KATA PENGANTAR
(((((( (((( (((((((((((( (((((((((
Alhamdulillahirobbil'alamin, Pujian yang hakiki mutlaq selalu milik
Allah Azza wa Jalla yang telah mengkaruniakan rahmat, hidayah serta taufiq-
Nya. Atas rahmat-Nya kita di berikan ketenangan hati, ketentraman jiwa,
kedamaian hidup, kesempurnaan akal. Atas Hidayah-Nya kita di karuniakan
petunjuk untuk tetap istiqomah dalam mempelajari dan mengamalkan perintah
dan larangan yang terdapat pada dinnul haq, yakni Al-Islam yang merupakan
satu-satunya agama yang diridhoi-Nya. Atas taufiq-Nya kita diberikan
kemampuan dan kemudahan dalam melaksanakan hal-hal yang ma'ruf dan bernilai
maslahah dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Sholawat dan Sallam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Shalallahu'alaihiwasallam atas kesungguhan dan pengorbanan beliau dalam
mendakwahkan risalah yang tidak ada kesalahan dan keraguan didalamnya
sebagai petunjuk untuk umat yang mulia serta mertarbiyah umatnya untuk
mencapai Fallah (kebahagiaan di dunia dan di akhirat).
Makalah yang kami susun ini merupakan makalah yang membahas tentang
Kebijakan ekonomi dalam menciptakan keadilan social, sedangkan pokok
pembahasan dari makalah yang kami (penulis) susun ini lebih menitik
beratkan pada solusi Ajaran islam dalam menciptakan kemaslahatan dan
keadilan didalam suatu masyarakat di bidang perekonomian dalam skala makro.
Pada dasarnya rumusan masalah makalah ini ingin merupakan pengembagan dari
hasil pemikiran para intelektual islam dalam upaya menciptakan keadilan
distribusi dibidang perekonomian. Alasan kuat kenapa kami lebih menjadikan
hasil ijtihad para 'alim ulama islam sebagai arah kami dalam membahas
kebijakan ekonomi adalah karena Perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah
Shalallahu'alaihiwasallam, dengan berdasar pada hadits Rasulullah
Shallahu'alaihiwasallam, yakni :
Rasulullah Shallahu'alaihiwasallam bersabda, "Sesungguhnya para ulama
adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan
dinar dan dirham, tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Maka barang
siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak." –
(Diriwayatkan oleh tirmidzi dalam jami'-nya 5/48, abu dawud dalam sunan-nya
3/317, dan ibnu majah dalam sunan-nya 1-81)
Maka dari itu kami berharap kepada Robb Ta'ala bahwa kesungguhan kami
(penulis) dalam menyusun makalah ini dapat bernilai sebagai ibadah dan kami
juga berharap makalah ini dapat bermanfaat kepada setiap yang membaca,
terkhusus kepada para penuntut ilmu syar'i.
Adapun jika terdapat kesalahan dalam hal penyajian bahasan maupun
kesalahan dalam hal pengetikan dan penyusunan, kami utarakan mohon ma'af,
Karena salah satu fitrah kami sebagai manusia ialah memiliki kecenderungan
dalam berbuat kesalahan. Saran dan kritikan yang membangun, sangat kami
butuhkan untuk menyempurnakan pemahaman kami di bidang mata kuliah ekonomi
regional ini.
Kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang turut andil dalam
suksesnya penyelesaian makalah yang kami buat ini. Semoga makalah yang kami
buat ini memiliki nilai manfaat bagi masyarkat Indonesia, Khususnya kepada
Para Penuntut Ilmu dan Para National Builder. Aamiinn…
Bandar lampung, Pebruari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I (PENDAHULUAN)
A.Latar belakang 4
B.Rumusan Masalah 6
BAB II (PEMBAHASAN)
A.Masalah Utama Dalam Perekonomian 7
B.Prinsip Intervensi Negara 8
C.Kebijakan Ekonomi 10
D.Pembagian Kebijakan Ekonomi 12
E.Bentuk-Bentuk Kebijakan Makro Ekonomi 12
BAB III (PENUTUP)
Kesimpulan 24
Daftar Pustaka 25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu ekonomi Islam sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern baru
muncul pada tahun 1970-an, tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah
muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammad
Shalallahu'alaihiwasallam karena rujukan utama pemikiran ekonomi ini
munculnya bersamaan dengan diturunkannya Al-Qur'an dan masa kehidupan
Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam, pada abad akhir 6 M. hingga awal
abad 7 M. Kehidupan Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam dan masyarakat
pada zaman beliau adalah teladan yang paling baik dalam implementasi
Islam. Sehingga Allah Ta'ala memuji Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam
dan Para Shahabat Rhadiallahu'anhum pada zaman beliau sebagaimana yang
tertulis dalam Alquran, yakni:
((((((( (((((( (((((( (((((((((( (((((((( ((((((((((( (((((((((((((((
(((((((((((( (((( ((((((((((( ((((((((((((( (((((( ( (((((( ((((((( ((((((
((((((((((( ((((((( ((((((( ((((( ( ((((((((( (((((((((((((((
(((((((((((((( (((((((((((((( (((((
Artinya : "kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik."[1]
Oleh karena itu, kehidupan Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam dan
masyarakat pada zaman beliau adalah teladan yang paling baik yang harus
di kaji dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi.
Tentu saja sistem perekonomian Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam yang
dimaksud disini adalah system perekonomian masa Madinah, karena pada fase
Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun sistem perekonomian
karena pada masa itu fokus masyarakat Muslim adalah mempertahankan diri
dari intimidasi orang-orang Quraisy.[2]
Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam sebagai suatu ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan
alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas di dalam kerangka Syariah. Ilmu
yang mempelajari perilaku seorang muslim dalam suatu masyarakat Islam
yang dibingkai dengan syariah. Definisi tersebut mengandung kelemahan
karena menghasilkan konsep yang tidak kompetibel dan tidak universal.
Karena dari definisi tersebut mendorong seseorang terperangkap dalam
keputusan yang apriori (apriory judgement), benar atau salah tetap harus
diterima. Definisi yang lebih lengkap harus mengakomodasikan sejumlah
prasyarat yaitu karakteristik dari pandangan hidup Islam. Syarat utama
adalah memasukkan nilai-nilai syariah dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi
Islam adalah ilmu sosial yang tentu saja tidak bebas dari nilai-nilai
moral. Nilai-nilai moral merupakan aspek normatif yang harus dimasukkan
dalam analisis fenomena ekonomi serta dalam pengambilan keputusan yang
dibingkai syariah.
1. Menurut Muhammad Abdul Manan
Islamic economics is a social science which studies the economics
problems of a people imbued with the values of Islam.3 Jadi, menurut
Manan ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
2. M. Umer Chapra
Islamic economics was defined as that branch of knowledge which helps
realize human well-being through an allocation and distribution of scarce
resources that is in confinnity with Islamic teaching without unduly
curbing Individual freedom or creating continued macroeconomic and
ecological imbalances. Jadi, Menurut Chapra ekonomi Islam adalah sebuah
pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui
alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam
koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan
individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan
tanpa ketidakseimbangan lingkungan.
3. Syed Nawab Haider Naqvi
Ilmu ekonomi Islam, singkatnya, merupakan kajian tentang perilaku
ekonomi orang Islam representative dalam masyarakat muslim modern. Dari
beberapa definisi ekonomi Islam di atas yang relatif dapat secara lengkap
menjelaskan dan mencakup kriteria dari definisi yang komprehensif adalah
yang dirumuskan oleh Hasanuzzaman yaitu "Suatu pengetahuan dan aplikasi
dari perintah dan peraturan dalam syariah yaitu untuk menghindari
ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumberdaya material agar
memberikan kepuasan manusia, sehingga memungkinkan manusia melaksanakan
tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat (Islamic economics is the
knowledge and application of injunctions and rules of the shari'ah that
prevent injustice in the acquition and disposal of material resources in
order to provide satisfaction to human beings and enable them to perform
their obligations to Allah and the society).
