REVIEW BUKU “KAUM MERAH MENJARAH”
( A ksi sep sepi hak hak PK P K I /B T I di J awa Ti mur 1960-19 1960-1965 65))
Disusun dalam rangka memenuhi sebagian tugas mata kuliah Sejarah dan Perubahan Kehidupan Manusia di bina oleh Prof. Dr. Amininuddin Kasdi, M.S Disusun oleh ARIF RAHMAN MUTTAQIEN NIM 17070885009
Program Studi Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya Desember 2017
2
HANCURNYA kekuasaan kolonial pada 1942, memiliki arti yang sangat penting,
lebih dari sekedar peralihan tampuk kekuasaan dari tangan kolonial ke penguasa fasisme Jepang dan akhirnya ke Pemerintah Republik Indonesia (RI) yang berdaulat. Ditinjau secara sosiologis, terungkap bahwa hancurnya kekuasaan kolonial membawa pula kehancuran nilainilai kepatuhan, aturan, disiplin sosial, dan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Puluhan tahun kekuasaan kolonial telah memberikan pemahaman dan citra ala kadarnya tentang bangunan sosial kepada masyarakat. Administrasi rutin yang sudah berjalan selama berpuluh tahun, lenyapnya tuan-tuan kebun, kontrolir, polisi intelijen, polisi desa, dan macetnya produksi kolonial, memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada masyarakat, bahwa semua hal bisa hancur dalam sekejap. Berakhirnya masa pendudukan Jepang, kian menambah tajam konsep kemerdekaan Indonesia. Dalam minggu-minggu pertama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi banyak kekacauan di pedesaan. Banyak kepala desa, polisi, dan pejabat daerah yang dicopot langsung oleh rakyat. Di beberapa daerah, bahkan kepala daerah dibunuh secara kejam. Dalam situasi yang serba kacau itulah, gerakan petani atau sengketa agraria yang merebak pasca kemerdekaan berlanjut di tahun 1960 dalam bentuk aksi-aksi sepihak. Menurutnya,
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960
mengenailandreform bukan produk kaum komunis. Karena yang menyusun konsep perundang-undangan dan penataan sistem agraria itu adalah UGM.
"Dalam upaya
melaksanakan imbauan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk restrukturisasi agraria.. maka pemerintah RI meminta Fakultas Hukum UGM untuk menyusun konsep perundangundangan bagi penataan sistem agraria di Indonesia," Dalam konteks landreform, menurutnya yang melakukan penjarahan atas tanah adalah para tuan tanah, bukan petani penggarap. Hal itu dapat dibuktikan dengan mempelajari sejarah perkembangan masyarakat yang dimulai dari masyarakat primitif, pemilikan budak, feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme. Pada konteks ini, petani penggarap harus dilihat sebagai korban penjarahan dari tuan tanah yang menuntut balik haknya. Penjarahan oleh tuan tanah terhadap petani penggarap dilakukan dengan menghisap hasil tenaga kerja kaum tani. Kembali ke pokok persoalan, rancangan awal UUPA pertama kali dibuat pada 1948 dengan dibentuknya Panitia Agraria Yogya, dan Panitia Agraria Jakarta pada 1951. Panitia ini bertugas menyusun dasar-dasar hukum agraria baru sebagai pengganti hukum agraria warisan Belanda. Pada tahun 1955, pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang berada di
3
