REFERAT
LIKEN PLANUS
Penyusun: Rindy Yunita Pratamisiwi 030.08.208
Pembimbing: dr. Dewi Anggreni, Sp.KK dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK dr. A. A Sri Budhyani
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RSAU Dr. Esnawan Antariksa Periode 13 Januari 2014 – 2014 – 15 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti – Trisakti – Jakarta Jakarta 2014
LIKEN PLANUS
I. PENDAHULUAN Liken planus (LP) pertama kali dijelaskan oleh Erasmus Wilson pada tahun 1869. Liken planus diklasifikasikan sebagai penyakit papuloskuamosa; walaupun gejala yang menonjol adalah bersisik tetapi tidak sama dengan psoriasis dan penyakit kulit lainnya yang termasuk dalam kategori ini 1,2,3. Liken planus merupakan suatu kelainan yang unik, yakni suatu penyakit inflamasi yang berefek ke kulit, membran mukosa, kuku, dan rambut. Lesi yang tampak pada lichen planus-like atau dermatitis lichenoid tampak seperti ketombe, beralur halus, kotoran yang kering dari tumbuh-tumbuhan simbiosis yang dikenal sebagai liken. Walaupun morfologi ini mungkin sulit untuk dibandingkan, liken planus merupakan suatu kesatuan yang khusus dengan bentuk papul “lichenoid” yang menunjukkan warna dan morfologi yang khusus, berkembang di lokasi yang khas, dan pola perkembangan karakteristik yang nyata2,3,4. Empat P : purple, pruritic, polygonal dan papule, adalah gejala klinis yang dapat dicari untuk membantu menegakkan diagnosis liken planus1.
II. EPIDEMIOLOGI Distribusi liken planus ditemukan di seluruh dunia. Prevalensi dan insidensi pasti untuk kasus ini belum diketahui, namun diperkirakan jumlahnya 1% dari total populasi dunia. Di Amerika Serikat, kasus liken planus mencapai 0,44% dari seluruh penduduk1,2,3. Liken planus tidak memiliki predisposisi yang kuat untuk setiap jenis kelamin. Beberapa penulis menemukan 60% kasus terjadi pada wanita, dengan bentuk inflamasi dan deskuamasi vaginitis. Predominan terjadi pada orang dewasa di usia 30-60 tahun, bagaimanapun sebetulnya penyakit ini dapat menyerang segala usia1,2,3,5. Liken planus tidak memiliki kecenderungan untuk menjadi suatu keganasan, namun lesi ulseratif di mulut, terutama pada pria, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berlanjut menjadi ganas. Meskipun begitu, insidensi transformasi ini kecil, yakni kurang dari 2% kasus. Lesi di vulva pada penderita wanita juga dapat berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa2.
III. ETIOPATOGENESIS Sistem imunitas spesifik, terutama selular, memiliki peran penting dalam memicu terjadinya penyakit liken planus1,2,5. CD4 dan CD8 dapat ditemukan pada lesi-lesi kulit. Akumulasi sel CD8 pada kulit menentukan progresivitas penyakit yang diderita; semakin banyak CD8 yang ditemukan maka akan semakin berat penyakitnya. Sel-sel ini kemudian akan memicu reseptor-reseptor lain di kulit dan akan berakhir pada suatu proses yang diyakini menjadi dasar dari setiap perubahan yang terjadi pada kulit yakni apoptosis1. Ada tiga proses yang terjadi sampai akhirnya menjadi apoptosis, yakni pengenalan antigen, aktivasi limfosit, dan apoptosis keratinosit1,2,5,6. Perjalanan penyakit dimulai dari pengenalan antigen spesifik liken planus oleh sel CD8 di tempat lesi.
