Presentasi Kasus
SEORANG WANITA 88 TAHUN DENGAN PENURUNAN KESADARAN EC SEPSIS BERAT, PNEUMONIA ORTOSTATIK, ULKUS DEKUBITUS, INFEKSI SALURAN KEMIH DAN MASSA MANDIBULA SINISTRA dd ABSES SUBMANDIBULA
Oleh : Khodijah Yahya G 9911112085 Pembimbing : DR. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.KFR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA 2012
STATUS PASIEN I. ANAMNESIS A.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. W
Umur
: 88 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen
Pekerjaan
: Pensiunan perawat
Alamat
: Sibela Timur , Jebres Surakarta
Status Perkawinan : Menikah Tanggal Masuk
: 30 April 2012
Tanggal Periksa
: 1 Mei 2012
No. RM
: 01125744
B.
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran C.
Riwayat Penyakit Sekarang 3 hari SMRS keluarga mengeluh pasien tidak sadar, sulit diajak
komunikasi, hanya menjawab satu sampai dua patah kata, selebihnya pasien terlihat mengantuk, pasien sulit diberi makan dan minum, pingsan (-), muntah (-), lemas (+), keringat dingin (-), batuk (-), sesak (-), demam (+), leher tampak membesar. BAK 8-9 x/hari, ¼-1/2 gelas, BAB 1x/hari, warna coklat. 1 bulan SMRS pasien terjatuh karena tersandung di lantai, pasien jadi sulit berjalan, segala aktifitas dilakukan di tempat tidur, makan dan minum disuapi dan bisa masuk, BAB dan BAK dibantu oleh keluarga. Pasien kesulitan untuk bergerak miring ke kanan dan ke kiri, patah tulang (-), nyeri seluruh tubuh (-), nafsu makan dalam batas normal, komunikasi (+), kontak bagus.
D. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Sakit Serupa
: disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat Sakit jantung
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat mondok
: (-)
Riwayat Trauma
: (+) 1 bulan SMRS
E. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat Sakit jantung
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi Riwayat merokok
: disangkal
Riwayat minum alkohol
: disangkal
Riwayat olahraga teratur
: disangkal
G. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien adalah seorang pensiunan perawat. Pasien mondok di RSUD Dr Moewardi dengan menggunakan fasilitas ASKES. II. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis 1. Keadaan Umum : Sakit berat, somnolen E2V3M4, gizi kesan kurang 2. Tanda vital
:Tensi
: 120/70
3. Kulit
Nadi
: 86 x/ menit, isi cukup, irama teratur, simetris
RR
: 22 x/menit
Suhu
: 37,5oC per aksiler
: Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-)
4. Kepala
: Mesocephal, simetris, jejas (-)
5. Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya langsung (+/+), isokor 3mm/3mm, sekret (-/-)
6. Hidung
: Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
7. Telinga
: Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
8. Mulut
: T1-T1, faring hiperemis, bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-)
9. Leher
: Kelenjar parotis membesar, JVP tidak meningkat (5+2 cmH2O), limfonodi dan kelenjar tiroid tidak membesar,deviasi trakea (-).
10.Thorax
: Retraksi (-)
11.Jantung
: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi: BJ I–II intensitas normal, regular, bising (-)
12.Pulmo
: Inspeksi : Pengembangan Dada Statis
: Kiri = kanan
Dinamis : Kiri = kanan Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri Perkusi : sonor / sonor Auskultasi: SDV (+/+), RBK (-/-), RBH(+/+), Wheezing (-/-) 13.Abdomen
: Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding
dada, venektasi (-) Palpasi : Supel, NT (-), hepar lien tidak teraba Perkusi : timpani seluruh lapang perut Auskultasi: Peristaltik (+) normal 14.Punggung
: kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok costovertebra(-), punggung tampak luka.
15. Ekstremitas : Extr.supor
Extr.supor
dextra
sinistra
-
-
Oedem Pucat Akral
Extr.infor dextra
Extr.infor sinistra
-
-
dingin 16. Range of Motion (ROM) Neck Flexi Extensi Rotasi ke kanan Rotasi ke kiri
Aktif Sde Sde Sde Sde
Extremitas Superior
Dextra Aktif Pasif sde 0-180o sde 0-30o sde 0-150o sde 0-150o sde 0-90o
Shoulder Flexi Extensi Abduksi Adduksi Internal
Elbow
Wrist
Pasif 0-70o 0-40o 0-90o 0-90o Sinistra Aktif Pasif sde 0-180o sde 0-30o sde 0-150o sde 0-150o sde 0-90o
rotasi External
sde
0-90o
sde
0-90o
rotasi Flexi Extensi
sde sde
0-135o 135-
sde sde
0-135o 135-
sde sde sde sde sde
180o 0-90o 0-90o 0-90o 0-70o 0-30o
sde sde sde sde sde
180o 0-90o 0-90o 0-50o 0-70o 0-30o
Supinasi Pronasi Flexi Extensi Ulnar
deviasi Radius
sde
0-30o
sde
0-30o
MCPII –IV
sde sde
0-90o 0-90o
sde sde
0-90o 0-90o
flexi DIP II – V
sde
0-90o
sde
0-90o
sde sde
0-100o 0-30o
sde sde
0-100o 0-30o
deviasi Finger
MCP I flexi
flexi PIP II - V flexi MCP I extensi
Trunk Flexi Extensi Rotasi Extremitas Inferior Hip
Knee
Flexi Extensi Abduksi Adduksi Flexi Extensi
Ankle Dorsoflexi Plantarflexi
ROM pasif 0-90o 0-30o 0-35o
ROM aktif Sde Sde Sde
Dextra Aktif Pasif sde 0-140o sde 0-30o sde 0-45o sde 0-45o sde 0-130o sde 130-
Sinistra Aktif Pasif sde 0-140o sde 0-30o sde 0-45o sde 0-45o sde 0-130o sde 130-
180o 0-40o 0-40o
180o 0-40o 0-40o
sde sde
sde sde
17. Manual Muscle Testing (MMT) Ekstremitas Superior Shoulder Flexor M.deltoideus
Extensor
Abduktor Adduktor
Dextra sde
Sinistra sde
antor M.biceps brachii M.deltoideus
sde sde
sde sde
antor M.teres major M.deltoideus M.biceps brachii M.latissimus
sde sde sde sde
sde sde sde sde
dorsi M.pectoralis
sde
sde
major M.latissimus
sde
sde
dorsi M.pectoralis
sde
sde
major M.teres major
sde
sde
Extensor
M.pronator teres M.biceps brachii M.brachialis M.triceps
sde sde sde sde
sde sde sde sde
Supinator Pronator Flexor
brachii M.supinator M.pronator teres M.flexor carpi
