BAB I PENDAHULUAN
Saat ini kanker masih merupakan sa;ah satu masalah kesehatan di Indonesia. Masyarakat masih berpendapat bahwa kanker merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Meskipun organisasi kesehatan dunia WHO telah menyatakan bahwa sepertiga penyakit kanker dapat disembuhkan dan sepertiga lainnya dapat dilakukan usaha pencegahan dan sepertiga lainnya dapat dilakukan pengurangan penderitaan. Kanker kolorektal adalah kanker usus besar yang tersebar diseluruh dunia. Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan dan dicegah perkembangannya. Kanker ini merupakan salah satu kanker yang sering ditemukan masyarakat. Secara epidemiologis, kanker kolorektal di dunia mencapai urutan ke-4 dalam hal kejadian, dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk, serta angka kematiannya mencapai 655.000 per tahun diseluruh dunia. Teknologi dan kemampuan untuk menemukannya dalam stadium dini yang telah dimiliki oleh banyak Rumah Sakit di Indonesia. Sudah selayaknya kita berusaha meningkatkan pemahaman tentang penyakit ini sehingga upaya menemukan kasus dalam stadium dini dapat tercapai.
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kanker Kolorektal (Colorectal Carcinoma) disebut juga kanker kolon, kanker usus besar. Kanker kolorectal (KKR) ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan rektum merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointestinal di mana fungsinya adalah untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna. Kanker merupakan suatu proses pembelahan sel-sel (proliferasi) yang tidak mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh (proliferasi abnormal). Proliferasi ini dibagi atas non-neoplastik dan neoplastik, nonneoplastik dibagi atas : a. Hiperplasia adalah proliferasi sel yang berlebihan. Hal ini dapat normal karena bertujuan untuk perbaikan dalam kondisi fisiologis tertentu misalnya kehamilan. b. Hipertrofi
adalah
peningkatan
ukuran
sel
yang
menghasilkan
pembesaran organ tanpa ada pertambahan jumlah sel. c. Metaplasia adalah perubahan dari satu jenis tipe sel yang membelah menjadi tipe yang lain, biasanya dalam kelas yang sama tapi kurang terspesialisasi. d. Displasia adalah kelainan perkembangan selular, produksi dari sel abnormal yang mengiringi hiperplasia dan metaplasia. Perubahan yang termasuk dalam hal ini terdiri dari bertambahnya mitosis, produksi dari sel abnormal pada jumlah besar dan tendensi untuk tidak teratur.
2.2 Anatomi Kolon dan Rektum Kolon dan rektum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus.
2
Sistem pencernaan dimulai dari mulut, lalu esofagus, lambung, usus halus (duodenum, yeyunum, ileum), usus besar (kolon), rektum dan berakhir di anus. Usus besar terdiri dari kolon dan rektum. Kolon terdiri dari kolon sebelah kanan (kolon asenden), kolon sebelah tengah atas (kolon transversum) dan kolon sebelah kiri (kolon desenden). Setelah kolon, barulah rektum yang merupakan saluran diatas anus. Bagian kolon yang berhubungan dengan ileum disebut caecum, sedangkan bagian kolon desenden yang berhubungan dengan rektum disebut kolon sigmoid.
2.3 Epidemiologi Lebih dari dari 95% KKB adalah adenokarsinoma. Kanker ini berasal dari sel glandula yang terdapat di lapisan dinding kolon dan rektum. Secara epidemiologis, kanker kolorektal di dunia mencapai urutan ke-4 dalam hal kejadian, dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk, serta angka kematiannya mencapai 655.000 per tahun diseluruh dunia. Penyakit tersebut paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru dan sebagian Eropa. Kejadiannya beragam di antara berbagai populasi etnik, ras atau populasi multietnik/multi rasial. Secara umum didapatkan kejadian kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia 50 tahun. Suatu fenomena yang dikaitkan dengan pajanan terhadap berbagai karsinogen dan gaya hidup.
