PERAN INTELEKTUAL MUSLIM MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT DI TENGAH SISTEM KAPITALISTIK
PRESENTASI DI UIN-SGD BANDUNG
Cesillia Aida
16 April 2013
DEMOKRASI DAN PERAN INTELEKTUAL
Dalam terminologi yang berbeda, Edward Said mengatakan, bahwa kaum intelektual memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakat. Mereka bertugas memberikan penyadaran dan memperkuat nilai lokal kultural dan kebangsaan di masyarakat. Dalam pengertian Antonio Gramsci, model intelektual yang seperti ini disebut sebagai intelektual organik.
Kaum intelektual Indonesia hubungannya dengan penguatan ide-ide demokrasi serta meminimalisir dampak negatif kapitalisme pasar dimungkinkan dapat bergerak di wilayah kultural. Muhammad AS Hikam menjelaskan pada ranah kultural dapat dilakukan dengan cara melakukan proses penyadaran bagi masyarakat tentang realitas yang dihadapi.
Mereka dapat menjadi counter balancing bagi kemungkinan terjadinya otoritarianisme negara. Cendikiawan merupakan pelopor bagi terwujudnya sebuha wilayah publik yang bebas (a free public sphere) yang pada gilirannya menjadi landasan bagi sebuah civil society yang mandiri.
Selain itu peran yang dilakukan bisa dalam bentuk pembentukan historical bloc, di antara masyarakat agar cita-cita demokrasi akan dengan cepat tercapai. Intelektual memang lebih berperan pada wilaya-wilayah kultural masyarakat dalam melakukan proses koinsistensi atau penyadaran, di samping juga melakukan tekanan kepada pemerintah terhadap sejumlah kebijakan yang merugikan rakyat.
Meski demikian, kita tidak dapat menutup mata dari kenyataan masih munculnya stigma elitis terhadap kaum intelektual serta adanya pertentangan di antara mereka sendiri. Kondisi-kondisi seperti itu harus terlebih dahulu mampu dieliminir sebelum melakukan pemberdayaan bagi civil society.
PERJALANAN INTELEKTUAL MUSLIM DI INDONESIA
Pada era 1970-an, wacana pembaharuan pemikiran keislaman semakin marak. Generasi muda dari kalangan terpelajar Muslim pada dekade ini sudah lebih menunjukkan kecenderungan pemikiran yang tidak lagi normatif memandang agama. Mereka tidak seperti pada masa Islam yang bercorak mistis dan sufistik kemudian lebih tertarik dengan pemahaman keislaman yang berdasarkan kepada pendekatan-pendekatan empiris dan historis di dalam pembentukan visi keagamaannya. Hal itu, misalnya, dengan tepat digambarkan oleh Richard C. Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja yang mengatakan bahwa:
"Indonesian Muslim intellectuals are increasingly concerned with the questions of the proper role of Islam in national development and how Islamic values can be reconciled with Western rationalism, rather than with the nature of an Islamic state...What distinguishes thinkers associated with this movement from earlier modernists is the combination of empirical and historical approaches they employ in formulating a vision of an Islamic society."
Tidak dapat disangkal bahwa perubahan visi dan orientasi itu sejalan dengan masuknya pengaruh pembaharuan Islam, yang utamanya, dibawa oleh kelompok Muslim modernis "generasi kedua" ini. Namun demikian, jelas sekali bahwa perkembangan wacana intelektual Islam seperti yang dimaksud oleh Martin, Woodward dan Atmaja di atas sudah memasuki babak baru, karena sudah menyangkut metodogi yang lebih empirik dan historis yang dipergunakan di dalam memformulasikan masalah keislaman dan masalah kemasyarakatan.
PERAN EKONOMI SYARIAH
Dalam pengembangan sektor riil ini, faktor lain muncul, yaitu sumberdaya manusia (human resource). Dalam dua bukunya, "Intellectual Capital: The New Wealth of Organization" (1998) dan bukunya yang lebih baru "The Wealth of Knowledge: Intellectual Capital and the Twenty-First Century Organization" (2001), Thomas A. Stewart menyabut beberapa jenis modal (capital), misalnya, tanah (land), pabrik-pabrik (factories), alat-alat (equipment), uang tunai (cash) dan kepandaian (intellectual) .
