Reservasi Perjanjian Internasional
Suatu negara berdaulat yang turut serta di dalam suatu perjanjian internasional diharapkan dapat menyetujui seluruh isi pasal perjanjian, sehingga perjanjian itu dapat men gikat secara utuh dan menyeluruh kepada setiap negara yang menyatakan terikat pada perjanjian tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan perjanjian itu akan menjadi utuh karena semua pihak sudah terikat pada isi perjanjian itu tanpa kecuali. Namun, pada kenyataannya sangat sulit bagi setiap negara yang ingin ikut dalam suatu perjanjian menerima secara utuh pasal-pasal di dalam perjanjian pe rjanjian tersebut, walaupun perjanjian itu merupakan kesepakatan dari utusannya yang turut berunding dalam merumuskan perjanjian itu. Bagi negara yang ingin tetap turut serta pada suatu perjanjian tetapi tidak setuju pada ketentuan tertentu di dalam perjanjian itu, dapat mengajukan suatu pensyaratan. Pensyaratan (RESERVASI),Pasal 2(1d) Konvensi Wina 1969, adalah suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan. Kalau reservasi merupakan pernyataan sepihak, berarti tidak perlu adanya persetujuan negaranegara peserta suatu perjanjian internasional yang ingin direservasi apapun bentuk dan nama dari pensyaratan itu.. nama lain dari pensyaratan yaitu deklarasi, understand/ing, notes, dan reservasi. Di dalam Konvensi W ina '69, yang disebutkan secara tegas teg as sebagai nama lain dari pensyaratan hanyalah reservasi, sehingga yang mempunyai akibat hukum hanyalah reservasi. Maksudnya adalah bila ada suatu perjanjian lalu suatu negara ingin mereservasi, contohlah Indonesia ingin mereservasi terhadap pasal 2 ICCPR, lalu timbul akibat hukumnya bagi Indonesia, dalam hal ini berupa "tanggapan" anggota-anggota peserta lain. Bagi yang setuju terhadap reservasi yg diajukan Indonesia, maka tidak ada yang berkomentar, dan akibat hukum yang berlaku bagi Indonesia bila reservasi itu diterima adalah pasal 2 ICCPR yang baru direservasi. Tetapi bagi yang tidak setuju, akan membuat pernyataan tidak setuju, dan akibat hukum yang berlaku adalah tetap Pasal 2 yang lama sebelum reservasi diajukan. (Kalau menurut para ahli hukum, apa pun namanya, itu tetap merupakan pensyaratan). Bila negara2 peserta lain tidak menyatakan sikap atas reservasi yang diajukan Indonesia tersebut, hal itu dianggap bahwa negara2 itu menerima reservasi Indonesia.
Walaupun reservasi merupakan hak suatu negara, ada pembatasan yang harus diperhatikan oleh suatu negara dalam mengajukan reservasi..,yaitu: (lihat Psl.19 Konvensi Wina '69) persyaratan itu dilarang oleh perjanjian internasional perjanjian itu menentukan, bahwa hanya pensyaratan yang khusus, yang tidak termasuk di dalam pensyaratan yang merupakan masalah, yang dapat diajukan, Bila ada negara yang mereservasi pasal tertentu yang secara tegas dinyatakan tidak boleh direservasi, maka reservasinya dianggap tidak pernah ada dan tidak akan pernah berlaku dalam hal-hal yang tidak termasuk di dalam nomor 1 dan 2 pensyaratan itu ternyata tidak sesuai dengan objek dan tujuan dari perjanjian. --- bila pensyaratan dalam hal ini tetap diajukan, ditakutkan akan menghambat usaha-usaha negara peserta untuk mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, dan akhirnya akan merugikan negara peserta perjanjian itu sendiri. Kalau ada suatu negara menyatakan penolakan terhadap Hak asasi manusia yang bersifat nonderogable rights, dan ia mereservasi pasal yang b erkaitan dengan HAM tersebut, maka reservasi itu tidak boleh diajukan dan tidak boleh diterima karena hal itu bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian. Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah HAM di Amerika Selatan (terhadap pembatasan reservasi yang ke-3 ini), hakim menyatakan bahwa "apabila suatu negara menyatakan reservasi yang tujuannya adalah memungkinkan negara tersebut untuk menunda setiap hak-hak asasi manusia yang bersifat non-derogable rights di dalam konvensi negaranegara Amerika mengenai HAM, maka reservasi tersebut harus dianggap sebagai incompentible (tidak sesuai/bertentangan) dengan maksud dan tujuan dari American Convention of Human Right". selain itu, masih ada satu pembatasan lagi, yaitu reservasi tidak boleh diajukan terhadap ketentuan perjanjian yang mengandung "jus cogens". Jus cogens sebagai kaidah hukum yang sifat mengikatnya sangat kuat dan imperatif, jelas tidak boleh dikesampingkan oleh kaidah hukum yang sifat mengikatnya lebih lemah, apalagi oleh suatu tindakan sepihak yang sangat subjektif seperti pensyaratan. Lalu bagaimana bila di dalam suatu perjanjian internasional tidak dinyatakan secara tegas bahw a suatu negara boleh mereservasi dan tidak dinyatakan secara tegas pula di dalamnya bahwa suatu negara tidak boleh mereservasi perjanjian tersebut. Apakah apabila ada negara yang ingin ikut serta pada perjanjian tersebut tetapi dengan mengajukan reservasi, apa diperbolehkan?? Untuk hal tersebut di atas, bagi negara ne gara tersebut diperbolehkan untuk ikut serta dalam p erjanjian
dan untuk mengajukan reservasi. Kembali lagi bahwa reservasi itu merupakan hak, jadi setiap negara berhak untuk menggunakannya, asalkan reservasi yang diajukan tersebut tidak bertentangan dengan 3 pembatasan yang telah disebut di atas. Advisory opinion yang dikeluarkan oelh ICJ menyatakan bahwa di dalam hal tersebut di atas, suatu negara tetap boleh mengajukan reservasi dengan tetap berpegang teguh pada ketentuan pasal 19 Konvensi Wina 1969. Dapatkah suatu negara yang sudah mengajukan reservasi, kemudian menarik kembali reservasi tersebut? Kecuali jika perjanjian itu menentukan sebaliknya, suatu pensyaratan dapat ditarik kembali setiap waktu, dan penarikan kembali itu tidak membutuhkan persetujuan dari negara yang sebelumnya telah menerimanya. (pasal 22 (1) KW'69). Begitu pula dengan penolakan negara2 peserta perjanjian terhadap reservasi yang diajukan suatu negara, penolakan tersebut dapat ditarik kembali setiap waktu. (Pasal 22 (2) KW'69). Ide dasar Reservasi
Untuk memungkinkan perjanjian multilateral memperoleh peserta yang luas.