sde sde sde
sde sde sde
Extensor
radialis M.extensor
sde
sde
Abduktor
digitorum M.extensor carpi
sde
sde
Adduktor
radialis M.extensor carpi
sde
sde
Flexor
ulnaris M.flexor
sde
sde
Extensor
digitorum M.extensor
sde
sde
Dextra sde sde
Sinistra sde sde
Rotasi internal
Rotasi eksternal Elbow
Wrist
Finger
Hip
Knee
Flexor
digitorum Extremitas Inferior Flexor M.psoas major Extensor M.gluteus Abduktor
maximus M.gluteus
sde
sde
Adduktor
medius M.adductor
sde
sde
Flexor
longus Hamstring
sde
sde
Extensor
muscles M.quadriceps
sde
sde
femoris
Ankle
Flexor Extensor
M.tibialis M.soleus
sde sde
sde sde
18. Status Ambulansi: dependen B. Status Psikiatri 1. Emosi
: sulit dievaluasi
2. Afeksi
: sulit dievaluasi
3. Proses berfikir
: sulit dievaluasi
4. Kecerdasan
: sulit dievaluasi
C. Status Neurologis 1. Kesadaran
: Somnolen
2. Fungsi Luhur
: sulit dievaluasi
3. Fungsi vegetatif : infus, DC, O2 4. Fungsi sensorik : sulit dievaluasi 5. Fungsi Motorik Kekuatan
: sulit dievaluasi
Reflek fisiologis : Biceps Triceps Patella Achilles
Dextra +2 +2 +2 +2
Sinistra +2 +2 +2 +2
Tonus N N Reflek Patologis
N N Dextra
Sinistra
Hoffman-Trommer
-
-
Babinsky
-
-
Chaddock
-
-
Oppenheim
-
-
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Laboratorium HEMATOLOGI Rutin Hb Hct AE AL AT Golongan darah Kimia Klinik GDS GDP Ureum Kreatinin SGOT SGPT Bilirubin Total Bilirubin Direk Bilirubin Indirek Protein Total Albumin Globulin Asam Urat Kolesterol Total LDL Kolesterol HDL Kolesterol Trigliserida Elektrolit Natrium Kalium Klorida Kalsium ion
SEROLOGI HBsAg SEKRESI MAKROSKOPIS Warna Kejernihan KIMIA URIN
30/04
1/05
Satuan
Rujukan
11,7 36 4,95 18,3 307 O
10,9 35 4,71 15,5 276
g/dL % .106/uL .103/uL .103/uL
10,9 – 15,5 33 – 45 4,1 – 5,1 4,5 – 11,0 150 – 450
mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl u/l u/l mg/dl mg/dl mg/dl g/dl g/dl g/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl
60 – 140 70 – 110 <50 0,6 – 1,1 0 – 35 0 – 45 0,00-1,00 0,00-0,30 0,00-0,70 6,3-8,1 3,3-4,6 2,4-6,1 50-200 86-306 33-83 ≤ 160
mmol/L mmol/L mmol/L mmol/L
132– 146 3,7 – 5,4 98 – 106 1,17-1,29
142 77 36 0,8 44 38 0,86 0,45 0,41 5,8 2,8 3,0 8,5 138 84 31 81 134 3,1 99
139 3,4 1,05
Non reaktif Yellow Sl.cloudy
Non Reaktif
Berat Jenis pH Leukosit Nitrit Protein Glukosa Keton Urobilinogen Bilirubin Eritrosit MIKROSKOPIS Eritrosit Eritrosit EPITEL Epitel Squamous Epitel transisional Epitel bulat SILINDER Hyaline
1,015 7,0 500 Positif 75 Normal 5 1 1 250
mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl /ul
1,015-1,025 4,5-8,0 Negatif Negatif Negatif Normal Negatif Normal Negatif Negatif
438,5 79
/ul /LPB
0- 8,7 0-5
2-3 -
/LPB /LPB /LPB
Negatif Negatif Negatif
0
/LPK
0-3
B. Rontgen Thorax PA/lateral
/ul
Keterangan Gambar:
Cor: bentuk dan ukuran, tampak kalsifikasi aorta dengan elongasi aorta
Pulmo: tak tampak infiltrat, corak bronkovesikular normal
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Trakea tampak di tengah, sistema tulang baik
Kesan: HHD dengan aorthosklerosis
C. Elektrokardiografi Sinus takikardi , HR 108x/menit. Non progressive R wave, LAH. IV. ASSESMENT 1. Geriatri 2. Penurunan kesadaran e/c sepsis berat 3. Pneumonia ortostatik 4. Ulkus dekubitus 5. Infeksi saluran kemih 6. Massa mandibula sinistra dd abses mandibula V. MASALAH A.
Masalah medis:
1.
Geriatri
2.
Penurunan kesadaran e/c sepsis berat
3.
Pneumonia ortostatik
4.
Ulkus dekubitus
5.
Infeksi saluran kemih
6.
Massa mandibula sinistra dd abses mandibula
7.
Hiperurisemia
8.
Hiperbilirubinemia
9.
Hipoalbuminemia
10. Hipokalemia 11. Hipokalsemia
B.
Problem Rehabilitasi Medik
1.
Fisioterapi: pneumonia ortostatik, ulkus dekubitus
2.
Speech Terapi
: (-)
3.
Okupasi Terapi
: Keterbatasan melakukan kegiatan sehari-hari (Activity Daily Living)
4.
Sosiomedik
: Keterbatasan peran sosial pasien dalam keluarga dan lingkungan
5.
Ortesa-protesa
: (-)
6.
Psikologi
: beban pikiran pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit penderita
VI. PENATALAKSANAAN A. Terapi medikamentosa 1. O2: 3 Lpm 2. Inf: RL 30 tpm 3. Injeksi Ceftriaxone 2g/24 jam 4. Injeksi Metronidazole 500 g/8 jam 5. Injeksi dexamethason 1 amp/12 jam 6. Injeksi ranitidin 1 amp/12 jam 7. Injeksi sohobion 1 amp/24 jam 8. Ambroxol 3x1 tablet 9. Paracetamol 3 x 500 mg 10. Allopurinol 100 mg 0-0-0-1 11. Infus plasbumin 20% 100cc 12. Medikasi ulkus dekubitus tiap hari B. Rehabilitasi Medik 1.Fisioterapi Proper bed positioning Passive ROM exercise Positioning and turning tiap 2 jam Chest physical therapy:
Chest percussion Chest vibration Postural drainage 2.Speech Terapi
: (-)
3. Okupasi Terapi
: latihan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Sosiomedik
: menilai situasi kehidupan pasien dan mengembalikan peran sosial pasien dalam keluarga dan lingkungan
5.Ortesa-protesa
: (-)
6.Psikologi
: evaluasi status mental pasien setelah
pasien sadar dan merencanakan terapi psikologis berdasarkan hasil pemeriksaan status mental pasien tersebut, memberikan terapi suportif pada keluarga pasien VII. PLANNING Planning diagnostik
: kultur urin, kultur sputum, kultur darah
Planning terapi
: pasien mondok untuk penatalaksanaan bagian interna, neurologi, dan rehabilitasi medik
Planning monitoring : evaluasi hasil medika mentosa dan rehabilitasi medik VIII.
TUJUAN 1.
Perbaikan
keadaan
umum
sehingga
mempersingkat waktu perawatan 2.
Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat
memperburuk keadaan 3. handicap
Meminimalkan impairment, disability dan
4.
Membantu
penderita
sehingga
mampu
mandiri dalam menjalankan aktivitas sehari-hari 5.