3
KKR adalah penyebab kematian kedua terbanyak dari seluruh pasien kanker di Amerika Serikat. Lebih dari 150.000 kasus baru, terdiagnosis setiap tahunnya di AS dengan angka kematian per tahun mendekati angka 60.000. Di AS umumnya rata-rata pasien KKR adalah berusia 67 tahun dan lebih dari 50% kematian terjadi pada mereka yang berumur diatas 50 tahun. Di Indonesia, seperti yang terdapat pada laporan registrasi kanker nasional yang dikeluarkan oleh Direktorat Pelayanan Medik Departmen Kesehatan bekerja sama dengan Perhimpunan Patologi Anatomik Indonesia, didapatkan angka yang agak berbeda. Hal yang menarik disini adalah kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan negara barat. Untuk usia dibawah 40 tahun data dari Bagian Patologi Anatomik FKUI didapatkan angka 35,265%. Distribusi KKR pada bagian-bagian kolon adalah sebagai berikut : Caecum 1,9%; Kolon ascenden 8,7%; Kolon tranversal 6,8%; Kolon desenden 11,7%; Sigmoid 9,7%, Rectosigmoid 9,7% dan Rectum 51,5%.
Namun pada tahun – tahun terakhir, diketemukan adanya pergeseran mencolok pada distribusinya. Insidens kanker pada sigmoid & area rectal telah menurun, sedangkan insidens pada kolon asendens dan desendens meningkat. Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira – kira setengah dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Angka kelangsungan hidup di bawah 5 tahun adalah 40 – 50 %, terutama karena terlambat dalam diagnosis dan adanya metastase. Kebanyakan orang asimptomatis
4
dalam jangka waktu yang lama dan mencari bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan defekasi atau perdarahan rectal. Survival di seluruh dunia sangat bervariasi tergantung dari fasilitas dan obat-obatan yang tersedia. Ketahanan hidup sampai 5 tahun (5 years survival rates) di AS lebih dari 60% tetapi kurang dari 40% di negara berkembang.
2.4 Etiologi dan Faktor Resiko Secara umum kanker selalu dihubungkan dengan: bahan-bahan kimia, bahan-bahan radioaktif, dan virus. Umumnya kanker usus besar terjadi dihubungkan dengan faktor genetik dan lingkungan. KKR timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Serta dihubungkan juga dengan faktor predisposisi diet rendah serat, kenaikan berat badan, intake alkohol. 1. Faktor Genetik : Faktor genetik mendominasi yang lainnya pada kasus sindrom herediter seperti Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis Colorecal Cancer (HNPCC). Riwayat kanker kolorektal pada keluarga, bila keluarga dekat yang terkena (orangtua, kakak, adik atau anak), maka risiko untuk terkena kanker ini menjadi lebih besar, terutama bila keluarga yang terkena tersebut terserang kanker ini pada usia muda. 2. Usia : umumnya KKR menyerang lebih sering pada usia tua. Lebih dari 90 persen penyakit ini menimpa penderita diatas usia 50 tahun. Walaupun pada usia yang lebih muda dari 50 tahunpun dapat saja terkena. Sekitar 3 % kanker ini menyerang penderita pada usia dibawah 40 tahun. 3. Polip pada kolon yang sebagian adalah adenomatous polip merupakan salah satu faktor resiko KKR. Sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Kebanyakan polyp ini adalah tumor jinak, tetapi sebagian dapat berubah menjadi kanker. Menemukan dan mengangkat polyp ini dapat menurunkan risiko terjadinya KKR. 4. Diet : Penelitian menunjukan bahawa diet tinggi daging merah dan lemak serta rendah buah, sayur dan ikan akan meingkatkan resiko terjadinya KKR. Kandungan dari makronutrien dan mikronutrien berhubungan
5
dengan KKR penelitian menunjukkan bahwa lemak hewani terutama dari sumber daging merah berpengaruh pada kejadian KKR. 5. Alkohol : Keseringan mengkonsumsi alkohol meningkatkan 2-3 kali lipat angka kejadian KKR. Orang yang mengkonsumsi lebih dari 30 gram alkohol perhari menunjukan faktor resiko yang tinggi atas terjadinya KKR. 6. Inflammatory Bowel Disease : sekitar 1% pasien KKR memiliki riwayat kolotis ulseratif. Pasien dengan C rohn’s
disease
memilik resiko yang
cukup besar terjadinya KKR. 7. Faktor Lingkungan : sejumlah bukti menunukkan bahwa lingkungan berperan penting dalam terjadinya KKR. Negara industri relatif lebih meningkat dibanding negara berkembang. Hal ini terkait dengan pola makanan tradisional yang lebih cenderung tinggi serat dan rendah lemak. 8. Infeksi virus : Paparan beberap virus (seperti Human Papiloma virus) dapat berhubungan dengan kejadian KKR. 9. Aktivitas Fisik : orang yang lebih banyak beraktivitas fisik memiiki resiko lebih renadah terjadinya KKR. 10. Merokok, defisiensi selenium, serta intake vitamin B6 berhubungan dengan resiko terjadinya KKR.
