Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, dan Metode Ilmiah I lmiah MAKALAH
di Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam Diampu oleh : Prof. Dr. H. Juhaya S. Pradja
Oleh: Vialdi Faizal Adha 2.211.1.4.011
PROGRAM DOKTOR HUKUM ISLAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 1434 / 2013
0
Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, dan Metode Ilmiah Vialdi Faizal Adha Abstract
Human search for the true nature of the universe and its contents will continue to roll and will not stop. This can be seen with the development of Western philosophy who has had four periods. Of the time span over four periods of the many inventions of thought by the philosopher who is now known as structured and systematic philosophical structure, which essentially philosophical structure is divided into three branches of philosophy: Theory of Knowledge, Theory of Nature, and the Theory of Value Keywords: Epistemology, Rationalism, Empiricism, Criticism, and the Scientific Method Pendahuluan
Pencarian manusia terhadap hakikat kebenaran Alam semesta dan isinya akan terus bergulir dan tidak akan berhenti. Hal ini bisa kita lihat dengan perkembangan Filsafat Barat yang telah memiliki empat periodisasi.1 Dari rentang waktu selama empat periode tersebut banyak penemuan-penemuan pemikiran oleh para filsuf yang sekarang sudah tersusun sistematis dan dikenal dengan struktur filsafat, yang pada pokoknya struktur filsafat tersebut terbagi ke dalam tiga cabang filsafat: Teori Pengetahuan, Teori Hakikat, dan Teori Nilai. 2 Tiga cabang filsafat itu dalam teorinya melahirkan beberapa cabang baru. Teori Pengetahuan melahirkan Epistemologi dan Logika, Teori Hakikat melahirkan Ontologi, Kosmologi, Antropologi, Theodocia, Filsafat Agama, Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan dan lain-lain. Adapun Teori Nilai melahirkan Etika dan Estetika. 3 1
Periode pertama, adalah zaman Yunani Kuno, dimana para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Periode kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani. Periode ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Periode keempat , adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat. 2 Juhaya S. Pradja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, Cet. IV, 2010), hal. 22 3 Ibid., hal. 22-69
1
Dari keseluruhan cabang filsafat tersebut, yang akan kita bahas pada makalah ini ialah bagian epistemologi yang merupakan cabang dari teori pengetahuan. Dimana pada cabang ini terbagi pula ke dalam empat pemikiran filsafat pokok yaitu Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme dan Metode Ilmiah (Scientific Method ).
A. Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism4. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”5. A.R. Lacey6 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi7. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti8. Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
4
9
Lorens Bagus, Kamus Filsafat , (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal.. 929 Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 7 , (New York, The Macmillan Company & The Free Press, 1967), hal. 69 6 A.R. Lacey, A Dictionary of Philosophy, (New York: Routledge, 2000), hal. 286 7 Lorens Bagus, , Kamus Filsafat … hal.929 8 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, (Yogyakarta, Kanisius, 1980), hal. 18 9 Juhaya S. Pradja, Aliran…, hal. 91-105 5
2
Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut. Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D‟Alembert. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tuj uan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Tokoh – tokoh Rasionalisme diantaranya; 1. Rene Descartes (1596 -1650) 2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775) 3. B. De Spinoza (1632 -1677 M) 4. G.W.Leibniz (1946-1716) 5. Christian Wolff (1679 -1754) 6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
Rasionalisme Rene Descartes (1596 -1650)
Rene Descartes orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
3
Rene Descartes sangat menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokohtokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang sering disebut cogito Descartes, atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt ).10 Lebih jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang benar dari metode yang ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari
karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini: 1. Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya. 2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya. 3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks. 4. Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu. 11 Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan pengalaman tentang roh halus, ada yang
sebenarnya itu tidak jelas. 10
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. VI, 1998), hal.
11
Juhaya S. Praja, Aliran….hal. 96
112-113
4
Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi. Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan hal gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, ”Aku dapat meragukan bahwa aku di sini sedang siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis sepeti itu, padahal aku ada di tempat tidur sedang bermimpi”. Jadi, siapa yang dapat menjamin bahwa yang sedang kita alami sekarang adalah kejadian yang sebenarnya dan bukan mimpi? Pada langkah pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang dapat diindera. Sekarang , apa yang dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi dan hal gaib), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada yang selalu muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah dan besaran (volume). Ketiga hal tersebut adalah matematika. Untuk membuktikan ketiga hal ini benar-benar ada, maka Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa matematika bisa salah. Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur besaran, demikian pula pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan, meskipun matematika lebih pasti dari benda. Kalau begitu, apa yang pasti itu dan dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct . 12 Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito. Satusatunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat menipunya termasuk setan licik dan botak sekali pun. Bahkan jika kemudian ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka penyesatan itu pun bagi Descartes merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan,
melainkan
kenyataan.
