BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. 1 Fraktur maksilofasial merupakan salah satu jenis fraktur yang sering terjadi di kota-kota besar sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olahraga dan juga akibat dari tindakan kekerasan. Fraktur maksilofasial melibatkan tulang – tulang penyusun wajah atau tengkorak bagian depan.3 Fraktur maksilofasial bisa terjadi hanya pada satu tempat ataupun kompleks, akibat benturan dengan kekuatan rendah atau akibat kekuatan tinggi. Trauma maksilofasial juga mengakibatkan jejas dan kegawatan dengan variasi yang sangat luas mulai dari memar; ekskoriasi; berbagai vulnus pada jaingan lunak; sampai fraktur. Problem yang ditimbulkan selain aspek fungsi juga perlu dipikirkan aspek estetik karena dapat meninggalkan kecacatan, sebab dari cedera yang ditimbulkan akibat fraktur maksilofasial sering menimbulkan gangguan pada jalan nafas, penciuman, penglihatan, mastikasi, serta otak, oleh karena itu penanganan fraktur maksilofasial harus dilakukan secara intensif dan holistik. Bahkan tidak jarang mengakibatkan deformitas berat sampai mengancam jiwa akibat gangguan saluran nafas bagian atas.3 Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial. Penanganan khusus pada trauma maksilofasial harus dilakukan segera (immadiet) atau pada waktu berikutnya (delayed) tergantung pada kondisi jaringan yang terkena trauma.5 1.2
Batasan Masalah Referat ini membahas tentang anatomi maksilofasial, definisi, klasifikasi, diagnosa, serta penatalaksanaan trauma maksilofasial. 1
1.3
Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah : 1. Memahami dan menambah wawasan mengenai trauma maksilofasial. 2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah dibidang kedokteran khususnya dibagian Ilmu Bedah. 3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior dibagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
1.4
Metode Penelitian Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada beberapa literatur.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Fraktur Maksilofasial
Fraktur maksilofasial adalah hilangnya kontiunitas pada tulang-tulang pembentuk wajah akibat langsung dari trauma. Tulang-tulang maksilofasial merupakan tulang-tulang pembentuk tengkorak bagian depan, terdiri dari tulang-tulang pipih dan menonjol seperti tulang nasal, zigoma, maksila dan mandibula sehingga lebih rentan terkena trauma dan terjadi fraktur.6
2.2
Anatomi Maksilofasial Struktur tulang maksilofasial yang terdiri atas os maksila, zygomatikus dan etmoid yang tersusun secara khusus berperan sebagai peredam kejut yang melindungi otak.1 Maksilofasial merupakan bagian penting dari tubuh manusia karena terdapat organ atau struktur penglihatan, penciuman, pengecapan, pendengaran, perabaan, mastikasi dan fonetik serta berbagai saraf kranial yang menunjang kerja indra tersebut.6 Kulit wajah dipersarafi oleh cabang-cabang ketiga divisi nervus trigeminus yang juga merupakan saraf sensoris untuk mulut, gigi, rongga hidung dan sinus paranasalis. Saraf sensoris wajah terdiri atas nervus optalmikus, nervus maksilaris dan nervus mandibularis. Nervus fasialis merupakan saraf untuk mempersarafi semua otot-otot ekspresi wajah. Nervus fasialis berjalan kedepan di dalam substansi glandula parotidea. Saraf ini terbagi atas lima cabang terminal yaitu ramus temporalis, ramus zigomatikus, ramus buccalis, ramus mandibularis, ramus servikalis.6 Wajah menerima pasokan darah yang banyak dari dua pembuluh utama yaitu arteri fasialis dan arteri temporalis superfisial. Arteri fasialis dipercabangkan dari arteri karotis eksterna. Arteri temporalis superfisial bercabang