Antigen liken planus belum diketahui. Beberapa
pendapat menyebutkan antigen ini adalah suatu protein autoreaktif yang dapat memicu proses autoimun tubuh, namun ada juga yang menyebutkan bahwa antigen ini menyerupai antigen eksogen seperti virus, bakteri, dan lain-lain. Selanjutnya, sistem imunitas innate menjadi terstimulasi, dan memacu sekresi beberapa interleukin, interferon dan TNF1. Setelah pengenalan antigen, sel CD8 menjadi teraktivasi, dan kemudian melepaskan sitokin dan kemokin yang menyebabkan terjadinya konsentrasi limfosit di tempat lesi. Limfosit-limfosit ini selanjutnya akan terus berada di tempat tersebut. Rangkaian proses ini akan berakhir dengan apoptosis keratinosit, yang mekanisme pastinya belum diketahui. Diduga adanya gangguan pada membrane basal kulit dapat menyebabkan apoptosis1. Liken planus dihubungkan dengan reaksi alergi atau reaksi kekebalan, faktor resikonya termasuk radioterapi, bahan yang dicelup, dan substansi bahan kimia (emas, antibiotik, arsenik, iodida, kloroquin, quinarine, quinide, phenothiazine, dan diuretik)6,7. Frekuensi terjadinya penyakit ini ditemukan meningkat pada orang-orang yang menderita penyakit hati, contohnya hepatitis C, hepatitis autoimun. Dan sirosis biliaris. Prevalensi terjadinya liken planus pada penderita hepatitis C di daerah Eropa Selatan berkisar antara 16-29%. Selain itu, diteliti pula peranan faktor genetik yang mengontrol ketahanan seseorang terhadap penyakit hepatitis C dan prevalensinya terhadap genotip HCV tertentu1. 3
IV.
GAMBARAN KLINIS Liken planus dimulai dengan adanya makula eritema dan papul keunguan
selama
beberapa
minggu.
Dalam
waktu
yang
singkat,
kadang-kadang
berkembang lesi yang multipel secara cepat dengan penyebaran awal hanya beberapa papul. Tanda liken planus hanya ditemukan pada kulit dan membran mukosa. Morfologi lesinya berupa, kecil, flat-miring, poligonal, papul yang mengkilat, dengan frekuensi yang sering, tapi tidak selalu ada3,4,6,8,. Lesi liken planus biasanya didistribusikan secara simetris dan bilateral pada ekstremitas.
Liken
planus
predileksinya
meliputi
daerah
fleksura
pada
pergelangan tangan, lengan, dan pergelangan kaki, paha, punggung bawah, leher dan penyebaran bertambah di membran mukosa mulut dan genitalia. Retikulum halus berwarna putih dengan lesi berupa sisik pada permukaan kulit, sehingga terlihat seperti garis-garis putih, dikenal sebagai Wickham’s striae, tanda patognomonik liken planus yang mungkin tidak jelas pada anak-anak 6,7,9. Pada umumnya banyak variasi secara klinik penyakit liken planus yang dikategorikan menurut: (1) bentuk lesi, (2) morfologi yang terlihat, atau (3)lokasi1.
1. Bentuk Lesi
Bentuk Anuler . Bentuk lesi ini terdapat di punggung dan lebih sering ditemukan di penis serta skrotum. Kira-kira ditemukan pada 10% penderita liken planus. Umumnya papula membentuk gambaran cincin. Bentuk lain dari anuler liken planus terjadi ketika lesi membesar dengan diameter 2 sampai 3 cm dan mengalami hiperpigmentasi.
Bentuk Linear . Papul dapat membentuk konfigurasi linear sebagai bentuk sekunder terhadap trauma, atau pada kasus yang sangat jarang, sebagai erupsi spontan dan terisolasi. Biasanya terjadi pada ekstremitas.
a.
Anuler
b. Linear
Sumber : www.dermis.net
4
2. Morfologi Lesi
Erosi dan Ulserasi . Bentuk ini menunjukkan lesi-lesi yang erosif, yang kemudian menjadi ulkus pada selaput lendir yang telah terkena.
Atropik . Bentuk ini jarang terdapat, tetapi pernah dilaporkan bersama dengan bentuk folikuler, vesikulo bulosa, atau hipertrofik.