bawah Kementerian Dalam Negeri. Setahun kemudian, pada 1956, pemerintah membentuk panitia agraria yang baru untuk menyusun rancangan UUPA yang bersifat nasional. Peletakkan batu pertama UUPA ditancapkan pertama kali oleh Bung Karno, pada 17 Agustus 1959. Saat itu, Bung Karno menyatakan akan menghapus hak eigendom tanah warisan kolonial dalam hukum pertahanan Indonesia. Setahun kemudian, persoalan ini ditegaskan lagi dalam pidatonya, " Landreform.. berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsurangsur.. Tanah untuk tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!" tegasnya. Pidato Bung Karno inilah yang dijadikan pedoman umum pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) No 2 Tahun 1960 akhirnya disahkan. Disusul dengan disahkannya UUPA No 5 Tahun 1960 mengenai landreform. Secara umum, pelaksanaan landreform meliputi larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas, larangan kepemilikan tanah absentee, redistribusi tanah yang kelebihan dari batas maksimum dan yang terkena absentee, pengaturan pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan ulang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan batas minimun kepemilikan tanah pertanian. Meski keputusan pelaksanaan landreform telah dicanangkan pemerintah pada 1960, namun pelaksanaan riilnya harus menunggu dua tahun kemudian. Pada 1961 hingga pelaksanaan landreform,
pemerintah
menyusun
aturan-aturan landreform,
dan
panitia
pelaksana program itu. Seluruh pejabat pusat dan daerah dilibatkan dalam kepanitiaan landreform. Mulai dari Presiden, gubernur, bupati, camat, dan lurah. Namun penanggungjawab kegiatan tetap berada di pemerintah tingkat kota dan kabupaten. Setelah dua tahun berjalan, akhirnya program landreform dilakukan dengan batas waktu hingga tahun 1964 harus sudah selesai semua. Tahap pertama landreform dilakukan di Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Tahap kedua di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya. Tanah
yang
menjadi
sasaran landreform adalah
tanah-tanah absentee,
tanah
swapraja, dan tanah-tanah yang berada di bawah kekuasaan negara. Awalnya, luas tanah yang terkena landreform adalah 966.150 hektare. Namun akhirnya dikoreksi oleh pemerintah pada 1963, menjadi hanya 337.445 hektare. Dalam praktiknya, pemerintah tidak berdaya menjalankan landreform. Pada saat itulah, PKI dan BTI memainkan peran sebagai pelaksana UUPBH dan UUPA. Tercatat, sebanyak 396 perjanjian bagi hasil telah dibuat atas dorongan mereka.
4
PKI dan BTI juga berhasil mendorong kenaikan upah buruh tani di sejumlah sejumlah kecamatan. Upah mencangkul dari yang sebelumnya Rp7,50 naik menjadi Rp10, bajak sawah dari Rp15 naik menjadi Rp25, dan upah tandur dari Rp2,50 naik menjadi Rp3,50. Menanggapi kelemahan pemerintah, Ketua BTI Asmoe menyatakan, perubahan tanah hanya bisa dilakukan oleh kaum tani sendiri. BTI lalu membuat gerakan 6, yakni turun sewa, turun bunga, naik upah, naik produksi, naik kebudayaan, dan naik politik. Sejak pernyataan Asmoe dalam Kongres Nasional ke-VI BTI, pada 23 Juli 1962, aksi-aksi kaum tani menuntut pelaksanaan bagi hasil dan pembagian tanah berlangsung di seluruh Jawa. Hingga 1963, BTI mencatat tanah yang dibagi-bagikan sudah mencapai 35.978 hektare. Namun, angka itu dikoreksi oleh PKI dengan menyatakan tanah telah dibagikan hingga 1963 baru 19 ribu hektare. Pada 1965, Menteri Agraria Sadjarwo mengumumkan pelaksanaan landreform tahap pertama telah selesai dan telah berjalan dengan cukup lancar. Sadjarwo juga menyatakan, hingga 1964, sudah 450 ribu hektar tanah yang dibagikan. Tetapi laporan ini mendapat koreksi total dari PKI. Dengan menunjukkan data kuat, mereka menyatakan baru 18 ribu hektare tanah yang dibagikan di Jawa Timur. Sedang sisanya, yakni 30 ribu hektare tanah masih belum dibagikan. Dalam laporannya, PKI juga memberikan bukti-bukti