Adanya kedaulatan yang dimiliki negara
Perumusan Reservasi (pasal 19 Konvensi wina) Suatu Negara pada waktu melakukan penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau aksesi terhadap suatu perjanjian boleh mengajukan reservasi kecuali jika :
Reservasi itu dilarang oleh perjanjian
Perjanjian itu sendiri menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak termasuk reservasi yang dipersoalkan, boleh diajukan
Dalam hal tidak termasuk di dalam sub paragraph (a) dan (b), maka reservasi itu bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian
Pasal 20 Konvensi Wina 1969
reservasi yg diizinkan oleh perjanjian tidak memerlukan penerimaan oleh negara peserta lainnya
Jika penerapan perjanjian secara keseluruhan seba gai syarat utama untuk terikat oleh perjanjian maka reservasi memerlukan penerimaan seluruh peserta perjanjian
Jika perjanjian merupakan instrumen konstitusi organisasi internasional maka reservasi memerlukan penerimaan dari organ kompeten organisasi tersebut
Reservasi dapat dilakukan dengan :
Tidak memerlukan persetujuan negara peserta lainnya
Perlu persetujuan dari :
1. Semua negara peserta 2. Organ yang kompeten dari organisasi internasional ybs Akibat hukum Pensyaratan / reservasi:
Merubah ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian
Memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu dalam hal pelaksanaannya oleh negara ybs
Prosedur reservasi :
Reservasi, pernyataan menerima reservasi, menolak reservasi harus diformulasikan dalam dalam bentuk tertulis dan disampaikan kepada negara peserta lain dan negara yang berhak menjadi peserta
Jika reservasi diformulasikan pada saat penandatangan maka harus diformalkan pd saat meratifikasi atau mengikutsertai perjanjian.
Pembatalan reservasi, dan penolakan reservasi :
Pembatalan/penarikan diri dari reservasi dapat setiap saat dilakukan dan tidak memerlukan penerimaan dari negara anggota atau organisasi
Pembatalan penolakan reservasi dapat dilakukan setiap sehat Pembatalan reservasi dapat efektif setelah pemberitahuan tertulis di terima oleh peserta perjanjian lainnya
Pembatalan penolakan reservasi dapat efektif setelah pemebritahuan tertulis diterima oleh negara pengaju reservasi
Asas Retroaktif
Hukum Pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23, kemudian muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Larangan asas retroaktif juga
ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diaku i sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah: a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat. Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap ter dakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika : a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuma n atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Asas Retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif: (1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya; (2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional; (3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan (4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai asas retroaktif ini diatur dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003. Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Selain itu dapat pula d ilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human R ight 1948, Pasal 15 a yat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24. Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1). Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili
penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan con toh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca Perang Dunia Kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana di seluruh dunia. Analisis Yuridis Penolakan terhadap asas retroaktif dipicu dari adan ya anggapan bahwa asas retroaktif merupakan wadah dari political revenge (balas dendam politik) sehingga asas retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionios (balas dendam). Larangan akan p emberlakuan asas retroaktif dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional setidakn ya menjadi indikator bahwa asas ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Larangan mengenai asas retroaktif ini merupakan non derogable rights (hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) kecuali memenuhi syarat komulatif yakni: a. sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara b. penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial, c. pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB). Pemberlakuan Asas Retroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni: a. Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan Pasal 28 J Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia o rang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan u ntuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. b. Ketentuan internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, Tokyo dan sebagainya sebagaimana telah diauraikan sebelumnya. c. Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun diluar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum. d. Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas keadilan baik terhadap pelaku maupun korban. e. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili ke jahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan oleh PBB. f. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana (nasional dan internasional).
Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda merupakan dalil yang absolut dalam sistem hukum internasional, dan diwujudkan di dalam semua aturan-aturan hukum internasional. Asas pacta sunt servanda merupakan asas hukum yang sudah diterima secara universal, merupakan asas berlakunya perjanjian internasional dan asas ini telah dikukuhkan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional Pasal 26, mengatur tentang berlakunya asas hukum pacta sunt servanda bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed in good faith”, yang artinya bahwa, setiap perjanjian internasional yang sudah berlaku adalah mengikat bagi para pembuatnya dan wajib dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam mukadimahnya, dinyatakan bahwa asas pacta sunt servanda telah diakui secara internasional. Draf Declaration on Rights and Duties of States 1949 Pasal 13 juga mencantumkan asas ini bahwa “every state has the duty to carry out in good faith its obligations arising from treaties and other sources of international law…” artinya bahwa, setiap negara mempunyai kewajiban melaksanakan dengan itikad baik kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian internasional dan sumber-sumber hukum internasional lainnya. Mahkamah Internasional dalam kasus Gulf of Maine Case menyatakan bahwa, “the concepts of acquiescence … in international law follow from the fundamental principles of good faith and equity” , artinya bahwa Mahkamah Internasional dalam pengambilan keputusan juga menerapkan prinsip dasar itikad baik dan equity. Martin Dixon dan Robert McCorquodale menyatakan dalam bukunya, “Cases & Materials on International Law”, laporan dari ILC kepada Maj elis Umum (MU) PBB mengenai prinsip pacta sunt servanda, bahwa perjanjian-perjanjian internasional adalah mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik, merupakan prinsip fundamental dari hukum perjanjian internasional. Pentingnya prinsip ini ditegaskan dalam kenyataan, prinsip pacta sunt servanda diabadikan dalam Mukadimah Piagam PBB. Dalam yurisprudensi peradilan internasional dalam konteks dewasa ini, prinsip “itikad baik” merupakan prinsip hukum yang membentuk bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan aturan pacta sunt servanda. Untuk itu, dalam kasus tentang Rights of Nationals of the United States of America in Morocco (Putusan 27 Agustus 1954) b erdasarkan pasal 95 dan 96 dari Act of Algeciras berbunyi: “the power of making … but it is a power which must be exercised reasonably and in good faith”. Mahkamah Internasional Permanen dalam menera pkan pasal-
pasal suatu perjanjian yang melarang diskriminasi terhadap minoritas, maka pasal tersebut harus diterapkan dan dijamin ditiadakannya diskriminasi dalam kenyataan dan dalam hukum, jadi asas itikad baik harus diwujudkan dalam putusan Mahkamah. Prinsip pacta sunt servanda dianggap sebagai prinsip utama mengapa terdapat penaatan terhadap kewajiban-kewajiban internasional. Prinsip ini lahir dari kehendak negara-negara dan juga merupakan prinsip hukum kebiasaan internasional. P rinsip pacta sunt servanda diperlukan, karena ada aturan-aturan hukum yang signifikan dalam masyarakat internasional. Kewajiban melaksanakan isi perjanjian internasional oleh negara-negara yang telah menjadi pihak, memang merupakan tujuan dibuatnya perjanjian internasional itu sendiri, sehingga bilamana dipertanyakan, mengapa perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat, maka satusatunya jawabannya adalah bahwa hukum internasional mengatur bahwa, setiap perjanjian yang dibuat menciptakan kewajiban terhadap negara-negara pihak. Teoretikus bernama Anzilotti, juga mendasarkan kekuatan mengikatnya perjanjian internasional pada asas pacta sunt servanda. Sekali suatu negara menyatakan diri terikat pada suatu perjanjian internasional, negara tersebut tidak diperbolehkan menarik diri dari k ewajiban-kewajibannya, mereka tanpa diketahui oleh negara-negara pihak lainnya. Sebagai contoh, pada tahun 1871, Britania Raya, Prancis, Italia, Prusia, Rusia, Austria, dan Turki membuat Deklarasi dalam Konferensi di London, bahwa: “that the Powers recognize it an essential principle of the Law of Nations that no Power can liberate itself from the engagements of a treaty nor modify the stipulations thereof, unless with the consent of the contracting parties by means of an amicable understanding”. Dengan deklarasi tersebut, maka telah diakui sebagai prinsip hukum internasional bahwa setiap negara pihak tidak akan menarik diri dari kesepakatan mereka terhadap suatu perjanjian ataupun mengubahnya, kecuali atas kehendak dari negara-negara peserta melalui kesepakatan bersama. Dalam Piagam PBB semua negara peserta harus memenuhi semua kewajiban yang tercantum dalam Piagam dengan itikad baik. Ketentuan tersebut tercantum pada Pasal 2 par. 2 sebagai berikut: “All members, in order to ensure to all of them the rights and benefits resulting from membership, shall fulfill in good faith the obligations assumed by them in accordance with the present Charter”.
Dari ketentuan Pasal 2 par 2 tersebut, diketahui bahwa prinsip pacta sunt servanda telah diakui secara internasional jauh sebelum diadopsinya Konvensi W ina 1969 tentang Perjanjian Internasional. PBB adalah sebuah organisasi yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perdamaian dan keamanan internasional. Organisasi ini memiliki enam organ utama yaitu, Majelis Umum, Dewan Keamanan, Ecosoc, Trusteeship, Sekretaris Jenderal dan Mahkamah Internasional. Dari keenam organ tersebut, DK merupakan organ yang diberi tanggung jawab utama (primary responsibility) untuk menyelenggarakan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam menjalankan fungsinya, DK akan mengeluarkan resolusi-resolusi yang mempunyai kekuatan mengikat berlakunya berdasarkan ketentuan Pasal 25 Piagam PBB bahwa, “the members of the United Nations agree to accept and carry out the decisions of the Security Council in accordance with the present Charter”, maka atas dasar Pasal 25 tersebut, semua resolusi yang dikeluarkan oleh DK harus ditaati. Misalnya resolusi DK untuk pengiriman pasukan penjaga perdamaian (peace-keeping force) oleh Negara-negara anggotan ya, maka pemerintah Indonesia juga wajib menaatinya, yaitu dengan mengirimkan pasukan-pasukannya untuk kepentingan perdamaian di negara-negara yang sedang bersengketa. Organ utama lainnya dalam organisasi PBB yang memberlakukan asas pacta sunt servanda adalah Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional merupakan organ utama PBB yang dibentuk pada tahun 1945 dalam konferensi PBB mengenai Organisasi Internasional di San Francisco sebagai pengganti Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice) yang dibentuk oleh LBB. Ketentuan mengenai Mahkamah Internasional telah diatur dalam Pasal 92 sampai dengan Pasal 96 Piagam PBB. Namun dalam menjalankan fungsinya, Mahkamah Internasional akan bekerja berdasarkan Statuta Mahkamah International yang merupakan bagian integral dari Piagam PBB (Pasal 92 Piagam PBB). Di dalam Piagam PBB yang khusus mengatur tentang Mahkamah Internasional telah ditentukan bahwa setiap anggota PBB berusaha untuk mematuhi keputusan Mahkamah Internasional dalam perkara apapun di mana anggota tersebut menjadi salah satu pihak (Pasal 94 Ayat (1) Piagam PBB). Selanjutnya apabila sesuatu pihak dalam suatu perkara tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh suatu keputusan Mahkamah, pihak yang lain dapat meminta perhatian DK, yang jika perlu, dapat memberikan rekomendasi atau menentukan tindakantindakan yang akan diambil untuk terlaksananya keputusan (Pasal 94 (2) Piagam PBB). Statuta Mahkamah Internasional menegaskan kekuatan mengikatnya keputusan Mahkamah dalam Pasal