2.5 Patogenesis KKR berasal dari epitel mukosa sepanjang kolon dan rektum pada traktus gastrointestinal sebagai hasil dari mutasi sel. Beberapa mutasi diturunkan dan yang lain merupakan kelainan didapat (aquired ). Mutasi yang paling banyak pada KKR adalah gen APC ( Adenomatous Polyposis Coli) yang memprodusi protein APC. Protein APC merupakan “rem” dari protein β-catenin. Tanpa APC, βcateninmengalami translokasi (masuk) ke dalam nukleus, berikatan dengan DNA dan mengaktifasi lebih banyak lagi protein. Transisi adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor tumor p53. Dalam keadaan normal, protein dari gen p53 akan menghambat proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA. Mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA tetap dapat mengalami replikasi yang menghasilkan sel-sel dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel
6
dengan kehilangan sejumlah segmen pada kromosom yang berisi beberapa alele (misal loss of heterozygot ). Hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supressor tumor yang lain seperti DCC ( Deleted in colon cancer ) yang merupakan tahap akhir dari transformasi ke arah keganasan.
2.6 Tanda dan Gejala Gejala tergantung dari lokasi, jenis keganasan, penyebaran, dan komplikasi (perforasi, obstruksi, perdarahan). Adenokarsinoma kolorektal lambat pertumubuhannya. Diperkirakan sekitar 620hari sehingga biasaya sebelum mencapai besar yang tertentu bersifat asimptomatis. Untuk mendiagnosis dini anamnesa dan pemeriksaan yang teliti akan sangat membanu. Kebanyakan gejala yang muncul juga terjadi pada berbagai penyakit lain. Karenanya tidak ada gejala yang spesifik untuk KKR. Gejala dan tanda dibagi menjadi lokal, konstitusional dan metastasisi. 1. Lokal a. Pada kolon kanan (asesnden) Kolon asenden lumennya relatif besar, berdinding tipis dan massa feses disini agak cair. Karena itu sebelum besar sekali tidak akan memberi gajala yang nyata. Pasien tampak lesu dan kurus karena anemia bera (hipokrom mikrositik). Mungkin tidak ada darah pada feses tetapi occult bleeding dapat dijumpai. Pasien mengeluh rasa tidak enak pada perut bagian kanan terutama sehabis makan. Hal ini sering dikacaukan dengan kelainan pada kandung empedu dan penyakit gastroduodenal. Perubahan pola defekasi dan gejala obstruksi biasanya tidak ada. Sekitar 10% kasus ditemukan dengan terabanya massa tumor oleh dokter maupun pasien sendiri. b. Pada kolon kiri (desenden) Lumen kolon desenden elatif lebih sempit dan massa feses disini semisolid. Tumor tumbuh melingkari dnding usus dan terjadi perubahan pola defekasi (change of bowel habbit ) yaitu konstipasi atau
7
frekuensi defekasi lebih sering dan bergantian. Obstruksi total atau prsial dapat terjadi. Obstruksi total dapat terjadi tanpa didahului gejala atau gejala awal berupa kontipasi yang meningkat, ukuran feses mengecil dan rasa penuh pada perut disertai sakit menjadi lebih nyata. Terjadi perdarahan, tetapi tidak masif. Feses bercampur darah segar atau darah tua dan sering didapati lendir bersama darah atau bekuan darah. c. Pada rektum Keluhan utama adalah buang air besar berdarah dan berlendir. Terjadi perubahan pola defekasi yaitu diare selama beberapa hari disusul konstipasi selama beberapa hari (diare dan konstipasi bergantian). Ukuran feses kecil-kecil seperti kotoran kambing. Pasien mengeluh kembung dan mules hilang timbul sehingga terjadi anoreksia dan berat badan akan menurun dengan cepat. Disamping itu terdapat keluhan tenesmus ( rasa tidak puas saat defekasi) dan keluhan pegal-pegal. Berbeda dengan kolon, lapisan mukosa di rektum tidak dilapisi oleh tunika serosa. Perdarahan disini berasal dari a. Hemoroid superior (cabang dari a, mesenterika inferior) serta a. Hemoroid inferior dan media. Perdarahan yang terjadi biasanya lebih banyak. 2. Konstitusional Jika tumor menyebabkan perdarahan kronis, anemia defisiensi besi dapat terjadi, dan muncul gejala-gejala seperti lemah, palpitasi, pucat. KKR juga menyebabkan penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan. Selain itu juga dapat muncul febris dan atu dari paraneoplastik sindrom yang sering adalah trombosis, biasanya dep vein thrombosis.
