BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
REFERAT KASUS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
SEPTEMBER 2016
SUBDURAL HEMATOMA
OLEH : ALFIANI NUR, S.Ked 10542 0357 12 A. RASDIANA, S.Ked 10542 0349 12
PEMBIMBING: dr. A. WERI SOMPA, Sp.S, M.Kes
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:
Nama
: Alfiani Nur A. Rasdiana
NIM
: 10542035712 10542034912
Judul Laporan Kasus : Subdural hematom
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 11 September 2016 Pembimbing
dr. A. Weri Sompa, Sp.S., M.Kes
A. Pendahuluan Di Negara-negara maju menunjukkan data bahwa trauma kepala mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33% kecelakaan berakhir kematian menyangkut trauma kapitis.1 Di Indonesia menurut Depkes RI tahun 2007, cedera kepala menempati urutan ke-7 pada 10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke 6 dengan CFR 2,99%. Sedangkan di Amerika tiap tahunnya hampir 52.000 penduduk meninggal karena trauma kepala (20 orang per 100.000 populasi). Insiden pasien dengan cedera kepala berat (GCS kurang dari 8) mencapai 100 per 100.000 populasi. 2 Trauma kapitis merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera ditangani. Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik secara langsung menghantam kepala. Akibatnya dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri dan perdarahan intracranial seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral hematom. Trauma kapitis ini dapat menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal kejadian, timbulnya kecacatan pada kemudian hari atau bahkan pada kasus yang berat dapat menimbulkan kematian.1 Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambah besarnya volume
perdarahan
mengakibatkan
terjadinya
peningkatan
tekanan
intracranial yang ditandai dengan nyeri kepala, papil edema, dan muntah yang seringkali bersifat proyektil.3 Pada tahap lebih lanjut, jika hematoma yang terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai dengan penurunan kesadaran, adanya pupil yang anisokor dan terjadinya hemparesis kontralateral.4
Pada subdural hematom, walaupun jarang juga dapat terjadi tanpa trauma. Pembuluh darah yang abnormal, dehidrasi, kanker, dan gangguan pembuluh darah dapat menyebabkan terjadinya subdural hematom yang spontan. Obatobat pembeku darah, steroid anabolik atau kokain dapat menjadi faktor terjadinya subdural hematom. 3 B. Definisi Subdural Hematom adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi bermuara, namun juga dapat terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Subdural hematom paling sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Subdural hematom juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak. 4 Subdural hematom yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga memicu timbulnya perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematom dibagi menjadi 3 fase yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam setelah trauma, subakut 3-7 hari, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma.4
Gambar 1 : Subdural Hematom5
Anatomi 1. Kulit kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut Scalp yaitu skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotica, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.3
Gambar 2 : lapisan cranium 6
2. Tulang tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kalvaria dan basis cranii. Tulang tengkorak teridir dari beberapa tulang yaitu tulang frontal, parietal,temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di region temporal adalah tipis namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat temporalis dan fossa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebellum. 3
Gambar 3 : Calvaria7 3. Menings Selaput menings menutupi seluruh permukaan dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :3 a.
duramater Secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari cranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai subdural hematom. Pada cedera otak pembuluh pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagittalis superior di garis tengah atau disebut bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
subdural
hematom.