Batu
karang
kepastian
Descartes
ini
diekspresikan dalam bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada). 12
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), h.
129-131.
5
Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa kebenaran yang satu (saya berpikir, maka saya ada) adalah benar, Descartes berkesimpulan bahwa dia merasa diyakinkan oleh kejelasan dan ketegasan dari ide tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul dalam pikiran kita:” Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas adalah benar. Dengan demikian, falsafah rasional mempercayai bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukanlah turunan dari dunia pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Descartes mengakui bahwa pengetahuan dapat dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti dalam mimpi atau khayalan, maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat diandalkan. 13 Cogito ergo sum dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama ( primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan keberadaannya tidak butuh kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi. Untuk menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan ( innate ideas). Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan yang telah ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan dan keluasan. Argumen tentang ide bawaan tersebut adalah ketika saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. Ketika saya mempunyai ide sempurna, maka pasti ada penyebab sempurna bagi ide tersebut, karena akibat tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain adalah Tuhan. Adapun alasan tentang keluasan karena saya mengerti ada materi sebagai keluasan, sebagaimana diketahui dan dipelajari dalam ilmu geometri. Mengenai substansi, Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan ada dua substansi, yaitu jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar dirinya, maka ia kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut. 13
Jujun S. Suriasumantri , Ilmu dalam perspektif (Cet. XVI; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 100-101.
6
Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah bahwa Tuhan akan menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun tidak mungkin Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya. Jadi, di luar saya benar-benar ada dunia material. 14
B. Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience15. kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia16 yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey 17 berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat
yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera. Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal18. Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin 19. Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada 14
Juhaya S. Praja, Aliran….hal. 98-99. Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu , Jakarta, Yayasan obor Indonesia, 2003, hal.. 99 16 Lorens Bagus, Kamus Filsafat ..hal. 197 17 Lacey, A Dictionary of Philosophy…, hal. 88 18 Loresns Bagus, Kamus Filsafat , .., hal. 197-198 19 Stanley Honer dan Hunt, Metode dalam .. hal. 102 15
7
saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri 20.
Empirisme David Hume
Usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung secara terus menerus. Namun, terdapat sebuah tradisi epistemologis yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia yang meninggalkan cita-cita untuk mendapatkan pengetahuan yang mutlak dan pasti tersebut, salah satunya adalah Empirisme. Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof Empirisme lainnya menganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi”. Hume melakukan pembedaan antara kesan dan ide. Kesan merupakan penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide adalah ingatan atas kesan-kesan. Menurutnya, kesan selalu muncul lebih dahulu, sementara ide sebagai pengalaman langsung tidak dapat diragukan. Dengan kata lain, karena ide merupakan ingatan atas kesan-kesan, maka isi pikiran manusia tergantung kepada aktivitas inderanya. Kesan maupun ide, menurut Hume, dapat sederhana maupun kompleks. Sebuah ide sederhana merupakan perpanjangan dari kesan sederhana. Begitu pula ide kompleks merupakan kelanjutan dari kesan kompleks. Tapi, dari ide kompleks dapat diturunkan menjadi ide sederhana.
20
Ibid
8
Pikiran kita menurut Hume bekerja berdasarkan tiga prinsip pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan yaitu kalau kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendela, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderawi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebabakibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit yang diakibatkannya. Hal-hal di atas mengisyaratkan bahwa ide apa pun selalu berkaitan dengan kesan. Karena kesan berkaitan langsung dengan pengalaman inderawi atas realitas maka ide pun harus sesuai dengan relitas yang ditangkap pengalaman inderawi. Berdasarkan prinsip epistemologinya, Hume melancarkan kritik keras terhadap asumsi epistemologi warisan filsafat Yunani kuno yang selalu mengklaim bahwa pengetahuan kita mampu untuk menjangkau semesta sesungguhnya.
