiazine 85-120 mg/kg/hari dibagi 2-4x/hari mencegah rekurensi. Keamanan penghentian obat profilaksis belum diteliti secara luas.
ditambah pirimetamin 1 mg/kg (max 25 mg) mg) sekali sehari
ditambah leukovorin 5 mg setiap 3 hari
ternatif Al ternatif
Klindamisin 20-30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis per hari ditambah pirimetamin dan leukovorin seperti di atas
Provided by
SGD 7
ANNISA RAHIM_LBM 3 MODUL 7
DR children¶s ALLERGY
WIDODO
JUDARWANTO
CLINIC
JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210 PHONE : (021) 70081995 ± 5 703646 email :
[email protected]\ htpp://www.childrenallergyclinic.wordpress.com/
SpA