Sinus
sagittalis
superior
mengalirkan darah ke sinus transverses dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi dari arteri-arteri ini dan menyebabkan epidural hematom. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fossa temporalis (fossa media).3 b. Arakhnoid Selaput arakhnoidea merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan pia mater oleh spatium subarachnoidea yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Subarakhnoidea hematom umumnya disebabkan akibat cedera kepala. 3 c. Piamater Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membrane vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epicraniumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh piamater. 3
Gambar 4 : Menings6 4. Otak Otak merupakan suatu struktrur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan ) yang terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan serebellum. 3 Fissure membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, motorik, dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas bersisi system
aktivasi
reticular
yang
berfungsi
dalam
kesadaran
dan
kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. cerebellum
bertanggung
keseimbangan. 3
jawab
dalam
fungsi
koordinasi
dan
Gambar 5 : Lobus Otak6 5. Cairan serebrospinalis Dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulation arakhnoidea yang terdapat pada sinus sagittalis superior. Adanya darah dalam aliran CSS dapat menyumbat granulation arakhnoidea sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.3
Gambar 6 : Aliran Cairan likuoserebrospinalis 7 6. Tentorium Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial (terdiri dari fossa cranii anterior dan media) dan ruang infratentorial (fossa kranii posterior).3 7. Perdarahan Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis, keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot di dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.3 C. Epidemiologi Subdural hematom akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan trauma kepala berat berdasarkan suatu penelitian, sedangkan subdural hematom
kronik terjadi 1-3 kasus per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan mengenai morbiditas dan mortalitas subdural hematom. Mayoritas subdural hematom berhubungan dengan factor umur yang merupakan faktor resiko pada cedera kepala. Subdural hematom biasanya lebih sering ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-70 tahun. Pada orang-orang tua bridging vein mulai agak rapuh sehingga lebih mudah pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak ada adhesi, sehingga subdural hematom bilateral lebih sering didapat pada bayi-bayi.1,4 D. Klasifikasi 1. Subdural Hematom akut Gejala yang timbul segera kurang dari 72 jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Pendarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hiperdens.1,4 2. Subdural Hematom sub akut Biasanya berkembang dalam beberap hari setelah 3-7 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang buruk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intracranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan reabsorbsi dari hemoglobin.1,4
3. Subdural Hematom kronik Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun 1 bulan setelah trauma yang ringan atau trauma tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa menyebabkan subdural hematomapabila pasien juga mengalami gangguan vaskuler atau gangguan pembekuan darah. Pada subdural hematom kronik, kita harus berhati-hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan-lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.1,4,12 Pada subdural hematom kronik didapatkan kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma, pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada arachnoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahn baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. 1,4,12 Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruang subarakhnoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagian besar subdural hematom kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hipodens .1,4,12 Jamieson dan Yelland Mengklasifikasikan SDH berdasarkan keterlibatan jaringan otak karena trauma. Dikatakan SDH sederhana bila hematoma ekstra aksial tersebut tidak disertai dengan cedera parenkim otak, sedangkan Subdural Hematom kompleks adalah bila hematoma ekstra aksial disertai dengan cedera parenkim otak, Intraserebral hematom dan apa yang disebut dengan exploded temporal lobe. Lebih dari 70 %