Hal penting dari definisi tersebut adalah istilah "perolehan" dan
"pembagian" di mana aktivitas ekonomi ini harus dilaksanakan dengan
menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber-sumber
ekonomi. Prinsip-prinsip dasar yang digunakan untuk menghindari
ketidakadilan tersebut adalah syariah yang di dalamnya terkandung
perintah (injunctions) dan peraturan (rules) tentang boleh tidaknya suatu
kegiatan. Pengertian "memberikan kepuasan terhadap manusia" merupakan
suatu sasaran ekonomi yang ingin dicapai. Sedangkan pengertian
"memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan
masyarakat" diartikan bahwa tanggungjawab tidak hanya terbatas pada aspek
social ekonomi saja tapi juga menyangkut peran pemerintah dalam mengatur
dan mengelola semua aktivitas ekonomi termasuk zakat dan pajak.[3]
B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan Apa saja Permasalahan Perekonomian yang berkaitan dengan
kebijakan ekonomi ?
2. Bagaimana Intervensi Pemerintah terhadap proses perekonomian
didalam suatu negara dalam pandangan islam ?
3. Jelaskan kebijakan ekonomi yang dapat menciptakan keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat dalam suatu negara ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. MASALAH UTAMA DALAM PEREKONOMIAN
Sebelum kami (penulis) menerangkan pokok bahasan makalah kami, yakni
kebijakan ekonomi yang menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat dalam suatu Negara, ada baiknya kami menerangkan beberapa hal-
hal yang menjadi masalah utama didalam perekonomian, karena musabab dari
ditetapkannya kebijakan ekonomi ialah karena adanya permasalahan dalam
perekonomian. Adapun
1. Masalah Inflasi (Inflation)
Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan
terus-menerus. Dari definisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi
agar dapat dikatakan inflasi :
a. Kenaikan harga;
b. Bersifat umum;
c. Berlangsung terus-menerus.[4]
Inflasi menimbulkan beberapa akibat buruk kepada individu,
masyarakat dan kegiatan perekonomian secara keseluruhan. Oleh sebab itu
masalah tersebut perlu dihindari. Salah satu akibat penting dari
inflasi ialah ia cenderung menurunkan taraf kemakmuran segolongan besar
masyarakat. Sebagian besar pelaku-pelaku kegiatan ekonomi terdiri dari
pekerja-pekerja yang bergaji tetap. Inflasi biasanya berlaku lebih
cepat dari kenaikan upah para pekerja. Oleh sebab itu upah rill para
pekerja akan merosot disebabkan oleh inflasi dan keadaan ini berarti
tingkat kemakmuran segolongan besar masyarakat mengalami kemerosotan.
Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan menjadi semakin
memburuk sekiranya inflasi tidak dapat dikendalikan. Inflasi cenderung
akan menjadi bertambah cepat apabila tidak diatasi. Inflasi yang
bertambah serius tersebut cenderung untuk mengurangi investasi yang
produktif, mengurangi ekspor dan menaikkan impor. Kecenderungan ini
akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.[5]
2. Keterbatasan sumber-sumber
Sedikit sekali barang-barang yang memiliki sifat sebagai barang
bebas . selain udara, sudah sangat sulit untuk menemukan barang lain
yang bersifat free goods seperti itu. Inilah yang memaksa orang untuk
tunduk kepada the law of scarcity (hukum kelangkaan) yang berbunyi:
untuk mendapatlan barang yang langka, orang harus mengorbankan sesuatu
terlebih dahulu.
Kelangkaan barang-barang pemuas kebutuhan manusia itu selanjutnya
menyatakan bahwa penyediaan sumber-sumber itu adalah terbatas. Tidak
dapat dengan seenaknya saja diambil dan kemudian digunakan , tetapi
harus diperoleh dulu melalui pengorbanan, lalu diteliti penggunaannya
melalui kombinasinya dengan sumber-sumber lain, kemudian dipilih
kombinasi manakah yang paling menguntungkan, dan baru kemudian dapat di
ambil keputusan yang sebaik-baiknya . semua itu sekali lagi, mengundang
manusia untuk menghadapi masalah pemilihan (the problem of choice).
Terkait dengan hal itu, scarcity (kelangkaan) dan choice
(pemilihan) itu pada akhirnya telah memaksa manusia untuk menyadari
bahwa, apabila suatu keputusan tentang penggunaan suatu sumber telah
dipilih atau di ambil, maka itu akan berarti hilangnya semua alternatif
penggunaan yang lainnya. Juga, manusia harus menyadari bahwa untuk
memperoleh suatu barang (atau penggunaan barang itu), haruslah
dikorbankan barang yang lainnya. Prinsip ini dikenal sebagai the
principle of opportunity cost.[6]
3. Masalah pengangguran (unemployment)
Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seorang yang tergolong
dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat
memperolehnya. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif
mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur.[7] Seseorang baru
dikatakan menganggur bila ia ingin bekerja dan telah berusaha mencari
kerja, namun tidak mendapatkannya.[8]
Salah satu factor penting yang menentukan kemakmuran suatu
masyarakat adalah tingkat pendapatannya. Pendapatan masyarakat mencapai
maksimum apabila tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dapat
diwujudkan. Pengangguran mengurangi pendapatan masyarakat, dan ini
mengurangi tingkat kemakmuran yang mereka capai.
Ditinjau dari sudut individu, pengangguran menimbulkan berbagai
masalah ekonomi dan social kepada yang mengalaminya. Ketiadaan
pendapatan menyebabkan para penganggur harus mengurangi konsumsinya.
Disamping itu ia dapat mengganggu taraf kesehatan keluarga.
Pengangguran yang berkepanjangan menimbulkan efek psikologis yang buruk
keatas diri penganggur dan keluarganya.
Apabila keadaan pengangguran disesuatu Negara adalah sangat buruk,
kekacauan politik dan social selalu berlaku dan memberikan efek yang
buruk kepada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi
dalam jangka yang panjang.
Nyatalah bahwa masalah pengangguran adalah masalah yang buruk
efeknya kepada perekonomian dan masyarakat, dan oleh sebab itu secara
terus-menerus usaha-usaha harus dilakukan untuk mengatasinya.[9]
B. PRINSIP INTERVENSI NEGARA
Seluruh Kekuasaan dan wewenang yang komprehensif dan umum yang
diberikan kepada Negara untuk mengintervensi kehidupan ekonomi
masyarakat, dipandang sebagai salah satu prinsip fundamental yang
penting dalam sistem ekonomi islam.
Intervensi Negara tidak terbatas pada sekadar mengadaptasi aturan
hukum islam yang permanen, namun juga mengisi kekosongan yang ada dalam
hukum islam. Pada satu sisi, Negara mendesak masyarakat agar
mengadaptasi elemen-elemen dinamis (mengisi kokosongan yang ada dalam)
hukum islam, sesuai dengan kondisi yang ada.
Pada tataran praktis, Negara mengintervensi kehidupan ekonomi guna
menjamin adaptasi hukum islam yang terkait dengan kehidupan ekonomi
para individu. Misalnya, Negara melarang transaksi bisnis dengan
bunga, atau penguasaan atas sebidang tanah tanpa mereklamasinya.
Demikian pula, Negara menjalankan sendiri aturan hukum yang terkait
langsung dengannya. Misalnya, Negara mengimplementasikan prinsip
jaminan social dan keseimbangan social sesuai dengan arahan Islam.
Pada tataran legislatif, intervensi Negara ditujukan untuk mengisi
kekosongan dalam hukum islam. Negara mengisi kekosongan tersebut sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dinamis, sedemikian hingga ia bis
menjamin tercapainya tujuan-tujuan umum sistem ekonomi islam serta
merealisasikan keadilan social menurut hukum Islam dan membuatnya bisa
selaras pada tataran praktis dan teoritis (dengan situasi dan kondisi)
di berbagai zaman.
1. Mengapa Ada Ruang Kosong?
Gagasan ruang kosong ini berdiri di atas basis bahwa islam tidak
menawarkan prinsip aturan hukumnya dalam kehidupan ekonomi sebagai
suatu resep yang tetap atau sebuah sistem yang statis yang diwariskan
sejarah dari masa ke masa. Sebaliknya, islam menawarkan prinsip aturan
hukumnya dalam kehidupan ekonomi sebagai suatu bentuk yang selaras
dengan segala zaman. Karena itu, penting untuk menyempurnakan bentuk
ini dengan elemen-elemen dinamis yang mencerminkan perubahan-perubahan
zaman, sehingga ia memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan situasi
dan kondisi yang berbeda-beda.
Dalam kehidupan ekonomi terdapat hubungan manusia dengan kekayaan
alam, yakni cara manusia berproduksi dan kendalinya atas alam, kemudian
hubungan antarsesama manusia yang tercermin dalam hak yang diperoleh si
A atau si B.
perbedaan antara kedua hubungan ini adalah sebagai berikut.