Liken Planus hipertrofik . Variasi ini biasanya terbentuk di ekstremitas, terutama di daerah inguinal dan persendian jari, dan merupakan bentuk yang paling terasa gatal. Lesi berwarna keunguan atau merah kecoklatan,
lebih
tebal
dan
lebih
tinggi
dari
sekitarnya,
dan
hiperkeratosis. Saat penyembuhan biasanya meninggalkan bekas berupa jaringan parut atau daerah hiper/hipopigmentasi.
Liken Planus Folikular (Liken planopilaris). Lesi folikuler merupakan bagian dari liken planus tipikal, tetapi kadang-kadang menonjol dan sulit untuk didiagnosis. Sementara mayoritas, papulnya datar, lesinya berkelompok seperti duri
dan berkembang disekitar folikel rambut
(liken plano-pilaris). Lesi folikuler terdapat di kulit kepala yang bersisik dan terlihat seperti bekas luka pada alopesia.
Liken planus pigmentosus. Merupakan pigmen kronik yang difus atau retikulasi hiperpigmen dengan makula yang berwarna coklat tua pada daerah yang sering terkena paparan sinar matahari seperti wajah, leher dan daerah lipatan lainnya.
Liken planus vesiko-bulosa. Vesikel dan bula pada penyakit ini pasti ada, kadang-kadang menonjol secara bersamaan sehingga sulit untuk didiagnosis. Liken planus bullosa merupakan variasi yang jarang sehingga berkembang menjadi lesi berupa vesikel dan bula pada penyakit liken planus.
Liken planus aktinik . Nama lain variasi ini adalah liken planus subtropik, liken planus tropik, erupsi likenoid aktinik, liken planus aktinikus, liken planus anuler atropi, dan likenoid melanodermatosis.
5
Gambar, kiri atas searah jarum jam: folikularis, atropik, aktinik, vesikobulosa, hipertrofik, pigmentosus. Sumber : www.dermis.net
6
3.
Lokasi lesi
Liken planus pada kulit kepala. Secara klinik maupun histologi liken planopilaris atau liken planus folikuler menyerang kulit kepala. Pada kulit kepala secara tipikal terlihat seperti gabungan papul keratotik yang folikuler.
Liken planus pada kuku. Permukaan kuku yang menipis merupakan karakteristik dari kuku yang abnormal, ridging longitudinal dan adanya retakan/celah. Dasar kuku mengalami perubahan, akan tetapi non spesifik seperti kuning karena adanya kerusakan pada warna kuku, onikolisis dan hiperkeratosis subungual.
Liken planus pada telapak tangan dan tumit . Karakteristik bentuk lesi yang terdapat pada telapak tangan dan tumit serta adanya lesi perubahan warna di tempat lain. Bentuknya terdiri dari papul atau nodul dan lebih aktif di bagian pinggir daripada di tengah.
Liken planus pada mukosa. Liken planus menyerang selaput di mulut, vagina, esofagus, konjungtiva, uretra, hidung dan laring. Ciri utamanya adalah eritem dan erosi pada lidah ; kadang-kadang ada plak putih dengan rasa nyeri dan tidak nyaman. Deskuamasi dan erosi pada vulva dan vagina disertai dengan rasa nyeri terbakar, dispareunia.
a.
Liken planus pada kuku
b. Liken planus pada mukosa vagina
Sumber : www.dermis.net
7
Adapun reaksi lain yang terdapat pada penyakit liken planus adalah1,5,6,7,8:
Lupus Erythematosus Overlap Syndrome Pasien dengan reaksi ini didapatkan adanya lesi atropik DLE (Discoid Lupus Erythematosus) di kepala, leher dan badan serta memiliki plak putih terlihat seperti renda pada mukosa oral. Likenoid atau papul verukos dan plak dapat ditemukan pada kulit non mukosa.
Graft-versus-host disease Chronic Graft Versus Host Disease (GVHD), terjadi 100 hari setelah transplantasi sumsum tulang, dapat timbul sebagai erupsi likenoid yang secara klinis. Karakteristik yang terlihat berupa papul dengan warna keunguan pada ekstremitas distal. Lesi ini biasanya tidak gatal. Keterlibatan mukosa oral dengan makula berwarna putih yang disusun dengan pola fine lace-like; erosi dan ulserasi mungkin juga ada.