adanya berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan landreform, seperti sabotase, dan permainan tuan tanah dengan pejabat agraria. Dalam sidang Pleno CC PKI 1963, DN Aidit menegaskan dari satu juta hektare tanah lebih, baru 200 ribu hektare yang telah terdaftar. Dari jumlah tanah yang terdaftar, baru 9% atau sekitar 18 ribu hektare yang telah dibagikan. Dalam riset yang dilakukan PKI, salah satu penghambat dari pelaksanaan UUPBH dan UUPA adalah setan desa yang salah satunya adalah tuan-tuan tanah jahat. Para tuan tanah jahat ini terdiri dari bekas anggota Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang menyokong pemberontakan DI-TII. Secara khusus, riset PKI itu juga mengungkapkan, para tuan-tuan tanah jahat itu banyak bersarang di dalam Majelis Ulama (MU) dan suka mencari perlidungan pada alat-alat kekuasaan sipil dan militer setempat, seperti lurah, koramil, bintara pembina wilayah, hansip, organisasi pertahanan rakyat, dan lainnya. Di antara tuan-tuan tanah itu adalah haji dan kiai yang menyalahgunakan agama untuk memperluas milik tanahnya dan memperhebat penghisapan terhadap kaum tani. Aksi-aksi sepihak BTI dalam menjalankan landreform mulai muncul ke permukaan sebagai isu nasional setelah mendapatkan pertentangan keras dari organisasi-organisasi keagamaan, seperti Pemuda Ansor dari Nahdlatul Ulama (NU). Di Klaten, aksi sepihak dimulai dengan rapat terbuka di alun-alun kota, pada 1964. Dalam aksinya, massa BTI
5
membentangkan spanduk bertuliskan Tanah Untuk Petani Penggarap, dan Gantung Setan Desa. Tokoh PKI hadir dalam aksi petani ini di anta ranya adalah Nyoto. Aksi-aksi sepihak petani diarahkan untuk pengambilalihan tanah-tanah gadai dan sewa, pengubahan perjanjian bagi hasil menurut UUPBH, pembatalan penggadaian tanah dan ijon, dan pembelaan terhadap petani liar yang menempati daerah perkebunan atau absentee. aksi sepihak tahun 1964 mengikuti model peristiwa Jengkol,di Kediri, pada 15 November 1961. Bedanya, dalam kasus Jengkol tanah yang disengketakan adalah milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), dan pada aksi sepihak tanah yang disengketakan adalah tanah lebih. "Pendapat ini muncul berdasarkan alasan.. bentuk penggalangan massa, model-model perkelahian, penggarapan lahan, dan pengumpulan dana yang dilakukan di Jengkol juga dilakukan BTI di tempat lain, misal di Desa Bukur, Patianrowo, Nganjuk. Dalam melaksanakan landreform, massa BTI/PKI kerap terlibat bentrok dengan setan-setan desa. Di Jawa Timur, aksi sepihak dilakukan sepanjang tahun 1964. Hingga tahun 1965, sedikitnya empat anggota PKI/BTI tewas, 43 petani mengalami luka-luka, 409 kader BTI dibui, 50 hektare tanaman hancur, dan 13 rumah anggota BTI dibakar. Pada peringatan 1 Mei 1965, sekitar 100 pemuda Islam dari PII, Pemuda Muhammadiyah, dan Pemuda Ansor berkumpul ke Dadung. Mereka diminta untuk menggagalkan aksi landreform yang dilakukan BTI. Saat rapat landreform yang menghadirkan perwakilan BTI, tuan tanah, dan perwakilan pemerintah memanas, tiba-tiba terdengar bunyi peluit yang diikuti dengan teriakan Allahu Akbar. Sebanyak 100 pemuda langsung berhamburan mengepung lokasi rapat, mereka langsung menangkapi, dan memukuli para petani. Para petani penggarap yang kabur dikejar, ditangkap lalu dipukuli dan ditendang kepalanya. Rumah-rumah mereka diserang batu dan dibakar. Korban penganiayaan ini adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang tidak berdaya, berusia antara 30-60 tahun.