Terwujudnya hubungan pertama tidak terkait dengan apakah seseorang
hidup dalam masyarakat atau tidak. Seorang individu terkait dengan alam
dalam suatu hubungan tertentu yang dibatasi oleh pengalaman dan
pengetahuannya. Ia menangkap burung, menggarap tanah, menambang batu
bara, dan memintal wol dengan cara-cara yang ia kuasai. Terwujudnya
hubungan antara manusia dan alam ini tidak tergantung pada keberadaan
manusia dalam masyarakat, namun memang masyarakat memengaruhi hubungan
ini. Keberadaan masyarakat memungkinkan terakumulasinya berbagai
pengalaman dan pengetahuan yang berbeda, meningkatkan level pemahaman
manusia terhadap alam, serta mengembangkan kebutuhan dan keinginan
manusia. Sementara terwujudnya hubungan antarsesama manusia yang
menyangkut hak dan kewajiban mereka tergantung pada keberadaan manusia
dalam masyarakat.
Islam sebagaimana kita lihat, membedakan kedua jenis hubungan
ini. Hubungan antara manusia dengan alam berubah seiring dengan
berjalannya waktu, dipengaruhi oleh beragam masalah yang secara
sinambung dihadapi manusia dalam usahanya mengeksploitasi alam, juga
dipengaruhi oleh berbagai solusi yang ia tempuh guna mengatasi beragam
masalah tersebut. Makin sering terjadi perubahan pada hubungan manusia
dengan alam, makin sering pula terjadi peningkatan kendali manusia atas
alam serta kemampuannya, yakni sarana dan cara yang ia kuasai.
Sedangkan hubungan antarsesama manusia bersifat tetap tak berubah,
karena menyangkut masalah-masalah esensial dan permanen. Masyarakat
yang dalam hubungannya dengan alam beroleh kendali atas kekayaan, akan
dihadapkan pada masalah keadilan distribusinya serta penentuan hak-hak
para individu dan masyarakat, baik ketika aktifitas produksi berada
pada level mesin uap dan listrik, maupun pada level gilingan tangan.
Atas dasar ini, Islam memandang bahwa hukum-hukum yang mengatur
hubungan ini agar tercipta keadilan social dari sisi teoritis bersifat
tetap dan permanen karena menyangkut masalah-masalah permanen. Karena
itu, wajarlah jika islam mengetengahkan prinsip teori dan hukum yang
mampu mengatur hubungan antarsesama manusia sepanjang zaman. Namun,
tidak berarti Islam mengabaikan hubungan manusia dengan alam yang
bersifat dinamis, karena semakn berkembang kuasa manusia atas alam
dimana kendalinya atas kekayaan alam semakin besar, semakin kompleks,
dan semakin sistematis, maka semakin meningkat pula potensinya untuk
membahayakan masyarakat, di mana ia dapat memanfaatkan kuasa dan
kendalinya itu untuk berekspansi dan mengancam keadilan sosial.
Atas dasar inilah Islam menyediakan ruang kosong dalam hukum
ekonominya, agar hukum tersebut dapat selalu selaras dan mencerminkan
elemen dinamisnya, yakni hubungan antara manusia dan alam.
2. Ruang Kosong Bukanlah Cacat
Ruang kosong bukanlah cermin dari kekurangan atau cacatnya hukum
islam, juga bukan bentuk pengabaian terhadap sejumlah hal dan kejadian
yang ada. Sebaliknya, ruang kosong mencerminkan kekomprehensifan bentuk
hukum Islam dan kemampuannya dalam mengikuti perkembangan zaman.
Syariah tidak meninggalkan ruang kosong yang mencerminkan pengabaian
ataupun kekurangan. Syariah menciptakan ruang kosong dengan memberikan
arahan hikum primer bagi setiap kejadian, di sisi lain ia memberikan
wewenang kepada kepala Negara untuk memberi arahan hukum sekunder
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Contohnya, aktifitas
menggarap tanah yang dilakukan oleh seorang individu pada dasarnya
merupakan aktifitas legal. Namun, kepala Negara berhak untuk melarang
aktifitas tersebut dengan tuntutan zaman dan keadaan.[10]
C. KEBIJAKAN EKONOMI
Didalam suatu Negara terdapat peran pemerintah yang bertanggung
jawab dalam mensejahterakan dan menciptakan keadilan dalam suatu
masyarakat. Berdasar pada Hadits Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam,
yakni :
kc
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ
عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya : "Dari Nabi Shalallahu'alaihiwasallam bahwa beliau bersabda:
Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu
akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja
yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah
pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak
suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan
dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah!
Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya".[11]
Maka dari itu, Pemerintah harus merumuskan dan menetapkan berbagai
kebijakan yang dapat membawa kesejahteraan dan keadilan masyarakatnya.
Sehingga dibutuhkan pengkajian yang mendalam terhadap fenomena dan kondisi
yang real pada system social dan ideology yang dimiliki oleh masyarakat.
Untuk menciptakan kemaslahatan dalam suatu Negara, Kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah harus mengikuti prinsip-prinsip yang diajarkan
oleh Rasulullah Shalallahu'alaihiwasallam, diantaranya sebagai berikut:
1. Allah Ta'ala adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut
seluruh alam semesta.
2. Manusia hanyalah khalifah Allah Ta'ala di muka bumi, bukan pemilik
yang sebenarnya.
3. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seizin Allah
Ta'ala.
4. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
5. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus
dihilangkan.
6. Menerapkan sistem warisan sebagai media re-distribusi kekayaan.
7. Menetapkan kewajiban bagi seluruh individu, termasuk orang-orang
miskin.
Pada pembahasan di makalah ini, kami (penulis) akan sedikit membahas
tentang kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam perwujudan
kemaslahatan bagi masyarakat dalam suatu Negara.
Pada pembasahan pertama, kami (penulis) akan memaparkan tentang
apakah yang dimaksud dengan kebijakan ekonomi ?. untuk itu kami
mencantumkan pengertian dari kebijakan ekonomi dari berbagai sumber, yakni
diantaranya :
1. Kebijakan ekonomi adalah beberapa peraturan atau batasan-batasan
dibidang ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan
meningkatkan taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat.[12]
2. Kebijakan ekonomi adalah sesuatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip
untuk mengarahkan caraaa-cara bertindak yang dibuat secara terencana
dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.[13]
3. Kebijakan ekonomi adalah tindakan yang dilakukan pemerintah dalam
mengambil kebijakan atau keputusan dibidang ekonomi, kebijakan ini
tercakup didalamnya system untuk menetapkan system perpajakan, suku
Bungan, anggaran-anggaran, pasar tenaga kerja, kepemilikan nasional
dan otonomi daerah dari ikut andilnya pemerintah kedalam
perekonomian.[14]
4. Kebijakan ekonomi adalah suatu pernyataan tujuan atau metode untuk
mencapai tujuan (instrument kebijakan) yang dikeluarkan oleh
pemerintah, badan usaha, dan lain-lain.[15]
Dari berbagai pengertian diatas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa
yang dinamakan dengan kebijakan ekonomi ialah aturan yang ditetapkan oleh
pemerintah dibidang perekonomian untuk diterapkan disuatu wilayah/Negara
atau sector sebagai wujud usaha penciptaan kemaslahatan dalam suatu
masyarakat.
D. PEMBAGIAN KEBIJAKAN EKONOMI
Kebijakan ekonomi menurut tingkat agregasinya (ruang lingkup atau
bentuk serta luas sasarannya) di bagi menjadi 3 macam, yaitu :
a. Kebijakan ekonomi mikro, adalah kebijakan pemerintah yang ditujukan
pada semua perusahaan tanpa melihat jenis kegiatan yang dilakukan
perusahaan tersebut.
b. Kebijakan ekonomi meso, adalah kebijakan ekonomi yang khusus ditujukan
pada wilayah tertentu atau pada sektor-sektor tertentu.
c. Kebijakan ekonomi makro, ialah kebijakan ekonomi yang mencakup semua
aspek ekonomi pada tingkat nasional (agregat). Kebijakan makro ekonomi
juga mengandung pengertian yakni, langkah-langkah pemerintah yang
bertujuan untuk mempengaruhi keseluruhan perekonomian dengan tujuan
untuk mempertinggi efisiensi kegiatan ekonomi, menghindari inflasi,
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang teguh dan mengukuhkan sector luar
negeri.[16] Oleh sebab itu, kebijakan ini bisa mempengaruhi atau
bahkan membuat kebijakan meso dan kebijakan mikro menjadi lebih atau
kurang efektif. Maka dari itu Kami akan membahas lebih dalam mengenai
kebijakan ekonomi makro.
E. BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI
Pada pembahasan kali ini, kami (penulis) berusaha untuk menjelaskan
berbagai bentuk kebijakan dibidang ekonomi yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang lebih mengarahkan ke ajaran dinul haq (Islam), yakni
iqtishad (Ekonomi islam), akan tetapi penjelasan yang kami paparkan
dimakalah ini dengan menggunakan metode pendekatan komparatif, yakni
antara ekonomi islam dan ekonomi konvensional. Adapun beberapa bentuk
kebijakan ekonomi dapat dijalankan pemerintah untuk menciptakan maslahah
dan keadilan didalam suatu Negara, ialah antara lain :
1. Kebijakan fiskal
Ditinjau secara etimologi, kebijakan fiskal berasal dari dua kata,
yaitu kebijakan dan fiskal. Kebijakan (policy) diberi arti yang
bermacam-macam, Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti
kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan
praktik-praktik yang terarah. Seorang ahli, James E. Anderson
merumuskan kebijakan adalah sebagai perilaku dari sejumlah aktor
(pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu.[17]
Secara terminologi, menurut Mustafa Edwin Nasution, et al., dalam
ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah
pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau
dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan government
expenditure). Menurut Eko Suprayitno, kebijakan fiskal adalah kebijakan
yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya dalam
merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi.[18]
Jadi, Kebijakan fiscal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan
pemerintah untuk mengelola/mengarahkan perekonomian kekondisi yang
lebih baik atau diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan
pengeluaran pemerintah.
Kebijakan fiscal meliputi langkah-langkah pemerintah membuat
perubahan dalam bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan
maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian.
Menurut pandangan Keynes kebijakan fiscal sangat penting untuk
mengatasi pengangguran yang realtif serius. Melalui kebijakan fiscal
pengeluaran agregat dapat ditambah dan langkah ini akan menaikkan
pendapatan nasional dan tingkat penggunaan tenaga kerja. Dibidang
perpajakan langkah yang perlu dilaksanakan adalah mengurangi pajak
pendapatan. Pengurangan pajak ini akan menambah kemampuan masyarakat
untuk membeli barang dan jasa dan akan meningkatkan pengeluaran
agregat. Seterusnya pengeluaran agregat dapat lebih ditingkatkan lagi
dengan cara pengeluaran pemerintah-untuk membeli barang dan jasa yang
diperlukannya maupun untuk menambah investasi pemerintah.
Dalam masa inflasi atau pada ketika kegiatan ekonomi telah
mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dan kenaikkan harga
sudah semakin pesat, langkah sebaliknya harus dijalankan, yaitu pajak
dinaikkan dan pengeluaran pemerintah dikurangi. Langkah ini akan
menurunkan pengeluaran agregat dan tekanan inflasi dapat dikurangi.
Kebijakan fiscal memegang peranan yang cukup penting dalam
menstabilkan tingkat kegiatan ekonomi, dan menciptakan tingkat kegiatan
ekonomi kearah tingkat yang dikehendaki. Pandangan ini dikembangkan
dalam buku Keynes yang sekarang menjadi landasan dalam perkembangan
teori makro ekonomi. Pandangan atau keyakinan ini sangat berbeda sekali
dengan yang dianut oleh ahli-ahli ekonomi dan pihak pemrintah didalam
zamannya ahli-ahli ekonomi klasik. Ahli ekonomi klasik menekankan
tentang perlunya menjalankan system pasar bebas dan mengurangi campur
tangan pemerintah, termasuk kebijakan fiscal yang aktif dalam kegiatan
perekonomian.[19]
Tujuan dari kebijakan fiskal dalam Islam adalah untuk menciptakan
stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
pemerataan pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung
dalam aturan Islam yaitu Islam menetapkan pada tempat yang tinggi akan
terwujudnya persamaan, hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala, Yakni
:
(((( (((((((( (((( (((((( (((((((((( (((( (((((( (((((((((( ((((
(((((((((((( ((((((( (((((((((((( ((((((((((((((( ((((((((((((((((
(((((((( (((((((((( (((( (( ((((((( ((((((( (((((( ((((((((((((((
((((((( ( (((((( (((((((((( (((((((((( ((((((((( ((((( ((((((((( ((((((
(((((((((((( ( ((((((((((( (((( ( (((( (((( ((((((( ((((((((((( (((
Artinya : "Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya".[20]
Secara umum fungsi kebijakan fiskal adalah fungsi alokasi,
distribusi dan stabilisasi perekonomian. Dalam hal alokasi, maka
digunakan untuk apa sajakah sumber-sumber keuangan negara, sedangkan
distribusi menyangkut bagaimana kebijakan negara mengelola
pengeluarannya untuk menciptakan mekanisme distribusi ekonomi yang adil
di masyarakat, dan stabilisasi adalah bagaimana negara menciptakan
perekonomian yang stabil.[21] Hal ini sesuai dengan pernyataan Adam
Smith, konseptor sistem kapitalis murni, mengemukakan ideologinya
karena dia menganggap bahwa dalam perekonomian kapitalis, setiap
individu yang paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga
dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri.
Prinsip kebebasan ekonomi dalam prakek menghadapi perbenturan
kepentingan, karena tidak adanya koordinasi yang menimbulkan harmonis
dalam kepentingan masing-masing individu.Dalam hal ini pemerintah
mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan
aktivitas sektor swasta. Dalam perekonomain moden, peranan pemerintah
dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan besar, yaitu:
a. Peranan alokasi
b. Peranan distribusi, dan
c. Peranan stabilisasi.[22]
Kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Kapitalis "hanyalah merupakan
suatu kebutuhan"? untuk pemulihan ekonomi (economy recovery) akibat
krisis dan untuk menggenjot perekonomian agar dapat mencapai
pertumbuhan yang positif sehingga tumpuan utama kebijakan fiskal Negara
Kapitalis adalah pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dalam Sistem
Ekonomi Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan
menjadi hak rakyat sebagai wujudri'ayatusy syu'un sehingga kebijakan
fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan
ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Juga kebijakan
fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam tidak bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi seperti dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tetapi mengacu pada
penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil, karena hakikat
permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia adalah berasal dari
bagaimana distribusi harta di tengah-tengah masy arakat terjadi.[23]
Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah
adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat. Kemudian dilihat dari
bagaimana Islam memecahkan problematika ekonomi, maka berdasarkan
kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa
hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta
dan jasa di tengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan
permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme
distribusi ekonomi yang adil.[24] Allah Ta'ala mengingatkan kita
tentang betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam
firman-Nya:
((((((((((( ((((((((((( ((((((((( (((((((((((( (((( ((((((((((((( (((
((((((( (((( (((((((((((( ((((((((( ((((((( ((((
Artinya : "dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih".[25]
Karena itu, kebijakan fiskal di dalam Islam didasari oleh suatu
politik ekonomi (as-siyasatu al-iqtishadi) yang bertujuan mencapai
distribusi ekonomi yang adil, sebagaimana yang dikemukakan Abdurrahman
Al Maliki, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer (al-
hajat al-asasiyah/ basic needs) perindividu secara menyeluruh, dan
membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar
kemampuannya. Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer ini
meliputi;
a. Pertama, jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi tiap-tiap
individu
b. Kedua, jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara
keseluruhan.
Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer katagori pertama
adalah jaminan akan sandang, pangan dan papan dan merupakan jaminan
secara langsung terhadap setiap individu yang mempunyai penghasilan
tetapi tidak mencukupi untuk memberikan nafkah kebutuhan-kebutuhan
pokok terhadap diri dan keluarganya, atau terhadap setiap individu
yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah kebutuhan pokok
terhadap diri dan keluarganya. Kebijakan ini termasuk
kebijakan transfer payment karena negara memberikan secara cuma-cuma
harta berupa uang atau barang kepada seseorang. Sedangkan pembiayaan
pemenuhan kebutuhan primer katagori pertama ini oleh negara
dianggarkan pada Seksi Santunan[26].
Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer katagori kedua
meliputi keamanan, pendidikan dan kesehatan. Tiga perkara ini,
merupakan unsur penting bagi perekonomian. Keamanan berfungsi
melindungi dan mengayomi aktivitas perekonomian masyarakat sehingga
kegiatan ekonomi menjadi lancar. Pendidikan merupakan pilar yang
melahirkan sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan untuk melakukan
pembangunan fasilitas-fasilitas negara dan fasilitas-fasilitas umum
yang dibutuhkan rakyat termasuk yang dibutuhkan bagi aktifitas
perekonomian, untuk membangun sistem pertanian, industri (termasuk
industri senjata), perdagangan dan jasa yang tangguh, berkualitas dan
efisien. Kesehatan merupakan unsur yang sangat mempengaruhi kinerja
seseorang bagi ekonomi dirinya dan keluarganya, bagi syirkah tempat
dia bekerja, bagi perekonomian masyarakat dan negara.[27]
2. Kebijakan Distribusi (Zakat, Infaq, Wakaf dan Shodaqoh)
Pada pembahasan kebijakan distribusi ini, kami (penulis) merasa
sedikit kebingungan dalam menempatkan posisi kebijakan distribusi ini,
apakah sepantasnya dimasukkan pada subbag pada kebijakan fiscal atau
kebijakan ditribusi ini diletakkan sebagai pembahasan subbag yang
baru, sebab jika ditinjau dari penerimaan kas negara islam (Daulah
Islamiyah) Harta zakat, infaq, wakaf dan shodaqoh) dikategorikan
kedalam kebijakan fiscal dari sisi penerimaan negara. Disisi lain
makalah yang kami susun ini lebih menfokuskan pada fenomena yang real
terjadi di negara Indonesia, guna dapat menemukan titik temu
penyesuaian antara makalah yang kami susun ini dengan system ekonomi
yang telah berkembang di Indonesia. maka dari untuk dapat lebih mudah
di cerna oleh kalangan pelajar/mahasiswa, kami menempatkannya pada
pembahasan subbag yang baru.
Sistem ekonomi islam merupakan system ekonomi yang terlahir dari
system social islami yang diharapkan dapat memberikan solusi terhadap
berbagai permasalahan yang ada, dengan kebijakan-kebijakan yang
berpihak kepada kemaslahatan dan menciptakan keadilan dalam ekonomi
umat. Begitu pula kebijakan distribusi dalam system ekonomi islam
menjunjung tinggi nilai keadilan, sehingga pada konsep distribusi
landasan yang penting yang dijadikan pegangan, yakni :
(((( (((((((( (((( (((((( (((((((((( (((( (((((( (((((((((( ((((
(((((((((((( ((((((( (((((((((((( ((((((((((((((( ((((((((((((((((
(((((((( (((((((((( (((( (( ((((((( ((((((( (((((( ((((((((((((((
((((((( ( (((((( (((((((((( (((((((((( ((((((((( ((((( (((((((((
(((((( (((((((((((( ( ((((((((((( (((( ( (((( (((( ((((((( (((((((((((
(((
Artinya : "Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya".[28]
Berdasar dari ayat diatas, ekonomi islam tidak membenarkan
penumpukan kekayaan hanya kepada orang-orang tertentu. Bahkan
menggariskan prinsip keadilan dan persaudaraan (kasih sayang) pada
konsep distribusinya. Tidak membenarkan pengelolaan kekayaan hanya
pada golongan atau kelompok orang tertentu namun tersebar keseluruh
masyarakat. Sebaiknya islampun tidak memaksa semua individu diletakkan
pada tingkat ekonomi yang sama.
Kebijakan distribusi yang diajarkan islam sangat berkaitan
dengan harga agar tidak menumpukpada golongan tertentu di masyarakat.
Serta mendorong terciptanya keadilan distribusi, sehingga pemerintah
di tuntut untuk tidakberpihak pada satu kelompok atau golongan
tertentu, agar proses distribusi dapat berjalan dengan adil. Hal ini
dapat dipaksakan dengan adanya kepastian system (ekonomi, hukum, dan
social) yang menjamin agar harta dapat tersebar luas di masyarakat.
Menciptakan keadilan dapat dilakukan dengan memberikan peluang
yang sama bagi setiap orang untuk mendapatkan harta kekayaan,
mewajibkan bagi yang mendapatkan harta berlebih utuk mengeluarkan
zakat sebagai kompensasi bagi penyucian dan pembersihan harta atas hak
orang lain. Islam juga menganjurkan bagi setiap orang yang memiliki
harta kekayaan untuk mewakafkan hartanya, berinfak dan bersedekah
sebagai amal social (sunnah) bagi kepentingan masyarakat luas.
Menciptakan distribusi yang adil merupakan salah satu sarana
untuk mewujudkan keadilan. Islam menghendaki kesamaan pada setiap
orang dalam memperoleh peluang mendapatkan harta kekayaan tanpa
memandang perbedaan kasta, maupun warna kulit. Semua orang dapat
memperoleh harta dengan bebas berdasarkan kemampuan usaha mereka,
sehingga setiap orang dapat memperoleh harta meskipun dalam jumlah
yang berbeda-beda. Dari perolehan harta yang berbeda-beda tersebut,
bagi mereka yang lebih beruntung dikenakan kewajiban untuk
mengeluarkan sebagian harta mereka bagi saudara-saudaranya yang kurang
beruntung, sehingga redistribusi kekayaan dapat berjalan, serta akan
menciptakan pemerataan pendapatan dimasyarakat.
Agar kesejahteraan dapat terwujud, pemerintah berperan dalam
mencukupi kebutuhan masyarakat, baik dasar atau primer (daruri),
sekunder(the need/haji), maupun tersier(the commendable/tahsini) dan
pelengkap(the luxury/kamili). Disebabkan hal tersebut, pemerintah
dilarang untuk berhenti pada pemenuhan kebutuhan dan pelayanan primer
masyarakat saja, namun harus berusaha untuk mencukupi seluruh
kebutuhan komplemen lainnya, selama tidak bertentangan dengan syariah
sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Peran pemerintah dalam distribusi diperlukan karena pasar tidak
mampu menciptakan distribusi secara adil. Serta adanya factor
penghambat untuk terciptanya mekanisme pasar yang efisien, dan hanya
pemerintahlah yang dapat menghilangkan hambatan tersebut dengan
kekuasaan dan wewenang yang dimilliki baik karena ketidak mampuan atau
kurang sadarnya masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah dituntut untuk
melakukan interfensi guna menjamin terciptanya kondisi yang mendukung
mekanisme pasar berjalan secara adil. Hal ini dapat dilakukan dengan
membuat peraturan yang mengikat dan tegas serta menegakkan kewajiban
yang harus dilaksanakan setiap individu dan menjatuhkan sanksi
terhadap pelanggaran yang dilakukan berdasarkan peraturan yang dibuat
sehingga tugas pemerintah mengubah teori menjadi kenyataan, mengubah
norma menjadi undang-undang dan memindahkan keindahan etika menjadi
tindakan sehari-hari. Disamping itu, pemerintah berkewajiban mendorong
lahirnya sikap dan moral yang dihiasi oleh sikap kejujuran keterbukaan
dan keadilan untuk menghasilkan persaingan dalam kebaikan sehingga
pada akhirnya melahirkan mekanisme distribusi yang adil bagi
masyarakat luas.
Disamping itu, pemerintah juga berperan sebagai penjamin
terciptanya distribusi yang adil serta menjadi fasilitator pembangunan
manusia dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dan disisi lain
pemerintah harus menjamin tidak terciptanya system yang dapat
menzalimi pengusaha.
Hal ini berbeda dengan apa yang diterapkan oleh welfare state
system yang menempatkan peran Negara dalam menciptakan kesejahteraan
masyarakat sehingga memunculkan konsep Negara kesejahteraan (welfare
state), yang sering dianggap sebagai penengah antara kapitalis dan
sosialis. Pembicaraan tentang Negara kesejahteraan menjadi satu trend
dalam kajian system ekonomi, karena seolah olah telah menawarkan suatu
konsep yang menjanjikan.
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktikan di Eropa dan
AS yang di tunjukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih
manusiawi. Dalam system ini, Negara berperan untuk lebih melindungi
golongan lemah dalam masyarakat dari kapitalisme yang sangat kuat.
Menurut Edi Suharto, paling tidak ada empat model welfare state
yang sampai saat ini masih dipraktikan yakni:
Pertama, model Universal,pelayanan social diberikan oleh Negara
secara merata pada seluruh penduduknya baik kaya maupun miskin.
Model ini diwakili oleh Negara Swedia, Norwegia, Denmark, dan
Finlandia.
Kedua, model Korporasi, sama seperti model pertama dan jaminan
social dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi
skema jaminan social berasal dari tiga pihak yakni pemerintah,
dunia usaha dan pekerja. Model ini diwakili oleh Jerman dan
Australia.