Reaksi lainnya adalah liken planus pemfigoid, likenoid keratosis kronik (penyakit Nekam), liken planus dan transformasi maligna, keratosis likenoid, dermatitis likenoid.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Belum ada analisis pemeriksaan yang spesifik untuk membantu menegakkan diagnosis liken planus. Jumlah limfosit dan sel darah putih pada pemeriksaan darah dapat menurun, karena adanya pengaruh dari aktivitas sitokin di jaringan kulit1,2,3. Pada pemeriksaan histopatologi, di epidermis terlihat perubahan berupa hiperkeratosis, akantosis tak teratur, penebalan stratum granulosum setempat, degenerasi mencair membran basalis, dan hilangnya stratum basalis.
Striae
Wickham mungkin ada hubungan dengan bertambahnya aktivitas fokal liken planus dan tidak karena penebalan lapisan granular. Bentuk bula pada liken planus sangat jarang terjadi, paling menonjol antara lamina basal dan kerotinosis pada sitomembran basal1,2,3.
VI. DIAGNOSIS Diagnosis liken planus ditegakkan berdasarkan:
8
Anamnesis : adanya keluhan mengenai adanya perubahan pada kulit, seringkali berbentuk papul eritematosa, dan disertai rasa gatal.
Pemeriksaan fisik : ditemukan lesi pada tubuh pasien. Perlu diperhatikan bentuk, morfologi, dan tempat beradanya lesi tersebut.
Pemeriksaan penunjang : dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan histopatologi.
VII. DIAGNOSIS BANDING a. Lupus eritematosus b. Liken nitidus c. Psoriasis
VIII. PENGOBATAN Penatalaksanaan liken planus dapat menjadi suatu hal yang sulit bagi dokter dan pasien. Untuk menentukan jenis obat yang akan digunakan, perlu dipertimbangkan beratnya penyakit yang dialami oleh pasien, juga segala keuntungan dan efek samping yang akan muncul dengan penggunaan obat tersebut1. Berikut adalah obat-obatan yang lazim digunakan sebagai terapi liken planus.
Steroid Steroid topikal merupakan pilihan terapi lini pertama pada liken planus mukosa. Keberagaman glukokortikoid topikal telah terlihat efektif. Pada beberapa keadaan dimana iritasi sekunder dan inflamasi jaringan mulut muncul dan berkorelasi dengan kolonisasi candida di mulut, serangkaian terapi
antijamur
dapat
diindikasikan.
Glukokortikoid
sistemik
memperlihatkan keefektifan dalam pengobatan liken planus erosif or al dan vulvovaginal. Dosis sistemik dapat digunakan secara tunggal, atau, yang tersering, digabungkan dengan kortikosteroid topikal. Dosisnya mulai 3080 mg/hari, diturunkan setelah 3 sampai 6 minggu setelah menunjukkan perbaikan. Relaps sering terjadi setelah pengurangan dosis atau penghentian obat. Dosis yang lebih besar selalu diperlukan untuk liken planus esofageal. Candidiasis oral merupakan komplikasi yang sering terjadi. Terapi topikal dan sistemik bisa digunakan untuk liken planus di 9
kulit, tetapi penggunaannya tergantung tingkat kroniknya penyakit, gejalagejalanya, dan respon terhadap pengobatan. Glukokortikoid topikal hanya digunakan pada penyakit kulit tertentu. Glukokortikoid topikal yang poten dengan atau tanpa oklusi, adalah bermanfaat bagi liken planus di kulit1,4,9.