Latar Belakang Terjadinya Gerakan Anti Tuan Tanah
Desa Sambirejo terletak di tepi jalan raya Surabaya-Solo pada kilometer 32 sebelah barat Kota Ngawi atau sekitar 3 kilometer dari kota kecamatan Mantingan yang terletak di perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah. Sambirejo terdiri dari 4 dusun yaitu Dadung, Sambirejo, Kajen dan Kedungmiri. Desa Sambirejo merupakan salah satu dari 11 desa dalam wilayah Kecamatan Mantingan. Tahun 1963 – 1965 situasi di Sambirejo tidak kondusif, disebabkan akibat adanya usaha Partai Komunis Indonesia (PKI)/Barisan Tani Indonesia (BTI) menggugat tanah wakaf milik Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) Gontor seluas 163,879 hektar. Usaha sepihak yang dilakukan oleh
6
sebagian anggota PKI/BTI dilancarkan mulai musim tanam antara tahun 1963-1965 untuk membatalkan Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK. 10/Depag/1964. Aksi terus berlanjut sampai tahun 1965 dan puncak persengketaan meletus pada tanggal 1 Mei 1965 (Laporan Kejadian 1 Mei, 1965). Tahun 1963 kasus pemogokan buruh di sektor pertanian menempati urutan pertama di Jawa Timur. Hal ini berkaitan dengan sistem pertanian bagi hasil dan aksi sepihak yang dilancarkan buruh tani yang berasal dari lingkungan PKI/BTI. Aksi pemogokan memuncak pada tahun 1963 bersamaan dengan memanasnya persengketaan Undang Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) dan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Masyarakat pedesaan di Jawa Timur secara garis besar terdapat tiga faksi politik yang memiliki akar kekuatan, yaitu Partai Nasional Kebangsaan (PNI), Partai Nasional Keagamaan (NU) dan Partai Komunis (PKI). Masing-masing memiliki kelompok tuan tanah, petani kaya, petani sedang, petani miskin dan pegawai. Setelah program agraria PKI semakin radikal pada tahun 1960-an, kelas-kelas tuan tanah dan petani kaya mulai dikikis dari partai karena PKI bercirikan proletariat . Kelompok tuan tanah dan petani kaya diarahkan agar melepaskan tanah luas yang dimilikinya dengan berbagai cara, seperti dijual atau dihibahkan. Jumlah kelompok tuan tanah dan petani kaya yang berafiliasi dengan PKI jumlahnya tidak seberapa besar dibandingkan dengan tuan tanah dan petani kaya yang berafiliasi dengan PNI dan NU. Gerakan aksi sepihak menjadi semakin banyak karena partai-partai politik yang kuat memanfaatkan program landreform untuk merebut popularitas. Di pihak lain, tuan-tuan tanah menentang program tersebut. Ketegangan politik ini tidak disukai oleh aparat negara yang bertanggung jawab atas keamanan dan stabilitas politik, sehingga mereka tidak bisa tinggal diam hanya sebagai penonton. Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) yang terbit lebih dulu daripada UUPA tidak mampu memperbaiki nasib para penyakap yang jumlahnya semakin bertambah dengan akumulasi penguasaan tanah.