Identifikasi Stewart tersebut bisa dikelompok-kelompok kan ke dalam berbagai jenis modal yang kini beragam itu. Tanah (pertanian dan pertambangan) termasuk kedalam modal alam, pabrik-pabrik dan alat-alat (termasuk mesin) ke dalam modal material (material capital), uang tunai ke dalam modal finansial (financial capital) dan kepandaian termasuk ke dalam modal intellectual (intellectual capital). Stewart dalam kedua bukunya mengatakan, bahwa di zaman modern abad ke 21 ini, peranan modal intelektual sangat penting.
Secara khusus ia menyabut peranan pengetahuan (knowledge), informasi (information) , hak milik intelektual (intellectual property) dan pengalaman kolektif (collective experience) yang kesamuanya merupakan unsurp-unsur modal intelektual. Semua jenis modal itu adalah merupakan sumber penciptaan kekayaan (wealth).
Mengikuti konsep pembangunan Samir Amin yang sebenarnya pernah dikemukakan pula oleh Bung Hatta dan diulangi oleh Sritua Arief, maka yang perlu dilakukan oleh umat Isloam dan bangsa Indonesia adalah membangun industri, namun industri yang saling menunjang pertanian. Pembangunan pertanian dan pertambangan akan menggunakan modal alam
PERAN EKONOMI SYARIAH
Indonesia dan Dunia Islam dewasa ini baru dalam taraf memperhatikan modal manusia yang unsur utamanya adalah pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill). Modal manusia yang dibutuhkan adalah wiraswasta, tenaga teknik dan manajer. Hanya saja pengembangan SDM ini membutuhkan waktu lama, karena itu perlu ditemukan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih praktis misalnya sistem magang sebagaimana dikembangkan di Jerman sejak abad pertengahan. Pendidikan turun menurun, melalui keluarga memerlukan perhatian dan karena itu perlu mendapatkan perhatian pemerintah.
Modal yang dimiliki oleh umat Islam dewasa ini adalah modal natural dan dalam batas-batas tertentu, modal finansial. Dalam hal ini, perlu diperhatikan temuan De Soto yang mengatakan bahwa sebenarnya penduduk negara-negara sedang berkembang yang dianggap miskin itu sebenarnya sangat besar, tapi puso (idle). Salah satu langkah yang dianjurkan adalah pengembangan hak-milik (property right).
Program yang sebenarnya telah dilaksanakan di Indonesia, adalah sertifikasi tanah. Jika tanah-tanah sudah disertifikasi, maka nilai modal natural akan meningkat secara signifikan. Dengan sertifikat itu, masyarakat bisa mengakses modal dari perbankan dan lembaga keuangan mikro guna mengembangkan UKM. Lembaga keuangan juga bisa melakukan sekuritisasi hak milik tersebut, dalam rangka menghimpun modal.
PERAN EKONOMI SYARIAH
Berdasarkan teori De Soto, perlu dikembangkan harta agama, khususnya zakat, sadaqah, infaq dan wakaf. Bank bisa berperan membantu usaha-usaha mobiklisasi dana ini. Baru-baru ini, oleh Prof. A. Mannan, telah dikembangkan produk wakaf tunai (cash wakaf). Berdasarkan perhitungan di atas`kertas, wakaf tunai ini sangat besar potensinya dan merupakan sumber modal financial yang sangat potensial. Namun sekali lagi hal ini memerlukan dukungan modal manusia dan modal intelektual.
Salah satu modal lain yang perlu diperhatikan adalah modal sosial yang dipropagandakan oleh Fukuyama. Sebenarnya, ajaran Islam merupakan sumber modal sosial ini, misalnya dalam ajaran amanah (trust) ta'awwun (cooperation) , saling mengenai (ta'aaruf) dan banyak lagi. Hanya saja ajaran-ajaran itu belum diinterpretasikan sejalan dengan pemikiran ekonomi dan pembangunan.
Sekali lagi disini sangat penting peranan perguruan tinggi dan lembaga pendidikan dan latihan pada umumnya. Setiap pendidikan pengetahuan dan ketrampilan, perlu ditunjang dengan pendidikan untuk menciptakan modal sosial ini, karena menurut Fukuyama, modal sosial, berdasarkan pengalaman negara-negara industri maju sekarang ini, merupakan dasar dari kemajuan.