Edukasi perihal home exercise
IX. PROGNOSIS Ad vitam
: dubia at malam
Ad sanam
: dubia at malam
Ad fungsionam : dubia at malam
Geriatri
TINJAUAN PUSTAKA Jatuh A. ALUR KETERKAITAN MASALAH Imobilisasi
Retensi Sputum + Aspirasi
Pneumonia Ortostatik
Aliran Urin terganggu
Infeksi Saluran Kemih Sepsis Penurunan Kesadaran
Kompresi Pembuluh kapiler kulit
Ulkus Dekubitus
B. GERIATRI 1. Definisi Geriatri adalah penderita yang berusia lebih dari atau sama dengan 60 tahun dengan dua atau lebih penyakit. Biasanya pada golongan ini disertai dengan pelbagai masalah psikososial. 2. Karakteristik Pasien Geriatri 1. Penurunan kapasitas fungsional yang meliputi: fisik, psikologik, sosial,ekonomi 2. Multi patologik 3. Presentasi penyakit tidak spesifik 4. Cepat memburuk bila tidak segera diobati 5. Risiko komplikasi penyakit dan terapi 6. Perlu program rehabilitasi 3. Gangguan Fungsi Pada Lanjut Usia Menjadi tua bukanlah menjadi sakit, tetapi suatu proses perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang, dimana sering dikenal dengan geriatric giant yang meliputi antara lain: 1. Immobilitas 2. Instabilitas (mudah jatuh) 3. Intelektualitas terlambat
4. Isolasi (depresi) 5. Inkontinensia 6. Impotensi 7. Imunodefisiensi 8. Mudah terjadi infeksi 9. Inpaksi (konstipasi) 10. Iatrogenesis 11. Insomnia 12. Amputasi 13. penyakit Parkinson, metabolik, osteoporosis Perubahan yang terjadi pada lansia dapat mengakibatkan ketidakstabilan sistem lokomotor atau neuromuskuler, hal ini sering kali menganggu aktivitas fungsional dalam melakukan aktivitas sehari – hari. Untuk mempertahankan sistem lokomotor ini sangat diutamakan. Penurunan fungsi yang berkaitan dengan diconditioning atau disuse mengakibatkan
flesibilitas
menurun
dan
pada
akhirnya
akan
menghambat aktivitas kehidupan sehari – hari, oleh karena perlu adanya program latihan rutin untuk menjaga system neuromuskuler tersebut.
4. Asesmen Geriatri Suatu proses pendekatan multidisiplin untuk menilai aspek medik, fungsional, psikososial dan ekonomi penderita usia lanjut dalam rangka menyusun rencana program pengobatan dan pemeliharaan kesehatan yang rasional. Pelaksanaan asesmen geriatri meliputi: Anamnesis: identitas penderita, obat, sistem ,alloanamnesis : kebiasaan, kepribadian, kesadaran, afek, sindroma geriatri; Pemeriksaan fisik: pemeriksaan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki secara sistematis, pemeriksaan tekanan darah, harus dilaksanakan dalam keadaan tidur, duduk, berdiri, masing-masing dengan selang 1-2 menit, untuk melihat
kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik; pemeriksaan penunjang: foto toraks, EKG, serum multiple analysis; pemeriksaan fungsi: aktifitas hidup sehari-hari, aktifitas hidup instrumental, kemampuan mental kognitif; asesmen lingkungan: kondisi rumah tinggal, keluarga, dan orang sekitarnya; Daftar masalah: berisi kesimpulan dari berbagai hasil asesmen yang telah dikerjakan (Darmojo dan Martono, 1999). 5. Program Rehabilitasi Medik Untuk memulai program rehabilitasi medik pada penderita lansia sebagai tenaga professional harus mengetahui kondisi lansia saat itu, baik penyakit yang menyertai maupun kemampuan fungsional yang mampu dilakukan.salah satunya di kemukakan oleh Katz, DKK yang telah
menetapkan
Fungsional
Assessment
Instrument
untuk
menggolongkan kemandirian merawat diri pada lansia dengan berbagai macam penyakit, misal fraktur collum femoris, infark cerebri, arthritis, paraplegia, keganasan, dll. adapun aktivitas yang dinilai adalah Bathing, Dressing, Toileting, Transfering, Continence dan Feeding. 1. Program Fisioterapi a. Aktivitas di tempat tidur -Positioning, alih baring latihan pasif dan aktif lingkup gerak sendi. b. Mobilisasi - Latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke kursi, berdiri, jalan - Melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, makan, berpakaian. 2. Program okupasi terapi Latihan ditujukan untuk mendukung aktifitas kehidupan seharihari, dengan memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan, atau langsung pada aktifitas yang diinginkan. Misal latihan jongkok – berdiri. 3. Program ortetik prostetik
Pada ortotis prostetis akan membuat alat penopang atau alat pengganti bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita, misal pembuatan alat diusahakan dari bahan yang ringan, model alat yang lebih sederhana sehingga mudah di pakai. 4. Program terapi bicara Program ini kadang – kadang tidak selalu di tujukan untuk latihan bicara saja, tetapi di perlukan untuk memberi latihan pada penderita dengan gangguan fungsi menelan apabila di temukan adanya kelemahan pada otot – otot sekitar tenggorok. 5. Program sosial medik Petugas sosial medik memerlukan data pribadi maupun keluarga yang tinggal bersama lansia, melihat bagaimana struktur atau kondisi di rumahnya yang berkaitan dengan aktifitas yang di butuhkan penderita, tingkat sosial ekonomi. Misal seorang lansia yang tinggal dirumahnya banyak tramp/anak tangga, bagaimana bisa di buat landai/pindah kamar yang datar dan bisa deket dengan kamar mandi. 6. Program Psikologi Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan keadaan emosionalnya yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada lansia, misal apakah seorang yang tipe agresif atau konstruktif. Untuk memberikan motivasi lansia agar lansia mau melakukan latihan, mau berkomunikasi, sosialisasi dan sebagainya. C. SEPSIS 1. Definisi Berdasarkan Bone et al , Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut: 1. Suhu > 38ْC atau < 36ْ C 2. Denyut jantung > 90 x/menit 3. Respirasi >20x/menit atau Pa CO2 < 32 mmHg 4. Hitung leukosit > 12000/mm3 atau >10% sel imatur band
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi (Guntur, 2007). Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada: 1). Asidosis laktat. 2). Oligouria. 3) Atau perubahan akut pada status mental. 2. Etiologi Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60-70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). 3. Gejala Klinis Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi demam,menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia(Guntur, 2007). 4. Diagnosis Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai dan tindak lanjut status hemodinamik 5. Komplikasi a. Sindrom distress pernapasan dewasa (ARDS/adult respiratory disease syndrome) b. Koagulasi intravascular diseminata (KID) c. Gagal ginjal akut (ARF/acute renal failure) d. Perdarahan usus
e. Gagal hati f. Disfungsi sistem saraf g. Gagal jantung h. Kematian 6. Terapi Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu: •
Stabilisasi pasien langsung
•
Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
•
Fokus infeksi awal harus diobati
D. PNEUMONIA ORTOSTATIK 1. Definisi Pneumonia adalah penyakit akut atau kronik yang ditandai dengan peradangan pada paru-paru dan disebabkan karena virus, bakteri atau mikroorganisme yang lain. Bedrest yang lama dapat menimbulkan kongesti paru-paru dan infeksi (pneumonia). Terdapat beberapa jenis pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi: pneumonia komunitas (community-acquired pneumonia, CAP), pneumonia yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired pneumonia, HAP), dan pneumonia yang didapat di ICU (ventilator-associated pneumonia, VAP) (Liza, 2008). 2. Diagnosis Infiltrat baru atau perubahan infiltrat pada foto toraks, dengan disertai sekurang-kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor berikut: Gejala Mayor: 1. batuk 2. sputum produktif 3. suhu badan > 37,8 derajat celcius Gejala Minor: 1. sesak nafas 2. nyeri dada 3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12000/ul Pneumonia pada usia lanjut sering memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam , tidak jarang pasien datang dengan gangguan kesadaran (delirium), tidak mau makan, jatuh, dan inkontinensia akut (Liza, 2008). 3. Diagnosis Banding Emboli paru, gagal jantung, dan tuberkulosis paru 4. Pemeriksaan Penunjang Darah lengkap dengan hitung jenis, ureum dan kreatinin, analisis gas darah dan saturasi oksigen, c-reactive protein, albumin, foto toraks, EKG, kultur sputum mikroorganisme dan resistensi. 5. Terapi a. Suportif Oksigen, cairan, nutrisi, mukolitik-ekspektoran, bronkodilator b. Farmakologis Antibiotika emperik segera diberikan sejak awal sesuai dengan jenis pneumonia yang terjadi (CAP, HAP, atau VAP). Pada CAP dapat diberikan antibiotika golongan b-laktam atau blaktamase
dan
sefalosporin
generasi
2
atau
3
yang
dikombinasikan dengan makrolid atau doksisiklin, atau fluorokuinolon saluran nafas (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin) sebagai obat tunggal. Pada HAP atau VAP dipilih antibiotika yang bekerja terhadap pseudomonas dan kuman nosokomial lain, seperti sefalosporin generasi III anti pseudomonas,
sefalosporin
generasi
IV
piperasiklin-
tazobactam, kuinolon anti pseudomonas (ciprofloksasin), aminoglikosida. Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan hasil biakan kuman dan uji resistensi.