Proses Gerakan Anti Tuan Tanah
Peristiwa 1 Mei di Dadung, Sambirejo merupakan salah satu dari beberapa peristiwa yang dilancarkan oleh petani pendukung PKI/BTI. Peristiwa di Dadung termasuk yang berskala besar bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain, pihak-pihak yang terlibat, yaitu Pondok Modern Gontor, Partai Komunis Indonesia (PKI)/Barisan Tani Indonesia (BTI serta Pejabat Pemerintahan. Proses terjadinya gerakan anti tuan tanah di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi Tahun 1963-1965 dilancarkan mulai musim tanam
7
antara tahun 1963-1965 untuk membatalkan Surat Keputusan Menteri Agraria No. SK. 10/Depag/1964. Aksi terus berlanjut sampai tahun 1965 dan puncak persengketaan meletus pada 1 Mei 1965. Dengan keluarnya SK Menteri Agraria No. SK 10/Depag/1964 sudah memberikan kepastian hukum terhadap tanah wakaf milik YPPWPM Gontor di Mantingan. Namun PKI/BTI tidak memperdulikan keputusan tentang status tanah ini karena PKI/BTI merasa tidak memilih Menteri Agraria. Melalui kekuasaan dan kesempatan yang diberikan oleh Bupati Suhirman, BTI dengan segala cara berusaha untuk menggagalkan keputusan ini. Peristiwa di Dadung termasuk yang berskala besar bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain, karena melibatkan Pondok Modern Gontor, Partai Komunis Indonesia-Barisan Tani Indonesia dan Pejabat di lingkup pemerintah. Akibatnya, pelanggaran semakin merajalela. Pihak YPPWPM Gontor merasa kewalahan serta menyatakan tidak mampu lagi menyelesaikan tindakan liar para penggarap. Bahkan di antara para penggarap ada yang secara terang-terangan mengatakan bersedia dihukum karena sudah mempunyai simpanan yang cukup. Abdullah Mustaqim Subroto Nadzir YPPWPM Gontor merencanakan aksi balas dendam terhadap para petani BTI, dengan mengumpulkan massa pemuda dari berbagai organisasi Islam di sekitar Ngawi. Pertemuan dengan petani BTI diselenggarakan oleh Catur Tunggal Mantingan di lapangan dusun Dadung pada tanggal 1 Mei 1965. Musyawah dimulai pada pukul 10.00 pagi dan berjalan dengan alot. Keadaan ini sudah diperkirakan oleh Abdullah Mustaqim Subroto, dengan tiupan peluit ratusan pemuda Islam bersenjatakan pentungan mulai menyerbu petani BTI. Ratusan pemuda berhamburan dari rumah loji menyerang petani BTI yang sedang bermusyawarah di lapangan Dadung. Petani BTI kaget dan melakukan perlawanan seadanya, sebagian lagi melarikan diri ke kampung magersari. Pemuda Islam segera mengejar petani dan membakar rumah milik petani di Magersari. Abdullah Mustaqim Subroto dan teman-temannya ditangkap oleh polisi dan dibawa ke Polres Ngawi.
Dampak yang Ditimbulkan oleh Gerakan Anti Tuan Tanah
Gerakan Anti Tuan Tanah menimbulkan dampak dalam bidang politik, ekonomi dan Sosial. (1) Dampak dalam bidang politik yaitu partai Komunis Indonesia (PKI) dalam mencapai tujuan perjuangannya secara sistematis telah menanamkan ideologi kelas kepada kaum tidak bertanah dan petani miskin. Namun usaha tersebut kurang berhasil sehingga kelas proletar yang diinginkan tidak dapat terbentuk, walaupun pada dasawarsa 1960-an jumlah anggota PKI meningkat secara drastis. Kegagalan penyebaran ideologi kelas menyebabkan kandasnya politik PKI untuk memisahkan dan membenturkan kelas proletar tidak bertanah
8