CESILLIA AIDA
SEKIAN
DAN
TERIMA KASIH
DEMOKRASI DAN PERAN INTELEKTUAL
Berbagai dampak yang dilahirkan dari fundamentalisme pasar itu secara tidak langsung pada kenyataannya melahirkan ancaman cukup serius bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Meski diramalkan Francis Fukuyama bahwa terdapat korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dengan keberhasilan demokrasi.
Karena tingkat perkembangan ekonomi yang dihasilkan mekanisme pasar sangat kondusif bagi terciptanya masyarakat sipil dan kelas menengah yang kuat. Kelas menengah yang kuat dan struktur masyarakat inilah yang akan mendorong demokrasi. Tapi pada kenyataannya masyarakat semakin menemukan dirinya ada dalam berbagai krisis, dan menjadi ancaman bagi demokrasi.
Pada konteks ini penting melihat peran intelektual dalam melakukan penguatan civil society dalam mengawal proses transisi demokrasi. Menurut Mohammad Hatta, demoralisasi yang menandai masyarakat Indonesia tidak bisa kunjung didiamkan, melainkan harus dirubah ke arah yang lebih baik, dan pada posisi ini kaum intelegensia berperan.
Kaum intelegensia didefinisikan Hatta sebagai sosok yang intelektual dan bermoral, di mana sebagai warganegara terpelajar dan mampu menimbang baik-buruk, benar-salah serta bertanggung jawab, mampu melakukan perubahan ke arah demokrasi yang maju.
PERJALANAN INTELEKTUAL MUSLIM DI INDONESIA
Dalam sebuah penelitiannya, Karel Steenbrink, sarjana Belanda yang pernah menjadi dosen tamu di UIN Yogyakarta, mengatakan bahwa khususnya sejak dibukanya program pascasarjana di lingkungan UIN pada tahun 1982, pengaruh pendekatan historis dan empiris seperti ini sudah sedemikian nyata.
Dalam konteks seperti ini, UIN dapat dilihat sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi Islam yang memberikan "wadah" dan kesempatan bagi kalangan Muslim terpelajar untuk mengembangkan tradisi studi Islam yang empiris dan tidak lagi normatif.
Dengan demikian, kita bisa melihat adanya pergeseran orientasi dan visi yang signifikan di dalam mendekati, memahami dan mengkaji Islam di kalangan terpelajar Muslim Indonesia ini. Perkembangan ini menunjukkan semakin menguatnya kecenderungan untuk melihat Islam dan masayarakat Muslim sebagai sebuah obyek studi, penelitian dan pengkajian tidak melulu sebagai sesuatu yang harus "dipeluk" dan "diimani" saja sehingga hasil-hasil studi yang dilakukan bukan saja tidak melulu diharapkan bersifat apologetik dan merupakan "pembenaran" terhadap agama yang dianutnya, melainkan juga bersikap kritis.
KRISIS LEGITIMASI
Pada dimensi yang lain, ternyata pengaruh itu tidak berjalan mulus, ekspansi pasar yang begitu besar dalam menentukan kebutuhan ekonomi masyarakat ternyata melahirkan destruksi bagi munculnya krisis dalam bentuk lain, yaitu krisis solidaritas dan krisis identitas.
Masyarakat civil society, dengan berbagai sub sistem di dalamnya memiliki fungsi perlindungan dan jaminan bagi terjadinya keberlangsungan dan kesinambungan tindakan setiap komponen di dalamnya agar sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Melalui norma maupun aturan yang diciptakan baik dari konvensi maupun secara formal, maka civil society saling memperkuat di antara mereka. Ikatan yang kuat di antara mereka sendiri melahirkan solidaritas sosial yang berfungsi memiliki sistem integratif di dalamnya.
Ikatan-ikatan solidaritas tersebut akan berada di dalam ancaman, di mana antara masyarakat akan dengan mudah terjadi pertentangan. Solidaritas adalah hasil dalam bentuknya yang normatif dari sebuah hubungan antarmasyarakat yang diatur berdasarkan sebuah norma. Ikatan-ikatan lama yang mewujud pada terjalinnya kekerabatan (kinship) akan dengan sendirinya tergantikan dengan ikatan-ikatan yang lebih bersifat pragmatis dan rasional.
PENGANTAR
Siapakah Intelektual
Intelektual : 1 n cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; 2 n (yg) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; 3 n totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.