menjadi arteri fasialis transversa. Vena fasialis menampung darah dari cabang-cabang arteri fasialis. Bercabang menjadi vena fasialis profunda, vena fasialis transversa dan vena maksilaris.6 Otot-otot wajah berguna untuk ekspresi wajah, membuka/menutup mulut, membuka/menutup mata dan lain-lain. Otot-otot wajah tertanam di dalam fasia superfisialis, dan hampir seluruhnya berorigo pada tulang maksilofasial dan berinsersio pada kulit. Otot-otot wajah terdiri dari otot-otot palpebra, otot-otot lubang hidung, otototot bibir dan pipi, dan otot-otot mastikasi.6
Gambar 2.1 Anatomi tulang maksilofasial Tulang-tulang maksilofasial terdiri dari:6 1. Tulang hidung (os nasale) Merupakan tulang yang mudah patah, kedua tulang hidung membentuk batang hidung. Ke atas dihubungkan dengan tulang frontal oleh sutura frontonasalis, ke bawah berartikulasi dengan tulang maksila, kebelakang melekat dengan perpendikuler dari tulang etmoid. 2. Tulang zigomatikus (os zygomaticus), Membentuk tonjolan pipi dan sebagian dinding lateral serta dasar orbita. Tulang zigoma berhubungan antara tulang frontal, sfenoid dan maksila, kemudian dihubungkan dengan temporal. Di medial bersendi dengan maksila, di lateral dengan processus
zygomaticus ossis temporalis membentuk arcus zygomaticus, arkus ini yang menentukan dimensi anteroposterior dari tonjolan pipi. 3. Tulang maksila (os maxilaris) Kedua tulang maksila (maksila kiri dan kanan) merupakan bagian utama dari wajah bagian tengah (mid face), membentuk rahang atas, pars anterior palatum durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan sebagian dasar orbita. Bersama palatum merupakan penyangga dari gigi atas. Mempunyai rongga udara yang paling besar di bagian maksilofasial, rongga berbentuk piramid yang dilapisi mukosa disebut sinus maksilaris. Rongga ini berhubungan dengan hidung dan berfungsi sebagai resonator udara. Tempat keluarnya saraf infraorbitalis dan pembuluh darah infraorbitalis. Bersama dengan tulang zigoma, frontal, etmoid, sisi medial nasal membentuk rongga mata. Di posterior tulang maksila bergabung dengan
tonjolan pterigoid dari tulang sfenoid.
Struktur tulang maksila kuat dan tebal di pilar lateralnya, sedangkan pada bagian tengah dan depan tipis (rata-rata hanya 0,5 mm). 4. Tulang madibula (os mandibula) Terdiri dari kondilus, prosesus koronoideus, ramus, angulus dan korpus yang bergabung menjadi simfisis mandibula. Korpus berbentuk tapal kuda dan bertemu dengan ramus masing-masing sisi pada angulus mandibula. Foramen mentale dapat dilihat di bawah gigi premolar kedua, dari lubang ini keluar arteri, vena dan nervus alveolaris inferior. Pinggir atas korpus mandibula disebut pars alveolaris. Pada orang dewasa berisi 16 lubang untuk akar-akar gigi. Tulang mandibula menonjol dan membentuk kontur wajah, artikulasi dengan dasar tengkorak melalui kondilus yang bertumpu pada fossa glenoidalis dan membentuk temporomandibular joint (TMJ). Mandibula dari aspek fungsinya merupakan gabungan tulang berbentuk “L” bekerja untuk mengunyah dengan dominasi terkuat m.temporalis yang berinsersi di sisi medial pada ujung prosesus koroideus dan m.masseter yang berinsersi pada sisi lateral angulus dan ramus mandibula. m. pterogoideus berinsersi pada sisi medial bawah dari ramus dan angulus mandibula. m. masseter bersama m. temporalis merupakan kekuatan untuk menggerakkan mandibula dalam proses menutup mulut. M. pterigoid berperan untuk membuka madibula. 5. Os lacrimale Merupakan tulang yang tipis dan tulang terkecil pembentuk wajah. Os lacrimale berada di lateral dan posterior os nasale. Os nasale berisi fossa lacrimale dan saccus lacrimale.