dengan kelas tuan tanah, sebagai kelas yang akan saling bertentangan (class conflict). Akibatnya, revolusi agraria yang skenarionya telah disusun dan dicetuskan lewat pelaksanaan aksi sepihak juga berantakan. Golongan santri, baik yang tradisional maupun yang modernis terhimpun dalam organisasi Islam di bawah pimpinan kiai, haji, guru-guru agama dan tokohtokoh agama kharismatik lainnya sehingga hubungan antara pemimpin-pengikut, guru-murid dan kiai-santri sangat kuat. Kuatnya hubungan patron-client itu dibuktikan oleh jalinan kesetiaan sebagian buruh. Walau tidak pernah dirapatkan oleh panitia landreform tingkat desa, namun semuanya tetap berjalan dengan lancar. Dalam
kasus di Desa Dadung,
Sambirejo ini hubungan antara guru-murid atau kiai-santri antara Kiai Zakasyi dan K.H. Idham Chalid membuat ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjadi salah satu benteng Pondok Modern Gontor. (2) Dampak dalam bidang ekonomi yaitu yaitu terdapat korban luka sebanyak 7 orang anggota BTI luka-luka dan 10 rumah milik magersari yang juga merupakan anggota BTI dirusak dan dibakar, pihak Pondok Modern Gontor tetap tidak mendapatkan hasil panen karena disita oleh BPPL Ngawi, akibatnya pihak YPPWPM Gontor mengalami kesulitan untuk membayar gaji para mandor dan buruh. Setiap kali YPPWPM Gontor menanyakan masalah bagi hasil kepada pihak BPPPL Ngawi, selalu diulur tanpa alasan dan kepastian yang jelas tentang penahanan hasil tanah wakaf. Perlakuan ini dianggap tidak adil dan sewenang – wenang. Pihak BTI terus melakukan intimidasi terhadap Nadzir YPPWPM Gontor di Mantingan bahkan pada tanggal 24 Agustus 1965 sekitar pukul 19.00 Kantor Nadzir YPPWPM Gontor di Dadung dikepung oleh BTI. (3) Dampak dalam bidang sosial yaitu akibat terjadinya peristiwa 1 Mei 1965, Pondok Modern Gontor mendapatkan sorotan yang luas. Banyak pihak yang meragukan jika peristiwa yang terjadi di Dadung tanpa sepengetahuan dari pihak YPPWPM Gontor di Ponorogo. Pada tanggal 20 Mei 1965 YPPWPM Gontor di Ponorogo mengeluarkan pernyataan resmi yang dikirim kepada Sad Tunggal Dati I Jawa Timur di Surabaya, Sad Tunggal Dati II Ngawi, Dan Rem A di Madiun serta Catur Tunggal Kecamatan Mantingan YPPWPM Gontor menegaskan beberapa hal, yaitu : (a) Peristiwa 1 Mei 1965 yang terjadi di Dadung, Sambirejo di luar tanggung jawab YPPWPM Gontor karena tanpa ada konsultasi terlebih dahulu, (b) YPPWPM Gontor di Ponorogo menghimbau kepada yang pemerintah agar dalam menyelesaikan peristiwa 1 Mei 1965 di Dadung melokalisasikan pengusutan agar tidak meresahkan seluruh warga Pondok Modern Gontor, (c) YPPWPM Gontor menyesalkan pemberitaan tentang peristiwa 1 Mei 1965 di Dadung, Sambirejo yang seolah – olah menyudutkan IKPM dan YPPWPM Gontor ikut terlibat.
9
Pihak YPPWPM Gontor merasa khawatir dengan pemberitaan yang ditunggangi oleh unsur – unsur kontra revolusi. Hubungan patron-client masih cukup kuat di wilayah masyarakat pedesaan Jawa Timur. Sikap resiprositas dari pihak patron (pelindung), seperti kebaikan hati Anwar Shodiq kepada para penggarap sawahnya, maka kesetiaan client kepada patron tidak tergoyahkan. Usaha PKI memojokkan tuan tanah sebagai penghisab atau penindas kurang mendapat sambutan, bahkan oleh sebagian masyarakat Sambirejo tindakan aksi sepihak yang dilancarkan PKI/BTI terhadap tanah Anwar Shodiq yang diwakafkan kepada Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern Gontor sebagai tindakan orang yang tidak tahu terima kasih. PKI/BTI dengan organisasi yang assosiasional dan modern ternyata tidak mampu memutus jaringan hubungan patron-client di Sambirejo maupun di tempat yang lain. Sampai akhir bulan September 1965 saat mele tusnya G 30 S/PKI suasana di dusun Dadung, Sambirejo masih membara.