Hume
mengemukakan
bahwa
klaim
tentang
semesta
sesungguhnya di balik penampakan tidak dapat dipastikan melalui pengalaman faktual maupun prinsip non-kontradiksi. Kritik Hume diejawantahkan dalam sikap skeptisnya terhadap hukum sebab akibat yang diyakini oleh kaum rasionalis sebagai prinsip utama pengatur semesta. Keniscayaan hubungan sebab akibat tidak pernah bisa diamati karena semuanya masih bersifat kemungkinan. Tokoh-tokoh empirisme antara lain Francis Bacon (1561-1626), ThomasHobbes (1588-1679), dan John Locke (16321704). Perbedaan Rasionalisme dan Empirisme Perbandingan Rasionalisme
Empirisme
Sumber Pengetahuan adalah Rasio
Sumber Pengetahuan adalah pengalaman
Manusia lahir dibekai dengan ide bawaan
Manusia lahir as a white paper
Setiap benda memiliki substansi
Setiap benda hanya memiliki relasi
Pola pikir deduktif
Pola pikir induktif Hukum kausalitas tidak berlaku mutlak
Ada Kausalitas yang tetap
dan universal
Pusat pengenalan bersumber dari subjek
Pusat pengenalan bersumber dari objek
9
C. Kritisisme
Pada abad ke-18, yang lazim disebut enlightenment age, orang harus memilih salah satu di antara dua semangat filosofis yang berlawanan secara paradigmatik. Kedua filsafat tersebut adalah rasionalisme dan empirisme. Kant berkeyakinan bahwa pilihan salah satu dari keduanya adalah tidak realistis, karena terjebak dalam kepalsuan pengetahuan. Keyakinan Kant 21 berawal dari dua problem filosofis yang diwarisinya dari dua filosof sebelumnya, Descartes dan Hume. Kant menyebut yang pertama dengan pengetahuan a priori dan yang kedua pengetahuan empiric atau a posteriori. Yang pertama bersumber pada sensibility dan yang kedua bersumber pada understanding . Menurut Kant, paradigma pengetahuan yang dipegang kedua pihak tersebut secara ekstrem adalah samasama salah. Karena bagi Kant, sebenarnya sensibili tas dan pemahaman merupakan sumber pengetahuan manusia secara integrative. Melalui yang pertama, objekobjek diberikan kepada kita dan melalui yang kedua, objek-objek itu dipikirkan. Upaya menyintesiskan kedua sumber pengetahuan tersebut menjadi paradigma episteme yang baru merupakan prior research-nya Kant. Dari upaya pemaduan ini, Kant memberikan argumentasi-argumentasi logisnya untuk membuktikan penemuannya itu. Dan itulah pemikiran logis Kant yang kita kenal dengan nama Kritisisme.22 Kritisisme berasal dari kata kritika yang merupakan kata kerja dari krinein yang atinya memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-membedakan. Selain itu kritisime juga diartikan sebagai pembelajaran yang menyelidiki batasan-batsan kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia.
21
Immanuel Kant adalah seorang filosof besar yang muncul dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-18. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur, pada tanggal 22 April 1724. Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme. Di sekolah ini ia dididik dengan disiplin sekolah yang keras. Sebagai seorang anak, Kant diajar untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya, suatu sikap yang kelak amat dijunjung tinggi sepanjang hidupnya. Di sekolah ini pula Kant mendalami bahasa latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikiran mereka. Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, Cetakan keenam, 2010), hal 69. 22 Zubaedi dkk, Filsafat Barat , (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal 46
10
Epistimologi Kant
Filsafat Kant berusaha mendamaikan aliran filsafat rasionalisme dan empirisme dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu dengan antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat member peluang untuk munculnya alternative ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif. Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant merubah wajah filsafat secara radikal, di mana ia memberikan tempat sentral pada manusia sebagai subjek berpikir. Maka dalam filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan menyelidiki strukturstruktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan: Akal tidak boleh bertindak seperti seorang mahasiswa yang cuma puas dengan mendengarkan keteranganketerangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya. Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas batasnya. Langkah Kant ini dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir atas daya pertimbangan.
A.