Pemilihan antibiotik juga harus memperhatikan penurunan fungsi organ yang mungkin sudah terjadi pada pasien usia lanjut. c. Rehabilitasi Medik Chest Physical Theraphy 6. Komplikasi Empiema, efusi pleura, gagal nafas, sepsis sampai syok sepsis E. REHABILITASI PARU 1. Definisi Menurut Fishman (1994) Rehabilitasi paru adalah multidimensi pelayanan yang diarahkan untuk orang-orang dengan penyakit paru dan keluarga mereka, biasanya oleh tim interdisipliner spesialis, dengan tujuan mencapai dan mempertahankan tingkat maksimum individu unruk independent dan berfungsi di masyarakat (Singh and Bott, 1998). 2. Tujuan Mengurangi gejala, kecacatan, meningkatkan partisipasi dalam kegiatan fisik dan sosial, serta meningkatkan kualitas hidup untuk pasien dengan penyakit pernafasan kronis. Tujuan ini dicapai melalui pendidikan pasien dan keluarga, latihan, intervensi psikososial dan perilaku, dan penilaian hasil. Manfaat Manfaat rehabilitasi paru terutama terlihat dalam gangguan paru ireversibel, karena sebagian besar disability dan handicap bukan dari gangguan pernapasan, melainkan dari morbiditas sekunder. Program rehabilitasi paru meliputi pencegahan, pengenalan dini dan pengobatan morbiditas, rawat inap, rawat jalan, serta perpanjangan perawatan pasien dengan penyakit pernapasan kronis. Hasil pasien yang diantisipasi dari program rehabilitasi
secara
komprehensif
meliputi
peningkatan
kemandirian dan meningkatkan kualitas hidup serta waktu rawat inap lebih singkat.
4. Komponen Rehabilitasi Paru Komprehensif Program komprehensif rehabilitasi paru umumnya memiliki 4 komponen
utama,
yaitu:
a. Exercise Latihan atau exercise adalah dasar dari rehabilitasi paru. Latihan menekankan pelatihan ketahanan ditargetkan pada 60% dari beban maksimal selama sekitar 20-30 menit, diulang 2-5 kali seminggu. Secara umum, pelatihan ini ditoleransi dengan baik. Regimen latihan interval terdiri dari 2-3 menit latihan intensitas tinggi (60-80% kapasitas latihan maksimal) bergantian dengan periode yang sama. Teknik yang dipakai dalam rehabilitasi nafas (breathing exercise) yaitu : 1) Breathing Control Metode mengontrol nafas dengan menggunakan bagian bawah rongga dada. Tenaga yang dipakai sangat minimal dan melibatkan secara keseluruhan otot-otot pernafasan yaitu m. scalenus, m. intercostals, m. abdominal dan diafragma. Karena tenaga yang sangat minimal itulah dikatakan sebagai teknik untuk relaksasi. Tujuan breathing control : a)
Membentuk pola nafas normal
b)
Meminimalkan tenaga untuk bernafas
c)
Menghilangkan nafas yang pendek dan cepat
d)
Meningkatkan ventilasi Indikasi untuk semua penyakit paru yang disertai sesak dan nafas pendek serta cepat. Tidak ada kontraindikasi. Tehnik breathing control : a)
Posisi
tubuh
saat
melakukan bisa duduk, setengah duduk, berdiri, berbaring atau tidur miring. Posisi menyesuaikan dengan posisi nyaman yang dirasakan oleh penderita.
b) Seperti merasakan nafas normal. Tarik nafas perlahan, teratur dan relaks melalui hidung atau mulut, kemudian pelan dan gentle dihembuskan melalui mulut. Keuntungan tarik nafas melalui hidung adalah ada proses humidifikasi dan filtrasi udara pada saat melalui hidung. c) Ekspirasi dilakukan secara pasif dan tidak memanjang. Karena ekspirasi yang memanjang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. d) Hindari memakai otot-otot dada berlebihan, karena akan meningkatkan konsumsi oksigen. e) Bila penderita kesulitan melakukan sendiri bisa dibantu fisioterapis dengan meletakkan tangan fisioterapis di bagian bawah dada sebagai rangsangan proprioseptif dengan memberi aba-aba mengatur nafas secara gentle, pelan dan relaks. 2) Diaphragmatic Breathing Kontrol nafas dengan mengoreksi penggunaan diafragma dan relaksasi otot-otot asesori. Tujuannya meningkatkan ventilasi dan oksigenasi serta melatih dan mengontrol gerakan otot diafragma.
Tehnik pernafasan diafragma : a)
Penderita
dalam
posisi
relaks dan nyaman. Bisa dilakukan dengan berbaring, duduk, dan berdiri. b)
Evaluasi
pola
nafasnya.
Agar relaks dengan pola nafas benar, penderita diminta melakukan breathing control. c)
Letakkan
tangan
pada
bagian perut atas atau bagian costa paling bawah untuk merasakan gerakan diafragma. d)
Tarik nafas dalam dan pelan
melalui hidung atau mulut, pertahankan shoulder dan dada bagian atas relaks, abdomen terangkat keatas. e)
Keluarkan nafas pelan dan
gentle dengan pursed lip (mulut mencucu), seolah-olah udara dikeluarkan semua. 3) Thoracic Expansion Exercises Ekspansi rongga dada dengan mobilisasi sangat berperan penting dalam perbaikan fungsi bernafas untuk meningkatnya ventilasi. Ekspansi rongga dada ialah menggerakkan secara aktif semua komponen rongga dada yang berhubungan dengan proses bernafas. Mulai dari upper respiratory, otot scalenus, shoulder girdle, otot intercostal, tulang-tulang clavicula, iga, sternum, diafragma dan otot abdomen. Tehnik thoracic expansion exercise : a)
Bernafas dengan tehnik diafragmatic breathing. b)
Dapat
dilakukan
dengan
duduk atau berbaring dengan fleksi lutut. c) dengan postural drainage.