59 yang menyatakan “… the decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case”, artinya bahwa keputusan Mahkamah hanya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan hanya berkaitan dengan perkara khusus yang dimajukan kepada Mahkamah. Contoh keputusan Mahkamah Internasional dalam hal ini adalah keputusan dalam penyelesaian sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Pemerintah Republik Indonesia dan Malaysia memperebutkan dua gundukan pasir seluas 23 hektar. Luas Pulau Sipadan adalah 13 km2, lebih besar dari pulau Ligitan. Hingga tahun 1980-an kedua pulau tersebut tidak berpenduduk. Bagi Indonesia, Sipadan-Ligitan merupakan simbol kedaulatan. Bagi Malaysia, secara ekonomis nilainya pun tidak besar dan tidak ada satu pun perjanjian internasional yang menyebut kedua pulau tersebut. Pada tahun 1917, untuk pertama kali, Sipadan nyata disebut dalam Tutle Preservation Ordinance, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris untuk melindungi pe nyu. Protes Hindia Belanda atas dimasukkannya Sipadan sebagai salah satu jangkauan ordonansi tersebut tidak ada tanggapan. Sengketa timbul tahun 1969 di era Pemerintahan Soeharto. Pentingnya kedua pulau tersebut, sehingga dipersengketakan, karena dua pulau tersebut dapat menjadi titik untuk menentukan lebar laut wilayah, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Kepentingan ekonomi sangat dominan dalam perebutan pulau tersebut, selain untuk mempertahankan keutuhan wilayah. Setelah melalui negosiasi yang cukup memakan waktu, akhirnya Indonesia-Malaysia menyetujui pengajuan sengketa ke Mahkamah Internasional dan perjanjian ditandatangani tahun 1997. Proses beperkara berlangsung dan diputus pada era presiden ke-5 RI, pada Pemerintahan Megawati. Pada 17 Desember 2002 di Den Haag, diputuskan oleh Mahkamah Internasional mengenai kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, bahwa: “In its Judgment, which is final, without appeal and binding for the Parties, the Court finds, by sixteen votes to one, that ’sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan belongs to Malaysia’. Ligitan and Sipadan are two very small islands located in the Celebes Sea, off the north-east coast of the island of Borneo.” Berdasarkan ketentuan dalam Piagam PBB, dalam Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional dan keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Pulau Ligitan dan Sipadan tertanggal 17 Desember 2002 tersebut, maka para pihak dalam sengketa (Indonesia dan Malaysia) terikat untuk melaksanakannya. Keputusan bersifat final, tanpa banding dan mengikat baik Indonesia
maupun Malaysia, dan berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan menjadi milik Malaysia.
CONTOH UU RATIFIKASI A. Umum
1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun perjanjian internasional: -Aspek politis: dilarang membuat perjanjian internasional dengan negara yang tidak memiliki hubungan diplomasi. -Aspek yuridis: perjanjian internasional wajib mematuhi kaidah hukum. -Aspek teknis: perjanjian internasional disusun dengan mempertimbangkan kesiapan kementerian-kementerian terkait. -Aspek keamanan: perjanjian internasional tidak boleh mengganggu stabilitas negara. 2. Untuk memastikan dijalankannya tahapan-tahapan penyusunan perjanjian internasional (konsultasi, koordinasi, dan sebagainya), Kemlu memanfaatkan “momentum” kebutuhan kementerian pemrakarsa akan surat kuasa ( full power ) dan/atau kertas perjanjian yang dikeluarkan oleh Kemlu. 3. Perjanjian internasional yang mempersyaratkan ratifikasi tidak berlaku jika salah satu p ihak belum meratifikasi perjanjian tersebut. Setelah diratifikasi, berlakunya perjanjian tersebut bergantung pada paham yang berlaku di negara tersebut: monisme atau dualisme. 4. Pasal 26 Konvensi Wina 1969: perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 27: negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional. B. Monisme & Dualisme
Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional bergantung pada paham yang diterapkan suatu negara. Terdapat dua paham dalam hal ini: dualisme dan monisme. 1. Dualisme Paham ini memperlakukan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Dengan kata lain, hukum internasional perlu ditransformasi ke dalam hukum nasional supaya dapat diterapkan. Menurut paham ini, perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi, setelah ratified by each contracting party, tidak lantas masuk ke dalam hukum nasional. Perjanjian tersebut harus melalui proses transformasi (meskipun ratifikasi dilakukan dengan UU atau Perpres). Demikian pula halnya perjanjian internasional yang tidak memerlukan ratifikasi: tidak lantas masuk ke
dalam hukum nasional setelah ditandatangani, tetapi harus melalui proses transformasi terlebih dahulu. 2. Monisme Paham ini menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian, terdapat hierarki atas kedua hukum ini. Ada yang berpendapat bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional (disebut primat hukum nasional), dan dengan demikian hukum nasional berkedudukan lebih tinggi dari hukum internasional. Ada juga yang berpendapat bahwa hukum nasional merupakan bagian dari hukum internasional (disebut primat hukum internasional), dan dengan demikian hukum internasional berkedudukan lebih tinggi dari hukum nasional. Menurut paham ini, setelah ratified by each contracting party, perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi secara otomatis masuk ke dalam ruang lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Demikian pula halnya perjanjian internasional yang tidak memerlukan ratifikasi: otomatis masuk ke dalam ruang lingkup nasional setelah ditandatangani. Catatan Contoh UU ratifikasi: UU Nomor 17 Tahun 1985. Contoh UU transformasi: UU Nomor 6 Tahun 1996. Keduanya terkait dengan UNCLOS 1982. Negara yang menganut paham dualisme antara lain AS, Inggris, dan Australia. Negara yang menganut paham monisme antara lain Belanda, Jerman, Perancis. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Damos Dumoli Agusman (2008), sistem hukum Indonesia belum mengindikasikan apakah menganut monoisme atau dualisme. UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 dan membutuhkan adanya UU Nomor 6 Tahun 1996 sebagai UU transformasi merupakan contoh di mana Indonesia “tampaknya” menerapkan paham dualisme. Sebaliknya, terdapat contoh-contoh di mana Indonesia “tampaknya” menerapkan paham monisme: 1. Pasal 13 UU Nomor 24 Tahun 2000: Setiap undang-undang atau peraturan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa penempatan peraturan per-UU-an pengesahan suatu perjanjian internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan ini, UU yang meratifikasi suatu perjanjian internasional sudah bisa mengikat seluruh warga negara Indonesia.