Kritik atas Rasio Murni
Kritisisme
dapat
dianggap
sebagai
suatu
usaha
raksasa
untuk
mendamaikan dua kubu yang saling berseteru yakni kubu rasionalisme dan kubu empirisme. Kubu rasionalisme yang mementingkan unsur a priori dalam pengenalan, atau unsur-unsur yang terlepas dari pengalaman (empirisme). Sedangkan kubu empirisme yang menekankan unsure-unsur aposteriori, atau yang berarti unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut kant, baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah, maka dari itu kant berusaha
11
menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan paduan antara sintesa unsurunsur apriori dengan unsur-unsur apesteriori. Walaupun kant sangat mengagumi empirisme hume, akan tetapi ia menolak skeptisme yang dianut hume dengan kesimpulannya yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat mencapai suatu kepastian.23 Dalam kritik ini kant menunjukan tiga bidang sebagai tahapan yang harus dilalui : a. Tahap Indrawi
Dalam tahap ini peranan subjek lebih menonjol dari pada obyek, namun harus ada dua bentuk murni yaitu : “ruang dan waktu” yang dapat diterapkan dalam pengalaman. Hasil penerpan indrawi yang dikaitkan dalam bentuk “ruang dan waktu” merupakan fenomena konkrit. Namun pengetahuan yang diperoleh dalam bidang indrawi ini selalu berubah-ubah tergantung pada subyek yang mengalami.
b. Tahap Akal
Dalam tahap yang ini apa yang diperoleh melalui bidang indrawi tersebut digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat obyektif-universal. Dan haruslah dituangkan kedalam bidang akal. Di sini terkandung empat bentuk kategori dan masing-masing kategori terdiri atas tiga jenis yaitu : Ø Kategori kuantitas : Kategori yang terdiri atas : singular (kesatuan), partikulir ( sebagian), dan universal (umum). Ø Kategori kualitas : Kategori kualitas adlah kategori yang terdiri atas : realita (kenyataan), negasi (pengingkaran), dan limitasi (batas-batas). Ø Kategori relasi : Kategori yang terdiri atas : categories (tidak bersyarat), hypotetis (sebab dan akibat), dan dis junctif (saling meniadakan). Ø Kategori modalias : Kategori yang terdiri dari : mungkin/tidak, ada/tiada, dan keperluan/kebetulan.
23
Pada waktu itu, Newton sedang sukses besar dalam merumuskan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya pasti, misal air pasti mendidih di 100 0 C. maka kant berfikir bahwa kepastian bisa didapat dalam ilmu pengetahuan. Juhaya S. Praja, Aliran….hal. 116-117
12
c. Tahap Rasio.
Dalam tahap ini pengetahuan yang diperoleh dalam bidang akal (rasio) itu baru dapat dikatakan putusan sintetik apriori, setelah dikaitkan dalam tiga macam ide yaitu : Allah (ide teologis), Jiwa (ide psikologis), Dunia (ide kosmologis). Namun ketiga macam ide tersebut tidak mungkin dicapai oleh akal fikir manusia, karena ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan. B.
24
Kritik Atas Rasio Praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut dengan rasio teoritis (rasio murni). Akan tetapi disamping rasio murni terdapat rasio yang lain yang disebut dengan rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah pada kehendak kita. Kant menyebutkan bahwa rasio praktis dapat memberikan perintah yang mutlak yang disebut dengan imperative kategori. Misalnya : kita meminjam barang, maka kita harus mengembalikan.. selain itu rasio praktis juga dapat berupa pernyataan negative berupa larangan, seperti jangan mencuri. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disada ri bahwa sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya kant menyebutkan ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat yang dimaksud adalah : Kebebasan kehendak, Immoralitas jiwa, dan Adanya Allah (tuhan). Jadi apa yang tidak dapat ditemui pada rasio teoritis harus diandaikan atas rsio praktis. Tetapi tentang kebebasan kehendak, immoralitas jiwa, dan adanya allah kita semua tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Karena menerima ketiga postulat tersebut oleh kant dinamakan kepercayaan (glaube). Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argument moral” tentang adanya Tuhan, sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis „bekerja‟ melahirkan perbuatan susila.25
24 25
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik , (Bandung: Rajawali press) hal.29-30 Mohammad Muslih, Filsafal Ilmu, hal. 78
13
C.
