Laboratorium Radiologi
Referat
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
SUBDURAL HEMATOMA
Oleh
Fakhrul Arifin 1110015056 Pembimbing
dr. Kaharuddin, Sp. Rad LAB / SMF RADIOLOGI Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman RSUD Abdul Wahab Sjahranie 2016
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Subdural hematoma merupakan bentuk yang paling sering terjadi dari semua lesi intrakranial. Penelitian yang dilakukan oleh El-kahdi, Miele, dan Kaufman mendapatkan bahwa subdural hematoma kronik ditemukan 1 kasus setiap 10.000 penduduk. Data di amerika serikat menunjukkan bahwa frekuensi perdarahan subdural berbanding lurus terhadap kejadian cedera.1 Subdural hematoma adalah sebuah akumulasi darah pada ruangan subdural, biasanya disebabkan cedera atau terjatuh. Subdural hematoma dapat akut dengan perdarahan cepat atau subakut dengan akumulasi darah dalam periode waktu yang lebih lama. Pasien mungkin menderita subdural hematoma kronik yang perlahan muncul dalam periode waktu yang lebih lama, dan sebagian orang mungkin memiliki lebih dari satu perdarahan.2 Subdural hematoma memberikan gambaran khas pada CT Scan berupa bentuk kresentik yang tampak hiperdens pada fase akut, isodens pada subakut, dan hipodens pada kronik .3 Pencitraan menggunakan MRI juga dapat dilakukan pada subdural hematoma dengan MRI T1, T2, dan FLAIR.4 Penatalaksanaan subdural hematoma akut ditujukan pada hematoma dan kerusakan parenkim yang terjadi. Pada subdural hematoma kronik, dilakukan pengangkatan hematoma atau drainase perkutan.5 1.2 Tujuan Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai subdural hematoma pada umumnya dan gambaran radiologi pada beberapa modalitas radiologi yaitu CT dan MRI.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Selaput Otak Selaput otak (Gambar 2.1) terdiri dari tiga lapisan yang berasal dari jaringan mesodermal, yaitu : 1. Duramater Selaput otak terluar yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lamina eksterna dan lamina interna. Lamina eksterna merupakan jaringan fibrosa padat yang melekat erat pada periosteum kalvaria dan banyak mengandung pembuluh darah dan saraf. Lamina interna tersusun atas lapisan sel pipih yang membentuk sekat-sekat otak (falks serebri, tentorium serebeli, falks serebeli, diafragma sela, dan kavum trigeminal Meckeli). Pada cranium, duramater paling kuat melekat pada linea mediana, diatas sinus sagitalis superior, sutura, dan pada beberapa percabangan A. Meningea media. Selain tempat diatas, perlekatannya tidak erat sehingga membentuk ruang yang disebut sebagai rongga epidural. Sedangkan pada basis kranii, duramater melekat erat pada krista Gali, lamina kribosa, foramen optikum, fisura orbitalis superior, foramen rotundum, foramen ovale, foramen jugulare, dan meatus akustikus internus. 2. Arakhnoid Lapisan avascular yang berada di bawah lapisan duramater. Di bawah lapisan arachnoid terdapat rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula, pembuluh darah, nervus kranialis, dan dialiri oleh cairan serebrospinal.