Ketiga, model Residual, pelayanan social, khususnya kebutuhan
dasar diberikan pada kelompok-kelomok yang kurang beruntung
seperti orang miskin, pengangguran, penyandang cacat dan lanjut
usia yang tidak kaya. Model ini diwakili oleh Negara-negara
Anglo saxon: amerika, Inggris, Australia, dan selandia baru.
Keempat, model minimal, model ini ditandai oleh pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan social sangat kecil. Model ini diwakili
oleh gugus Negara latin (Spanyol, Italia, Chili, Brazil) dan Asia
(Korea selatan, Filiphina, Srilangka, dan Indonesia).
Agar terciptanya jaminan social yang di harapkan, seringkali
Negara memberlakukan kebijakan pajak tinggi yang di gunakan untuk
menjamin social yang menanggung biaya hidup masyarakat. Dari kebijakan
pajak yang tinggi inilah, timbul ciri khas welfare state sejak
kemunculannya pada lebih dari seratus tahun yang lalu.
Di samping kebijakan pajak yang tinggi, pemerintah yang menganut
welfare state juga menghadapi permasalahan ekonomi yakni terjadinya
krisis yang diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi lambat, laju
tingkat inflasi yang tinggi, menimbulkan tingginya biaya produksi,
yang pada akhirnya menciptakan ekonomi biaya tinggi. Biaya pengeluaran
pemerintah cenderung semakin tinggi untuk memberikan jaminan sosial
masyarakat. Sehingga berpeluang terjadi deficit anggaran,. Akibat
deficit anggaran yang berkelanjutan membuat popuralitas welfare state
menjadi kurang.
Selain itu, yang sangat ironis adalah timbulnya mental-mental
malas pada diri masyarakat, karena kebutuhan hidup telah disandarkan
pada jaminan social yang di terima. Untuk mampu menggerakkan ekonomi,
pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan dan memberikan fasilitas yang
memudahkan peluang usaha. Namun, pada realitasnya, fasilitas yang
diberikan semakin menimbulkan kesenjangan pendapatan dan kekayaan
meskipun pajak progresif telah dikenakan.
Kesenjangan ini timbul karena pada dasarnya konsumsi sikaya yang
jumlahnya sedikit, jauh lebih besar di bandingkan dengan konsumsi si
miskin yang jumlahnya lebih besar. Dismaping banyaknya ketimpangan
yang bermain dibalik pemerintah itu sendiri. Kebijakan dan fasilitas
yang diberikan cenderung lebih banyak membantu si kaya untuk menjadi
lebih kaya dari pada simiskin yang membutuhkan jaminan social,
sehingga kesejahteraan yang di cita-citakan sulit terwujud.
Oleh karena itu, peran pemerintah dalam menciptakan
kesejahteraan perlu untuk di lihat kembali. Sebagai mana pendapat
Francis Fukuyama tentang peran Negara dalam bukunya yang berjudul
state-building: Governance and world Or-derin the 21st
Century,menunjukkan bahwa pengurangan peran Negara dalam hal-hal yang
memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru.
Bukan hanya memperbesar jumlah kemiskinan dan kesenjangan social,
melainkan pula menyulut konflik social dan perang sipil. Kesejahteraan
tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya Negara yang kuat, yang mampu
menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, Negara
yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan
kesejahteraan warganya.
Pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan yang
ditawarkan welfare state, pada dasarnya telah terlebih dulu di
perhatikan islam, yang dapat dilihat dalam tindakan Rosul di saat
menyandingkan kaum Muhajirin dan Ansor dalam ikatan persaudaraan.
Tindakan tersebut secara langsung, mendeklarasikan bahwa Negara
menjamin bagi setiap individu taraf hidup layak, yang oleh para ahli
hukum islam diistilahkan dengan "batas kecukupan".
Islam menetapkan prinsip-prinsip jaminan social secara jelas
yang teraplikasi dalam bentuk yakni: jaminan antara individu dengan
dirinya sendiri; antara individu dan keluarga dekat nya; dan antara
individu dengan masyarakat. Bahkan, jaminan social dalam islam juga
menetapkan jaminan antara sesame umat, scara imbal balik. Konsep
kewajiban zakat, wakaf, infak, dan sedekah dalam system ekonomiislam
secara langsung menentang dampak dari welfare state yani timbulnya
mental-mental malas di masyarakat, karena zakat di bebankan pada harta
yang secara nominal masuk dalam batas kecukupan (haul), yang artinya
harta ituharus dikembangkan untuk masuk dalam batas kecukupan. Begitu
juga dengan peruntukan nya, zakat di peruntukan bagi golongan-golongan
yang telah di tentukan dan tidak terdapat di dalam nya golongan yang
malas. Di samping itu, bagi mereka yang enggan mengeluarkan zakat,
pemerintah di perkenankan dengan wewenangnya memaksa agar muzaki
tersebut mengeluarkan zakatnya. Sedangkan waris merupakan sarana utama
dalam menciptakan jaminan social dalam kluarga sehingga setiap
keluarga termotivasi untuk berusaha/bekerja agar tidak meninggalkan
keturunannya yang fakir dan miskin.
Begitupun dengan wakaf, infak dan sedekah. Semua amal
kebijakan(sunnah) tersebut tidak akan bisa dilakukan oleh individu-
individu yang bermental malas dan senang dengan kemiskinannya. Hal ini
lebih disebabkan karena untuk melakukan amal-amal kebajikan,
seharusnya setiap individu telah memiliki batas kecukupan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu saat itu. Individu
tersebut harus memiliki kemauan dan tekat untuk mencari harta untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk amal kebajikan nya. Oleh karena
itu, tidak mungkin bagi individu-individu yang bermental malas
melakukan amal kebajikan seperti yang dijelaskan tersebut.[29]
3. Kebijakan moneter
a. Pengertian kebijakan moneter
Yang dimaksud dengan kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau
mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik)
dengan mengatur jumlah uang beredar. Yang dimaksud dengan kondisi lebih
baik adalah mengingkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya
stabilitas harga (inflasi terkontrol). Melalui kebijakan moneter pemerintah
dapat mempertahankan, menambah atau mengurangi jumlah uang beredar dalam
upaya mempertahankan kemampuan ekonomi bertumbuh, sekaligus mengendalikan
ekonomi.[30]
Dalam literatur ekonomi konvensional, menurut Djohanputro
(2006), Kebijakan moneter merupakan tindakan pemerintah dalam rangka
mencapai tujuan pengelolaan ekonomi makro (output, harga dan
pengangguran) dengan cara mempengaruhi situasi makro melalui pasar
uang atau dengan kata lain melalui proses penciptaan uang atau jumlah
uang beredar. Demikian halnya yang dikemukakan oleh Bofinger (2001)
yang menyatakan bahwa , "monetary policy is manipulating of monetary
instruments In order to achieve price stability, low unemployment and
sustainable economic growth".[31]
Jadi Dengan kata lain, kebijakan moneter merupakan instrumen Bank
Sentral yang sengaja dirancang sedemikian rupa untuk mempengaruhi
variable-variabel finansial seperti suku bunga dan tingkat penawaran
uang.. Sasaran yang ingin dicapai adalah memelihara kestabilan nilai
uang baik terhadap factor internal maupun eksternal. Stabilitas nilai
uang mencerminkan stabilitas harga yang pada akhirnya akan
mempengaruhi realisasi pencapaian tujuan pembangunan suatu Negara,
seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi, perluasan
kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi riil yang optimum dan stabilitas
ekonomi.
Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang yang beredar, maka
pemerintah dikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif (monetary
expansive). Sebaliknya jika jumlah uang yang beredar dikurangi, pemerintah
menempu kebijakan moneter kontraktif (monetary contractive). Istilah lain
untuk kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan uang ketat (tight money
policy).[32]
b. Tujuan kebijakan moneter
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan
tujuan kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata
uang (baik secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi
yang merata yang diharapkan dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang
tidak terlepas dari tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan
dengan manusia. Hal ini disebutkan Al-Qur'an, yakni :
…وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ...