2. Pada kasus tanah Kedubes Saudi Arabia, fatwa MA tahun 2006 merujuk pada prinsip kekebalan diplomatik dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 19 82. Hakim menggunakan perjanjian internasional sebagai sumber hukum, padahal tidak ada UU transformasi atas konvensi tersebut. Catatan Kalau dirunut, paham dualisme dalam contoh UNCLOS di atas diterapkan sebelum terbitnya UU 24/2000, sementara paham monisme diterapkan sejak terbit UU 24/2000. Q: Apakah ini berarti bahwa Indonesia menerapkan paham monisme dengan dasar hukum UU 24/2000? A: Nggak tahu (mungkin aja ada kasus lain setelah tahun 2000 di mana dilakukan transformasi atas ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional). C. Surat Menkeu Perihal Isu Perpajakan Terkait Posisi Runding Indonesia Dalam Perundingan Perjanjian Bilateral/Multilateral
Pada tahun 2008, Menteri Keuangan membuat surat nomor S-640/MK.03/2008 yang ditujukan kepada Presiden. Pokok-pokok isi surat tersebut sebagai berikut: 1. Draft perjanjian internasional sebaiknya tidak mengatur masalah p erpajakan karena pembebasan dan pemberian fasilitas perpajakan berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, menimbulkan kesulitan administratif dalam pelaksanaannya di lapangan, dan beberapa alasan lain. 2. Dalam draft perjanjian internasional, ketentuan berikut perlu diperhatika n: a. pembebasan pajak dan pemberian fasilitas perpajakan. – pembebasan pajak dan pemberian fasilitas perpajakan hendaknya mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. – hendaknya dimasukkan klausul “Tax exemption and relief shall be in accordance with the prevailing tax laws and regulations.” Patut menjadi perhatian juga apabila ada klausul pengecualian masalah perpajakan, namun pasal tentang expropriation dan/atau dispute settlement “dihidupkan” kembali. b. perluasan penafsiran dan penerapan isi perjanjian ke masalah perpajakan, khususnya pasal pasal mengenai national treatment , most favoured nation, dan expropriation/dispossession. Definisi istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
National treatment: A concept of international law that declares if a state provides certain rights and privileges to its own citizens, it also should provide equivalent rights and privileges to foreigners who are currently in the country. Most favoured nation: perlakuan yang sama terhadap negara-negara yang memperoleh “perlakuan istimewa”. Expropriation/dispossession: pencabutan hak milik. Perluasan penafsiran ke masalah perpajakan tidak boleh dilakukan karena ketentuan perpajakan telah diatur dalam peraturan perpajakan serta tax treaty. Misalnya, ketentuan perpajakan mengatur tarif PPh bagi WP DN berbeda dengan WP LN; jika penafsiran pasal natioanl treatment diperluas ke masalah perpajakan, Indonesia bisa dianggap tidak mematuhi perjanjian internasional. Begitu juga dengan ketentuan tarif P3B dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) yang berpotensi menyalahi ketentuan pasal most favoured nation dan expropriation/dispossession dalam perjanjian internasional apabila penafsirannya diperluas ke masalah perpajakan. D. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
Dalam Pasal 26 ayat (1) PP Nomor 94 Tahun 2010 diatur bahwa dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam UU PPh, perlakuan perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional. Pada ayat berikutnya diatur bahwa pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
1. Re judicata atau keputusan tetap pengadilan keputusan tetap suatu pengadilan menjadi suatu prinsip umum dan di pegang teguh, sebagai landasan pembentuk kaidah hukum internasional. Contohnya keputusan-keputusan hakim terkenal dari British Prize Court - Lord Stowell (1745-1836), yang mengetuai mahkamah tersebut pada waktu perang Napoleon. Kemudian menurut Marshall C.J. dari Mahkamah Agung Amerika Serikat, menerangkan bahwasanya keputusan-keputusan pengadilan setiap negara menunjukkan bagaimana hukum internasional pada hal-hal tertentu, di mengerti negara-negara tersebut, dan yang akan di pertimbangkan pada kaidah hukum yang berlaku di daerah ini. 2. Nullum Crimen Sine Lege pasal 22 dan 23 statuta roma menjelaskan mengenai asas Nullum Crimen Sine Lege, yaitu suatu asas hukum umum internasional yang menerangkan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta kecuali tindakan tersebut waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam Yuridiksi Mahkamah. Menurut sejarahnya, tujuan diterapkannya prinsip tersebut adalah untuk menghindari kesewenang-wenangan hukum. Mahkamah Internasional dapat sewenang-wenang menghukum seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan serta-merta menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah kejahatan atau perbuatan pidana, padahal ketika perbuatan itu dilakukan, Statuta tidak menyatakan perbuatan itu sebagai perbuatan pidana. Prinsip ini sendiri mulai diterima di Eropa pada akhir abad ke-19. Hazewinkel-Suringa, seorang ahli hukum Belanda, juga memakai kata-kata dalam bahasa Belanda untuk menjelaskan prinsip tersebut, yaitu ”Geen delict, geen straf zonder een voorfgaande strafbepaling” yang artinya bahwa sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana maka perbatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana, dalam hal ini yang adalah Statuta Roma. Moelyatno menulis bahwa prinsip tersebut mengandung tiga pengertian: 1)Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2)Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3)Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Dengan adanya prinsip tersebut, maka Mahkamah Internasional hanya dapat menjatuhi hukuman pidana kepada seorang terpidana sesuai dengan Statuta. 3. Asas konsensualisme/ Free will
