Nama
: Mayrisna Sari
KOTA HIJAU SOLUSI KOTA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
Pemanasan bumi merupakan akibat dari rangkaian fenomena yang saling terkait, antara lain, pertambahan penduduk, peningkatan pemakaian sumber daya alam, industrialisasi, konsumsi BBM, emisi, amplitude suhu yang semakin besar, penc pencai aira ran n es, es, uap uap air air yang yang sema semaki kin n ting tinggi gi,, dan dan peru peruba baha han n angi angin n muso muson. n. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan suhu bumi naik 0,13-0,150C (1990-2005) dan diperkirakan naik sebanyak 4,2 0C (2050-2070). Perubahan Perubahan iklim iklim merupakan merupakan menjadi menjadi topik hangat yang ramai dibicara dibicarakan kan oleh khalayak ramai. Terlebih lagi tidak ada satupun negara di dunia yang kebal dari akibat pemanasan pemanasan bumi, dalam konteks konteks perubahan perubahan iklim keberadaaan keberadaaan RTH sangat sangat releva relevan n kar karena ena sifata sifatanya nya yang yang multif multifungs ungsi. i. Apabil Apabila a pada pada era terdah terdahulu ulu,, perencanaa perencanaan n menitikber menitikberatkan atkan pada pertumbuhan pertumbuhan dan kemajuan kemajuan ekonomi ekonomi semata, semata, namun namun aspek aspek lingku lingkunga ngan n dan sosial sosial belum belum banya banyak k menjad menjadii perhat perhatian ian.. Proses Proses perenc perencana anaan an tata tata ruang ruang membe memberika rikan n perhat perhatian ian yang yang lebih lebih besar besar pada pada aspek aspek lingku lingkunga ngan n dan sosial sosial,, kar karena ena daya daya dukung dukung lingku lingkunga ngan n yang yang semaki semakin n menurun menurun yang mempengaruhi kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Aspek sosial dan lingkungan lingkungan tidak harus dipertentangkan dipertentangkan dengan aspek ekonomi, sebaliknya sebaliknya harus diintegrasikan. Ketiga elemen yang saling terkait tersebut tidak terlepas dari isu keberl keberlanj anjuta utan n pemban pembangun gunan an yang yang telah telah menjad menjadii arus arus utama utama (mains (mainstre tream) am) dalam pengembangan wilayah dan kota di dunia. I. ISI ISI BUKU
BAB I. MENGAPA PERLU RTH?
Adapun dampak dari pemanasan bumi antara lain : Jika suhu bumi naik 1,50C, sekitar 20-30% species tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat punah, dan jika kenaikan
temparatur
mencapai
30C,
40-70%
spesies
mungkin
musnah,
menghangatnya suhu air laut yang merusak terumbu karang dan habitat berbagai ikan dan plankton (berperan sebagai penyerap gas karbon dioksida). Melelehnya gletser dan mecairnya daratan es yang menyebabkan naiknya muka air laut hingga 2,2 cm/ dasawarsa. Setiap kenaikan 10 cm air laut akan menggenangi 10 m2 wilayah pesisir. Kota-kota pesisir seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Manado, dll jelas terancam raib. Gambaran Jakarta menghadapi pemanasan global: 1.
Perubahan garis pantai:
-
Tahun 2010 permukaan air laut merambah daratan pesisir pantai utara
Jakarta -
Tahun 2020 sebagian kawasan bandara Soekarno-Hatta tergenang air laut
-
Tahun 2050 kawasan Istana Negara dan Taman Silang Monas tetrendam air laut, dan tepi pantai Kota Jakarta bergeser ke Dukuh Atas.
2.
Dengan kenaikan permukaan air laut 0,57 cm /tahun dan amblesan tanah 0,8 cm/tahun, 24% wilayah Jakarta akan tergenang permanen
3.
Perubahan karekter air tanah:
-
Intrusi air laut menyebabkan air menjadi payau (tidak layak dikonsumsi) hingga mendekati kawasan Senayan (lebih dari 1/3 wilayah Jakarta)
-
Air tanah yang payau menyebabkan pondasi bangunan mengalami korosi
-
80% air tanah tercemar bakteri E.coli, unsure logam besi, dan mangan
4.
Suhu udara meningkat 1,460C hanya dalam 2 (dua) tahun, jauh diatas kenaikan suhu rata-rata Bumi 0,80C (1980-2005) terutama di kawasan perniagaan.