Artinya : "…Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil…".[33]
Mengenai stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra (Al-
Qur'an Menuju Sistem Moneter yang Adil), kerangka kebijakan moneter dalam
perekonomian Islam adalah stok uang, sasarannya haruslah menjamin bahwa
pengembangan moneter yang tidak berlebihan melainkan cukup untuk sepenuhnya
dapat mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk menawarkan barang dan
jasa bagi kesejahteraan sosial umum.[34]
c. Instrumen kebijakan moneter
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter
dalam ekonomi Islam, yaitu: Reserve Ratio, Moral suasion, Lending
ratio, Refinance Ratio, Profit Sharing Ratio, Islamic sukuk, dan
GIC:Government Investment Certificate. Dua dari instrumen ini yaitu
Reserve Ratio dan Moral suasion juga digunakan bank sentral dengan
sistem konvensional. Adapun penjelasan berbagai instrument kebijakan
moneter adalah sebagai berikut :
1) Pertama, Reserve Ratio. Reserve Ratio adalah suatu persentase dari
simpanan bank komersial yang harus dipegang oleh bank sentral,
misalnya 5 persen. Hal ini berarti jika bank komersial menerima
100 miliar sebagai dana tabungan, maka harus ditransfer ke bank
sentral sebanyak 5 miliar rupiah sebagai reserve (cadangan).
Sehingga bank komersial hanya memegang 95 persen dari seluruh dana
tabungan nasabah. Dengan jumlah 95 persen ini, bank komersial
dapat memberikan pembiayaan kepada investor. Jika bank sentral
ingin mengontrol jumlah uang beredar, maka bank sentral akan
menaikkan reserve ratio, misalnya dari 5 persen menjadi 20 persen.
Dampaknya adalah sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi
lebih sedikit dan kapasitas untuk memberikan pembiayaan menjadi
lebih kecil dan jumlah uang beredar menjadi lebih sedikit.
2) Kedua, Moral Suassion. Bank sentral dapat membujuk bank komersial
untuk meningkatkan permintaan pembiayaan sebagai tanggung jawab
mereka, ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi. Sebagaimana
di ketahui bersama, pembiayaan sangat dibutuhkan pada masa
depresi, agar uang dapat dipompa ke dalam ekonomi. Hal ini dapat
dilakukan bank sentral dengan mengirim surat kepada bank komersil.
Dengan meningkatkan pembiayaan, maka uang akan mengalir ke tangan
masyarakat dan daya beli masyarakat akan meningkat, total
permintaan akan meningkat, pada akhirnya keuntungan akan
meningkat.
3) Ketiga, Lending Ratio. Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah
"meminjamkan" (Lending). Lending tidak dikenal dalam ekonomi
Islam. Lending ratio dalam hal ini berarti qardhul hasan (pinjaman
kebajikan). Bank komersil menerima satu deposit yang disebut
amanah deposit. Amanah deposit adalah account pada bank komersil
yang tidak ada tambahan apapun terhadap deposit itu. Bank sentral
dapat meminta bank komersil untuk mengalokasikan sejumlah
persentase tertentu (misalnya 30 atau 40 persen) dari amanah
deposit untuk diberikan kepada masyarakat miskin melalui skim
qardhul hasan. Kapanpun ada kebutuhan untuk meningkatkan jumlah
uang beredar, bank sentral dapat meningkatkan lending ratio agar
bank komersilmemberikan lebih banyak qardhul hasan kepada
masyarakat. Akibatnya lebih banyak uang yang mengalir ke tangan
masyarakat.
4) Keempat, Refinance Ratio. Refinance ratio sangat berarti pada bank
komersil dalam ekonomi Islam, di mana mereka memberi pinjaman
kepada masyarakat untuk kebutuhan ekonomi. Di Pakistan, sebagian
besar sektor ekspor dibiayai dengan skim refinance ini. Bank
sentral memberikan perintah kepada bank komersil (misalnya: Habib
Bank) untuk mengalokasikan sejumlah uang untuk membiayai sektor
ekspor dengan basis bebas bunga. Refinance ratio adalah sejumlah
proporsi dari pinjaman bebas bunga yang diberikan bank komersil
kepada nasabah, yang kemudian dibayarkan kembali oleh bank
sentral. Refinance dalam kasus ini bermakna sejumlah proporsi dari
pinjaman bebas bunga dari bank komersil yang di bayar kembali oleh
bank sentral. Ketika Refinance ratio meningkat, bank sentral
mendorong dan memberikan pembiayaan yang lebih banyak kepada
sektor swasta.
5) Kelima, Profit Sharing Ratio. Rasio bagi keuntungan (profit
sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis.
Begitu profit sharing ratio ditetapkan, maka tidak dapat diubah-
ubah lagi. Profit sharing ratio= Brp + drp. Brp adalah ratio
keuntungan untuk Bank dan drp adalah rasio keuntungan untuk
nasabah penabung (depositors). Bank sentral dapat menggunakan
profit sharing ratio sebagai instrumen moneter. Ketika bank
sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, drp akan di
tingkatkan, sehingga akan lebih banyak uang mengalir ke dalam bank
dari nasabah penabung. Hal ini menjadi daya tarik bagi penabung
untuk menyimpan uangnya lebih banyak lagi di bank dalam bentuk
tabungan mudharabah. Akibatnya, bank komersil mempunyai kapasitas
untuk memberikan lebih banyak pembiayaan kepada investor yang pada
akhirnya meningkatkan volume investasi di dalam ekonomi.
6) Keenam, sukuk. Sukuk adalah obligasi pemerintah dimana ada
property yang mengikuti sukuk tersebut. Pada akhir tahun,
pendapatan didistribusikan kepada pemegang sukuk. Distribusi
pendapatan dapat juga dilakukan dengan basis bulanan atau tiga
bulanan. Di Pakistan, pe merintah mengeluarkan sukuk untuk
membangun jalan tol dari kota Lahore ke kota Rahwalpindi berjarak
kurang lebih 400 km. Sukuk pun dapat dijadikan instrumen kebijakan
moneter. Ketika inflasi, pemerintah mengeluarkan sukuk lebih
banyak, sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah
uang beredar akan tereduksi.
7) Ketujuh, GIC (Government Investment Certificate). GIC adalah suatu
sertifikat yang tidak ada komitmen untuk memberikan tambahan
apapun ketika nanti akan dikembalikan (Qardhul Hasan). Tetapi pada
akhir tahun, pemerintah akan memberikan sedikit tambahan yang
jumlahnya terserah pemerintah (semacam hadiah atau hibah).
Kapanpun bank sentral ingin menurunkan jumlah uang beredar,
sertifikat tersebut akan dijual kepada bank komersil, dan uang
akan menga lir ke bank sentral dan menurunkan kemampuan penciptaan
pembiayaan pada bank komersil.Ketika bank sentral ingin
meningkatkan jumlah uang beredar, sertifikat tersebut akan dibeli
kembali dari bank komersil, dan uang akan mengalir ke bank
komersil dan meningkatkan kemampuan penciptaan pembiayaan pada
bank komersil.[35]
Apabila kita telusuri pada sistem ekonomi pada masa Madinah,
kiranya kita mendapatkan fakta bahwa perekonomian riil lebih dahulu
maju dari pada posisi mata uang. Dengan fakta ini maka perekonomian
diarahkan pada mekanisme pasar alamiyah. Negara melakukan pengawasan
dalam konteks untuk menjaga agar tidak terjadi penyelewengan ekonomi
yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Inilah tugas utama yang
diusung oleh Dewan al-Hisba yang pada masa kemudian berkembang menjadi
Dewan as-Syurthah. Dewan ini mempunyai kewenangan yang luas sehigga
pelaku ekonomi yang menyimpang dapat langsung diberi sanksi dan
tindakan.
Karena itulah, dalam sistem moneter Islam, posisi dan fungsi
bank mempunyai perbedaan yang mendasar. Lembaga perbankan syari'ah
mempunyai sifat universal dan multi guna serta tidak semata-mata
merupakan bank komersil. Ia merupakan perpaduan antara bank komersial,
bank investasi, investasi kepercayaan dan institusi pengelola
investasi (invesment-management institutions), yang berorientasi pada
investasi modal. Dengan pola ini maka perbankan syariah akan jauh dari
perlilaku borrowing short dan lending long. Karena itu ia kokoh
terhadap ancaman krisis dibanding perbankan konvensional.