Asas konsensualisme mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian. Asas konsensualisme juga dapat dilihat d alam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adan ya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Contoh penerapan prinsip umum hukum "Konsensualisme" adalah pada prosedur beracara di Mahkamah Internasional (International Court Of Justice), dimana proses beracara hanya dapat dilakukan setelah adanya kemauan dan kesepakatan bersama dari para pihak yang akan beracara. Jadi Mahkamah internasional tidak akan memulai memeriksa/mengadili sebuah perkara sebelum para pihak yang bersengketa menyetujui bersama untuk menyelesaikan perkaranya di Mahkamah Internasional. Hal ini didasarkan atas prinsip/asas konsensualisme (free will), dimana Mahkamah Internasional beserta negara-negara yang bersengketa di dalamnya sangat menjunjung dan menghargai prinsip Konsensualisme tersebut. 4 . Asas Kebebasan Berkontrak / freedom of contract Sutan Remy Sjandeini[4] mengemukakan, dari mempelajari hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia. 5. Prinsip Yurisdiksi Teritorial(ratione loci) Mahkamah konstitusi memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan odi wilayah negara-negara pihak tanpa memandang kewarganegaraan dari pelaku. prinsip umum tersebut dijelasakan dalam Pasal 12 ayat 2(a) dari statuta. mahkamah juga memilki atas kejatan-kejahatan yang dilakukan negara-negara yang menerima yuridiksinya atas dasar ad hoc dan diwilayah yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan. konvensi Genoside tahun 1948 beberapapresden mengenai gagasan bahwa suatu mahkamah pidana internasional dapat memilki yurisdiksi atas kejahatnkejahatan yang dilakukan di wilayah negara lain. 6. Singel Narcotic Drugs Convention
convention ini dibuat pada tahun 1961, adalah untuk memberi BANTUAN narkotika CONTROL kepada negara negara di dunia, untuk menanggulangi lalu lintas ilegal narkotika baik internasional maupun regional, memberikan bantuan perawatan ketagihan obat-obatan terlarang terutama untuk negara - negara sedang berkembang, hingga pemberian dana PBB untuk Pengendalian Penyalahgunaan Narkotika. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud dari "Singel Narcotic Drugs Convention" adalah sebu ah prinsip hukum umum yang berkaitan dengan pencegahan dan memberantas Narkotika dengan kerjasama Internasional untuk mewujudkan rasa damai dan aman di dunia, dan perlu diketahui juga bahwa prinsip hukum ini termasuk prinsip hukum yang paling banyak di setujui oleh negara - negara di dunia. 7. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradap Yang dimaksud dengan prinsip- prinsip hukum umum adalah asas asas yang mendasari sistem hukum modern. Salah satu asas itu adalah pacta sunt servanda. Pacta sunt servanda adalah pepatah dalam bahasa romawi yang berarti setiap janji mengikat atau tiap tiap janji harus ditepati. Dijelmakan dalam pasal 1338 KUHP yang berbunyi “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undangbagi mereka yang membuatnya." Sebagaimana diketahui, dalam hubungan antara negara satu dengan negara lain, diadakan perjanjian dalam segala lapangan guna memperlancar hubungan tersebut. Oleh karena itu, pada hakikatnya tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaan negara, maka tidak ada suatu kekuasaan yang dapat memaksakan kehendaknya untuk melakukan pengawasan, agar perjanjian itu dapat dilaksanakan sebaik-baiknya. Asas ini bermaksud untuk memberikan pedoman bagi tiap-tiap negara lain berdasarkan sesuatu perjanjian. 8. jus cogens dalam sistematik Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional dimuat dalam Bagian V yang mengatur hal pembatalan, berhenti berlakunya dalam penundaan berlakunya perjanjian. Dalam bagian V Konvensi ini beberapa alasan dapat diajukan, misalnya untuk pembatalan suatu perjanjian dengan adanya pelanggaral terhadap ketentuan -ketentuan tertentu dalam hukum nasional negara peserta yang berkenaan dengan kuasa penuh dari negara pengirim (Pasal 46 dan 47 Konvensi), adanya unsur kesalahan (Pasal 48), adanya unsur penipuan (Pasal 49) dan unsur kelicikan (Pasal 50) 9. General principle of law
Sebuah ajaran pengoptimalan hukum atau aturan hukum yang harus diikuti sejauh mungkin. Sebagai bagian dari hukum, prinsip-prinsip umum hukum mengikat tidak mewakili keadaan normatif dengan cara yang eksplisit norma hukum dilakukan, tetapi dapat dilihat sebagai aturanaturan hukum yang harus diikuti sejauh mungkin. Karena mereka tidak membawa kaku seperti kekuatan mengikat sebagai norma-norma dari tatanan hukum yang benar, prinsip-prinsip ini disebut "pengoptimalan ajaran". Sebagai contoh, prinsip yang berasal dari hukum Romawi yang menyatakan bahwa perjanjian harus dijaga (pacta sunt servanda) adalah peradilan umum titik tolak yang terdapat banyak pengecualian. Oleh karena itu dimungkinkan untuk dibebaskan dari terlalu keras dan kurang adil kewajiban kontrak atas dasar, antara lain, prinsip akal sehat. Hukum Finlandia mencakup berbagai prinsip-prinsip umum hukum membawa validitas hukum yang dapat saling bertentangan tanpa berlaku demikian mereka yang terpengaruh. 10 Asas Legalitas as the general principle of law Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatankejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan perbuatan – yang dikatakan jahat-, namun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris pada 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya juga merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia 11. Prinsip proporsionalitas Prinsip ini berasal dari hukum Jerman (di sana disebut sebagai Verhältnismässigkeit) di mana mendasari beberapa ketentuan tertentu dalam Und ang-Undang Dasar Jerman. Prinsip ini pertama Komisi Eropa terkena hukum dalam kasus Handelsgesellschaft Internationale. Dinyatakan bahwa "Sebuah otoritas publik tersebut tidak dapat mengenakan kewajiban atas seorang warga negara kecuali sejauh mana mereka benar-benar diperlukan dalam kepentingan publik untuk mencapai