6. Os palatinum Berbentuk huruf L yang membentuk bagian posterior palatum durum, bagian dasar dan lateral rongga nasal. Bagian posterior palatum durum dibentuk oleh lamina horizontal os palatinum. 7. Concha nasal inferior, Lebih inferior dari concha nasal medial os ethmoid. Concha nasal merupakan tulang yang terpisah, dan bukan bagian dari os ethmoid.
inferior
Concha nasal
inferior merupakan tulang pembentuk bagian dari dinding lateral inferior rongga hidung. 8. Vomer Merupakan tulang segitiga didasar rongga hidung yang berartikulasi dengan lamina perpendicular os ethmoid pada bagian superior. Pada bagian inferior berartikulasi dengan kedua maxilla dan os palatinum. Vomer membentuk bagian inferior septum nasal.
2.3
Klasifikasi Fraktur Maksilofasial 1. Fraktur Nasal Fraktur nasal biasanya disebabkan oleh trauma langsung. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epitaksis, nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto rotgen dari arah lateral dapat menunjang diagnosis. Fraktur tulang hidung ini harus segera direposisi dengan anastesia lokal dan imobilisasi dilakukan dengan memasukkan tampon ke dalam lubang hidung yang dipertahankan selama tiga sampai empat hari. Patahan dapat dilindungi dengan gips tipis berbentuk kupu-kupu untuk satu hingga dua minggu.1 2.
Fraktur Maksila Le Fort membedakan fraktur atas tiga macam yaitu fraktur sepertiga atas (Le Fort
III) dengan batas tepi atas orbita yaitu bagian os frontalis, fraktur sepertiga tengah (Le Fort II) yang dibatasi oleh tepi atas orbita dan tepi bawah baris gigi atas atau bagian maksila dan fraktur sepertiga bawah (Le Fort I) yang meliputi daerah mandibula.1
Gambar 2.2 Fraktur Maksila Le Fort I, II, III Lefort 1 merupakan fraktur transversal yang melalui lantai rongga sinus maksila diatas gigi, sehingga memisahkan prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoid dari struktur tengkorak wajah diatasnya. 1 Lefort II membentuk patahan fraktur berbebntuk piramida. garis fraktur berjalan diagonal dari lempeng pterigoid melewati maksila menuju tepi inferior orbita dan ke atas melewati sisi medial orbita hingga mencapai hidung, sehingga memisahkan slveolus maksila, dinding medial orbita dan hidung sebagai bagian tersendiri.1 Lefort III merupakan fraktur yang melewati sutura zigomatikofrontalis, berlanjut kedasar orbita hingga sutura nasofrontalis. pada tipe ini tulang-tulang wajah terpisah dari kranium.1 Gejala klinis yang ditimbulkan akibat fraktur maxilla dapat berupa nyeri, bengkak terutama pada jaringan periorbita, hematom periorbita, maloklusi yaitu rasa tidak nyaman ketika menggigit karena gigi geligi pada rahang atas tidak pas terkatup dengan gigi geligi pada rahang bawah, laserasi intraoral, nyeri ketika mengunyah, krepitasi, deformitas, floating maxilla, epistaksis, dan rinore.13 Penegakan fraktur maksila dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fraktur maxilla dilakukan dengan pemeriksaan floating maxilla dengan cara dahi difiksasi dengan tangan kiri, kemudian maxilla dipegang dengan ibu jari di luar dan telunjuk di palatum durum, gerakan maksila ke depan dan ke belakang menunjukkan adanya fraktur maxilla. Floating maxilla akan lebih nyata pada fraktur maxilla Le Fort II dan Le Fort III dibandingkan dengan Le Fort I.11
Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis fraktur maksila dapat dilakukan dengan CT-scan 3D yang merupakan gold standard pemeriksaan pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur maksilofasial. Pemeriksaan fraktur maksila juga dapat dilakukan dengan menggunakan foto polos Waters, Caldwel, submentovertek, dan lateral.11 3.