Berdasar fakta itu pula, maka kedudukan bank sentral dalam
konteks ekonomi Islam harus dapat melakukan suatu kebijakan yang dapat
melancarkan perekonomian riil secara seimbang.[36]
Wallahu A'lam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya
mensejahterakan dan menciptakan keadilan dalam suatu masyarakat merupakan
wujud Kepatuhan perintah terhadap Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah
Shalallahu'alaihiwasallam, serta bentuk tanggung jawab terhadap
masyarakatnya. Maka dari itu, pemerintah sudah sepatutnya untuk bersungguh-
sungguh dalam membangun suatu perekonomian yang adil dan menjadikan hukum
islam sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan. Iqtishad (Ekonomi islam)
selalu memberikan petunjuk oleh pemerintah dalam menciptakan perekonomian
yang adil. Sebab ekonomi islam mengarahkan pemahaman orang yang
menerapkannnya untuk senantiasa menjadikan tujuan utamanya Fallah
(kesejahteraan diakhirat dan didunia), bukan seperti halnya ekonomi yang
dilahirkan oleh pemikiran kaum barat yang menjadikan keuntungan duniawi
sebagai tujuan utama dalam berekonomi atau sering dikenal profit oriented.
Peran pemerintah dalam menciptakan keadilan perekonomian harus
bersamaan dengan peran rakyatnya, karena tidak akan tercipta Negara yang
sejahtera dan damai apabila pemerintah dan rakyat tidak saling bekerja sama
dalam pembangunan ekonomi. Disatu sisi pemerintah harus menetapkan berbagai
kebijakan yang adil dan disisi lain masyarakat juga harus taat dan patuh
terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga, apabila
terbinanya kepercayaan dan kerjasama yang kokoh antara pemerintah dengan
masyarakat, maka peluang pemerintah dalam menciptakan keadilan dan
kesejahteraan dalam suatu Negara akan menjadi lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Al-Qur'an
Shahih Muslim
Suryadi, Yudi, Kebijakan Ekonomi: Fiskal & Moneter Masa Rasul, Jakarta :
UIN Syarif Hidayatullah, 2013.
Rahardja, Prathama, Mandala manurung, Pengantar ilmu ekonomi, Jakarta :
Fakultas Ekonomi UI, 2008
Sukirno, Sadono, Makro Ekonomi, Jakarta : Rajawali Pers, 2013
Baqir Ash-Shadr, Muhammad, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, Jakarta
: Zahra, 2008
Rosyidi, Suherman, Pengantar Teori Ekonomi : Mikro & Makro, Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2005
Ghofur Noor, Ruslan Abdul, Konsep Distribusi dalam Ekonomi Islam,
Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2013
Jalil, Abdul, Pemikiran M. Abdul mannan tentang Kebijakan Fiskal dalam
Ekonomi Islam, Semarang : UIN Wali Songo Semarang, 2014
Muttaqin, Hidayatullah, Kebijakan Fiskal Islam, 2004
Prasetyia, Ferry, Modul Ekonomi Publik : "Peran Pemerintah", Malang :
Universitas Brawijaya, 2012
Nairozi, Tinjauan Umum Tentang Sistem Ekonomi Islam, 2013
Ascarya, Alur Transmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di
Indonesia, Jakarta : Bank Indonesia, 2012
Tanjung, Hendri, "Kebijakan Moneter Islami", dalam jurnal ekonomi islam
republika, Kamis 27 juni 2013
Soekarno, Winoto, Uang Dan Kebijakan Moneter Dalam Ekonomi Islam :
Bercermin Dari Kerentanan Sistem Moneter Kapitalis, hlm. 3.
Farida, Ai Siti, Sistem Ekonomi Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_ekonomi Diakses pada 4 Maret 2015
http://lismasetyowati.blogspot.com/2011/12/pengertian-kebijakan-
ekonomi.html Diakses pada 4 Maret 2015
http://herildagultom.blogspot.com/2011/05/kebijakan-kebijakan-ekonomi-
pemerintah.html Diakses pada 4 Maret 2015
-----------------------
[1] Al-Qur'an, Surah. Al-Imran (3), Ayat Ke-110.
[2] Yudi Suryadi, kebijakan ekonomi: fiskal & moneter masa rasul (Jakarta :
UIN Syarif Hidayatullah, 2013) hlm. 2.
[3] Nairozi, Tinjauan Umum Tentang Sistem Ekonomi Islam,
2013. Hlm. 1-3
[4] Prathama rahardja & Mandala manurung, Pengantar ilmu ekonomi
(Jakartoneter masa rasul (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2013) hlm. 2.
[5] Nairozi, Tinjauan Umum Tentang Sistem Ekonomi Islam, 2013. Hlm. 1-3
[6] Prathama rahardja & Mandala manurung, Pengantar ilmu ekonomi (Jakarta :
Fakultas ekonomi UI, 2008) hlm. 359.
[7] Sadono sukirno, Makro Ekonomi (Jakarta : Rajawali Pers, 2013) hlm. 15.
[8] Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi : Mikro & Makro (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 71-72.
[9] Ibid., hlm. 13.
[10] Prathama rahardja & Mandala manurung, Pengantar ilmu ekonomi (Jakarta
: Fakultas ekonomi UI, 2008) hlm. 376.
[11] Sadono sukirno, Makro Ekonomi (Jakarta : Rajawali Pers, 2013) hlm. 14.
[12] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna (
Jakarta : Zahra, 2008) hlm. 485-490
[13] Imam Muslim, Shahih Muslim, No.3408, Kitab Pemerintahan, Bab. 4
(Hadits Marfu')
[14] http://herildagultom.blogspot.com/2011/05/kebijakan-kebijakan-ekonomi-
pemerintah.html Diakses pada 4 Maret 2015
[15] Ruslan Abdul Ghofur Noor, Konsep Distribusi dalam Ekonomi Islam (
Yogyakarta : Pustaka belajar, 2013) hlm. 53
[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_ekonomi Diakses pada 4 Maret
2015
[17] http://lismasetyowati.blogspot.com/2011/12/pengertian-kebijakan-
ekonomi.html Diakses pada 4 Maret 2015
[18] Sadono sukirno, Makro Ekonomi (Jakarta : Rajawali Pers, 2013) hlm. 27-
28.
[19] Abdul Jalil, Pemikiran M. Abdul mannan tentang kebijakan fiskal dalam
ekonomi islam (Semarang : UIN Wali Songo Semarang, 2014) hlm. 19.
[20] Ibid., hlm. 20.
[21] Sadono sukirno, Makro Ekonomi (Jakarta : Rajawali Pers, 2013) hlm.
186.
[22] Al-Qur'an, Surah. Al-Hasyr (59), Ayat ke – 7.
[23] Hidayatullah muttaqin, Kebijakan Fiskal Islam, 2004. hlm. 3.
[24] Ferry Prasetyia, Modul Ekonomi Publik : Peran Pemerintah (Malang :
Universitas Brawijaya, 2012) hlm. 12.
[25] Hidayatullah muttaqin, Kebijakan Fiskal Islam, 2004. hlm. 4.
[26] Ibid., Hlm. 13-14.
[27] Al-Qur'an, Surah At-Taubah (9), Ayat ke – 34.
[28] Seksi Santunan; seksi ini bertugas memberikan santunan kepada yang
berhak menerimanya, seperti orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan
membutuhkan, yang berhutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani,
para pemilik industri, dan lain-lain yang menurut Khalifah mendatangkan
kemaslahatan bagi kaum Muslimin serta layak diberi subsidi.
[29] Hidayatullah muttaqin, Kebijakan Fiskal, hlm. 14-15.
[30] Al-Qur'an, Surah. Al-Hasyr (59), Ayat ke – 7.
[31] Ruslan Abdul Ghofur Noor, Konsep Distribusi dalam Ekonomi Islam (
Yogyakarta : Pustaka belajar, 2013) hlm. 88-96
[32] Prathama rahardja & Mandala manurung, Pengantar ilmu ekonomi (Jakarta
: Fakultas ekonomi UI, 2008) hlm. 435.
[33] Ascarya, Alur Transmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di
Indonesia (Jakarta : Bank Indonesia, 2012) hlm. 287.
[34] Prathama rahardja & Mandala manurung, Pengantar ilmu ekonomi (Jakarta
: Fakultas ekonomi UI, 2008) hlm. 435.
[35] Al-Qur'an, Surah. Al-An'am, Ayat ke – 152.
[36] Ai Siti Farida, Sistem Ekonomi Indonesia (Bandung : Pustaka Setia,
2011) hlm. 141-144
[37] Hendri Tanjung, "Kebijakan Moneter Islami", dalam jurnal ekonomi islam
republika, Kamis 27 juni 2013
[38] Winoto Soekarno, Uang Dan Kebijakan Moneter Dalam Ekonomi Islam :
Bercermin Dari Kerentanan Sistem Moneter Kapitalis, hlm. 3.
-----------------------
3