tujuan dari ukuran." Jelas, karena itu, bahwa jika beban yang dikenakan jelas di luar proporsi ke objek dalam tampilan, ukuran akan dibatalkan oleh Pengadilan. 12. Prinsip Hidup Berdampingan. Doktrin Persamaan Derajat Negara-Negara (Doctrine Of The Equalit y Of States) di kembangkan sejak pemulaan sejarah Hukum Internasional, ternyata doktrin te rsebut masih bertahan hingga sekarang dengan mendapat tambahan penekanan dengan menamakannya sebagai prinsip persamaan Kedaulatan Negara-Negara dalam Declaration On Principles Of International Law Concerning And Co-Operat6ion Among States In Accordance With The United Nations Charter yang di keluarkan Majelis Umum PBB pada tahun 1970. Dengan adanya doktrin tersebut Negara-Negara menikmati kesamaan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat internasional tanpa memandang di bidang ekonomi, sosial, politik dan keadaan lainnya. Pasal 1 piagam PBB (UN charter) menyatakan penghargaan atas prinsip persamaan hak dan pada pasal 2 nya menyatakan atas prinsip-prinsip persamaan kedaulatan sesama anggotanya serta prinsip prinsip lain yang di akui sesama anggota PBB, misalnya asas tidak mencampuri urusan dalam Negeri Negara lain, dan sebagainya. Ketentuan yang penting dalam piagam PBB pasal 74 tentang adanya prinsip umum mengenai bertetangga baik (Good-Neighborliness) di bidang sosial, ekonomi, perdagangan dan bidang lainnya. Demikian pula dalam hukum internasional di kenal adanya prinsip hidup berdampingan secara damai (PeacefulCo-Existence). Sebenarnya ada lima prinsip hidup berdampingan secara damai yaitu saling menghormati kedaulatan teritorial masing-masing, saling tidak melakukan agresi (Non Aggression), saling tidak mencampuri urusan dalam Negeri masing-masing Negara (Non Intervention). Hidup berdampingan secara damai, persamaan kedudukan dan kedaulatan. Diktrin tersebut sebenarnya telah tercantum dalam berbagai perjanjian antar Negara, antara lain perjanjian Negara India dan Republik Rakyat China 29 April 1945, pada Dasa Sila Bandung sebagai hasil dari Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 yang sampai sekarang masih di hormati oleh semua Negara di kawasan tersebut. Masyarakat Internasional dalam prakteknya menghendaki adanya perdamaian dan keharmonisan, sehingga masing-masing masyarakat Negara dapat menikmati hidup yang tenang dengan di dukung oleh keharmonisan hukum yang berlaku. Kurang harmonisnya hubungan antara Indonesia dan Australia sebagai Negara yang bertetangga hendaknya dapat di harmoniskan kembali dengan mencermati makna dari Peaceful Co-Existence secara lebih mendalam.
Mengingat adanya hubungan timbal balik yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang lama oleh kedua Negara. Baik dibidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, perdagangan dan bidang hukum serta bidang lainnya. Keretakan hubungan ini hendaknya tidak berlangsung lama, tetapi dapat segera di perbaiki melalui jalur diplomasi, negosiasi dan cara-cara lain yang layak di tempuh untuk menormalkan kembali hubungan sebagai Negara bertetangga dengan mengjhormati prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Nilai sebenarnya dari prinsip Peaceful Co-Existence terletak penerapan secara tepat dari kaidah-kaidah yang tercantum dalam piagam PBB sehingga masyarakat Internasional dapat mengendalikan diri masing-masing untuk tidak saling bermusuhan dan lebih arief dapat dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. 13. Pinsip umum hukum dalam bidang hukum dagang Prinsip hukum perlindungan rahasia dagang secara garis besar dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu common law approach dan statutory approach. Pada common law approach, rahasia dagang tidak dianggap properti (hak milik) akan tetapi difo-kuskan pada hubungan hukum yang bersifat confidencial dan fiduciary. Substansi atau lingkup informasinya meliputi informasi apa saja sepanjang memiliki sifat kerahasiaan dan bukan m erupakan informasi milik umum atau pengetahuan umum. Elemen rahasia dagang dalam pendekatan ini ad alah informasi rahasianya bersifat relatif, ada kewajiban mera-hasiakan informasi tersebut karena diperjanjikan dan jika terjadi tindakan perolehan, penggunaan atau pengungkapan tanpa izin, maka akan merugikan pihak pemberi informasi. Perlindungan hukum yang diberikan kepada pemberi in- formasi didasarkan pada prinsip kontraktual yang upaya pemulihan hanya dalam bidang perdata. Sedang pada statutory approach, rahasia dagang dianggap sebagai properti (hak milik) sehingga ada hak eksklusif bagi pemiliknya. Substansi atau lingkup informasinya dan elemen rahasia dagang sama dengan common law approach kecuali kewajiban merahasiakan informasi pada statutory approach tetap ada meskipun tidak diperjanjikan untuk merahasiakannya. Perlindungan hukum yang digunakan berdasarkan prinsip kontraktual, perbuatan melawan hukum, dan itikad baik. Upaya pemulihan atas pelanggaran rahasia dagang dapat diajukan dalam bidang perdata maupun pidana. 14. Prinsip tentang kebebasan berekspresi dan kesetaraan Prinsip-prinsip ini berlandaskan pada pemahaman kesetaraan secara luas, yang mencakup hak-hak atas kedudukan yang sejajar di muka hukum dan non diskriminasi juga perlakuan dan status yang