2.7 Diagnosis Pertumbuhan KKR memerlukan waktu yang lama dan deteksi awal sangat membantu meningkatkan angka kesembuhan. The National Cancer Policy Board of The Institute of Medicine memperkirakan pada tahun 2003 metode deteksi dini KKR akan menghasilkan 29% penurunan angka kematian dalam 20tahun.
8
Pemeriksaan fisik pada KKR adalah colok dubur untuk menilai adanya :
Tonus spingter ani : lembek atau keras
Mukosa : kasar, kaku, licin atau tidak
Ampula rekti : kolaps, kembung atau terisi feses
Tumor dapat diraba atau tidak, mudah berdarah atau tidak
Yang juga perlu dinilai adalah jarak garis anorektal sampai tumor, lokasi (pada jam berapa) mobilitas dari dasar, permukaan, lumen yang dapat ditembus jari, batas atas, dan jaringan sekitarnya. Fecal occult blood test (FOBT) adalah tes untuk mengetahui adanya
perdarahan tersembunyi pada tinja. Ada dua tipe tes yang digunakan untuk mendeteksi darah pada feses yaitu : guaiac based (chemical tes) dan immunochemical tes. Pemeriksaan radiologis dengan barium enema (colon in loop) dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin sebelum pemeriksaan. Pada pemeriksaan barium enema tampak filling deffect biasanya sepanjang 5-6 cm berbentuk anular atau apple core. Dinding usus tampak rigid, dan gambaran mukosanya rusak. Bila pada pemeriksaan dini tidak tampak kelainan tetapi gejala klinis menunjang ke arak KKR, maka perlu dilakukan pemeriksaan kolonoskopi. Pemeriksaan khusus lain adalah :
Protosigmoidektomi : dilakukan pada setiap pasien yang dicuriai menderita KKR. Jika tumor dibawah bisa terlihat langsung.
Kolonoskopi : diperiksa dengan alat yang sekaligus untuk biopsi tumor.
9
2.8 Screening Skrening dalam hal ini adalah suatu prosedur yang menilai seseorang tanpa gejala (asimptomatik) untuk mendapatkan risiko terhadap kemungkinan menderita KKR. Tes yang ideal haruslah tidak mahal, mudah dilakukan, dan tinggi tingkat spesifisitas dan sensitivitasnya. Marker adalah faktor yang dicari pada screening yang mengindikasikan tingkat risiko. Marker ini termasuk riwayat keluarga, hasil pemeriksaan darah dalam feses, pemeriksaan biokimia dan karakteristik adenoma. Populasi yang mempunyai risiko KKR dilakukan screening (high level vs low level ) yang sesuai dengan faktor risikonya sehingga dapat dideteksi sedini mungkin agar dapat dilakukan tindakan secara cepat dan tepat sehingga angka kesakitan dan kematian akibat KKR dapat diturunkan.