Dapat dilakukan bersamaan
d)
Bila bagian tertentu dari
paru yang ingin dilakukan ekspansi, dapat dilakukan dengan meletakkan tangan pada bagian yang diharapkan sebagai stimuli proprioseptif. Atau memakai belt untuk bagian posterior karena tidak bisa terjangkau tangan. Tehnik ini disebut dengan segmental breathing. e)
Selalu
dilakukan
pengamatan bahwa gerakan rongga dada adalah simetris.
Indikasi thoracic expansion exercises untuk semua kasus paru, dan tidak ada kontraindikasi. 4) Latihan batuk dengan Forced Expiration Technique Latihan batuk dengan forced expiration adalah tehnik untuk efisiensi pengeluarkan sekret, tanpa menyebabkan atau memicu timbulnya bronchospasme. Tehnik latihan batuk : a)
Dapat
dilakukan
dengan
posisi duduk, berbaring, tidur, berdiri bahkan saat posisi postural drainage. b)
Penderita
melakukan
inspirasi seperti deep breathing. Pada fase ekspirasi melakukan manuver, menahan 2 – 3 detik, kemudian batuk dua kali dengan hollow. Batuk yang pertama dimaksudkan untuk membawa sekret dari paru bagian tengah, sedang batuk yang kedua adalah mengeluarkan sekret. Untuk
memproduksi batuk yang efisien, tenaga yang dipakai untuk ekspirasi haruslah dapat menutup glottis dan menyebabkan peningkatan tekanan intrathorakal. Sehingga saat tekanan dari
dari alveoli dan tracheal bagian atas tinggi, glottis
segera terbuka dan dapat menyebabkan keluarnya sekret. Ekspirasi tidak dilakukan memanjang, sehingga tidak merangsang bronchospasme. Indikasi diberikan latihan batuk adalah pada penyakit paru dengan penumpukan sekret. Tidak ada kontraindikasi. 5) Postural/Bronchial drainage 6) Perkusi 7) Vibrasi 8) Terapi Inhalasi F. CHEST PHYSICAL THERAPY Mukus merupakan suatu lapisan protektif yang melapisi bagian dalam paru dan jalan napas yang menangkap debu dan kotoran yang terdapat pada udara yang kita hirup dan mencegah iritasi pada paru. Ketika terdapat infeksi dan iritasi, maka tubuh akan memproduksi mukus yang kental untuk membantu paru-paru melepaskan diri dari infeksi. Bila mukus yang kental ini menyumbat jalan napas, maka akan terjadi kesulitan bernapas. Sehingga untuk membantu membuang ekstra mukus ini dilakukanlah
Chest
Physical
Therapy.
Chest Physical Therapy terdiri dari Postural Drainage, perkusi dada, dan vibrasi dada. Biasanya ketiga metode ini digunakan pada posisi drainase paru yang berbeda diikuti dengan latihan napas dalam dan batuk. 1)
Postural/Bronchial drainage
Memposisikan/ meletakkan penderita pada posisi gravitasi untuk memudahkan pengeluaran sekret/ mengalirkan sekret dari daerah
khusus di paru-paru. Karena itu penting saat melakukan postural drainage adalah pengetahuan anatomi dari bronchial tree (Watchie, 2010). Penting sebelum postural drainage dipastikan dengan auskultasi lobus paru mana yang banyak sekretnya. Bersamaan dengan postural drainage dapat diberikan breathing exercise yang lain. Breathing control diberikan dengan tujuan untuk
mencegah
hiperventilasi
dan
kelelahan.
Thoracic
expansion exercises, latihan batuk, perkusi, dan vibrasi diberikan untuk membantu lepasnya sekret, sehingga mudah dialirkan. Kontra Indikasi postural drainage: a) Hemoptysis b) Dispnea c) Severe hypertension d) Edema cerebri e) Aneurysma aorta f) Aneurysma cerebral g) Aritmia h) Edema Pulmonum i) Hiatus hernia j) Gagal jantung k) Trauma kepala atau leher (Harden et. al) Prosedur postural drainage : a)
Jangan diberikan setelah makan. b)
Waktu yang tepat dilakukan
adalah pagi hari, karena saat tidur terjadi penimbunan sekret. c)
Dapat dilakukan menjelang
tidur (sore hari) agar saluran nafas bersih, sehingga penderita bisa tidur nyaman. d)
Untuk terapi dilakukan 2 –
4 kali sehari, sedang untuk mencegah penimbunan sekret dilakukan 1 – 2 kali.
Lobus atas kiri segmen apikal
Lobus atas segmen anterior
Lobus tengah kanan
Lobus bawah segmen apical
Lobus atas kiri segmen posterior
Lingula
Lobus bawah segmen basal anterior
Lobus bawah kanan segmen basal lateral
Lobus bawah kiri segmen lateral basal Lobus bawah segmen posterior basal dan medial basal kanan
2) Perkusi
Melakukan gerakan memukul/ mengetuk pada dinding dada dengan
tujuan
mentransmisikan
energi
mekanik
untuk
melepaskan sekret yang melekat sehingga mudah dialirkan (Watchie, 2010). Teknik manual dapat dilakukan dengan clapping dan tapping. Clapping adalah gerakan tangan membentuk cupped dan secara ritmis, cepat, relaks, digerakkan fleksi-ekstensi pada dinding dada. Teknik ini lebih efektif daripada tapping. Karena energi yang ditransmisikan lebih besar. Saat dilakukan, terdengar suara hollow yang tumpul dan tidak menimbulkan rasa nyeri pada penderita. Teknik tapping, tangan mengetuk dalam posisi datar pada dinding rongga dada. Selain cara manual perkusi dapat dilakukan dengan alat mekanik yang disebut mekanikal prekusor. Indikasi diberikan teknik perkusi ialah produksi sekret yang banyak dan lengket. Kontraindikasi perkusi: a)
Hemoptysis
b)
Acute pleuritic pain
c)
TBC aktif
d)
Metastase
e)
Severe osteoporosis
f)
Flail Chest
g)
Abses paru
h)
Acute severe asthma 3) Vibrasi Tujuan vibrasi sama dengan perkusi yaitu menstransmisikan energi mekanik pada dinding dada untuk melepaskan sekret, sehingga mudah dialirkan. Teknik manual yang dilakukan ialah meletakkan tangan dengan relaks di dinding dada, bisa dengan satu tangan atau dua tangan. Kemudian dengan gentle fisioterapis melakukan vibrasi shaking selama fase expiratory. Vibrasi bisa dilakukan bersamaan dengan breathing exercise
yang lain. Selain secara manual vibrasi dapat juga diberikan dengan alat mesin yang disebut vibrator. Indikasi dan kontraindikasi sama dengan tindakan perkusi. G. ULKUS DIABETIKUS 1. Definisi Ulkus dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dari bawah kulit bahkan menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus – menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah. Luka dekubitus adalah nekrosis pada jaringan lunak antara tonjolan tulang dan permukaan padat, paling umum akibat imobilisasi. 2. Etiologi dan Patogenesis 1.
Faktor primer :
a.
Tekanan dari luar yang menimbulkan iskemi setempat.
Dalam keadaan normal, tekanan intrakapilar arterial adalah ± 32 mm Hg dan tekanan ini dapat meningkat mencapai maksimal 60 mm Hg yaitu pada keadaan hiperemia. b.
Tekanan midkapilar adalah ± 20 mm Hg, Sedangkan
tekanan pada daerah vena adalah 13 - 15 mm Hg. c.