sejajar. Prinsip-prinsip ini mengakui bahwa masalah diskriminasi dan stereotip negatif berurat akar pada fenomena sosial ekonomi dan politis. Oleh karena itu, penghapusan diskriminasi dan streotip membutuhkan upaya-upaya berkelanjutan dan meluas, mencakup pendidikan, dialog sosial dan pengembangan kesadaran. Jika masalah-masalah kontroversial, termasuk agama, diperdebatkan di tingkat permukaan saja, maka akar sosial dari prasangka tidak akan bisa terungkap dan kesetaraan pun tak berhasil diwujudkan. Dalam banyak kesempatan, pengekangan kebebasan berekspresi lebih banyak diarahkan pada kelompok-kelompok yang kurang beruntung, sehingga kesetaraan pun gagal terbangun. Perdebatan yang terbuka, bu kan pengekangan, penting untuk memerangi stereotip negatif terhadap individu dan kelompok dan mengungkap kerugian yang timbul akibat prasangka. 15. Persetujuan mengikat para pihak dan harus dihormati. Segala perselisihan, pertentangan, atau perbedaan yang mungkin timbul antara para pihak baik di luar atau berkaitan dengan perjanjian ini akan diselesaikan secara damai antara para pihak. Dalam hal perdamaian tidak bisa tercapai dalam waktu yang wajar, maka semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur SIAC atau Singapore International Arbitration Centre oleh arbitor yang ditunjuk menurut peraturan tersebut. 16. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle) Dalam prinsip pembatasan ialah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa/berperang, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain. Penggunaan tank untuk menghancurkan sasaran militer diperbolehkan, karena merupakan senjata yang biasa dipakai atau senjata konvensional; sedangkan penggunaan racun, senjata beracun (kimia) termasuk senjata biologi atau nuklir (senjata non-konvensional) tidak dapat dibenarkan karena sifatnya yang dapat mengakibatkan kemusnahan secara massal tanpa dapat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer. Dalam hal ini pep ralatan yang digunakan ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar 17. Ratifikasi dan adopsi hukum hak asasi manusia
Semua Negara sebaiknya meratifikasi perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional dan regional, melalui adopsi atau cara-cara lain, dan mengembangkan undang-undang di tingkat nasional yang menjamin hak-hak atas kesetaraan dan kebebasan berekspresi. 18. Kerangka hukum untuk melindungi hak atas kebebasan berekspresi Negara sebaiknya memastikan agar hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, melalui medium komunikasi apapun, termasuk hak atas informasi, tercantum dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi nasional atau aturan-aturan yang setara, yang selaras dengan hukum hak asasi manusia internasional. 19. Kerangka hukum untuk melindungi hak atas kesetaraan Negara sebaiknya memastikan agar hak atas kesetaraan tercantum dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi nasional atau aturan-aturan yang setara, yang selaras dengan hukum hak asasi manusia internasional. 20. Akses terhadap Pemulihan Negara sebaiknya menjamin ketersediaan pemulihan atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan kesetaraan, yang efektif dan dapat diakses oleh semua. Pemulihan ini sebaiknya mencakup pemulihan secara yuridis dan non yuridis, melalui lembaga-lembaga hak asasi manusia dan/atau ombudsman. 21. Pembatasan Negara sebaiknya tidak memberlakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi yang tidak sejalan dengan standar yang tercantum dalam Prinsip hukum umum dan, pembatasan yang berlaku sebaiknya diatur dalam undang-undang, bertujuan untuk melindungi hak atau reputasi orang lain, atau kesehatan dan moral masyarakat, dan dibutuhkan oleh masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut 22. Penyebarluasan Kebencian Negara sebaiknya mengadopsi legislasi yang melarang advokasi kebencian antarbangsa, ras atau agama yang mengandung penyebarluasan diskriminasi, kebencian atau kekerasan (ungkapan kebencian).3 Sistem hukum nasional sebaiknya memperjelas, baik secara eksplisit maupun interpretasi yang otoritatif, 23. Asas teritorial
Menurut azas ini, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya dan terhadap semua barang atau orang yang berada diwilayah tersebut, berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya. 24. Asas kebangsaan Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara untuk warga negaranya, menurut asa ini setiap negara di manapun juga dia berada tetap mendapatkan perlakuan hukum dari negaranya, Asas ini mempunyai kekuatan extritorial , artinya hukum negera tersebut tetap berlaku juga bagi warga negaranya, walaupun ia berada di negara asing. 25. Asas kepentingan umum Asas ini didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalan kehidupan masyarakat, dalam hal ini negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan umum, jadi hukum tidak terikat pada batas batas wilayah suatu negara. 26. Egality rights Pihak yang saling mengadakan hubungan itu berkedudukan sama 27. Reciprositas Tindakan suatu negara terhadap negara lain dapat dibalas setimpal, baik tindakan yang bersifat negatif ataupun posistif. 28. Courtesy Asas saling menghornati dan saling menjaga kehormatan negera 29. Rebus Sig stantibus Asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamentali dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu. 30. Prinsip Jus Cogen prinsip jus cogens adalah serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat diubah, yang tidak boleh diabaikan, dan yang karenanya dapat berlaku un tuk membatalkan suatu traktat atau perjanjian antara negara-negara, dalam hal traktat atau perjanjian tersebut tidak sesuai dengan salah satu prinsip atau norma. dalam kasus Internasional Bosnia-Herzegovina melawan Yugoslavia, ICJ melakukan pelarangan terhadap tindakan agresi militer dan genocide, yang bertentangan dengan prinsip Jus Cogens itu sendiri, yaitu memelihara perdamaian dunia.
ke- 30 prnsip-prinsip hukum internasional di atas merupakan s ebagian dari sekian banyak prinsip-prinsip hukum internasional yang ada dan diakui oleh dunia internasional.