Intraserebral hematom berhubungan dengan Subdural Hematom akut disebebkan oleh Countrecoup trauma, kebanyakan lesi parenkim ini terletak di lobus temporal dan lobus frontal. Lebih dari dua pertiga fraktur pada penderita Subdural Hematom akut terletak di posterior dan ini konsisten dengan lesi countercoup.1,4,12 E. Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan rupture vena yang terjadi dalam ruangan subdural. 4 Subdural hematomakut dapat terjadi oleh karena :4 1. Trauma kapitis 2. Koagulopati atau obat antikoagulasi (warfarin, heparin, hemophilia, liver disease, thrombocytopenia). 3. Perdarahan intracranial non trauma seperti aneurysma cerebral, malformasi arteriovenous, atau tumor (meningioma atau metastasis dural) 4. Post operasi (craniotomy, CSF shunt) 5. Hipotensi intracranial (setelah punksi lumbal, lumboperitoneal shunt, anastesi spinal epidural. 6. Terjadi spontan (jarang) Subdural hematomkronik dapat terjadi oleh karena :4 1. Trauma kapitis (atrofi cerebral) 2. Hematom subdural akut dengan atau tanpa intervensi bedah 3. Spontan atau idiopatik Faktor resiko terjadinya subdural hematom kronik yaitu :4 1. Alkoholisme kronik 2. Epilepsy
3. Koagulopati 4. Kista arachnoid 5. Terapi antikoagulan (termasuk aspirin) 6. CVD ( hipertensi, aterosklerosis) 7. Thrombocytopenia 8. Diabetes mellitus Pada pasien usia muda, alkoholik, trombositopeni, gangguan koagulasi dan terapi antikoagulan
sering ditemukan. Kista arakhnoid sering
dihubungkan dengan subdural hematom pada pasien usia lebih dari 40 tahun.4 Pasien usia tua, CVD dan hipertensi arterial sering ditemukan.4 F. Patofisiologi Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging vein) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya arakhnoidea. Pada umumnya penyebab subdural hematom akut adalah cedera kepala, kadang- kadang ditemukan subdural hematom akuttanpa adanya trauma seperti pada penderita –penderita yang mendapat antikoagulans, mengalami koagulopati atau ruptur aneurisma. Saat cedera kepala, terjadi gerakan sagitaldari kepala dan otak mengalami akselerasi didalam tengkorak menyebabkan regangan(strecthing) dari vena-vena parasagital(bridging veins) yang membawa drainase daripermukaan otak ke sinus venosus duramater.Bila vena – vena yang melintas ruang subduralini cukup meregang maka akan terjadi rupture pada vena – vena ini dan darah masuk ke ruangsubdural. Gennarelli dan Thibault 8menyimpulkan dari suatu penelitian cederakepala eksperimental, tingkatan akselerasiinilah menyebabkan ruptur dari ’bridging veins’bukan karena kontak kepala terhadap trauma itusendiri. Selanjutnya dikatakan
bahwa
rendahnya
frekwensi
subdural
hematom
akut
padapenumpang kenderaan bermotor (mobil) olehkarena adanya mekanisme
absorbsi energy (energy absorbing mechanism) dari mobil itusendiri , misalnya pada mobil yang dilengkapidengan ’air bags’. mekanisme absorbsi ini tidakdidapatkan pada keadaan dimana kepalalangsung terbentur pada benda keras.Kebanyakan subdural hematom terjadipada konveksitas otak daerah parietal. Sebagiankecil terdapat di fossa posterior dan pada fisurainterhemisferik serta tentorium atau diantaralobus temporal dan dasar tengkorak.1 Subdural hematom akut pada fisurainterhemisferik pernah dilaporkan, disebabkanoleh ruptur vena - vena yang berjalan diantarahemisfer bagian medial dan falks ; juga pernahdilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dariarteri pericalosalkarena cedera kepala.Subdural hematom interhemisferik akanmemberikan gejala klasik monoparesis padatungkai bawah. Pada anak – anak kecilsubdural hematom di fisura interhemisferikposterior dan tentorium sering ditemukan karenagoncangan yang hebat pada tubuh anak (shakenbaby syndrome). Walaupun subdural hematomjenis ini tidak patognomonis akibat penyiksaankejam (child abused) terhadap anak,kemungkinannya tetap harus dicurigai. Setelah terjadi benturan trauma (impactinjury) otak akan ’terputar’ pada tepi kasar darisayap tulang sfenoid atau dasar dari fossaanterior sehingga mengalami kontusio. Kontusio serupa ini pernah ditemukan selamaoperasi dari dua pertiga penderita subdural hematom akut. Stone dkk menemukan duapertiga sumber perdarahan berasal dari vena –vena selebihnya dari arteri. Sebaliknya Shenkinmenemukan 60% sumber perdarahan berasaldari arteri – arteri pada 39 penderita denganSDH akut. Prognosa akhir (outcome) lebih baikpada penderita – penderita dimana SDH akut berasal dari perdarahan vena.1 Benturan
trauma
yang
menyebabkansubdural
hematom
akut
sering