Fraktur Kompleks Zigoma Tulang zigoma sangat berdekatan dengan tulang frontal dan tulang temporal, yang mana ketika terjadi fraktur, maka bagian tulang yang berdekatan biasanya juga ikut fraktur. Cedera yang menimbulkan fraktur zigoma biasanya akibat suatu benturan pada korpus zigoma atau tonjolan malar. Dasar orbita juga dapat mengalami fraktur pada proses tersebut sehingga akan menimbulkan desakan pada cavum orbita dan diteruskan ke dinding-dinding cavum orbita, dimana daerah yang lemah adalah tepi medial bawah cavum orbita (lamina papirasea) menyebabkan terjadinya fraktur di daerah tersebut disertai bola mata masuk ke dalam (enoftalmus) disertai dengan terjepitnya m. rektus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan mengalami diplopia. Gejala lain yaitu keliling mata kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan pada kelopak mata, hipoestesi/anestesi pipi akibat cedera n. infraorbitalis atau hipoestesi/anestesi dahi karena kerusakan n. supraorbitalis.1,8 Gejala klinis fraktur zigoma dapat berupa pipi menjadi lebih rata jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma, diplopia atau terbatasnya gerakan bola mata, edema periorbita dan ekimosis, perdarahan subkonjungtiva, enoftalmus, ptosis, terdapatnya hipestesia atau anetesia karena kerusakan saraf infra orbitalis, terbatasnya gerakan mandibula, emfisema subkutis, dan epistaksis yang terjadi pada antrum.13 Pada fraktur zigoma dapat dilakukan pemeriksaan dengan cara meletakkan dua pensil pada masing – masing sisi wajah. Sisi kedua pensil harus terletak sejajar satu sama lain. Jika ujung akhir dari satu pensil miring ke arah dalam, maka zigoma pasien menaji pipih pada sisi tersebut.13 Penggunaan CT-scan dan foto rontgen sangat membantu menegakkan diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan. CT-scan pada potonan axial
maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma. Penilaian foto polos untuk menilai kecurigaan fraktur zigoma dapat menggunakan foto Waters, Caldwel, submentovertek, dan lateral.13 4.
Fraktur Mandibula Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibulka dapat terjadi akibat kegiatan olah raga, terjatuh, kecelakan sepeda motor, dan trauma interpersonal. Mandibula dapat fraktur di semua bagian dan fraktur dapat dikenali dengan rasa nyeri ketika mandibula diraba atau ditekan dengan lembut, dan menyebabkan gangguan oklusi geligi. Mandibula cenderung terkena cedera karena posisinya yang menonjol, sehingga sering menjadi sasaran pukulan dan benturan. Pada pemeriksaan harus diperhatikan adanya asimetri dan maloklusi. Pada palpasi dapat teraba garis fraktur dan mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada n.mandibularis. Fraktur mandibula umumnya disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi ditempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang ke arah dirsikaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral patahan tulang akan tertarik ke arah kranial8
Gambar 2.3 Fraktur Mandibula Dingman mengklasifikasikan fraktur mandibula secara sederhana, dibagi menjadi tujuh regio yaitu : badan (corpus), simfisis, sudut (angulus), ramus, prosesus koroideus,
prosesus kondilus, prosesus alveolar. Fraktur yang terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada regio mandibula ini.10 5. Fraktur Multipel Maksilofasial a. Fraktur Nasoorbitoetmoidalis Fraktur pada daerah nasoorbitoethmoid (NOE) yang terdiri dari os. frontal, nasal, maksila, lakrimal, etmoid dan sfenoid sering terjadi karena benturan dengan kecepatan tinggi dan biasanya disertai trauma lain seperti toraks dan abdomen.11 b. Fraktur Tripod Fraktur tripod disebabkan oleh trauma tumpul yang kuat pada wajah. Fraktur tripod meliputi tiga titik pemisahan yaitu fraktur pada rima infraorbitalis, diastasis sutura zigomatikus-temporalis pada arkus zigomatikus, dan terputusnya sutura zigomatikusfrontal pada dinding lateral orbita. Tiga garis fraktur dapat menyebabkan terbentuknya fragmen tulang yang mengambang bebas menyerupai tripod. Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan asimetri wajah, perdarahan subkonjungtiva lateral, ekimosis periorbita, distopia vertikal, dan epistaksis.11 c. Fraktur Panfasial Fraktur panfasial adalah fraktur yang mencakup dua dari tiga area wajah yaitu tulang frontal, wajah tengah dan mandibula. Dengan pemerikasaan ct-scan 3D, keparahan dan pola fraktur pansial dapat ditentukan dengan seksama sehingga rekonstruksi dapat direncanakan dengan baik.1
2.5
Manifestasi Klinis Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :1 a.
Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibula b. Pergerakan abnormal pada sisi fraktur c.
Rasa nyeri pada sisi fraktur
d. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur e.
Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
f.
Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
g. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan h
Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus.
2.6
Diagnosis Diagnosis fraktur maksilofasial ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan awal terhadap pasien fraktur maksilofasial sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadapat saluran pernapasan, adekuatnya ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum melakukan pemeriksan vital signs, gangguan saluran pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan pemeriksaan vital signs dan status neurologis pasien setidaknya mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan tempat. a.
Anamnesis Anamnesis dilakukan setelah pasien stabil, dapat dilakukan autoanamnesia bila
pasien sadar dan tidak terdapat gangguan berbicara atau alloanamnesis kepada keluarga/orang yang mengantarkan pasien. Selain menanyakan keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, dahulu, keluarga dan alergi, juga ditanyakan etiologi dan mekanisme terjadinya trauma agar dapat diperkirakan jenis fraktur dan keparahannya. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut : Bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian berapa lama? Apakah ada gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotopobia, diplopobia, pandangan kabur, nyeri, ada perubahan gerakan mata? Apakah pasien memiliki kesulitan bernafas melalui hidung ? Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah seperti keluar darah dari hidung atau telinga? Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah pasien ada merasakan seperti kedudukan gigi tidak normal ? b.
Pemeriksaan Fisik 1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. 3. Palpasi
untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran
supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas. 4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, ketajaman visual, kelainan gerakan okular dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual. 5. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi. 6. Periksa hidung meraba fraktur dan krepitasi. 7. Periksa septum hidung untuk hematoma, laserasi, fraktur, atau dislokasi, 8.