Efek destruksi jaringan yang berkaitan dengan keadaan
iskemia dapat terjadi dengan tekanan kapilar antara 32 - 60 mm Hg yang disebut sebagai tekanan supra kapilar. Bila keadaan suprakapilar ini tercapai, akan terjadi penurunan aliran darah kapilar yang disusul dengan keadaan iskemia setempat. d.
Substansia H yang mirip dengan histamin dilepaskan
oleh sel-sel yang iskemik dan akumulasi metabolit seperti kalium, adenosin difosfat (ADP), hidrogen dan asam laktat, diduga sebagai faktor yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
e.
Reaksi kompensasi sirkulasi akan tampak sebagai
hiperemia dan reaksi tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum periode kritis terjadi yaitu 1 - 2 jam. f.
Kosiak (1959) membuktikan pada anjing bahwa tekanan
dari luar sebesar 60 mm Hg selama 1 jam akan menimbulkan perubahan degeneratif secara mikroskopik pada semua lapisan jaringan mulai dari kulit sampai tulang, sedangkan dengan tekanan 35 mm Hg selama 4 jam perubahan degeneratif tersebut tidak terlihat. Daniel dkk (1981) menyatakan bahwa iskemia primer terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi kemudian sesuai dengan kenaikan besar dan lamanya tekanan. g.
Dulu faktor neurotropik disebutkan sebagai faktor
penyebab utama ulkus dekubitus, tetapi temyata hal tersebut tidak terbukti. 2.
Faktor sekunder Faktor-faktor yang menunjang terjadinya ulkus dekubitus
antara lain: gangguan saraf vasomotorik, sensorik, motorik, kontraktur sendi dan spastisitas, gangguan sirkulasi perifer, malnutrisi dan hipoproteinemia, anemia, keadaan patologis kulit pada gangguan hormonal, edema, maserasi, infeksi, higiene kulit yang buruk, inkontinensia alvi dan urin, kemunduran mental dan penurunan kesadaran. 3. Patofisiologi Ulkus dekubitus dapat terbentuk karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Allman (1989), Anthony (1992) dan Brand (1976) membagi mekanisme terbentuknya ulkus dekubitus tergantung beberapa faktor 1.
Tekanan yang Lama
Faktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus dekubitus adalah
tekanan
yang
tidak
terasa
nyeri.
Kosiak
(1991)
mengemukakan bahwa tekanan yang lama yang melampaui tekanan
kapiler jaringan pada jaringan yang iskemik akan mengakibatkan terbentuknya ulkus dekubitus. Hal ini karena tekanan yang lama akan mengurangi asupan oksigen dan nutrisi pada jaringan tersebut sehingga akan menyebabkan iskemik dan hipoksia kemudian menjadi nekrosis dan ulserasi. Pada keadaan iskemik, sel-sel akan melepaskan substansia H yang mirip dengan histamine. Adanya substansi H dan akumulasi metabolit seperti kalium, adenosine diphosphat (ADP), hidrogen dan asam laktat akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Reaksi kompensasi sirkulasi akan tampak sebagai hiperemia dan reaksi tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum periode kritis terjadi yaitu 1-2 jam. Suatu penelitian histologis memperlihatkan bahwa tanda-tanda kerusakan awal terjadi di dermis antara lain berupa dilatasi kapiler dan vena serta edema dan kerusakan sel-sel endotel. Selanjutnya akan terbentuk perivaskuler infiltrat, agregat platelet yang kemudian berkembang menjadi hemoragik perivaskuler. Hal yang menarik, pada tahap awal ini, di epidermis tidak didapatkan tanda-tanda nekrosis oleh karena sel-sel epidermis memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada keadaan tanpa oksigen dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, perubahan patologis oleh karena tekanan eksternal tersebut terjadi lebih berat pada lapisan otot daripada pada lapisan kulit dan subkutaneus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Daniel dkk (1981) yang mengemukakan bahwa iskemia primer terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi kemudian sesuai dengan kenaikan besar dan lamanya tekanan.Pada tahun 1930, Land melakukan mikroinjeksi pada cabang arteriol dari kapiler pada jari manusia untuk mempelajari tekanan darah kapiler. Dia melaporkan bahwa tekanan darah arteriol sekitar 32 mmHg, tekanan darah pada midkapiler sebesar 22 mmHg dan tekanan darah pada venoul sebesar
12 mmHg. Tekanan pada arteriol dapat meningkat menjadi 60 mmHg pada keadaan hiperemia. Kosiak (1959) membuktikan pada anjing, bahwa tekanan eksternal sebesar 60 mmHg selama 1 jam akan menimbulkan perubahan degeneratif secara mikroskopis pada semua lapisan jaringan mulai dari kulit sampai tulang, sedangkan dengan tekanan 35 mmHg selama 4 jam, perubahan degeneratif tersebut tidak terlihat. Sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami ulkus dekubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya. 2.
Tekanan antar Permukaan
Menurut NPUAP tekanan antar permukaan adalah tekanan tegak lurus setiap unit daerah antara tubuh dan permukaan sandaran. Tekanan antar permukaan dipengaruhi oleh kekakuan dan komposisi jaringan tubuh, bentuk geometrik tubuh yang bersandar dan karakteristik pasien. Russ (1991) menyatakan bahwa tekanan antar permukaan yang melebihi 32 mmHg akan menyebabkan mudahnya penutupan kapiler dan iskemik. Faktor yang juga berpengaruh terhadap tekanan antar permukaan adalah kolagen. Pada penderita sklerosis amiotropik lateral risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus berkurang karena adanya penebalan kulit dan peningkatan kolagen dan densitasnya (Seiitsu, 1988; Watanebe, 1987). 3.
Luncuran
Luncuran adalah tekanan mekanik yang langsung paralel terhadap permukaan bidang. Luncuran mempunyai pengaruh terhadap terbentuknya ulkus dekubitus terutama pada daerah sakrum. Brand (1976) dan Reichel (1958) menjelaskan bahwa gerakan anguler dan vertikal atau posisi setengah berbaring akan mempengaruhi jaringan dan pembuluh darah daerah sacrum sehingga berisiko untuk mengalami kerusakan. Penggunaan tempat tidur yang miring seperti
pada bedah kepala dan leher akan meningkatkan tekanan luncuran sehingga memudahkan terjadinya ulkus dekubitus (Defloor, 2000). 4.
Gesekan
Menurut Makebulst (1983), gesekan adalah gaya antar dua permukaan yang saling berlawanan. Gesekan dapat menjadi faktor untuk terjadinya ulkus dekubitus karena gesekan antar penderita dengan sandarannya akan menyebabkan trauma makroskopis dan mikroskopis. Kelembaban, maserasi dan kerusakan jaringan akan meningkatkan tekanan pada kulit. Kelembaban yang terjadi akibat kehilangan cairan dan inkontinensia alvi dan urin akan menyebabkan terjadinya maserasi jaringan sehingga kulit cenderung lebih mudah menjadi rusak. 5.
Immobilitas
Seorang penderita immobil pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg. Lindan dkk menyebutkan bahwa pada pasien posisi telentang, tekanan eksternal 40-60 mmHg merupakan tekanan yang paling berpotensi untuk terbentuk ulkus pada daerah sacrum, maleolus lateralis dan oksiput. Sedangkan pada pasien posisi telungkup, thoraks dan genu mudah terjadi ulkus pada tekanan 50 mmHg. Pada pasien posisi duduk, mudah terjadi ulkus bila tekanan berkisar 100 mmHg terutama pada tuberositas ischii. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit. Pada penderita dengan paralisis, kelaian neurologi, atau dalam anestesi yang lama, syaraf aferen tidak mampu untuk memberikan sistem
balik
sensoromotor.