menyebabkan cedera berat pada parenkim otak, hal serupa initidak biasa terjadi pada SDH kronis danepidural hematom. Hal ini menjelaskanmengapa Subdural hematom kronik dan Epidural hematom mempunyaiprognosa yang lebih baik ketimbang Subdural Hematom akut.Pada kebanyakan kasus
Subdural Hematomakut , keterlibatankerusakan parenkim otak merupakan faktor yanglebih menentukan prognosa akhir (outcome)daripada tumpukan hematoma ekstra axial di ruang subdural. menemukan mortalitas sebesar 80% padapenderita Subdural Hematomyang dioperasi dimana terdapatketerlibatan kerusakan parenkim otak dan edemaserebri.1 Jamieson dan Yelland mengklasifikasikanSubdural Hematom berdasarkan keterlibatan jaringan otakkarena trauma. Dikatakan Subdural Hematom sederhana (simpleSDH) bila hematoma ekstra aksial tersebut tidakdisertai dengan cedera parenkim otak, sedangkan Subdural Hematomkompleks (complicated SDH)adalah bila hematoma ekstra axial disertaidengan laserasi parenkim otak, intraserebral hematom dan apa yang disebut sebagai’exploded temporal lobe’. Jamieson dan Yellandmenemukan penderita – penderita denganSDH sederhana mempunyai mortalitas 22% ,penderita – penderita dengan SDH komplikasi :SDH dengan Intraserebral hematom mempunyai mortalitas 50% ,SDH dengan kontusio parenkim otakmempunyai mortalitas 30%
.
Data
–
data
yanglebih
baru
menunjukkan
angka
penyembuhanfungsional sebesar 20% pada SDH akut dengankontusio parenkim otak dan angkapenyembuhan fungsional sebesar 40% pada SDH akut tanpa kontusio.1 Lebih dari 70% Intraserebral hematom,laserasi dan kontusio parenkim otak yangberhubungan dengan SDH akut disebabkan olehkontra kup (contrecoup) trauma, kebanyakandari lesi parenkim ini terletak di lobus temporaldan lobus frontal. Lebih dari dua pertiga frakturpada penderita SDH akut terletak di posteriordan ini konsisten dengan lesi kontra koup.1 Kira – kira 13% - 30% pada penderita SDHakut terdapat hematoma intraserebral yangcukup besar dan perlu dikeluarkan. Diantara4% - 15% SDH akut
terdapatepidural
hematom
(EDH).Mayoritas
subdural
hematomberhubungan dengan faktor umur yangmerupakan faktor resiko pada
cedera kepala (blunt head injury). Subdural hematombiasanya lebih sering ditemukan pada penderita– penderita dengan umur lebih dari 60 tahun. Pada orang – orang tua bridging veins mulaiagak rapuh sehingga lebih mudah pecah / rusakbila terjadi trauma. Pada bayi – bayi ruangsubdural lebih luas, tidak ada adhesi , sehinggasubdural hematom bilateral lebih sering didapat pada bayi – bayi.1 G. Manifestasi Klinik Gambaran klinis ditentukan oleh 2 faktor yaitu beratnya cedera otak yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume SDH.1 Secara umum, gejala yang tampak pada subdural hematom seperti pada tingkat yang ringan (nyeri kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manifestasi dari peningkatan tekanan intracranial seperti nyeri kepala, mual,muntah,vertigo, papil edema,diplopia akibat kelumpuhan N.III, epilepsi, anisokor pupil dan deficit neurologis lainnya, kadang dengan riwayat trauma yang tidak jelas sering diduga tumor otak.1 1. Subdural hematom akut Menimbulkan gejala neurologic dalam 24 sapai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan dengan trauma otak berat. Gangguan neurologic progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.4 2. Subdural hematom subakut Menyebabkan deficit neurologis dalam waktu lebih dari 48 jam dan kurang dari 2 minggu setelah cedera. Anamnesis klinis dari penderita
hematoma
adalah
adanya
trauma
kepala
yang
menyebabkan
ketidaksadaran selanjutnya diikuti perbaikan status neurologic yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologic yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan.4 3. Subdural hematom kronik timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberap minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Pada orang dewasa gejala ini dapat dikelirukan dengan gejala awal demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel sel darah dala hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membrane atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.subdural hematom kronik
seringkali
disebut “peniru” karena gejala dan tandanya biasanya tidak spesifik , tidak terlokalisasi dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Gejala dan tanda yang paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian, dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi. Hemianopsia, hemiparesis dan kelainan pupil ditemukan pada kurang dari 50% kasus. Bila terdapat afasia umumnya tipe anomik, yang ditandai dengan bicara dengan artikulasi yang baik dan tata bahasa normal yang sedikit atau tidak memberikan informasi. Diagnosis paling baik dengan arteriografi. 4 H. Diagnosis