Triamcinolon asetonide (5-10 mg/roL) adalah efektif dalam mengobati liken planus di mulut dan kulit.Bisa juga digunakan pada liken planus yang terjadi di kuku dengan injeksi di lipatan proksimal kuku setiap 4 minggu. Regresi terjadi dalam 3-4 bulan. Untuk liken planus yang hipertrofi, konsentrasi glukokortikoid intralesi yang lebih tinggi diperlukan (10-20 mg/ml). Observasi yng ketat diperlukan untuk mengelak terjadinya komplikasi seperti atrofi atau hipopigmentasi pada tempat tertentu. Jika adanya
tanda-tanda
komplikasi
tersebut,
pengobatan
haruslah
diberhentikan segera. Glukokortikoid sistemik sangat berguna dan efektif dengan penggunaan dosis lebih dari 20 mg/hari (30-80 mg prednisone) untuk 4-6 minggu dengan dilanjutkan dosis yang dikurangi selama 4-6 minggu juga. Pengobatan lain termasuklah prednisone 5-10 mg/hari selama 3-5 minggu. Gejala cenderung berkurang. Bagaimanapun, kadar relaps selepas berhenti pemakaian obat tidak diketahui. Pada liken planus tipe planopilaris, glukokortikoid topikal yang poten dikombinasi dengan glukokortikoid oral, 30-40 mg/hari, selama sekurang-kurangnya 3 bulan, berjaya mengurangi gejala. Namun, jika berhenti dari pemakaian obat akan menyebabkan relaps. Efek jangka panjang bisa berisiko komplikasi 1.
Retinoid Asam retinoid topikal (gel tretinoin) menunjukkan keefektifan dalam pengobatan liken planus oral. Iritasi sering membuat pendekatan terapi pada lokasi ini menjadi kurang bermakna. Isotretinoin gel juga efektif, terutama pada lesi oral non erosif. Perbaikan biasanya dilaporkan setelah 2 bulan, walaupun rekurensi sering terjadi setelah penghentian terapi. Retinoid
topikal
sering
digunakan
bersama
kortikosteroid
topikal.
Walaupun tidak ada bukti dalam uji klinis, terapi ini dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi efek samping pengobatan. Etretinate oral telah digunakan sebanyak 75mg/hari (0,6 sampai 1,0 mg/kgBB/hari) untuk liken
10
planus erosif oral dengan perbaikan yang signifikan pada sebagian besar pasien. Relaps sering terjadi setelah penghentian pengobatan. Retinoid sistemik adalah sebagai antiinflamasi dan digunakan sebagai terapi untuk liken planus. Remisi dan perbaikan setelah pemakaian 30mg/hari asitretin selama 8 minggu. Tretinoin digunakan sebanyak 1030 mg/hari untuk perbaikan dan efek samping yang ringan. Etretinat dosis rendah sebanyak 10-20 mg/hari selama 4-6 bulan bagus untuk remisi pada liken planus di kulit, mulut. Respon yang cepat didapatkan dengan penggunaan 75 mg/hari atretinat, tetapi efek samping dari retinoid berkait erat dengan penggunaan dosis 1,5,6,10,11.
Siklosporin, tacrolimus, dan pimecrolimus. Penggunaan terapi siklosporin topikal 100mg/mL, 5mL 3 kali sehari menunjukkan hasil yang memuaskan dalam pengobatan liken planus oral. Pencuci mulut siklosporin topikal memperlihatkan keefektifan terhadap liken planus oral, terutama untuk bentuk erosif yang berat, tetapi hasilnya tidak lebih baik dari glukokortikoid topikal. Ketersediaan imunosupresan agen topikal alternatif, tacrolimus dan pimecrolimus, berguna untuk mengganti siklosporin topikal. Tacrolimus, golongan imunosupresan makrolide, yang menekan aktivasi sel T pada penyakit mukosa erosif, memberikan penyembuhan yang cepat dari nyeri dan rasa terbakar dengan efek samping minimal. Siklosporin oral diberikan dalam rejimen dosis 3-10 mg/kgBB/hari telah digunakan untuk penyakit ulseratif berat1,5,6,10,11.