3. Piamater
2
Lapisan ini berada di bawah arachnoid dan dihubungkan dengan jaringan ikat tipis. Lapisan ini terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesoderm yang mirip endothelium. Perlekatan piamater dengan korteks otak melalui astrosit marginal, yang membuatnya menempel mengikuti lekukan korteks dalam sulkus.3
Gambar 2.1 Lapisan selaput otak5 2.2 Vaskularisasi Duramater Arteri dura yang terbesar adalah arteri meningen media yang cabangnya terdistribusi sepanjang lekukan lateral tengkorak. Arteri ini adalah cabang dari arteri maxilaris yang berasal dari arteri karotis eksterna; arteri ini masuk ke tengkorak melalui foramen spinosum. Arteri meningen anterior relatif kecil dan menyuplai bagian media duramater frontal dan bagian anterior falks serebri. Arteri ini masuk ke tengkorak melalui bagian anterior lempeng cribriform. Arteri ini merupakan cabang arteri etmoidal anterior, yang merupakan cabang dari arteri oftalmika; dengan demikian, arteri ini menghantarkan darah dari arteri karotis interna. Arteri meningen posterior masuk ke tengkorak melalui foramen jugular untuk menyuplai duramater pada fossa cranial posterior.5
3
Gambar 2.2 Vaskularisasi Duramater5 Darah vena dari parenkim otak akan melewati ruang subarachnoid dan subdural melalui vena-vena superfisial dan profunda otak menuju sinus sagitalis superior, yang berada pada garis tengah perlekatan falx cerebri. Pada bagian belakang kepala, dimana falks serebri bergabung dengan tentorium, sinus sagitalis superior akan bergabung dengan sinus rektus. Darah vena dari kedua sinus ini akan berjalan menuju sinus transversus, dan selanjutnya ke sinus sigmoideus. Setelah itu, darah akan mengalir ke vena jugularis interna, keluar melalui otak pada foramen jugularis.5
4
Gambar 2.3 Vena Superfisial dan Profunda Otak5
Gambar 2.4 Sinus Venosus Dura5 2.3 Subdural Hematoma 2.3.1 Definisi Sebuah akumulasi darah pada ruangan subdural, biasanya disebabkan cedera atau terjatuh. Hematoma subdural dapat akut dengan perdarahan cepat atau
5
subakut dengan akumulasi darah dalam periode waktu yang lebih lama. Pasien mungkin menderita hematoma subdural kronik yang perlahan muncul dalam periode waktu yang lebih lama, dan sebagian orang mungkin memiliki lebih dari satu perdarahan.2 2.3.2 Etiologi Secara umum, subdural hematoma disebabkan cedera kepala, terkadang ditemukan perdarahan subdural akut tanpa adanya trauma seperti pada penderita yang mendapatkan terapi antikoagulan, sedang mengalami koagulopati, atau rupture aneurisma.6 2.3.3 Patofisiologi Saat terjadi cedera kepala, terjadi gerakan sagital dari kepala dan otak mengalami akselerasi didalam tengkorak menyebabkan renggangan (stretching) dari vena-vena parasagittal (bridging veins) yang membawa drainase dari permukaan otak ke sinus venosus duramater. Bila vena-vena yang melintas ruang subdural ini cukup meregang, maka akan terjadi rupture vena-vena dan darah masuk ke ruang subdural (Gambar 2.3). Perdarahan subdural umumnya terjadi pada konveksitas otak daerah parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak.6
Gambar 2.5 Masuknya darah ke ruang subdural5
6