Dikatakannya, bahwa interlegos merupakan asal kata dari intelektual. Jadi, interlegos sama saja artinya dengan intelektual. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, et. al, 1996), intelektual diidentikkan dengan kaum intelek, kaum terpelajar. Sedangkan di dalam Kamus Bahasa Inggeris-Indonesia (John M.Echols, et. al, 1989), intellectual diartikan sama dengan cendekiawan, cerdik pandai.
PENGANTAR
3 fondasi pokok seorang Intelektual
Pertama, paham secara mendalam. Menggunakan kecerdasan untuk menganalisa berbagai masalah. Ketajaman pisau critical thinking-nya ditumbuhkembangkan, misalnya bagaimana mendeskripsikan (describe) suatu permasalahan dengan baik, bagaimana menganalisa (analyse), membandingkan (compare), membuat sintesis (synthesise), serta melakukan evaluasi (evaluate) terhadap suatu permasalahan.
Kedua, prihatin sepenuh hati. Seorang intelektual sejati tidak mejadikan dirinya eksklusif dan terangsing dari lingkungannya. Sebaliknya, dia selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Berbekal kebiasaannya untuk selalu mengasah dan mengisi diri, maka ia mampu melihat persoalan-persoalan pada berbagai aspek kehidupan dengan lebih lengkap dan tajam. Tidak cukup dengan melihat fenomena-fenomena yang tampak di permukaan, dia juga melihat akar permasalahannya. Tidak hanya bertanya 'apa' yang terjadi, bahkan juga 'mengapa' dan 'bagaimana' sesuatu permasalahan itu muncul. Sang intelektual mengambil sikap proaktif terhadap permasalahan yang ada sebagai bentuk tanggung jawab sosial (social responbility)-nya di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, tergerak ingin memperbaiki. Seperti dikemukakan tadi, permasalahan yang terjadi membuat sang intelektual prihatin. Akan tetapi, dia tak berhenti sampai di situ. Iapun tergerak untuk mengambil langkah-langkah untuk mencari solusinya. Untuk menyelesaikan masalah itu, ia selalu berpikir jauh ke depan, melihat dampaknya di masa datang. Juga, tidak sekadar menyelesaikan masalah dengan menutup asapnya, tapi dengan berupaya memadamkan apinya. Untuk itu, sang intelektual menuntut dirinya untuk menjadi seorang visioner, orang yang mampu melihat ke depan dengan visi yang jelas.
KRISIS LEGITIMASI
Gelombang globalisasi dengan berbagai ajarannya telah membawa dampak begitu besar dalam kelangsungan sebuah negara dan kehidupan masyarakat. Bagi negara, krisis legitimasi menjadi sangat memungkinkan dihadapi. Pasalnya, negara akan diklaim gagal memenuhi kebutuhan hajat dari rakyatnya setelah orientasinya lebih beralih kepada mekanisme ekonomi pasar. Orientasi itulah yang kemudian mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi atau moneter yang puncaknya pada 1997. Hingga sekarang krisis itu masih terasa dampaknya.
Krisis ekonomi diramalkan oleh Jurgen Habermas akan melahirkan krisis legitimasi. Kondisi ini (legitimation crisis) dijelaskan oleh Habermas melalui pendekatan konsep adaptip (Adaptation), pencapaian tujuan (Goal Attainment), integrasi (Integration), dan pola pemeliharaan (Latency) atau dikenal AGIL yang dikembangkan oleh pemikir sebelumnya, yaitu Talcott Parsons.
Adaptation adalah fungsi bagi sebuah sistem yang menjamin terpenuhinya apa yang dibutuhkan dari lingkungan dan mendistribusikannya. Sistem ini mengambil bentuknya pada sistem ekonomi. Goal Attainment adalah fungsi yang menjamin bagi terpenuhinya tujuan sistem yang diwakili oleh sistem politik atau pemerintahan. Integration adalah fungsi dari sebuah sistem yang menjamin berlangsungnya hubungan antarindividu yang diwakili oleh komunitas sosial. Latency adalah prasyarat yang menunjuk pada cara bagaimana menjamin kesinambungan tindakan sesuai dengan norma.