Akibatnya,
tanda-tanda
tidak
menyenangkan dari daerah yang tertekan tidak diterima, sehingga tidak melakukan perubahan posisi.Berbeda dengan orang tidur, untuk mengatasi tekanan yang lama pada daerah tertentu secara otomatis akan terjadi perubahan posisi tubuh setiap 15 menit. Gerakan
perubahan posisi pada orang tidur biasanya lebih dari 20 kali setiap malam. Bila kurang dari 20 kali, maka akan berisiko untuk terjadinya ulkus dekubitus. 4. Lokasi Ulkus Dekubitus Setiap bagian tubuh dapat terkena, tetapi umumnya terjadi pada daerah tekanan dan penonjolan tulang. a.
Tuberositas ischii
b.
Trochanter mayor
c.
Sacrum
d.
Tumit
e.
Lutut
f.
Maleolus
g.
Siku
h.
Jari kaki
i.
Scapulae dan Processus spinosus vertebrae
Gambar 1. Daerah-daerah Lokasi Ulkus Dekubitus 5. Manifestasi Klinis Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit yang kemerahan sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi dapat meliputi dermis, epidermis, jaringan otot sampai tulang. Tanda cidera awal adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan ibu jari, pada cidera yang lebih berat dijumpai ulkus dikulit, dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih, dapat terjadi infeksi
sebagai akibat dari kelemahan dan perawatan di Rumah Sakit yang berkepanjangan bahkan pada ulkus kecil. Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis yang penting berkenaan dengan penatalaksanaannya Stadium 1 : Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium ini umumnya reversibel dan dapat sembuh dalam 5 - 10 hari. H.
Gambar 2. Stadium 1 Ulkus Dekubitus Stadium 2 : Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke jaringanadiposa.Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh dalam 10 - 15 hari.
Gambar 3. Stadium 2 Ulkus Dekubitus Stadium 3 : Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya
struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiper atau hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3 - 8 minggu.
Gambar 4. Stadium 3 Ulkus Dekubitus Stadium 4 : Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering diserti anemia. Dapat sembuh dalam 3 - 6 bulan
Gambar 5. Stadium 4 Ulkus Dekubitus
6. Diagnostik Pemeriksaan Diagnosis ulkus dekubitus biasanya tidak sulit. Diagnosisnya dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Tetapi
untuk menegakkan diagnosis ulkus dekubitus diperlukan beberapa pemeriksaan laboratorium dan penujang lainnya. Beberapa
pemeriksaan
yang
penting
untuk
membantu
menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah, 1. Kultur dan analisis urin Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada trauma medula spinalis. 2. Kultur Tinja Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat leukosit
dan
toksin
Clostridium
difficile
ketika
terjadi
pseudomembranous colitis. 3. Biopsi Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis. 4. Pemeriksaan Darah Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan sepsis. 5. Keadaan Nutrisi Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level, 6. Radiologis
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, scan tulang atau MRI. 7. Komplikasi Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4 walaupun dapat juga pada ulkus yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: •
Infeksi, sering brsifat multibakterial, baik yang aerobik ataupun
anerobik. •
Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis,
osteomielitis, artritis septik. •
Septikemia.
•
Anemia.
•
Hipoalbuminemia.
•
Kematian
8. Penatalaksanaan a. Pencegahan Pencegahan ulkus dekubitus adalah hal yang utama karena pengobatan ulkus dekubitus membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Tindakan pencegahan dapat dibagi atas a) Umum : •
Pendidikan kesehatan tentang ulkus dekubitus bagi staf
medis, penderita dan keluarganya. •
Pemeliharaan keadaan umum dan higiene penderita.
b) Khusus : •
Mengurangi/menghindari tekanan luar yang berlebihan
pada daerah tubuh tertentu dengan cara : perubahan posisi tiap 2 jam di tempat tidur sepanjang 24 jam. melakukan push up secara teratur pada waktu duduk di kursi roda. pemakaian berbagai jenis tempat tidur, matras, bantal anti dekubitus seperti circolectric
bed, tilt bed, air-matras; gel flotation pads, sheepskin dan lainlain. •
Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali
sehari (pagi dan sore), tetapi dapat lebih sering pada daerah yang potensial terjadi ulkus dekubitus. Pemeriksaan kulit dapat dilakukan sendiri, dengan bantuan penderita lain ataupun keluarganya. Perawatan kulit termasuk pembersihan dengan sabun lunak dan menjaga kulit tetap bersih dari keringat, urin dan feces. Bila perlu dapat diberikan bedak, losio yang mengandung alkohol dan emolien. b. Pengobatan Pengobatan ulkus dekubitus dengan pemberian bahan topikal, sistemik ataupun dengan tindakan bedah dilakukan sedini mungkin agar reaksi penyembuhan terjadi lebih cepat. Pada pengobatan ulkus dekubitus ada beberapa hal yang perlu diperhatkan antara lain: a) Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus. Secara umum sama dengan tindakan pencegahan yang sudah dibicarakan di tas. Pengurangan tekanan sangat penting karena ulkus tidak akan sembuh selama masih ada tekanan yang berlebihan dan terus menerus. b) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya. Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal
seperti
larutan
NaC10,9%,larutan
H202
3%
dan
NaC10,9%,larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik lainnya. c) Mengangkat jaringan nekrotik. Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu
pengangkatan
jaringan
nekrotik
akan
mempercepat
proses
penyembuhan ulkus. Terdapat 3 metode yang dapat dilakukan antara lain : •
Sharp debridement (dengan pisau, gunting dan lain-lain).