BAB II. MENELUSURI JEJAK HIJAU
Proporsi ruang DKI Jakarta saat ini 42.941,38 Ha (66,62%) merupakan lahan terbangun dan 21.515,81 Ha (33,38%) merupakan ruang terbuka dengan rincian RTH publik (9,79%) dan ruang terbuka lainnya berupa berbagai unsur dan struktur alami yang berpotensi sebagai RTH (23,59%). RTH privat yang dimiliki masyarakat dan swasta seluas 23,59% merupakan potensi RTH kota yang cenderung akan
berubah fungsi karena sebagian dimiki swasta/pengembang. RTH inilah yang seharusnya
dikendalikan
pembangunan
pemerintah
daerah
dengan
berbagai
peraturan
maupun kesadaran masyarakat terhadap kualitas lingkungan
perkotaan. Faktanya adalah, kondisi air tanah Jakarta telah tercemar berat (77%), sedang (18%) dan ringan (5%). Pengambilan air tanah yang berlebihan juga menyebabkan menurunnya tinggi muka tanah (di Jakarta 3-5 cm/tahun). Oleh karena itu harus dikeluarkan kebijakan mengurangi penyedotan air tanah yang lama-kelamaan harus dilarang. Selain itu harus diberikan pula insentif pada penggunaan air pemipaan (PDAM). Transportasi merupakan penyumbang emisi gas buang terbesar terutama CO2 yaitu sebesar 92%, sangat besar jika dibandingkan dengan sektor industri (5%), permukiman (2%), dan sampah (1%), kendaraan yang berseliweran di Jakarta mencapai 5 juta lebih dan belum termasuk sepeda mototr yang sudah mencapai 8 juta lebih dan berdasarkan perhitungan LEAP (Long-range Energy Alternative Planning), tingkat emisi CO2 jakata tahun 2010 mencapai 32.754,57 ton/hari dan pada 2015 dapat mencapai 38.322,46 ton/hari. BAB III. Membangun Infrastruktur Hijau
Infrastruktur hijau merupakan kerangka ekologis untuk keberlanjutan lingkungan, social, dan ekonomi; singkatnya sebagai system kehidupan alami yang berkelanjutan (natural life sustaining system). Infrastruktur hijau dengan berbagai jenis dan fungsinya berperan dalam menciptakan keseimbangan ekosistem kota dan alat pengendali pembangunan fisik kota. Tujuan pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di perkotaan: 1. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, dan bersih sebagai sarana lingkungan perkotaan 2. Menciptakan keserasian lingkungan alami dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat 3. Menciptakan kota yang sehat, layak huni, dan berkelanjutan (livable, habitable, sustainable) Fungsi RTH sebagai infrastruktur hijau antara lain ; 1) Konservasi tanah dan air, 2) Amelioasi iklim, 3)Pengendali pencemaran, 4)Habitat satwa dan konservasi plasma nutfah, 5) Sarana kesehatan dan olahraga, 6) Sarana rekreasi dan wisata, 7) Sarana
pendidikan dan penyuluhan, 8) Area evakuasi bencana, 8) Pengendali tata ruang kota, dan 9) Estetika Prinsip penerapan infrastruktur hijau: a) Keterhubungan (linkages) antar kawasan RTH dengan jalur dan koridor hijau merupakan kunci keberhasilan infrastruktur hijau kota b) Infrastruktur hijau harus diintegrasikan dengan rencana pembangunan infrastruktur kota, seperti pembangunan jalan, drainage, dan prasarana lain c) Penyusunan rencana infrastruktur hijau harus dilakukan secara komprehensif dan
interdisipliner
serta
melibatkan
partisipasi
masyarakat
selaku
pemangku kepentingan. Pola pengaman ekologis (ecological security pattern/ESP) untuk setiap kota
bisa berbeda tergantung permasalahan lingkungan kotanya. Pola pengaman ekologis kota terdiri atas pola pengamanan terhadap masalah air dan banjir, udara, bencana ekologis, keanekaragaman hayati, warisan budaya, dan rekreasi. Sebagai contoh Beijing dalam rangka olympiade Beijing 2008 telah melalukan berbagai cara dalam rangka perbaikan lingkungan. BAB IV. Koefisien Dasar Hijau
Koefisien dasar hijau merupakan salah satu perangkat untuk pengendalian penataan ruang yang dilengkapi dengan kegiatan pengawasan dan penertiban bila tidak sesuai dengan rencana, serta pengenaan sanksi terhadap setiap pelanggaran dan dapat dikenakan ketentuan pidana. KDH adalah angka presentase berdasarkan perbandingan
luas
daerah
hijau
terhadap
luas
tanah
perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai rencana kota. KDH terkait erat dengan KDB, adanya ketentuan tentang KDB berarti bahwa setiap lahan akan menyisakan Ruang Terbuka sebagai sisa luasan dikurangi luas lantai dasar bangunan yang didirikan diatasnya. Luas ruang terbuka tersebut bisa disebut sebagai Koefisien Ruang Terbuka (KRT). Asumsi praktis adalah ruang terbuka tersebut dibagi rata untuk keperluan perkerasan dan keperluan penghijauan, dengan demikian didapatkan KDH= 50% KRT. BAB V. Melacak Jejak Hijau
Evaluasi RTH DKI Jakarta:
1. Daerah pantai utara Jakarta ditetapkan sebagai daerah pengaman pantaidengan keberadaan hutan lindung Muara Angke, 100 m dari tepi pantai. Kenyataannya, daerah ini dikembangkan secara intensif termasuk reklamasi pantai 2. Bagian selatan kota Jakarta ditetapkan sebagai daerah resapan air dengan KDB rendah 10-25%. Kenyataannya, banyak dari kebun rakyat dan pekarnagna berubah fungsi menjadi hunian dengan KDB > 10-25% 3. Jakarta Barat dan Jakarta Timur direncanakan sebagai daerah pertanian, pada kenyataannya dikembangkan menjadi kawasan hunian dan industri 4. Tidak ada konsep terpadu pengembangan RTH kota sehingga mudah terjadi konversi 5. Implementasi
koefisien
dasar
hijau
(KDH)
dalam
kaitannya
dengan
pengurusan IMB untuk menambah RTH privat belum sepenuhnya berjalan 6. Kurang koordinasi antar berbagai dinas dan instansi yang terkait dalam pengelolaan dan pengembangan RTH. BAB VI. Menuju RTH 30%
Langkah kebijakan operasional perwujudan RTH 30% di DKI Jakarta : 1. Suboptimalisasi RTH melalui penyusunan kebutuhan luas minimal (ideal) sesuai tipologi kota, penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota, dan rekomendasi penggunaan jenis-jenis vegetasi endemis unggulan 2. Penyusunan payung hukum dan perundangan, revisi dan penyusunan RDTR,
RTRTH,
UDGL,
dan
lain-lain,
penyusunan
pedoman
umum
pembangunan dan pengelolaan RTH, penyusunan mekanisme insentif dan disinsentif, serta pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat 3. Optimalisasi
peran
pemangku
kepentingan
(stakeholders),
pencanangan Gerakan Bangun RTH Kota, penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai
media,
perlombaan
antarkota/wilayah
untuk
meningkatkan
apresiasi, partisipasi, dan tanggung jawab, penyediaan RTH contoh untuk tiap fungsi dan wilayah 4. Keterbatasan lahan kota untuk RTH disiasati dengan peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH, peningkatan luas RTH privat (minimal 10%), proyek percontohan RTH fungsional untuk lahan sempit, marjinal, dll.
BAB VII. Langkah Jejak Hijau Langkah – langkah yang diterapkan untuk mewujudkan hijau kota.
1.
Menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun.
2.
Membangun lahan hijau (hub) baru, perluasan RTH melalui pembelian
lahan. 3.
Mengembangkan koridor ruang hijau kota (link).
4.
Mengakuisisi RTH privat, menjadikan RTH privat sebagai RTH kota.
5.
Peningkatan kualitas RTH Kota melalui refungsi RTH eksisting.
6.
Menghijaukan bangunan (green roof/green wall )
7.
Menyusun kebijakan hijau
8.
Memberdayakan komunitas hijau
II.
Pembahasan
Dalam buku ”RTH 30%! Resolusi Kota Hijau” memberikan kita informasi mengenai pentingnya RTH yang memiliki fungsi sebagai penjaga temperatur, retensi dan penyerap air hujan serta RTH membangun citra kota yang leih asri, manusiawi dan indah. RTH sebagai salah satu infrastruktur yang ramah lingkungan untuk
menjaga
keseimbangan
pembangunan
di
perkotaan.
Perencanaan
pembangunan wilayah perkotaan yang tertuang di dalam RTRW diharuskan membangun Ruang Terbuka Hijau minimal 30% dari luas wilayah. Tetapi pada realisasinya RTH tersebut hanyalah sebuah rencana belaka, karena pembangunan perkotaan yang terjadi pada saat ini sudah tidak memperhatikan mengenai ruang terbuka hijau. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa ruang terbuka hijau sangat penting keberadaannya sebagai penyeimbang lingkugan d iperkotaan yang sebagian besar berbasis kepada perindustrian. Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas
untuk
pendukung
mendukung
tersebut
salah
kehidupan satunya
warganya
adalah
ruang
secara terbuka
mandiri.
Fasilitas
hijau.