10
Konsensus Terakhir
Screening Kanker Usus Besar
Perkembangan terakhir konsensus mengenai screening KKR menurut US Preventive Service Task Force, European Cancer Screening Group, WHO, Ontario Expert Panel dan Australian Health Technology Advisory Committee menganjurkan: 1. Bahwa setiap pria dan wanita yang berumur 50 tahun ke atas harus menjalani screening KKR dan polip adenomatous. Screening dilakukan juga pada pasien yang lebih muda apabila adanya keluarga yang telah menderita KKR. Opsi dari screening ini yang digunakan adalah tes darah feses ( fecal occult blood test /FOBT) tiap tahun, sigmoidoskopi fleksibel setiap lima tahun (atau tiap dua tahun dikombinasikan), kolonoskopi setiap 10 tahun atau barium enema setiap lima tahun. Tes feses dengan guaiac berdasarkan immunokimia menghasilkan sensitivitas dan spesifitas yang baik dan dapat digunakan secara rutin. 2. Perlu dilakukan screening pada anggota keluarga yang menderita KKR pada usia 60 tahun. Dianjurkan polipektomi ataupun bedah kanker apabila hasil tes positif. Proses screening dapat dilakukan setiap 10 tahun dengan FOBT atau digabungkan dengan sigmoidoskopi fleksibel dan dianjurkan kolonoskopi diagnostik. Barium enema dalam hal ini tidak perlu dilakukan oleh karena sensitivitasnya yang rendah. 3. Bagi pasien-pasien yang telah menjalani polipektomi perlu dilakukan screening kembali kemungkinan kekambuhannya setiap lima tahun sekali. Screening yang digunakan dapat dengan FOBT setiap lima tahun sekali yang dapat diiringi dengan sigmoidoskopi fleksibel. 4. Perlu dilakukan konseling genetika pada pasien-pasien risiko tinggi dan pertimbangan kemungkinan pemberian terapi genetika berdasarkan perkembangan teknologi DNA
.
11
2.9 Staging Staging sangatlah penting dalam menentukan apakah kanker sudah menyebar ke organ lainnya. Bila suatu kanker ditemukan pada seorang pasien, prognosis dan pengobatan sangatlah tergantung dari lokasi, ukuran, stadium dari kanker dan kondisi kesehatan umum sang pasien. Tes tambahan sebelum penentuan stadium dari kanker dapat berupa: fisis diagnostik, tes urin dan darah lengkap, foto ronsen dari berbagai bagian tubuh seperti paru-paru, ginjal, hati, limpa, dan kelenjar limfe, pemeriksaan barium enema pada kolon dan rektum, pemeriksaan CT scan pada bagian tertentu dari tubuh yang dicurigai, ultrasonografi, MRI (magnetic resonance imaging), dan PET untuk melihat apakah sejumlah kecil kanker telah menyebar ke organ lain atau tidak. Apabila KKR didiagnosa, maka penentuan stadiumnya haruslah segera ditentukan untuk menentukan pengobatan apa yang harus dilakukan. Stadium dari KKR adalah: 1. Stadium 0 : stadium kanker insitu; pada stadium ini, sel yang abnormal masih ditemukan pada garis batas dalam dari kolon (muskularis mukosa)
12
2. Stadium 1 : stadium dukes A; kanker telah menyebar pada garis batas dalam dari kolon hingga dinding dalam dari kolon dan b elum menyebar keluar kolon. 3. Stadium 2 : stadium dukes B; kanker telah menyebar ke lapisan otot dari kolon hingga lapisan ketiga dan lapisan lemak atau kulit tipis yang mengelilingi kolon dan rektum. Namun belum mengenai kelenjar limfe. 4. Stadium 3 : stadium dukes C; kanker telah menyebar ke kelenjar limfe tapi belum menyebar ke bagian lain daripada tubuh. 5. Stadium 4 : stadium dukes D; kanker telah menyebar ke organ lain dari tubuh seperti hati dan paru-paru.