2.3.4 Klasifikasi 1. Subdural Hematoma Akut Subdural hematoma akut ditemukan pada cedera kepala berat. Subdural hematoma akut ini memiliki prognosis yang buruk karena sering disertai cedera parenkim otak. 2. Subdural Hematoma Kronik Subdural hematoma kronik sering diawali dengan satu atau lebih cedera minor. Terjadi penumpukan cairan antara membrane dalam dura dan arachnoid, yang diduga berasal dari perdarahan sebelumnya dari bridging veins. Pada fase kronik, terdapat jaringan granulasi pada dinding hematoma. Jaringan granulasi ini diduga menjadi penyebab perdarahan sekunder berulang, sehingga terjadi penumpukan cairan dan perlahan membesar.5 2.3.5 Gejala Klinis Keluhan pasien dapat timbul langsung setelah subdural hematoma terjadi atau beberapa hari hingga minggu setelah trauma. Periode tanpa keluhan disebut sebagai interval laten.7 Jika subdural hematoma terjadi akibat laserasi parenkim, biasanya tidak ditemukan lucid interval atau defisit neurologis fokal. Namun jika subdural hematoma disebabkan oleh robekan bridging vein maka perdarahan dapat lebih berat dan terdapat lucid interval disertai perburukan keadaan yang cepat.8 Gejala dan tanda yang tampak pada pasien adalah penurunan kesadaran, defisit neurologis, nyeri kepala, mual, muntah, dan atau kejang. 1 Pada subdural hematoma kronis pasien akan tampak bingung, kesulitan berbahasa, mengeluh sakit kepala, dan muncul gejala lain yang menyerupain transient ischemic attack.8 2.3.6 Diagnosis Pemeriksaan penunjang subdural hematoma dengan CT scan akan tampak gambaran bulan sabit atau kresentik. Jika akut (1-3 hari) maka akan tampak hiperdens. Pada subakut (4-21 hari) akan tampak gambaran isodens, dan pada kronik (>21 hari) gambarannya akan menjadi hipodens.1
7
Gambar 2.6 CT Scan normal (A) orbita (B) sinus sphenoidalis (C) lobus temporal (D) meatus akustikus eksterna (E) mastoid air cells (F) hemisfer serebelum.8
Gambar 2.7 CT Scan normal (A) lobus frontalis (B) os frontalis (C) Dorsum Sellea (D) arteri basilaris (E) lobus temporal (F) Mastoid Air Cells (G) hemisfer serebelum.8
8
Gambar 2.8 CT Scan normal (A) lobus frontalis (B) fisura sylvian (C) lobus temporal (D) Suprasellar Cistern (E) Midbrain (F) ventrikel empat (G) hemisfer serebelum.8
Gambar 2.9 CT Scan normal (A) Falx cerebri (B) lobus frontalis (C) Anterior Horn of Lateral Ventricle (D) ventrikel tiga (E) Quadrigeminal Plate Cistern (F) serebelum.8
Gambar 2.10 CT Scan normal (A) Anterior Horn of Lateral Ventricle (B) Caudate Nucleus (C) Anterior Limb of The Internal Capsule (D) Putamen dan Globus Pallidus (E) Anterior Limb of The Internal Capsule (F) ventrikel tiga (G) Quadrigeminal Plate Cistern (H) vermis serebelum (I) lobus oksipitalis.8
9
Gambar 2.11 CT Scan normal (A) Genu of The Corpus Callosum (B) Anterior Horn of Lateral Ventricle (C) kapsul interna (D) talamus (E) Pineal Gland (F) pleksus koroid (G) Sthraight Sinus.8
Gambar 2.12 CT Scan normal (A) Falx Cerebri (B) lobus frontalis (C) Body of Lateral Ventricle (D) Splenium of Corpus Collosum (E) lobus parietalis (F) lobus oksipitalis (G) sinus sagital superior.8
Gambar 2.13 CT Scan normal (A) Falx Cerebri (B) sulkus (C) girus (D) sinus sagital superior.8
10
Gambar 2.14 CT Scan SDH Akut.4
Gambar 2.15 CT Scan SDH akut pada kasus pemberian terapi antikoagulan.4
11
Gambar 2.16 CT Scan non-kontras pada SDH subakut.4
Gambar 2.17 CT Scan dengan kontras pada SDH subakut.4
12
Gambar 2.18 CT Scan SDH kronik.4
Gambar 2.19 CT Scan SDH kronik dengan kalsifikasi.4 Pada pemeriksaan MRI, SDH akut akan memberikan gambaran isointense hingga hipointense terhadap substansia grisea pada T1, hipointense terhadap substansia grisea pada T2, dan hiperintense pada FLAIR. SDH subakut akan memberikan gambaran hiperintense pada T1, hiperintense pada T2, dan
13