•
Enzymatic debridement (dengan enzim proteolitik,
kolagenolitik, dan fibrinolitik). •
Mechanical debridement (dengan tehnik pencucian,
pembilas-an, kompres dan hidroterapi) d) Menurunkan dan mengatasi infeksi. Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat diberikan bila penderita mengalami sepsis, selulitis. Ulkus yang terinfeksi harus dibersihkan beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti larutan H202 3%, povidon iodin 1%, seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek bakterisidal. e) Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian antara lain : •
Bahan-bahan topikal misalnya : salep asam salisilat 2%,
preparat seng (Zn 0, Zn SO4). •
Oksigen
hiperbarik;
selain
mempunyai
efek
bakteriostatik terhadap sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif
epitel,
menambah
jaringan
granulasi
dan
wave
diathermy,
dan
memperbaiki keadaan vaskular. •
Radiasi
infra
merah,short
pengurutan dapat membantu penyembuhan ulkus karena adanya efek peningkatan vaskularisasi. •
Terapi ultrasonik; sampai saat ini masih terus diselidiki
manfaatnya terhadap terapi ulkus dekubitus. f) Tindakan bedah
tindakan ini selain untuk pembersihan ulkus juga diperlukan untuk mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus dekubitus stadium III & IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit ataupun myocutaneous flap c. Manajemen -
Disesuaikan dengan stadiumnya
-
Managemen komprehensif untuk meminimalkan ketidakmampuan dan meningkatkan kualitas hidup pasien Fisioterapi Tujuan: 1. Mengurangi Spasme otot 2. Pencegahan kontraktur Cara : Positioning and Turning Exercise Pasif dan Aktif Psikologi Tujuan: Memelihara status mental pasien dan keluarga, berupa emosi, fungsi intelektual, dan fungsi persepsi Okupasi Terapi Tujuan: Melatih keterampilan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari Orthetik Prostetik Tujuan: Memfasilitasi ambulasi dengan pembuatan crutch Pekerja Sosial Medik Tujuan: 1. Menilai situasi kehidupan pasien Perantara dalam hubungan pasien/keluarga dan tim dokter
d. Pencegahan •
Monitoring resiko ulkus dekubitus
•
Monitoring keadaan kulit secara teratur
•
Monitoring status mobilitas
•
Minimalkan terjadinya tekanan (Friction, Shear)
•
Monitoring inkontinensia
I. INFEKSI SALURAN KEMIH 1. Definisi Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang melibatkan struktur saluran kemih, yaitu dari epitel glomerulus tempat mulai dibentuk urin sampai dengan muara urin di meatus urethrae externa. Secara mikrobiologi definisi infeksi saluran kemih (ISK) adalah terdapatnya mikroorganisme pada struktur saluran kemih dan baru dapat dipastikan setelah didapatkan bukti adanya koloni mikroorganisme dalam pemeriksaan kultur urin. ISK pada usia lanjut dapat timbul sebagai akibat dari kondisi-kondisi yang sering menyertai orang usia lanjut, seperti inkontinensia urin dan menurunnya fungsi imunitas baik nonspesifik maupun spesifik. 2. Diagnosis Kriteria diagnosis bakteriuria berdasarkan gambaran klinis dan cara pengambilan sampel urin: a. ≥ 102 colony forming unit (CFU) coloform/ml urin atau >105 CFU non-coloform/ml urin, pada wanita dengan gejala ISK b. ≥ 103 CFU bakteri/ml urin, pada pria dengan gejala ISK c. ≥ 105 CFU bakteri/ml urin (2 kali pemeriksaan dengan jarak 1 minggu ), pada wanita dan pria tanpa gejala ISK d. ≥ 102 CFU bakteri/ml urin, pada pasien kateter e. Beberapa jumlah CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan gejala ISK dengan pengambilan sampel urin dari kateterisasi suprapubik 3. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium •
Darah tepi lengkap
•
Urin Lengkap
•
Biakan urin dengan tes resistensi kuman
•
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin, bersih kreatinin)
•
Gula darah
b. Non Laboratorium •
BNO/IVP
•
USG ginjal
4. Terapi Non Farmakologi •
Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
•
Menjaga kebersihan daerah genitalia bagian luar
Farmakologi •
Antibiotika sangat dianjurkan dan perlu segera diberikan pada ISK simtomatik, sesuai dengan tes resistensi kuman atau populasi kuman yang ada atau secara empiris yang dapat mencakup Escherichia coli dan gram negatif lainnya.
•
Pada ISK asimtomatik antibiotika hanya diberikan pada pasien dengan risiko tinggi untuk terjadi komplikasi yang serius (seperti transplantasi ginjal atau pasien dengan granulositopenia) dan pasien yang akan menjalani pembedahan
•
Antibiotika oral direkomendasikan untuk ISK tak berkomplikasi dengan lama pemberian 7-10 hari pada perempuan dan 10-14 hari
pada
laki-laki.
Antibiotika
parental
untuk
ISK
berkomplikasi dengan lama pemberian tidak kurang dari 14 hari. •
Antibiotika golongan fluorokuinolon masih digunakan sebagai pengobatan pilihan pertama. Kadang pengobatan kombinasi masih digunakan pada infeksi yang sulit dikendalikan, terutama infeksi karena enterococcus dan pseudomonas. Golongan lain yang biasa digunakan adalah aminoglikosida, sefalosporin generasi ke-3 dan ampisilin.
•
Keberhasilan pengobatan pada ISK simtomatik ditentukan oleh hilangnya gejala dan bukan hilangnya bakteri.
•
Evaluasi ulang dengan kecurigaan adanya kelainan anatomi dan structural dapat mulai dipertimbangkan bila terjadi ISK berulang >2 kali dalam waktu 6 bulan.
5. Komplikasi Sepsis, gagal ginjal, pielonefritis akut, inkontinensia urin, ISK berulang. J. ABSES SUBMANDIBULA 1. Definisi Abses merupakan suatu penyakit infeksi yang ditandai oleh adanya lubang yang berisi nanah (pus) dalam jaringan yang sakit. Abses submandibula adalah abses yang terjadi di ruang submandibula atau di salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher 2. Etiologi Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan aerob. Abses submandibula merupakan salah satu bagian dari abses leher dalam. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium 3. Patofisiologi Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid. Infeksi dari gigi dapat menyebar ke ruang
submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor. 4. Gejala dan Tanda Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.
5. Pemeriksaan 1. Laboratorium Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis.
Aspirasi
material
yang
bernanah
(purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik 2. Radiologis a. Rontgen jaringan lunak kepala AP b. Rontgen panoramik.
Dilakukan
apabila
penyebab
abses
submandibuka berasal dari gigi. c. Rontgen thoraks . Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses. d. Tomografi komputer (CT-scan) CT-scan
dengan
kontras
merupakan
pemeriksaan baku emas pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo bahwa hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CTscan
mengakibatkan
estimasi
terhadap
luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien (dikutip dari Pulungan). Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level . 6. Komplikasi Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum
menyebabkan mediastinitis. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.
7. Terapi Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan aerob harus diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan. Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas
tinggi
terhadap
terhadap
ceforazone
sulbactam,
moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda
K. IMOBILISASI Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kogmitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit (Setiati dan Roosheroe, 2007). Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari–hari sendiri, semampu pasien. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi. Temu kenali
dan berikan terapi bila terjadi infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyetara lainnya. Evalusi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral. Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas ditempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot – otot (isotonik, isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi terbatas. Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi. Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten. Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang menglami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang menglami disabilitas permanen (Liza, 2008). Komplikasi pada pasien imobilisasi antara lain (Setiati dan Roosheroe, 2007) : 1. Trombosis Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risiko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala
trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai. 2. Emboli Paru Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu reflex tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh lepasnya trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia. 3. Kelemahan Otot Imobilisasi
akan
menyebabkan
atrofi
otot
dengan
penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. 4. Kontraktur otot dan sendi Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut. 5. Osteoporosis Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan masa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. 6. Ulkus dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan
iskemia
kulit.
Relief
bekas
tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan. 7. Hipotensi postural Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah iskemia serebral, khusunya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume sekuncup 35% dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia. 8. Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK) Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum
sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih. 9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia) Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia. 10. Konstipasi dan skibala Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obatobatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi. Prognosis pada pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan kematian (Liza, 2008).
DAFTAR PUSTAKA Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 2 Penerbit Jakarta: EGC. Darmojo R.B. dan Martono H.H. 1999. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Doengoes Marlyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta :EGC Guntur. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI, p: 1840. Harden B., Cross J., Broad M.A.,et. al.Respiratory Physiotherapy : An OnCall Survival Guide, Second Edition. Elsevier. Liza.
2008.
Pneumonia
Pada
Geriatri.
http://www.
Scribd.com/doc/6240476/Pneumonia-Pada-Geriatri-infeksi-SaluranKemih. (4 april 2012) Watchie J. 2010. Cardivascular and Pulmonary Physical Therapy : a clinical manual, Second Edition. United States of America : Saunders Elsevier.