Kritik Atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya dua kawasan tersendiri, yaitu kawasan keperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua kawasan itu, tidak berarti bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik der Urteilskraft), dimaksudkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektik, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.26 D. Metode Ilmiah (Scientific Method)
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematis. Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
27
Garis besar langkah-langkah sistematis keilmuan menurut Soetriono dan SRDm Rita Hanafie sebagai berikut 28: 1.Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah. 2.Menyusun kerangka pemikiran (logical construct ). 3.Merumuskan hipotesis ( jawaban rasional terhadap masalah). 4. Menguji hipotesis secara empirik. 5. Melakukan pembahasan. 6. Menarik kesimpulan. Tiga langkah pertama merupakan metode penelitian, sedangkan langkahlangkah selanjutnya bersifat teknis penelitian.Dengan demikian maka dapat diartikan juga bahwa pelaksanaan penelitian menyangkut dua hal, yaitu hal metode dan hal teknis penelitian. 26 27
Ibid E. Komara,. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2011) 28
Soetriono dan Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi, 2007)
14
Mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian (research question), yaitu pertanyaan yang belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum atau dalil) yang ada. Misalnya menurut teori dalam teknik kimia dinyatakan bahwa jika suhu semakin naik, maka kelarutan semakin naik.Hal ini bisa saja menjadi global dan diterima dalam skala yang lebih luas.Namun kenyataannya hal ini terdapat pengecualian untuk beberapa senyawa tertentu. Oleh karena itu pertanyaan penelitiannya dapat diidentifikasikan pada situasi mana atau pada kondisi mana. Dengan mengidentifikasi situasi atau kondisi yang memungkinkan atau tidak memungkinkan secara lebih lanjut berarti telah merumuskan masalah penelitian. Cara yang paling sederhana untuk menemukan pertanyaan penelitian (research question) adalah melalui data sekunder. Wujudnya berupa beberapa kemungkinan misalnya: a. Melihat suatu proses dari perwujudan teori. b. Melihat linkage dari proposisi suatu teori, kemudian bermaksud memperbaikinya. c. Merisaukan keberlakuan suatu dalil atau model di tempat tertentu atau pada waktu tertentu. d. Melihat tingkat informative value dari teori yang telah ada. Kemudian bermaksud meningkatkannya. e. Segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori yang telah ada atau belum dapat dijelaskan secara sempurna. 29 Cara berpikir ke arah memperoleh jawaban terhadap masalah yang diidentifikasi ialah dengan penalaran deduktif. Cara penalaran deduktif ialah cara penalaran yang berangkat dari hal yang umum kepada hal-hal yang khusus. Halhal yang umum ialah teori/dalil/hukum, sedangkan hal yang bersifat khusus (spesifik) tida lain adalah masalah yang diidentifikasi.
29
E. Komara,. Filsafat Ilmu …
15
Bagian berikutnya adalah abduktif atau merumuskan hipotesis. Hipotesis adalah kesimpulan yang diperoleh dari penyusunan kerangka pemikiran, berupa proposisi deduksi.Merumuskan berarti membentuk proposisi yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan serta tingkat-tingkat kebenarannya.Bentuk-bentuk proposisi menurut tingkat keeratan hubungannya (linkage) serta nilai-nilai informasinya (informative value). Hasil pembahasan disajikan dalam bentuk kesimpulan. Kesimpulan penelitian adalah penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan yang disajikan dalam kalimat yang tidak menimbulkan tafsiran lain.Penemuan dari interpretasi dan pembahasan harus merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian sebagai masalah, atau sebagai bukti dari penerimaan terhadap hipotesis yang diajukan. Dalam hal inilah digunakan metode induktif yakni dari pembahasan secara khusus menjadi umum sehingga aplikasinya dapat dipakai dalam skala yang lebih luas. C. Penutup
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris. 16
Metode ilmiah atau proses ilmiah ( scientific method ) merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan melakukan pengamatan serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkalikali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
A.R. Lacey. A Dictionary of Philosophy. New York. Routledge. 2000. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat . Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2002. Edwards Paul (ed.). The Encyclopedia of Philosophy Volume 7 . New York. The Macmillan Company & The Free Press. 1967. Hadiwijono Harun. Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta. Kanisius. 1980. Komara, E. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung. Penerbit PT. Refika Aditama, 2011 Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar. 2007 Praja Juhaya S. Aliran-aliran filsafat dan etika. Cet II ;Jakarta. Prenada Media 2005. Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt. Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme. Empirisme dan Metode Keilmuan. dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalamPerspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta. Yayasan obor Indonesia. 2003. Suriasumantri Jujun S. Ilmu dalam perspektif . Cet. XVI; Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2003. Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi. 2007. Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1998.
17