1. Anamnesis Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas di kepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan diperhatikan lamanya episode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trayma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intracranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dana apakah dalam pengaruh alkohol.2,4 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apkah terjadi hipotensi, syok, atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia, dan bradipnea.2,4
Pemeriksaan neurologik yang yang meliputi kesadaran penderita dengan menggunakan Skala Koma Glasgow (GCS), pemeriksaan diameter kedua pupil, dan tanda-tanda deficit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal, dan respon motoric pasien dengan stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diameter kedua pupil dan adnaya deficit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya system kortikospinal di sepanjang kortex menuju medulla spinalis.2 Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS< lateralisasi, dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dialtasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata membuat pemerikasaan menjadi lebih sulit.2
Gambar 7 : Glasgow Coma Scale
3. Pemeriksaan penunjang a. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.2 b. CT Scan Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat
seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan elsi intra-aksial dan ekstra-aksial.2 1) Subdural Hematom Akut Subdural hematom akut pada CT scan kepala (non-kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium cerebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.2,8 Subdural hematom yang sedikit (Small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada subdural hematom yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema yang mendasarinya.2 Subdural hematomjarang berada di fossa posterior karena cerebellum relative tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ‘bridging veins’yang terdapat di sana. Subdural hematom yang terlatak di antara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks cerebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan child abused.2 2). Subdural Hematom Subakut Di dalam fase subakut subdural hematom menjadi isodens terhadap jaringan otaksehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus subdural hematom dalam waktu 48-72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran TI-weighted. MRI lesi subakut tampak hiperdens. Pada
pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membtasi subdural hematoma dan jaringan otak. Subdural hematom subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma.2,,8 3) Subdural Hematom kronik Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekita 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, subdural hematom kronik muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hiperdens) dan kronik (hipodens).2,8
Gambar 8 : CT Scan Subdural hematom
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosis Subdural Hematom sehingga lebih praktis menggunakan CT scan daripada MRI pada fase akut penyakit. MRI digunakan pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak non-perdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengan yang kurang jelas pada CT-scan.2,8
Gambar 9. MRI pada SDH I. Diagnosis banding4 1. Stroke 2. Encephalitis 3. Abses otak 4. Adverse drugs reaction
5. Tumor otak 6. Subarachnoid hematom 7. Hydrocephalus J. Penatalaksanaan 1.
Konservatif Dalam menetukan terapi yang akan digunakan untuk pasien Subdural Hematom, tentu kita harus mempehatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Di dalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial (PTIK). Seperti pemberian mannitol
0,25gr/kgBB,
atau
furosemide
10
mg
intervena,
dihiperventilasikan.4,9,10 Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan
terjadi
reabsorpsi
darah
yang
rusak
diikuti
oleh
terjadinyafibrosis yang kemuadian dapat mengalami kalsifikasi.4,9,10 2.
Tindakan operatif Baik untuk kasus akut maupun kronik, apabila ditemukan adanya gejalagejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing, dan circulation (ABC). Tindakan operasi ditujukan kepada:2,4 a.
Evakuasi seluruh Subdural Hematom
b.
Merawat sumber perdarahan
c.
Reseksi jaringan otak yang nonviable
d.
Mengeluarkan ICH yang ada.