Periksa
lidah
bengkak. Secara
dan
mencari
Bimanual
meraba
luka
intraoral,
mandibula,
dan
ecchymosis, memeriksa
atau tanda-
tanda krepitasi atau mobilitas. Pemeriksaan fisik yang teliti dilakukan agar dapat mengetahui lokasi dan keadaan fraktur dari tulang-tulang maksilofasial tersebut dengan tepat.12 Pemeriksaan fisik fraktur masilofasial meliputi pemeriksaan kepala, pemeriksaan wajah bagian tengah, pemeriksaan mandibulla, pemeriksaan tenggorokan dan rongga mulut.12 a. Pemeriksaan kepala Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing. Dilakukan pemeriksaan cedera pada jaringan lunak yang dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusion, luka bakar, avulsi, dan laserasi. Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, oleh karena itu dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya step atau jarak, diskontinuitas, pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Dilakukan paslpasi terhadap kranium, naso-orbitals kompleks, artikulasi zygomatik, dan mandibula. b. Pemeriksaan wajah bagian tengah Diawali dengan pemeriksan ada atau tidaknya mobilitas maksila sebagai struktur dari maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma atau tulang nasal. Pemeriksaannya dapat dilakukan dengan cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tanga lainnya mencengkram maksila pada satu sisi dan
digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya mobilitas maksila. Pemeriksaan dengan palpasi dimulai dari arah superior ke inferior. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan saluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri. Palpasi diteruskan ke arah menyilang cincin supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Cincin ingfraorbital dipalpasi dari medial kearah lateral untuk mengevaluasi sutura zygomatikofrontalis. Dilakukan pengamatan pada bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan dan baal. Hal ini dapat menunjukan adanya fraktur atau cedera pada persarafan. Arcus dari zygomatikus juga dilakukan palpasi secara bilateral dan diamatin apakah terdapat tanda asimetri. Selanjutkan juga dilakukan pemeriksaan pergeseran septum dengan memeriksa vestibulum nasi. Pemeriksaan mata secara lengkap juga dilakuka walaupun terkadang akan mengalami kesulitan pada pasien dengan cedera neurologis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan jari, deteksi gerakan jari, dan penggunaan sinar. Hematoma artikuler merupakan kegawatdaruratan yang harus segera didiagnosa dan ditangani. Mastodi harus diperiksa apakah terdapat ekimosis yang disertai hemotimpanum dan otorrhea dimana merupakan tanda dari fraktur basis kranial. Laserasi yang ditemukan ditelinbga merupakan kemungkinan cedera pada kondil mandibula. Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus segera dilakukan pemeriksaan. Hematoma septum hidung harus segera didiagnosis dan dievakuasi untuk menghindari terjadinya nekrosis tulang rawan hidung. Tiga persarafan trigeminal harus diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya anestesi atau parestesi. Saraf kranialis tiga, empat, lima, enam, tujuh diperiksa adakah palsi. c. Pemeriksaan mandibula Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah ataukan mengalami pergeseran baik ke lateral atau inferior. Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan guna palpasi endaural terhadap caput condillus pada saat istirahan dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu dijumpai nyeri tekan. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari processus kondilaris sampai simphisis mandibula. Fraktur pada mandibula diklasifikasikan berdasar
letak anatomi yaitu kondiler, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah processus koronoid. Selain itu tipe fraktur juga ditentukan. d. Pemeriksaan tenggorokan dan rongga mulut Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dataran oklusi maksila mandibula diperiksa kontinuitasnya dan diperiksa adakah step deformitas. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimoss, dan hematom. Dasar mulut dilihat apakah terdapat bekuan darah atau serpihan gigi. Arcus zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral. Maksila diperiksa dengan memberikan tekanan pada processus alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Adanya step atau pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka (open bite lateral) mengindikasikan fraktur mandibulla. Sedangkan gigitan terbuka anterior menandakan Fraktur Le Fort. 2.6
Penatalaksanaan Fraktur pada maksilofasial mempunyai cara penanganan pertama primary
survey,
resusitasi,
secondary
survey
dan
akhirnya
terapi
dengan definitif.