13
2.10
Penanganan dan Terapi Dasar terapi untuk KKR adalah operasi. Operasi yang penting yaitu eksisi
total yang akan mengurangi kekambuhan lokal dan morbiditas perioperatif. Pada KKR-kolon dilakukan hemikolektomi dan pada KKR-rektal dilakukan mesorektal eksisi total. Dengan teknik dan seleksi pasien, hasil yang sempurna dapat dicapai cukup dengan operasi saja bahkan tanpa harus dilakukan radioterapi atau kemoterapi. Namun demikian sebagian besar dari pasien KKR-kolon masih
14
memerlukan adjuvan kemoterapi, dan pasien KKR-rektal memerlukan adjuvan radiokemoterapi. Radioterapi bertujuan mengurangi kekambuhan lokal dan meningkatkan survival untuk KKR-rektal. Ajuvan radiokemoterapi ini merupakan standar untuk pasien dengan stage II dan III KKR-rektal. Neoajuvan radiokemoterapi dicadangkan untuk KKR-rektal yang sudah lanjut (uT4). Dari penelitian The Dutch CKVO 95-04 Trial (Neoadjuvan Trial) yang membandingkan operasi saja (dengan eksisi mesorektal total standar) dan operasi yang dikombinasikan dengan radiasi preoperasi jangka pendek (5x5 Gy). Setelah diikuti selama kurang lebih 2 tahun, kekambuhan lokal terjadi 2,4% pada grup neoadjuvan radiasi dan 8,2% grup kontrol (P<0,001). Tetapi survival keseluruhan tidak membaik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah radioterapi akan mengurangi risiko kekambuhan lokal pada KUB rendah (<10 cm dari anus, KKRrektal) tetapi tidak pada KKR tinggi (KKR-kolon) dan hanya bermanfaat pada stage II dan III. Untuk angka survivalitas, faktor prognostik paling penting adalah waktu pada saat diagnosa ditegakkan. 5-YSR tertinggi sekitar 90% bila KKR ditemukan masih terlokalisir, bila telah terjadi penyebaran regional angka 5-YSR sekitar 37% dan bila telah terjadi metastase jauh menjadi 25%. Pasien dengan penyebaran regional inilah yang merupakan kandidat untuk mendapat terapi ajuvan. Rejimen yang sudah dibakukan adalah 5-Fluorouracil (5-FU) kombinasi dengan agen biomodulasi seperti levamisole dan sekarang leucovorin (LV). Sejak tahun 1990, untuk KKR yang sudah metastase didapati 5 jenis obat kemoterapi baru yaitu capecitabine, oxaliplatin, irinotecan, bevacizumab dan cetuximab, seperti pada Tabel 5. Bevacizumab adalah suatu monoklonal anti-VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) antibodi, dan cetuximab suatu monoklonal anti-EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) antibodi. Saat ini, the National Comprehensive Cancer Network (NCCN) memperkenalkan 2 rejim kemoterapi baru yaitu oxaliplatin plus 5-FU infus dan LV (FOLFOX) dan oxaliplatin plus capecitabine sebagai terapi ajuvan KUB.
15
BAB III RINGKASAN
Kanker kolorectal (KKR) ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum. Secara epidemiologis, kanker kolorektal di dunia mencapai urutan ke-4 dalam hal kejadian. KKR timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Serta dihubungkan juga dengan
faktor predisposisi diet rendah serat, kenaikan berat badan, intake alkohol. Gejala tergantung dari lokasi, jenis keganasan, penyebaran, dan komplikasi (perforasi, obstruksi, perdarahan). Pertumbuhan KKR memerlukan waktu yang lama dan deteksi awal sangat membantu meningkatkan angka kesembuhan. Skrening dalam hal ini adalah suatu prosedur yang menilai seseorang tanpa gejala (asimptomatik) untuk mendapatkan risiko terhadap kemungkinan menderita KKR. Dasar terapi untuk KKR adalah operasi. Operasi yang penting yaitu eksisi total yang akan mengurangi kekambuhan lokal dan morbiditas perioperatif. Namun demikian sebagian besar dari pasien KKR-kolon masih memerlukan adjuvan kemoterapi, dan pasien KKR-rektal memerlukan adjuvan radiokemoterapi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Murdani. Tumor Kolorektal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dlam. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta. 2006. American Cancer Society. Colorectal Cancer : Prevention and Early Detection. Update 2008. David C. Dugdale, Barium Enema in Colorectal Carcinoma. Division of General Medicine, Department of Medicine, University of Washington School of Medicine. 2010. De Jong, Wim. Sjaumsuhidajat, R, Buku Ajar Ilmu Bedah. ECG. Jakarta. 2005. Hurd T., Gutman H., : Cancer of The Colon and Rectum; Berger D.H., Feig B.W., Fuhrman G.M.(Eds) in 1995. The M.D. Anderson Surgycal Oncology Handbook. Lee, Dennis. Colorectal cancer . www.MedMD.net. 2008 Siregar, Gontar Alamsyah. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Kanker Usus Besar. Universitas Sumatra Utara. 2007 Sutadi, Sri Maryani. Pola Keganasan Saluran Cerna Bagian Atas Dan Bawah Secara Endoskopi. FK Universitas Sumatra Utara. 2005.
17