Kriteria penderita SDH yang dilakukan tindakan operasi adalah:4,9 a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran midline shift>5 mm pada CT scan b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan pergeseran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin antara saat kejadian sampai saa masuk rumah sakit d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg
K. Komplikasi Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai risiko. Cedera parenkim otak biasanya
berhubungan
dengan
subdural
hematoma akut
dan
dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa hematom yang mungkin memerlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah craniotomi. Meningitis atau abses cerebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan pembedahan intracranial.2,4 Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase, sebanyak 5,4 – 19 % mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis seperti kejang, pneumonia, empyema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.4,12
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan 4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilaporkan sekita 12 – 22 %. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3 – 10 % pasien. Empyema subdural, abses otak, dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari subdural hematom kronis. 2,9 L. Prognosis Tidak semua Subdural Hematom bersifat letal. Pada beberapa kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.10,12 Tindakan operasi pada Subdural Hematom kronik memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90% kasus pada umumnya akan sembuh total. Subdural Hematomyang disertai lesi prenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50%.12 Pada penderita dengan Subdural Hematom akut yang sedikit 9diameter (< 1 cm), prognosisnya baik. Sebuah penelitian menemukan 78% dari penderita subdural hematom kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation) mempunyai prognosis baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna. Subdural hematom akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang 20%.12 Subdural hematom akut yang kompleks (complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak, misalnya kontusio atau laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling untuk meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak.12
Angka mortalitas pada penderita dengan subdural hematom yang luas dan meyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu berakhir dengan kematian.12 Pada kebanyakan kasus Subdural Hematom akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan faktor yang lebih menetukan prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma ekstra axial di ruang subdural.12 Menurut Jamieson dan Yelland, derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan operasi adalah satun-satunya factor penentu terhadap pronosa akhir (outcome) penderita Subdural Hematomakut. Penderita yang sadar pada waktu dioperasi mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita Subdural Hematom akut yang tidak sadar pada waktu operasi mempunyai mortalitas 40 – 65 % . tetapi Richards dan Hoff tidak menemukan hubungan yang bermakna antara derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan pada penderita Subdural Hematom akut dengan kombinasi refleks okulosefalik negative, refleks pupil bilateral negative, dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional survival sebesar 10%.12 M. Kesimpulan Subdural hematoma adalah perdarahan yang terjadi di ruang subdural yang disebabkan karena robeknya bridging veins. Perdarahan disebabkan trauma langsung pada kepala yang kemudian memicu timbulnya akselerasi dan deakselerasi jaringan otak sehingga merobek pembuluh darah utama bridging vein. Subdural hematom paling sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal. Subdural hematom dibagi menjadi akut, subakut, dan kronis. Gejala yang ditimbulkan akibat terkumpulnya hematom yang mendesak otak dapat berupa nyeri kepala, mual, muntah, kejang, serta dilatasi pupil dan hemiparesis
apabila terjadi herniasi. Penanganan yang cepat dan adekuat menetukan besarnya hematom dibantu dengan pemeriksaan penunjang, dan kemudian dilakukan tin dakan berupa evakuasi hematom. Tindakan yang bisa dilakukan dapat berupa konservatif (medikamentosa) atau berupa tindakan operatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, P dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat. 2. Sastrodiningrat, A.G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Subdural hematom Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No.3 Halaman 297-306. FK USU : Medan. 3. Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC. 4. Meagher, R.dkk. Subdural Hematoma, Medscape Reference.2011 5. Kashlan Osama, dkk. Subdural Hematoma (SDH) A guide for patients and families. University of Michigan Health System. 2015 6. Putz, R and Pabst, R. Atlas of human anatomy SOBOTTA versi 15. 7. Netter, F, dkk. Atlas of Neuroanatomy and neurophysiology. 2002 8. www.repositoryusu.ac.id diakses pada 8 September 2016 9. Japardi, Iskandar. Perdarahan dalam Otak. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003 10. American College of Surgeon Committee on Trauma .2004. Advanced Trauma Life Support for Doctors eight edition. Chicago 11. Japardi, Iskandar. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2004 12. Engelhard, H. Subdural Hematoma Surgery. Medscape. 2016