Sehingga
pembangunan perkotaan seharusnya tetap memperhatikan kebereradaan ruang terbuka hijau, sehingga pembangunan secara tidak akan menimbulkan berbagai
masalah lingkungan yang terjadi di wilayah perkotaan. Dengan kata lain, suatu pembangunan perkotaan harus berbasis kepada lingkungan. Tidak
hanya
memaparkan
permasalahan
lingkungan
yang
terjadi
di
perkotaan, buku ini juga memaparkan dan memberi berbagai alternatif pemecahan masalah
lingkungan
perkotaan,
khususnya
mengenai
ruang
terbuka hijau.
Pemaparan contoh permasalahan lingkungan perkotaan diambil pada kondisi nyata perkotaan yang ada di Indonesia. Walaupun demikian, pemaparan permasalahan kota ini sudah merupakan suatu permasalahan perkotaan yang umum. Dengan berbagai masalah yang dipaparkan, buku ini juga memberikan beberapa usulan yang diungkapkan untuk meningkatkan kualitas perencanaan tata ruang kota di masa mendatang. Karena buku “RTH 30%! Resolusi Kota Hijau” dikarang oleh orang dalam negeri,
maka
pandangan
yang
diungkapkan
mengenai
permasalahan
dan
penanggulangan atau alternatif penyelesaian masalah pembangunan kota lebih bersifat khusus dan pemecahan masalah yang diungkapkan dapat diterapkan di perkotaan yang terdapat di Indonesia. Dari segi kemudahan pemahaman, pembaca merasa bahwa buku ini lebih mudah untuk dipahami, selain karena menggunakan istilah-istilah yang umum digunakan untuk masyarakat umum di Indonesia, juga karena cakupan pembahasan lebih spesifik suatu wilayah. Buku ini membahas dari sudut pandang akademis yang sangat baik, namun pada kenyataannya agak sulit untuk menerapkan untuk mewujudkan kota yang asri, indah dan layak huni jika tidak ada kerjasama dan bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah. Karena kota-kota di Indonesia berbeda dengan banyakkota di dunia di mana tatanan tataruangnya sudah rapih dan teratur maka pengambilan contoh di dunia jangan di dasarkan pada kota-kota besar yang ada munkin untuk beberapa contoh bisa mengambil contoh kota kecil cukup baik tertata.
III.
Kesimpulan
Pendekatan berbasis agenda hijau perlu lebih banyak mewarnai setiap bentuk pembangunan infrastruktur, khususnya pada kota/kawasan perkotaan yang berperan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan/wilayah. Pengembangan kota hijau sendiri tidak hanya mengandung makna untuk menghijaukan kota,
namun lebih dari itu, merupakan bentuk peningkatan efisiensi, keterbukaan (inclusiveness) bagi berbagai aktor untuk berpartisipasi, serta memberikan pilihan menu bagi masyarakat kota untuk membangun basis ekonomi baru dan interaksi sosialnya yang lebih produktif. Selain itu, kota hijau juga dapat dimaknai sebagai bagian dari upaya mengurangi jejak ekologis (smaller carbon footprint). Jadi menurut pendapat saya buku ini layak untuk di baca oleh banyak kalangan agar pembangunan di Indonesia (khususnya di Perkotaan) memperhatikan RTH
bagi masyarakat di Indonesia
karena pentingnya untuk
mewujudkan
pembanguan yang berkelanjutan mengingat dampak perubahan iklim yang sangat terasa dewasa ini. IV. •
Referensi
Joga, Nirwono dan Iwan Ismaun. 2011. RTH 30% ! Resolusi (Kota) Hijau . PT,
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. •
Aris Prihandono. 2009. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Menurut uu
No. 26/2007
Tentang Penataan Ruang dan Fenomena Kebijakan Penyediaan
RTH
Daerah .
di
From:
http://puskim.pu.go.id/sites/default/files/Aris_Prihandono_0.pdf . diunduh pada: 7 Mei 2012. •
Elis Hastuti. 2011.
Perumahan.
Kajian
From:
Perencanaan
Ruang
Terbuka
Hijau
(RTH)
http://www.bsn.go.id/files/348256357/jurnal
%20Vol3%20No1%202011/kajian%20perencanaan%20RTH.pdf . Di unduh pada: 6 Mei 2012.
•
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2012. Program Pengembangan Kota
Hijau: Dari Rencana Menuju Aksi Nyata. •
Undang-undang
Nomor
26
Tahun
2007
tentang
Penataan
Ruang.
Kementerian Pekerjaan Umum, Ditjen Penataan Ruang. •
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Kebijakan Pembangunan Infrastruktur di
Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum, Ditjen Penataan Ruang. Pada acara
Seminar Kota Untuk Rakyat. UGM Yogyakarta.