KRISIS LEGITIMASI
Konsekuensi ekonomi pasar dalam masyarakat berakibat pada tergantikannya modus relasi antara masyarakat yang sebelumnya diukur berdasarkan solidaritas primordial dan kekeluargaan kemudian diganti oleh pola hubungan yang lebih didasarkan modus produksi ekonomi. Logika-logika ekonomi pasar seringkali digunakan oleh kebanyakan masyarakat kita dalam membangun hubungan di antara sesamanya. Institusi-institusi kultural tidak luput dari pengaruh ini, bahkan hingga ke subsistem yang paling terkecil dalam masyarakat, seperti keluarga.
Krisis identitas mengambil bentuknya yang lain yang terjadi di masyarakat. Berbagai ragam nilai dan produk yang ditawarkan oleh pasar, dan masyarakat memungkinkan mendapat akses secara bebas terhadap produk-produk itu Nilai-nilai yang lebih mengedepankan kebebasan, seperti konsumerisme, instans, dan serba cepat kerapkali direspons secara berlebihan dari masyarakat. Globalisasi yang menawarkan sejumlah nilai itu pada akhirnya menimbulkan gagap. Komunitas mengalami "meminjam istilah Karl Marx teralienasi, atau terasing dari kondisi barunya."
KRISIS LEGITIMASI
Ramalan Habermas mendapat artikulasinya dalam bentuk yang lebih konkrit pada krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang puncaknya pada 1997. Pemerintah Indonesia yang lebih berpihak kepada kepentingan pasar ternyata harus mengaku kalah dari kekuatannya konsekuensinya adalah krisis moneter yang berkepanjangan. Kedudukan pasar yang begitu besar dalam menentukan kehidupan masyarakat pada satu sisi, dan lemahnya sistem pengaturan negara pada sisi yang lain, maka berakibat kuat pada munculnya destruksi pasar terhadap rakyat kecil atau para pemilik modal kecil.
Negara diklaim tidak mampu menjaga kestabilan harga dan melindungi warganya yang memiliki kapital kecil dari hisapan kapital besar. Puncaknya adalah hilangnya trust masyarakat terhadap pemerintah. Kondisi menghilangnya trust kemudian berakibat lanjut pada krisis legitimasi terhadap pemerintah. Fakta ini dapat kita saksikan dari munculnya sejumlah aksi demontrasi menentang setiap kebijakan pemerintah, bahkan beberapa bulan yang lalu sempat muncul "cabut mandat" yang dilakukan oleh sejumlah tokoh nasional terhadap pemerintah yang tengah berjalan sekarang.
Masyarakat seakan berjalan masing-masing, tanpa kendali pemerintah. Masyarakat tampak seakan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dengan bersaing dipasaran. Masyarakat cenderung tidak lagi percaya dengan keberadaan pemerintah. terlebih lagi pada masyarakat kecil, yang dewasa ini seringkali menjadi "korban kebijakan" yang merugikan.
KRISIS LEGITIMASI
Legitimasi merupakan output yang lahir dari komunitas sosial meliputi kepercayaan sosial (social trust) dan solidaritas. Pengakuan yang lahir dari masyarakat terhadap pemerintah merupakan input, masukan dari fungsi yang dimainkan sendiri oleh pemerintah sebagai penjamin tercapainya tujuan dari sistem masyarakat. Keberadaan negara diakui sejauh memberikan sumbangan positif bagi pelindungan hak-hak ekonomi warga dalam memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, bila tidak mampu melindungi pengakuan dan kepercayaan itu akan luntur.
Dalam konteks ini bagaimana pun menurut Habermas negara tidak dapat terlepas dari perannya terhadap ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi persoalan pengakuan politik dari masyarakat. Begitupun sebaliknya krisis ekonomi yang akan terjadi pun akan menjadi krisis politik. Keadaan ini pada gilirannya akan memaksa negara untuk menghimpun berbagai resources dari sistem sosial budaya untuk memulihkan keseimbangan fungsi.
Akan tetapi karena krisis politik itu sekali lagi mencerminkan konflik kepentingan mendasar dalam masyarakat kelas, maka mustahil menyelesaikan persoalan ini langsung melalui mekanisme integrasi sosial. Hal ini menyebabkan negara semakin kesulitan menjustifikasi kebijakan-kebijakannya. Kesulitan inilah yang kemudian menciptakan defisit legitimasi.
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
16/04/2013
#
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master subtitle style
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Click icon to add picture
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
16/04/2013
#
Click to edit Master title style
Click to edit Master text styles
Second level
Third level
Fourth level
Fifth level
16/04/2013
#