Medikamentosa bertujuan untuk mengurangi morbiditas pada pasien, dengan pemberian analgetik, antibiotik, ATS, dan antiemetik. Prinsip penanganan fraktur maksila sama dengan penanganan fraktur yang lain yaitu reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Tindakan penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur, fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai. Pada teknik tertutup, fiksasi fraktur dan imobilisasi fraktur dilakukan dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular misalnya dengan arch bar atau interdental wiring. Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wiring) atau mini plat dan skrup (mini plate).11,13 Reposisi terbuka pada fraktur maxilla bertujuan untuk melakukan koreksi deformitas dan maloklusi yang dapat dilakukan dengan:11,13 1. Suspensi zygomatico circumferential wiring adalah tindakan operasi untuk stabilisasi tulang maxilla yang patah dengan jalan menggantungkan ke arkus zigomatikus
dengan menggunakan kawat. Suspensi ini digunakan untuk fraktur maxilla Le Fort I atau Le Fort II. 2. Suspensi fronto circumferential wiring ialah tindakan operasi untuk stabilisasi tulang maxilla yang terlepas dari dasar tengkorak dengan jalan menggantungkan ke prosesus zigomatikus tulang frontalis, bisa dilakukan untuk fraktur maxilla Le Fort I, II, dan III. 3. Interoseus wiring adalah tindakan operasi untuk fiksasi antara dua fragmen tulang yang patah dengan cara mengikat kedua fragmen menggunakan kawat kecil. Pada fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar menggunakan kawat baja atau mini-plate sesuai garis fraktur sehingga oklusi gigi menjadi sempurna.11 Pada kebanyakan fraktur zigoma, intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau hanya mengalami pergeseran minimal. Indikasi operasi pada patah tulang zigoma adalah fraktur dengan deformitas disertai diplopia, menyebabkan hiperaestesi, atau juga menyebabkan trismus. Reduksi fraktur zigoma dilakukan melalui insisi kombinasi, sebagai prinsip umum kesegarisan (aligment) os zigoma harus ditetapkan pada setidaknya 3 area dan difiksasi di setidaknya 2 area dengan miniplate dan sekrup.1,11,13 Penanggulangan fraktur mandibula dilakukan dengan menggunakan mini atau mikroplate yang dipasang dengan skrup. Pada fraktur tulang hidung yang mengakibatkan terjadinya deviasi septum akibat dislokasi tulang hidung, digunakan cunam Asch dengan cara memasukan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga sambil menekan septum dengan kedua sisi. Sesudah fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan antibiotika.11,14
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Fraktur maksilofasial adalah fraktur pada tulang-tulang pembentuk wajah akibat langsung dari trauma. 2. Fraktur maksilofasial melibatkan tulang – tulang penyusun wajah atau tengkorak bagian depan dan bisa terjadi hanya pada satu tempat ataupun kompleks. Tulang-tulang maksilofasial terdiri dari tulang-tulang pipih dan menonjol seperti tulang nasal, zigoma, maksila dan mandibula sehingga lebih rentan terkena trauma dan terjadi fraktur. Diagnosa klinis fraktur maksilofasial ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. 3. Penatalaksanaan fraktur maksilofasial memiliki prinsip penatalaksaan yang sama dengan penatalaksanaan kasus trauma pada umumnya. Penanganan dimulai dengan penilaian awal pada primary survey, resusitasi, secondary survey, dan terapi definitif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong de W, Sjamsuhidrajat R, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC ; 2000. 2. Reksoprawiro. Epidemiologi fraktur maksilofasial. Surabaya : Divisi Bedah Kepala Leher, Bagian/SMF Ilmu Bedah. FK UNAIR/RSU Soetomo. 3.
Mansjoer A S, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas kdokteran Universitas Indonesia. 2000
4.
Fahrev. Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial. Skripsi. Departemen Bedah mulut dan Maksilofasial. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. 2009.
5.
Murni M, Widiami D, Thamrin M. Trauma Muka. Dalam Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.
6.
Snell SR. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006.
7.
Steward C, Maxillofacial trauma: Challenges in ED diagnosis and management. Oklahoma; 2008.
8.
Pedersen WG, Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa: Purwanto. Jakareta: FGC; 1996. P. 221-261.
9.
Fonseca R.J. Ortal and maxillofacial trauma. 3rd ed. St. Louis: Elsevier Saunders. 2005.
10.
Soepardi AE. Buku ajar ilmu kesehatn telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009.
11.
Wijayahadi RY. Trauma maksilofasial diagnosis dan penatalaksanaannya. Surabaya; FK Unair; 2006.
12.
Herliana H. Fraktur maksilofasial. Program pendidikan dokter gigi spesialis bedah mulut dan maksilofasial UNPAD. Bandung; 2010.
13.
Boies. Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997.
14.
Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun IX hal 41-50.