hiperintense pada FLAIR. Pada T1, SDH kronik akan isointense jika hematoma stabil dan hiperintense jika terjadi perdarahan berulang atau infeksi. Pada T2 juga akan memberikan gambaran isointense jika hematoma stabil, tapi hipointense jika perdarahan berulang. Pada FLAIR berupa hipointense terhadap CSF.4
Gambar 2.20 MRI axial T2 SDH akut.4
Gambar 2.21 MRI axial T1 SDH kronik.4
14
Gambar 2.22 MRI axial T2 SDH kronik.4 2.3.7 Diagnosis Banding Pada Pemeriksaan Radiologi 1. Subdural empyema
Gambar 2.23 CT Scan Subdural empyema disertai kista.4
15
2. Atrofi serebral
Gambar 2.24 CT Scan atrofi serebral.4 3. Subdural hygroma
Gambar 2.25 CT scan dan MRI T2 Subdural hygroma.4
4. Extradural hemoragik
16
Gambar 2.25 CT Scan Extradural hemoragik.4 2.3.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan subdural hematoma akut ditujukan pada hematoma itu sendiri dan kerusakan parenkim yang menyertai. Jika pembedahan terbuka untuk mengangkat hematoma diperlukan, jaringan otak yang memar juga perlu dipotong. Saat pembedahan, duraplasty mungkin perlu dilakukan, dan lempeng tengkorak mungkin perlu dikeluarkan daripada dikembalikan ke posisi awalnya untuk menyediakan ruangan untuk otak yang membengkak dan mencegah hipertensi intracranial yang berpotensi menyebabkan kematian.5 Penanganan subdural hematoma kronik terdiri dari pengangkatan hematoma atau drainase perkutan. Terdapat angka kekambuhan yang tinggi pada subdural hematoma kronik. Adanya subdural hematoma merupakan kontraindikasi untuk terapi antikoagulan, yang mungkin menyebabkan perdarahan tambahan pada kedalam rongga hematoma.5
BAB III KESIMPULAN
17
Subdural hematoma merupakan suatu akumulasi darah di ruang subdural yang sebagian besar disebabkan oleh rupturnya bridging vein. Ruptur bridging vein sering disebabkan oleh cedera pada kepala, selain itu juga dapat disebabkan oleh keadaan selain trauma, yaitu sedang mendapatkan terapi antikoagulan, sedang mengalami antikoagulopati, dan ruptur aneurisma. Untuk melakukan diagnosis radiologis pada subdural hematoma dapat dilakukan pemeriksaan CT dan MRI. Gambaran yang dapat terlihat secara radiologis pada subdural hematoma adalah bentuk bulan sabit atau kresentik. Bentuk ini juga dapat dibentuk oleh penyakit lain seperti atrofi serebral, subdural empyema, subdural hygroma, dan extradural hemoragik. Karena itu, penting untuk memahami gejala klinis dan penggunaan kontras pada pemeriksaan radiologis untuk dapat menegakkan diagnosis subdural hematoma dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Sastrodiningrat, A. G. (2010). Memahami fakta-fakta pada perdarahan subdural akut. repository usu. 2. Satyanegara, A., Hasan, R. Y., Abubakar, S., Yuliatri, N., & Prabowo, H. (2014). Ilmu Bedah Syaraf Satyanegara Ed.5. Jakarta: Gramedia. 3. Baehr, M., & Frotscher, M. (2007). Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala Ed. 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. Mosby. (2009). Mosby's Medical Dictionary. St. Louis, Missouri: Elsevier. 5. Mardjono, M., & Sidharta, P. (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat. 6. FKUI. (2011). Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: CV Sagung Seto. 7. Knipe, H., & Gailard, F. (2016). Subdural Haemorrhage. Retrieved Juli 10, 2016, from Radiopaedia: http://www.radiopaedia.org/articles/subduralhaemorrhage 8. Prendergast, H. M. (2009). Foundation For Education and Research in Neurological Emergencies. Retrieved Juli 12, 2016, from http://www.ferne.org/Lectures/emra_midatl_2009/pdf/ferne_emra_2009_ mid_atl_medstud_etinterp_prendergasthandout_122909.pdf
19