Lain-lain Antijamur poliene, griseofulvin, telah digunakan secara empiris untuk terapi liken planus oral dan kutaneus; bagaimanapun kurang begitu efektif. Antijamur yang lebih baru (fluconazole, itraconazole) mungkin berguna dalam pengobatan liken planus dengan pertumbuhan candida yang berlebihan,
terutama
yang
bersamaan
pemberiannya
dengan
glukokortikod topikal. Pada sebuah studi, hydroxychloroquine 200400mg/hari selama minimal 6 minggu menghasilkan penyembuhah sempurna liken planus oral. Perlu kehati-hatian dalam penggunaan 11
hydroxychloroquine karena antimalaria mungkin merupakan penginduksi liken planus1,5,6,10,11.
Extracorporeal Photochemotherapy (ECP) ECP yang dilakukan 2 kali seminggu selama 3 minggu lalu diturunkan memberikan hasil terapi yang baik. Pada sebuah studi, sebanyak 7 pasien yang diujicobakan memperlihatkan remisi yang sempurna. Azathioprine, cyclophosphamide, dan mycophenolate mofetil telah memperlihatkan keuntungan dalam pengobatan liken planus, tetapi uji klinis secara acak menunjukkan hasil yang kurang baik. Penggunaan dikombinasi dengan glukokortikoid oral untuk mempercepat respon 1,5,6,10.
IX.PROGNOSIS Biasanya penyakit ini berlangsung 1-2 tahun sebelum akhirnya sembuh, kecuali pada keadaan yang menyertai penyakit kronis. Durasi penyakit ditentukan oleh luasnya area yang mengalami erupsi dan morfologi lesi. Erupsi yang terjadi secara generalisata cenderung lebih cepat sembuh dibandingkan lesi kulit saja1,2,9. Kekambuhan penyakit berkisar antara 15-20% dan cenderung terjadi di tempat yang sama dengan tempat awal terjadi penyakit 1,2,8,9.
X. KESIMPULAN Liken planus adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang kulit dan mukosa,
dengan
faktor
resiko
yang
multifaktorial.
Dengan
mengetahui
imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi klinis dan edukasi pada pasien, morbiditas penyakit ini dapat diturunkan.
12
DAFTAR PUSTAKA 1.
Daoud M S, Pittelkow M R. Lichen Planus, in : Freedberg I.M, Eisen A.Z, Wolff K, Austen K.F, Goldsmith L.A, Katz S.I, Fitzpatrick T.B, eds. Dermatology in General Medicine Eighth Edition, Part 1 “A”; Vol. 1. P. 296312.
2.
Chuang T. Lichen Planus. 2013. [cited 2014 Jan 26]. Available from : http://www.emedicine.medscape.com
3.
Cleach L L, Chosidow O. Lichen Planus. [cited 2014 Jan 24]. N Engl J Med 2012; 366:723-732. Available from :http://www.nejm.org
4.
Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI;2009.
5.
Katta R. Lichen Planus. [cited 2014 Jan 24]. Am Fam Physician. 2000 Jun 1;61(11):3319-3324. Available from :http://www.aafp.org
6.
Cole G W. Lichen Planus. 2013. [cited 2014 Jan 26]. Available from: http://www.medicinenet.com
7.
Berman K. Lichen Planus. [cited 2014 Jan 26]. Atlanta;U.S. National Library of Medicine
NIH (National
Institutes of
Health);2008.
Available
from
:
http://www.nlm.nih.gov 8.
Solomon L M, Ehrlich D, Zubkov B. Lichen Planus and Lichen Nitidus, in : John Harper, Arnold Oranje ,Neil Prose, editors. Textbook of Pediatric Dermatology
Volume I, Second Edition. Oxford ; Blackwell Publishing;
2006. P. 801-10. 9.
Higgins E, Vivier A d. Lichen Planus. Skin Disease in Childhood and Adolescence. Blackwell Science;1996. P.65-66.
10.
BS Sahni. Lichen Planus [Serial on the internet]. Homoeopathy Clinic [Cited 2011-01-15]. Available from : http://www.homoeopathyclinic.com/articles/diseases/skin/Lichen_Planus.pdf
11.
Serrão V.V, Organ V , Pereira L, Vale E , Correia S. Annular lichen planus in association with Crohn disease. Dermatology Online Journal Volume 14 Number 9 [Serial On the Internet]. Lisbon;2008; September [Cited 2011-0115]
13